Anda di halaman 1dari 2

Di ranah iman, tak sulit menemukan pendukung partai-partai Islam yang melupakan tun

tutan agama mereka untuk tidak hanya menghindari, tetapi juga meniadakan laku dan ik
lim fitnah di sekitar kita. Mereka tak lagi peduli untuk "menegakkan mizan" dan/atau "b
ersaksi secara adil dan benar" serta menegakkan amar ma'ruf, nahi mungkar. Sudah sey
ogianya jika tuntutan etika politik berlaku jauh lebih kuat pada partai-partai agama diba
ndingkan dengan partai nonagama.
Rasionalitas demokrasi dilanggar jika prinsip "keabsahan prosedural" dan "keabsahan s
ubstansial" pada mekanisme pemerintahan dinafikan, termasuk pada penyusunan dan pe
ngesahan UU. Kita ketahui, pengesahan revisi UU MD3 digenjot paksa di tengah kresen
do politik Pilpres 2014. Itu bahkan disahkan tepat sehari sebelum hari pemungutan suar
a Pilpres 2014 itu! Maka, sulit bagi kita untuk tidak mengaitkannya dengan "laku begal"
.
Sudah merupakan konvensi universal demokrasi bahwa UU tidak boleh disusun, apalagi
disahkan, secara stealthysecara mencuriketika energi dan perhatian mayoritas war
ga negara dan terutama mayoritas pelaksana pemerintahan sepenuhnya tersedot pada pu
ncak agenda politik nasional lima tahunan yang ultrapenting. Pada laku demikian, juga
dilanggar prinsip kesetaraan tanding (level playing field) dan/atau niscayanya kecukupa
n musyawarah sejati (the sufficiency of true deliberation) dalam setiap proses legislasi.
Sama halnya, tidaklah mengherankan jika mayoritas masyarakat melihat ofensif untuk
mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD sekaligus sebagai upaya merampas kembali k
edaulatan rakyat dan mempersulit kiprah pemerintahan baru. Yang dijunjung dan diusun
g oleh ofensif ini hanyalah kepentingan elitis-sektarian, serta laku gontok-gontokansa
ma sekali bukan kepentingan nasional. Yang dilakukan adalah mencampakkan tuntutan
akan terselenggaranya prinsip "pergiliran pemerintahan" secara tertib, tujuan utama pem
ilubagian mutlak dari rasionalitas demokrasi itu. Laku jegal seperti ini bisa berujung
pada konsekuensi celaka, yaitu berlangsungnya pemerintahan tanpa pemerintahan sebab
niat utamanya tidak untuk menciptakan kemaslahatan bersama (public good), tetapi me
risikokan suatu kondisi tak menentu di ranah publik (a state of public uncertainty).
Mengingkari prinsip negara hukum
Baik laku begal legislasi maupun laku jegal pemerintahan di DPR mau tak mau akan me
mbawa kita kembali ke dua pertanyaan sentral yang berkaitan menyangkut setiap pejaba
t publik dalam demokrasi. Pertama, apa yang terjadi dengan kedua kriteria utama, yaitu
integritas dan kompetensiatau moralitas dan otoritasyang mereka harus penuhi kap
an pun? Kedua, ini juga langsung membawa kita pada pertanyaan tercerahkan dari Giov
anni Sartori, yaitu apakah kita melaksanakan demokrasi sebagai "preskripsi" (sebagai ih
wal bertujuan luhur) ataukah semata-mata sebagai "deskripsi" (sebagai ihwal tanpa tuju
an luhur)? Dalam bahasa Sartori: "Demokrasilah satu-satunya sistem pemerintahan yang

adanya ditentukan oleh ideal-idealnya."


Kita dapat menyimpulkan bahwa kedua laku buruk di atas pada hakikatnya sama-sama
mengingkari prinsip negara hukumprinsip Rechtsstaat. Itu karena negara hukum sejat
i hanya bisa ditegakkan dengan mengindahkan kedua sisi dari prinsip dwi-keabsahan di
atas: keabsahan prosedural dan keabsahan substansial. Di dalam legislasi, kian tinggi pe
nghormatan pada prinsip dwi-keabsahan itu, kian kokoh pulalah bangunan negara-bangs
a kita sebagai Rechtsstaat. Jika ini tercipta, kian mengecil pulalah frekuensi kasus yang
harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, makin tinggi frekuensi ka
sus yang harus ditangani oleh MK, makin lemah pulalah negara-bangsa kita sebagai Rec
htsstaat.
Penjumudan politik in toto demikian di dua ranah sentral ataupun dalam rasionalitas de
mokrasi tak pernah dialami oleh bangsa kita, di masa demokrasi parlementer sekalipun.
Sejak kemerdekaan tak terlacak instance atau contoh momentum lain di mana ketiga reg
resi politik di atas berlaku sekaligus. Kita sungguh patut bersyukur bahwa terlepas dari
gencarnya laku fitnah dan khianat di sepanjang proses Pilpres 2014, yang tampil sebagai
pemenang tetap kubu yang hingga saat ini tetap menjunjung kriteria integritaskompet
ensi atau moralitas-otoritaskubu yang sungguh menangkap dan menjunjung ideal-ide
al demokrasi. Kemenangan itu jelas menunjukkan bahwa mayoritas rakyat menolak lak
u fitnah dan laku khianat dalam bernegara-bangsa.
Joko Widodo mungkin satu-satunya presiden terpilih di dunia yang tak menghendaki pa
ra relawan pendukungnya selama pilpres bubar setelah dia terpilih. Itu berarti bahwa me
ngatasi semua presiden yang terpilih lewat pilpres, ia menunjukkan tekad terbuka untuk
terus tegak pada ideal-ideal kampanyenya. Hanya kepemimpinan politik yang bisa secar
a tulus menyentuh kalbu serta menangkap hasrat-hasrat murni-terdalam pada bangsanya
yang akan sanggup menggalang kekuatan raksasa menuju masa depan yang lebih baik:
suatu negara-bangsa yang integer vitae, scelerisque purus, yang "makmur terpuji di baw
ah lindungan Tuhan yang Maha Pengasih".

Anda mungkin juga menyukai