Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI dan FISIOLOGI


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm dan lebar 0,3 - 0,7 cm, melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal
pada pertemuan ketiga taenia yaitu taenia anterior, medial dan posterior.
Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3
tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan
dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada
apendiks berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti arteri mesentrika
superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
n. torakalis x. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar
umbilikus (Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 1. Appendiks vermiformis

10

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya


dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam
apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.
Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.
Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam
sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil,
maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap
infeksi (Sjamsuhidajat, 2004).
Secara histologi lpisan appendiks terdiri dari empat lapisan yaitu
mukosa (lapisan paling dalam appendiks), submukosa, muscularis dan serosa
(peritoneum viseral). Appendiks dibedakan atas beberapa posisi atau letak
yaitu preileal (di depan ileum terminal), post ileal (di belakang ileum),
promontoric (masuk kavum pelvis, menjuntai di depan promontorium),
pelvica (berada di rongga pelvic), subcaecal (terdapat di cauda caecum),
paracolik atau paracaecal, dan retrocaecal (si belakang caecum, banyak di
jumpai) (Belladona, 2005).

11

Gambar 2. Variasi anatomi posisi appendiks

B. DEFINISI
Apendiksitis

adalah

peradangan

yang

terjadi

pada

apendiks

vermiformis. Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut


pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

C. ETIOLOGI
Apendisitis akut disebabkan oleh infeksi bakteria. Faktor lain yang
dapat menyebabkan terjadinya apendiksitis sumbatan lumen apendiks yang
dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia jaringan limfe. Sumbatan tersebut
dapat berupa fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris. Penyebab lain yang
diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena

12

parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran


kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2004).
Belladona (2005), mengklasifikasikan penyebab appendiksitis menjadi
tiga kelompok yaitu akibat hiperplasia jaringan limfoid karena infeksi,
obstruksi lumen usus (infeksi, kinking, adhesi, fekalit, debris makanan, dan
lain sebagainya, tumor (Ca caecum da Ca appemdiks), karsioneid appendiks,
dan tekanan intra caecal yang meningkat.

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik yaitu
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mc Burney. Disini nyeri

13

dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendisitis akut, dibagi atas apendisitis akut kataralis dan
obstruktif. Appendiksitis kataralis diakibatkan terjadi peradangan pada
mukosa dan sub mukosa yang dapat mengakibatkan terjadi hiperplasia
jaringan yang apabila menyumbat lumen appendiks dapat mengakibatkan
obstruksi

dan

berdampak

pada

terjadinya

perforasi

appendiks.

appendiksitis kataralis dapat terjadi remisi. Sedangkan appendiksitis


obstruktif terjadi close loop phenomenon karena hiperplasia jaringan
limfoid, fecalit, dan lain-lain. Pada appendiksitis obstruktif dapat terjadi
akumulasi mukus yang dapat meningkatkan tekanan intra caecum dan
berdampak timbulnya distensi lumen, apabila tidak segera di tangani dpat
menyebabkan gangren pada appendiks yang berdampak pada timbulnya
perforasi. Appendiksitis obstruki jarang atau tidak bisa terjadi remisi
spontan (Belladona, 2005).
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik

apendiks

secara

makroskopik

dan

mikroskopik.

Kriteria

mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding


apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden
apendisitis kronik antara 1-5% (Sjamsuhidajat, 2004).

14

Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau


parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis
obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua
(Docstoc, 2010)

E. PATOFISIOLOGI
Apendisitis diawali dari obstruksi lumen yang disebabkan oleh feses
atau fekalit. Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi
inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan
melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat
fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa
permukaan peritoneal disekitarnya, seperti usus atau dinding abdomen,
menyebabkan peritonitis lokal. Dalam stadium ini mukosa glandular yang
nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus.
Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks
yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan
segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi
dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, 2007).

F. MANIFESTASI KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada appendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis
ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah

15

epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang
ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Disini nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat,
2004).
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya
terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan
atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m. psoas mayor yang
menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila
meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau
rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi
lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan
dindingnya (Sjamsuhidajat, 2004).

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut.
Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut.
Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena

16

penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul
komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,538,5C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi
(Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada

pemeriksaan

fisik

yaitu

inspeksi,

penderita

berjalan

membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi


perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler
abses. Pada palpasi abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan,
dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen
kuadran kanan bawah:
a. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
b. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah

saat

tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan


penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
c. Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular

adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.


d. Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal

17

ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
e. Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
f. Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada
daerahhipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu
dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur
(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah
UGM, 2010).
Semua penderita dengan suspek Appendicitis akut dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu skor <6 dan >6.
Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi terhadap jaringan Appendiks dan hasilnya diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.

