Anda di halaman 1dari 5

KASUS BIBIT-CANDRA BUKTI KEBOBROKAN

HUKUM INDONESIA
Oleh:
ALDIAN HARIKHMAN, SH

Pendahuluan.
Dimanapun, lembaga peradilan diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat
mendapatkan keadilan dan menaruh harapan. Namun, realitanya jauh dari harapan.
Justru, pengadilan dianggap sebagai tempat yang berperan penting menjauhkan
masyarakat dari keadilan. Orang begitu sinis dan apatis terhadap lembaga peradilan.
Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilan pun pupus ketika ditemukan
adanya permainan sistematis yang diperankan oleh segerombolan orang yang
bernama mafia peradilan1.
Pada saat yang bersamaan kita juga melihat adegan yang melukai rasa
keadilan. Koruptor kakap banyak yang dibebaskan berkeliaran, sementara pencuri
kelas teri hampir tak pernah lolos dari hukuman. Pengadilan terhadap Abu Bakar
Ba’asyir yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan tetap dipaksakan berjalan,
sebaliknya pengadilan terhadap Soeharto malah dihentikan2.
Dari berbagai kasus yang ada dapat dilihat bahwa negeri ini seakan-akan
dikuasai sutradara atau penulis skenario kejahatan yang mempermainkan kedaulatan
rakyat demi kepentingan kelompok/ pribadi dan materi semata. Kalau ditelaah lebih
dekat lagi krisis penegakan hukum telah menjamur di Indonesia kini. Dari berbagai
kasus dari tingat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada keberpihakan hukum
pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk kalangan
yang berduit. Yang tidak mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum
walaupun dia benar. Selain itu akhri-akhrir ini juga dimarakan dengan makelar kasus3.
Kalau dilihat dari struktur negara kita Indonesia adalah negara hukum tapi
kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah kebobrokan, Pertayaan yang selalu
muncul dalam benak kita. Krisis Penegakan hukum telah menjamur di negeri ini.
Mungkin ironis sekali jika hal ini menjadikan negara kita sebagai negara hukum
namun miskin hukum dan banyak miskin dalam hal lain lagi.

1 Widia Ayu Rekti, Kebobrokan Sistem Hukum Dan Peradilan Indonesia,


http://rektivoices.wordpress.com/2008/08/05/kebobrokan-sistem-hukum-peradilan-indonesia/, Diakses
Tanggal 20 Desember 2009.

2 Widia Ayu Rekti, Ibid.

3 Rinto Julius, Wajah Penegakan Hukum Di Indonesia, http://suarapembaca.detik.com/,


Diakses Tanggal 20 Desember 2009.
Penyebab Kebobrokan.
Paling tidak ada 4 sebab kebobrokan sistem hukum dan peradilan di Indonesia,
diantaranya4:
1. Landasan Hukum.
Sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi
oleh sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular, yakni bersamaan dengan
kemunculan sistem demokrasi pada abad gelap pertengahan’ (the dark middle age)
yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat
oleh ajaran agama (Kristen). Sumber pokok Hukum Perdata di Indonesia (Burgerlijk
Wetboek) berasal dari hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838),
yang karena pendudukan Perancis di Belanda berlaku di juga negeri Belanda (1838).
Sementara di Indonesia, mulai berlaku sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan
penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP atau Wetboek van
Strafrecht yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 setelah sebelumnya diberlakukan
tahun 1873 juga merupakan copy dari KUHP untuk golongan Eropa (1867) dan
KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan copy dari Code Penal, yaitu Hukum
Pidana di Perancis zaman Napoleon (1811). Begitu juga dengan hukum acara perdata
dan pidana yang juga berasal dari Barat, walaupun dengan penyesuaian.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem hukum dan peradilan di
Indonesia merupakan produk Barat Sekular yang mengesampingkan Al-Khaliq
sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sehingga dapat dipastikan
produk hukum yang dikeluarkan pasti tidak (akan) sempurna dan memiliki banyak
kelemahan.
2. Materi dan Sanksi Hukum.
Penyebab kebobrokan berikutnya adalah materi hukum sebagai konsekuensi
dari sumber hukum yang sekular. Setidaknya tercermin dalam beberapa hal berikut:
a. Materi dan Sanksi Hukum Tidak Lengkap.
Ketidaklengkapan mengatur semua hal, bukan hanya akan menimbulkan
kekacauan, akan tetapi akan memicu tindak kejahatan yang lain dan memiliki
dampak yang luas.
b. Sanksi Hukum Tidak Menimbulkan Efek Jera.

