Resume BAB I & II
Resume BAB I & II
: Ira F Situmorang
Kelas
:A
NIM
: 135030100111130
No. Absen
: 14
Pada 1669 VOC telah menjadi perusahaan swasta terbesar di dunia. Secara bertahap
VOC menjadi sebuah kekuasaan teritorial. Pada abad 19 kekuatan-kekuatan ekonomi Eropa,
sebagai produk kapitalisme industrial, akhirnya menjadi unsur pokok dalam gelombang baru
imperialisme Eropa. Untuk mempertahankan impreliasme dan kolonialisme, negara-negara
Barat memerlukan komponen penopang dan dukungan elite bangsa yang terjajah. Hakekat
korporatokrasi pada abad 21 merupakan turunan belaka dari korporatokrasi empat abad silam.
Imperialisme ekonomi ternyata dapat muncul lagi sambil menunggangi proses globalisasi.
Lembaga semacam bank pasti sudah dikembangkan pada zaman VOC mengingat
VOC mengembangkan pasar saham pertama kali. VOC juga dapat dipastikan menguasai
media massa yang ada. Para sejarawan Belanda menganggap perdagangan dan perniagaan
Belanda mencapai keemasan pada masa VOC. Bila dicermati, VOC dan Peerintah Belanda
dapat menjajah Indonesia karena tidak semua raja melakukan perlawanan bersama rakyat,
tetapi justru sebagian dari mereka berkolaborasi dengan pihak penjajah. Ada juga lapisan
aristokrasi yang cenderung berdamai dan mensubordinasikan diri di bawah kompeni Belanda.
VOC dan Pemerintah Belanda akan mendapat kesulitan luar biasa untuk masuk ke
Indonesia, jika tidak ada elite yang membuka pintu lebar-lebar bagi VOC dan Pemerintah
Belanda. Kita tidak boleh lupa bahwa akibat penjajahan tersebut, struktur mental kita telah
rusak lumayan parah. Membongkar mentalitas inlander ternyata tidak mudah. Semangat
kemandirin dan percaya diri yang diajarkan Bung Karno, Bung Hatta, dan lain-lain kini
terbang entah kemana-mana.
terus meningkat pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Jan Aart Scholte menggambarkan
lima definisi tentang globalisasi yaitu globalisasi sebagai internasionalisasi, sebagai
liberalisasi, sebagai universalisasi, sebagai modernisasi, dan sebagai deteritorialisasi.
Tidak Ada Pilihan Lain?
IMF, World Bank, dan WTO bersatu dalam ideologi Washington Consensus. Sepuluh
rekomendasi ekonomi yang terkenal dengan Konsensus Washington, yaitu: perdagangan
bebas, liberalisasi pasar modal, nilai tukar mengamabang, angka bunga ditentukan pasar,
deregulasi pasar, transfer aset dari publik ke swasta, fokus pada target pembangunan sosial,
anggaran berimbang, reformasi pajak, dan perlindungan hak milik dan hak cipta. Pada dua
dekade terakhir abad 20, dunia kena hipnotis globalisasi ala Konsensus Washington di atas.
Dalam euphoria globalisasi itu, masyarakat dunia disuruh percaya bahwa globalisasi
menjanjikan masa depan dunia yang lebih indah. John Ralston Saul menulis janji itu, yakni:
kekuasaan negara-bangsa semakin redup, di masa depan kekuasaan terletak pada pasar
global, pasar bebas mengangkat pertumbuhan ekonomi dunia yang besar, dan lain-lain.
Impian globalisasi itu kini semakin tidak terbukti. Kita menyaksikan globalisasi itu makin
layu, karena ternyata bau imperialisme ekonomi cukup menyengat proses globalisasi.
Globalisasi dan Imperialisme Ekonomi
Mahathir, mantan perdana menteri Malaysia mengingatkan bila negara-negara Asia
ingin maju, mereka harus mengubah mindset agar benar-benar merdeka. Kita tahu
imperialisme dan kolonialisme tempo doeloe bercirikan tiga hal, yaitu ada kesenjangan
kemakmuran, ada hubungan eksploitatif dan menindas, negara terjajah kehilangan
kedaulatan. Apalagi di Indonesia, ada kecenderungan imperialisme ekonomi yang
mengakibatkan kesenjangan kaya-miskin. James K Galbraith menyatakan kesenjangan sosial
ekonomi adalah sebuah perfect crime (kejahatan sempurna). Indonesia pernah tunduk pada
WTO untuk menerima impor paha ayam dari AS, sehingga ribuan peternak ayam kita gulung
tikar. Indonesia juga membuka diri terhadap imor gula, tekstil, dan komoditas lain yang
merugikan rakyat Indonesia. Sikap konyol itu jarang ditandingi negara luar.
Contoh negara yang terpaksa kehilangan kedaulatan, khusunya kedaulatan ekonomi,
yaitu Indonesia. Secara faktual, ekonomi Indonesia pernah didikte dan didominasi oleh IMF
pasca krisis moneter Indonesia pada 1990-an yang ditandai dengan penandatanganan Letter
of Intent (surat perjanjian Indonesia pada IMF untuk dilaksanakan) oleh Pak Harto.