18

Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis appendiksitis


The Modified Alvarado Score
Perpindahan nyeri dari ulu hati
ke perut kanan bawah
Mual-Muntah
Anoreksia
Nyeri di perut kanan bawah
Tanda
Nyeri lepas
Demam diatas 37,5 C
Pemeriksaan Leukositosis
Lab
Hitung jenis leukosit shift to
the left
Total
Interpretasi dari Modified Alvarado Score:
1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis akut
5-7 : sangat mungkin apendisitis akut
8-10 : pasti apendisitis akut (Brunicardi, 2010)
Gejala

Skor
1
1
1
2
1
1
2
1
10

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakan diagnosis
appendiksitis diantaranya adalah
1. Pemeriksaan darah tepi, akan ditemukan leukositosis
2. Sedimentasi urin, untuk menyingkirkan diferential diagosis kolik ureter.
3. Ultrasonografi, pada potongan ransversal sering tampak lapisan appendiks
4. Laparoskopi
5. Appendicogram, dengan memasukan kontras barium untuk mengetahui
apabila terjadi sumbatan atau adanya kotoran.
6. Foto polos abdomen
7. CT-Scan abdomen (appendicial CT) (Corwin, 2009).

19

I.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding appendiksitis berdasar atas usia dan jenis kelamin.
Pasien dibagi dalam tiga kelompok usia yaitu anak (10 tahun kebawah), orang
tua (50 tahun ke atas), remaja dan dewasa (10-50 tahun). Appendiksitis jarang
terjadi pada usia dibawah 3 tahun, tetapi meningkat pada usia 3-10 tahun.
Diagnosis banding nyeri abdomen akut pada masa bayi mencakup kolik,
gastroenteritis akut, intususepsi, hernia inkarserata dan volvulus. Usia
kelompok prasekolah (2-5 tahun) appendiksitis masih jarang, nyeri akut
dalam kelompok ini mencakup gastroenteritis akut, pielonefritis, divertikulum
meckel dan intususepsi. Anak usia sekolah 5-10 tahun sering terjadi insidensi
appendiksitis, kelainan akut abdomen yang sering terjadi juga gastroenteritis
dan limfadenitis mesenterika (Sabiston, 1995).
Diagnosis appendiksitis pada orang tua sering kali sulit, hal ini
dikarenakan gambaran fisik yang samar-samar yaitu hitung leukosit dibawah
10.000, demam (subnormal), kedinginan, terkadang disertai adanya abses
atau peritonitis generalisata. Diagnosis banding untuk appendiks yang terjadi
pada orang tua adalah divertikulitis, ulkus perforata, kolesistitis akut,
karsinoma, obstruksi usus, penyakit vaskular mesenterika (Sabiston, 1995).
Pada usia remaja dan dewasa

muda, diagnosis appendiksitis

berdasarkan atas usia dan jenis kelamin. Diagnosis banding pada pria apabila
nyeri di kuadran kanan bawah lokalisata mencakup empat sebab
genitounrinarius yaitu pielonefritis akut, batu ginjal, torsio testis, epididimitis.
Pielonefritis akut dan batu ginjal dicurigai atas dasar urinalisis sedangkan
torsio testis dan epididimitis harus dicurigai atas dasar pemeriksaan fisik.

20

Diagnosis yang kadang mengacaukan adalah adenitis mesenterica dan


gastroenteritis akut. Insidensinya 10 % terjadi pada pria muda (Sabiston,
1995).
Insidensi appendiksitis pada wanita usia 10-30 tahun. Urutan
diagnostik pada wanita muda yaitu penyakit peradangan pelvis (30%),
diagnosis ginekologi lain (15%), adenitis mesenterica (13%), gastroenteritis
(6%), infeksi traktur urinarius (6%), kolelitiasis (3%), dan tidak diketahui
(15%) (Sabiston, 1995).

J.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk apendisitis akut adalah operasi
appendektomi. Pasien biasanya telah dipersiapkan untuk puasa antara 4
sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar
tidak terjadi dehidrasi. Pada umumnya, teknik konvensional operasi
pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di
atas daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian
antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan
pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan
(Sjamsuhidajat, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara
bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang
dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan
melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam
perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain

21

yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan
setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

K. KOMPLIKASI
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah timbul nyeri. Gejala mencakup demam dengan
suhu 37,7 C atau lebih tinggi, nyeri atau nyeri tekan abdomen yang terjadi
secara terus - menerus (Small, 2008).
Komplikasi lain dapat berupa infeksi luka, perlengketan, obstruksi
usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian
Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan
komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka,
abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal,
fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Craig,
2011).

