Anda di halaman 1dari 11

DERMATITIS ATOPIK

Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residifm disertai
gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak anak, sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita
(DA, rinitis alergi dan atau asma bronkial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang
kemudian mengalami eksoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh coca (1923), yaitu istilah yang dipakai
untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam
keluarganya. Misalnya: asma bronkial, rinitis alergik, dermatitis atopik dan konjungtivitis
alergik.
Nama lain yang dipakai adalah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema
fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo besnier. Tetapi, yang paling sering digunakan
ialah dermatitis atopik.

Epidemiologi
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk menginterpretasi
hasil penelitian epidemiologik harus berhati hati. Berbagai penelitian menyatakan bahwa
prevalensi DA semakin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besat. Berbagai
faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga kecil,
pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota dan
meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita DA.
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir
makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi kemungkinan
tingginya DA, pada kemudian hari.
DA cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang
menderita atopi akan mengalami DA. Pada masa kehidupan 3 bulan pertama bulan pertama.
Bila salah satu orang tua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu menderita
DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa,
maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira kira 50%.

Etiopogenesis
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis DA, misalnya faktor genetik,
lingkungan, sawar kulit, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel sel yang berasal dari sumsum tulang.
Kadar IgE dalam serum penderita jumlah eosinofil dalam darah perifer umumnya
meningkat. Terbukti bahwa hubungan secara sistemik antara DA dan alergi saluran napas,
karena 80% anak dengan DA mengalami asma bronkial atau rinitis alergik. Dari percobaan
pada tikus yang disensitiasi secara epikutan dengan antigen, akan terjadi dermatitis alergik,
IgE dalam serum meningkat, eosinofilia saluran napas, dan respon berlebihan terhadap
metakolin. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan allergen pada DA akan
mempermudah timbulnya asma bronkial.
Berikut ini 4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit atopi.
Kelas I : gen predisposisi untuk atopi dan respon umum IgE
(a) reseptor FcRI-, mempunyai afinitas tinggi untuk IgE (kromosom 11q
12q12 13)
(b) gen sitokin IL-4 (kromosom 5)
(c) gen reseptor- IL-4 (kromosom 16)
Kelas II : gen yang berpengaruh pada respon IgE spesifik
(a) TCR ( kromosom 7 dan 14)
(b) HLA (kromosom 6)
Kelas III : gen yang mempengaruhi mekanisme mekanisme non-inflamasi (misalnya
hiperesponsif bronkial)
Kelas IV : gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak diperantarai IgE
(a) TNF (kromosom 6)
(b) gen kimase sel mast (kromosom 14)

GENETIK
Kromosom 5q31 33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13 dan
GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting
dalam ekspresi DA. Perbedaan genetik aktivitas transkipsi gen IL-4 memainkan peranan
penting dalam ekspresi DA. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi
predisposisi DA. Ada hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas
dan DA, tetapi tidak dengan asma nronkial atau rinitis alergik. Varian genetik kimase sel
mas, yaitu serine protease yang disekresi oleh sel mas di kulit, mempunyai efek spesifik pada
organ dan berperan dalam timbulnya DA.