L. PROGNOSIS
Sebagian besar pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan
tanpa penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda
atau telah terjadi peritonitis atau peradangan di dalam rongga perut. Cepat
dan lambatnya penyembuhan setelah operasi apendiksitis tergantung dari usia

22

pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes


mellitus, komplikasi dan keadaan lainya. Lama penyembuhan setelah operasi
apendiksitis biasanya antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto, 2007).

M. PERBEDAAN APPENDIKSITIS AKUT, KRONIS DAN INFILTRAT

Definisi

Etiologi

APPENDIKSITIS
AKUT
Apendisitis akut adalah
suatu radang yang timbul
secara mendadak pada
apendiks (Sjamsuhidajat,
2004).

APPENDIKSITIS
KRONIS
Adanya riwayat nyeri
perut kanan bawah lebih
dari 2 minggu dan adanya
radang kronik apendiks
secara makroskopik dan
mikroskopik
(Masjoer,2000).

Faktor obstruksi :
hiperplasia jaringan sub
mukosa, fekalit,
sumbatan parasit

Adanya perforasi
appendiks yang ditutupi
oleh sel-sel radang,
omentum dan lekukan
usus (Corwin, 2009).

Faktor bakteri: infeksi


enterogen (E.coli,
Pseudomonas, dll)

Klasifik
asi

APPENDIKSITIS
INFILTRAT
Appendisitis infiltrat
didahului oleh keluhan
appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya
massa periapendikular
(Corwin, 2009).

Genetik: malformasi
herediter, appendiks
terlalu panjang,
vaskularisasi tidak
baik, kebiasaan dan
pola makan
(Sjamsuhidajat, 2004).
Apendisitis akut, dibagi
atas:

Apendisitis kronis, dibagi


atas:

Apendisitis akut fokalis


atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.

Apendisitis
kronis
fokalis atau parsial,
setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.

Appendisitis purulenta
difusi, yaitu sudah
bertumpuk nanah

Apendisitis
obliteritiva
appendiks

kronis
yaitu
miring,

23

(Masjoer,2000).

Patofisi
ologi

Adanya penyumbatan
pada lumet appendiks
Terjadinya bendungan
Tekanan intra lumen
meningkat dan hambatan
aliran limfe
Edema dan ulserasi
mukosa
Appendiksitis akut fokal
yang ditandai dengan
nyeri epigastrium
Sekresi mukus terus
menerus
Edema dan peradangan
meluas lalu mengenai
peritoneum setempat
Nyeri di kanan bawah
Appendiksitis supuratif
akut
Aliran arteri terganggu
mengakibatkan infark
dinding appendiks
Kemtian jaringan dan
timbul gangren
Appendicitis gangrenosa
Dinding rapuh dan pecah

Appendiksitis perforasi
(Grace, 2007).
Penegak Anamnesis
Nyeri di epigastrium atau
an
diagnosi umbilikal disertai mual

biasanya
ditemukan
pada
usia
tua
(Masjoer,2000).
Apendisitis dapat dimulai
dimukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama.
Usaha pertahanan tubuh
adalah membatasi proses
radang dengan menutup
apendiks dengan
omentum, usus halus atau
adneksa sehingga
terbentuk masa
periapendikuler yang
secara salah dikenal
dengan istilah infiltrate
apendiks.
Didalamnya dapat terjadi
proses nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat
mengalami perforasi.
Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh
dan massa periapendikuler
akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai
diri secara lambat.
Apendiks yang pernah
meradang tidak akan
sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan
parut yang akan
menyebabkan
perlengketan dengan
jaringan sekitarnya (Price,
2006).

Anamnesis:
Riwayat nyeri di perut
kana bawah yang telah

Adanya proses infalamasi


appendiks, respon tubuh
mengakibatkan omentum
dan usus yang ada di dekat
appendik bergerak
menyelimuti appendik
yang mengalami
peradangan
Timbulah suatu massa
lokal
Appendiksitis infiltrat
Adanya peradangan pada
appendiks yang dapat
menimbulkan abses
Abses Periappendikular
Pada massa
periappendikular yang
dindingnya belum
sempurna dapat terjadi
penyebaran pus ke rongga
peritonium dan dapat
terjadi perforasi
Peritonitis purulenta
generalisata
(Masjoer,2000).

Inspeksi : adanya abses


apendikuler terlihat
dengan adanya penonjolan

24

dan muntah
Nyeri berpindah ke
kanan bawah
Suhu 37,5-38,5 ( demam
ringan-berat)
Rangsangan peritoneal

berulang (lebih dari 2


minggu).
Dilakukan pengobatan
pemberian antibiotik
maupun analgesik.
Keluhan tersebut mnucul
dan sembuh apabila
diberikan pengobatan

Defans muskuler
Pemeriksaan fisik
Inspeksi:
datar-kembung
(perforasi) , penonjolan
massa (abses
periapendikuler)
Palpasi:
nyeri di perut kanan
bawah, nyeri tekan lepas
Defans muscular (
rangsangan peritoneum
parietale)
Perkusi :
timpani-pekak
Auskultasi: normalhilang ( appendik
perforata ( peritonitis
generalisata)

Pemeriksaan fisik:
Keluhan nyeri hilang
timbul,
Terkadang teraba massa di
perut kanan bawah

di perut kanan bawah


Palpasi :
teraba massa fixed di perut
kanan bawah dengan nyeri
tekan dan tepi atas massa
dapat diraba.
Jika apendiks intrapelvinal
maka massa dapat diraba
pada RT(Rectal Touche)
sebagai massa yang hangat

Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik :
Fibrosis
menyeluruh
dinding apendiks
sumbatan parsial atau
total lumen apendiks
adanya jaringan parut
dan
ulkus
lama
dimukosa
Adanya
sel inflamasi kronik
(Corwin, 2009).

Rectal toucher
Nyeri tekan di arah jam
9-12
Terdapat massa menekan
rectum (jika ada abses)
(Sjamsuhidajat, 2004).
Laborat
orium

Darah : leukositosis, shift


to the left ( akut)
BNO:
Peritonitis ( tampak
udara bebas,
retroperitoneal fat (-)
USG;

Darah: shift to the right


(kronis)
BNO:
Peritonitis ( tampak udara
bebas, retroperitoneal fat ()
USG:

Darah : leukositosis. LED


meningkat
BNO:
Peritonitis ( tampak udara
bebas, retroperitoneal fat ()
USG:

25

Untuk menyingkirkan
DD ex: kehamilan
ektopik
Barium enema
CT-Scan
Laparoscopi
penatala Pemasangan infus
ksanaan Pemberian antibiotik dan
analgetik untuk
meredakan keluhan
Dilakukan appendiktomi
cito

Tampak adanya massa


periappendikuler
Barium enema
CT-Scan
Laparoscopi

Tampak adanya massa


periappendikuler
Barium enema
CT-Scan
Laparoscopi

Pemasangan infus
Pemberian antibiotik dan
analgetik untuk meredakan
keluhan
Dilakukan appendiktomi
elektif

M a s s a periapendikuler
yang masih bebas
disarankan untuk operasi.
Apendiktomi
direncanankan pad
ainfiltrat periapendikuler
tanpa pus yang telah
ditenangkan.
Sebelumnya pasien diberi
antibiotik kombinasi aerob
dan an aerob.
Setelah keadaan tenang
,6-8 minggu
dilakukan appendiktomi.
Pada anak kecil,wanita
hamil dan penderita usia
lanjut jikasecra konservatif
tidak membaik dan timbul
abses dianjurkann untuk
operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka
perut terdapat
periapendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup
lagi, apendiks dibiarkan
saja.
Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat :
1.Total bed rest posisi
fawler agar pus terkumpul
di cavum douglassi.
2.Diet lunak bubur saring
3.Antibiotika parenteral
dalam dosis tinggi,
antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman
aerob dan anaerob.
Baru setelah keadaan
tenang, yaitu sekitar 6-8

26

minggu kemudian,
dilakukan apendiktomi.
Kalau sudah terjadi abses,
dianjurkan drainase saja
dan apendiktomi
dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian.
Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala
apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium
tidak menunjukkan tanda
radang atau abses, dapat
dipertimbangkan
membatalakan tindakan
bedah.
Analgesik diberikan hanya
kalau perlu saja.
Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala
akan mereda. Bila gejala
menghebat, tandanya
terjadi perforasi maka
harus dipertimbangkan
appendiktomy.
Batas dari massa
hendaknya diberi tanda
(demografi) setiap hari.
Biasanya pada hari ke5-7
massa mulai mengecil dan
terlokalisir.
Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa
harus segera dibuka dan
didrainase
(Sjamsuhidajat, 2004).
Kompli
kasi

Perforasi
Pembentukan abses
Peritonitis generalisata

Perforasi
Pembentukan abses
Peritonitis generalisata

Perforasi
Pembentukan abses
Peritonitis generalisata

Anda mungkin juga menyukai