Respon imun pada kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit DA. Jumlah TH2 lebih
banyak penderita atopi, sebaliknya TH1 menurun. Pada kulit normal, penderita DA bila
dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita DA, ditemukan lebih banyak
sel sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12 atau IFN-.
Pada lesi akut dan kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada
lesinya pada penderita DA, menunjukan jumlah yang lebih besar sel sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13, tetapi pada lesi akut tidak banyak
mengandung sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi pada lesi akut tidak
banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 IFN- atau IL-12. Lesi kronis
DA menganduk sangat sel yang mengekspresikan mRNA IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-,
meningkat bila dibandingkan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis DA berperan
dalam perkembangan TH1.
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit , sehingga terjadi
spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN- yang dilepaskan sel T teraktivasi dan
meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit DA yang dapat menarik sel sel, misalnya
eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit.
Pada DA kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih lama dan
menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup
dan fungsi monosit, sel langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF- dan IFN- pada DA
memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF- dan IFN- pada keratinosit
epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell
expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF- dan sitokin
proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit
DA. IL-4 meningkat perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang diproduksi oleh makrofag,
sel berdendrit atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor IL-12R2 diekspresi pada
TH1 tidak pada TH2. Sedangkan ekspresi IL-12R2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya
diinduksi oleh IL-12, IFN- dan IFN-. IL-4 juga menghambat produksi IFN- dan menekan
deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga
ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mas/basofil pada DA akan merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita DA meningkatan aktivitas enzim cyclic-adenosine
monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE), yang akan meningkatkan sintesis IgE
oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat
diturunkan oleh penghambat PDE (PDE inhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit
juga meningkat; kedua produk ini menghambat IFN- yang dihasilkan oleh sel T.
Sel langerhans (SL) pada kulit penderita DA adalah abnormal, dapat secara langsung
menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi
fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat; sel ini mampu mempresentasikan alergen
tungau debu rumah kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap allergen akan
mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat untuk menstimulasi sel T naive sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu FcRI, FcRII
(CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FcRI mempunyai afinitas kuat untuk mengikat
IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik FcRI pada permukaan SL. Pada orang
normal dan penderita alergi saluran napas kadar FcRI di permukaan SLnya rendah,
sedangkan di lesi ekzematosa DA tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FcRI dan
kadar IgE dalam serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FcRI) juga
ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita DA berkurang sehingga kehilangan air (transepidermal
water loss = TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke
dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa sensisitasi epikutan terhadap alergen
menimbulkan respon TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka
kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif.



Respon sistemik
Jumlah IFN- yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita DA menurun,
sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN- menghambat sintesis IgE,
ploriferasi sel Th2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di
darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-. IL-4 dan IL-13
juga menginduksi transkripsi pada ekson C sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-
13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1
(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil dan menurunkan fungsi sel TH1. Sel
monosit di darah tepi penderita DA diaktivasi, mempunyai insidens apoptosis spontan
rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan
oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada DA.
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut:
Sintesis IgE meningkat
IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan,
aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri dan autoalergen
Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit meningkat.
Pelepasan histamin dan basofil meningkat
Respon hipersensivitas lambat tergganggu
Eosinofilia
Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat
Sekresi IFN- oleh sel TH1 menurun
Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat
Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-10 dan
PGE2

Berbagai faktor pemicu
Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam patogenesis DA, tetapi tidak biasa terjadi
pada penderita DA yang lebih tua. Makanan yang paling sering adalah telur, susu, gandum,
kedelai, dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi pada penderita DA karena induksi alergen
makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa, urtikaria, kontak urtikaria atau kelainan
mukokutan yang lain. Hasil pemeriksaan laboratorium dari bayi dan anak anak kecil dengan
DA sedang atau berat, menunjukan reaksi positif terhadap tes kulit dadakan (immediate skin
test) dengan berbagai jenis makanan. Reaksi positif ini diikuti kenaikan mencolok histamin
dalam plasma dan aktivasi eosinofil. Sel T spesifik untuk alergen makanan juga berhasil
diklon dari lesi penderita DA.
Dari percobaan buta ganda dengan plasebo dan tungau debu rumah (TDR), ditemukan
penderita DA setelah menghirup TDR mengalami eksaserbasi di tempat lesi lama, dan timbul
pula lesi baru. Demikian pula setelah aplikasi epikutan dengan aeroalergen (TDR, bulu
binatang, kapang) melalui uji tempel pada kulit penderita atopi tanpa lesi, terjadi reaksi
ekzematosa pada 30 50 penderita DA, sedangkan pada penderita alergi saluran napas dan
relawan sehat jarang yang menunjukan hasil positif. Hasil pemeriksaan laboratorium
ditemukan pada sebagian besar penderita DA IgE spesifik untuk alergen hirup. Juga pada
95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR, sedangkan ada penderita asma
bronkial hanya 42%. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung langsung
dengan tingkat keparahan DA.
Penderita cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus dan jamur, karena imunitas selular
menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi kulit penderita DA ditemukan
S. aureus, sedangkan pada orang normal hanya 5%. Jumlah koloni S. aureus pada lesi
inflamasi kulit penderita DA dapat mencapai 10
7
per cm
2
, namun tidak ada tanda klinis
superinfeksi. Akan tetapi bila diobati dengan kombinasi antibiotika dan kortikosteroid
topikal, hasilnya lebih baik dibandingkan kalau hanya dengan kortikosteroid topikal saja. S.
aureus melepaskan toksin yang bertindak sebagai superantigen (misalnya: enterotoksin A, B,
dan toxic shock syndrome toxine-1) yang menstimulasi aktivitas sel T dan makrofag.
Sebagian besar penderita DA membuat antibodi IgE spesifik terhadap superantigen
stafilokokus yang ada di kulit. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit yang
terganggu, akan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah DA.

Gambaran klinis
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan
kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Penderita DA cenderung
tipe astenik, dengan intelegensia di atas rata rata, sering merasa cemas, egois, frustasi,
agresif atau merasa tertekan.
Gejala utama DA adalah gatal (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya
lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul
bermacam macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi,
eksudasi dan krusta.
DA dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu: DA infantil (terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun;
DA anak (2 sampai 10 tahun); dan DA pada remaja dan dewasa.

DA infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usua 2 bulan. Lesi
mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok,
pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu
ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengann dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi
ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal
yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur dan sering menangis.
Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami
infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma.
Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.
Pada sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya,
sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami
eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada silang
pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis membaik setelah makanan
tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan.

DA pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih kering
tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan
kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher,
jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi,
likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan
perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatal-
garuk. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap wol, bulu
kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.
DA berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan.

DA pada remaja dan dewasa
Lesi kulit DA pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan berskuama, atau
plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut dan
samping leher dan sekitar mata. Pada DA dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering
mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir
(kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp. Kadang erupsi meluas, dan paling
parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan
cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering terjadi
eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewasa sering
mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin karena stres dapat
menurunkan ambang batas rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan
keringat, sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya DA
remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh)
setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan; hanya sebagian kecil terus
berlangsung sampai tua. Kulit penderita DA yang telah sembuh mudah gatal dan meradang
bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Penderita atopik beresiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira kira 70% suatu saat dapat
mengalaminya. DA pada tangan dapat mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak. DA di tangan biasa timbul pada wanita setelah
melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA misalnya: hiperlinearispalmaris, xerosis kutis, iktiosis,
pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar
(tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus dan
keratokonus (bentuk komea yang abnormal). Selain itu penderita DA cenderung mudah
mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau serangan serangga.
Diagnosis
Diagnosis DA ditetapkan melalui dua Kriteria major dan minor yang disusulkan
oleh Hanifin dan Rajka, diagnosis DA harus mempunyai tiga kriteria major dan tiga
kriteria minor.
a. Kriteria mayor
Pruritus
Dermatitis dimukaan atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis difleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
b. Kriteria minor
Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis pilaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di papila mamae
White dermographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritema
Gatal bila berkeringat
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
Kadar IgE di dalam serum meningkat
Awitan pada usia dini
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
Riwayat atopi pada keluarga
Dermatitis di muka atau ekstensor
Pruritus
Ditambah tiga kriteria minor
Xerosis / iktiosis / hiperliniaris palmaris
Aksentuasi perifolikular
Fisura belakang telinga
Skuama di skalp kronis

Pedoman diagnosis DA yang diusulkan oleh kelompok kerja Inggris (UK working party)
yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan menyederhanakan kriteria Hanifin dan
Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA yang dapat diulang dan
divalidasi. Pedoman diagnosis DA yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau laporan orang tuanya bahwa
anaknya suka menggaruk atau menggosok.
Ditambah dengan 3 atau lebih kriteria berikut:
Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan
pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10
tahun).
Riwayat asma bronkial atau hay fever pads penderita (atau riwayat penyakit
atopi pada keluarga tingkat pertama dan anak di bawah 4 tahun).
Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.
Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pads pipi/dahi dan anggota
badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).


Diagnosa banding

Anda mungkin juga menyukai