4 Widia Ayu Rekti, Op cit.

2
Salah satu tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan, agar pelaku
tidak mengulangi perbuatannya lagi. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum
dengan sanksi yang membuat jera.
c. Hukum Hanya Mementingkan Kepastian Hukum dan Mengabaikan
Keadilan.
Sistem hukum di Indonesia mengharuskan bahwa hukum harus menjamin
kepastian hukum dan harus bersendikan keadilan. Kepastian hukum artinya
produk dan ketentuan hukum haruslah memiliki landasan hukum, keadilan berarti
setiap produk dan ketentuan hukum haruslah memenuhi rasa keadilan masyarakat,
dan tidak merugikan. Realitanya hingga kini, para ahli hukum ’bingung’ untuk
menentukan mana yang harus didahulukan, kepastian hukum atau keadilan? Tidak
Mengikuti Perkembangan Zaman.
Sebagai konsekuensi dari ketidaksempurnaan pembuat hukum, yakni akal
manusia, hukum yang diterapkan di Indonesia seringkali mengalami perubahan
karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak ketentuan dalam
KUHP yang sudah usang mengharuskan adanya UU baru yang
‘menyempurnakan’, seperti UU Korupsi, UU Pers, UU KDRT, dll.
3. Sistem Peradilan
a. Peradilan yang Berjenjang.
Di Indonesia, struktur pengadilan berjenjang, yakni upaya hukum yang
memungkinkan terdakwa yang tidak puas terhadap vonis hakim mengajukan
banding. Dengan upaya hukum tersebut, keputusan yang telah ditetapkan
sebelumnya bisa dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan mekanisme
tersebut diharapkan menghasilkan kepastian hukum dan keadilan. Yang terjadi
sebaliknya, yakni ketidakpastian hukum karena keputusan hukum dapat berubah-
ubah sesuai jenjang pengadilan, juga akan berujung pada simpang siurnya
keputusan hukum; kepastian hukum yang didambakan masyarakat pun semakin
lama didapatkan, karena harus melalui rantai peradilan yang sangat panjang.
Fenomena ini akan dengan cepat disergap oleh pelaku mafia peradilan—entah
para jaksa, hakim, maupun pengacara—yang menjadikannya sebagai bisnis basah.
b. Pembuktian yang Lemah dan Tidak Meyakinkan.
Pembuktian haruslah bersifat pasti dan meyakinkan, agar keputusan yang
dihasilkan pun pasti dan meyakinkan. Seharusnya persangkaan atau dugaan
seperti dalam pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus
3
pidana, dihapuskan, karena persangkaan hanya akan menghasilkan ketidakpastian
dan keterangan ahli seharusnya diposisikan hanya sekedar informasi (khabar) saja.
c. Tidak ada persamaan di depan hukum.
Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang
status dan kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia ada ketentuan,
bahwa jika ada pejabat negara –setingkat bupati dan anggota DPRD—tersangkut
perkara pidana harus mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung
diskriminatif dan memakan waktu serta justru menunjukkan bahwa equality
before the law hanyalah isapan jempol.
4. Perilaku Aparat.
Penyebab kebobrokan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat
penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim.

Kasus Bibit-Candra Bukti Kebobrokan Hukum Indonesia


Sedikit demi sedikit tirai di panggung hukum terbuka. Semua orang
terperangah dan ternganga-nganga menyaksikan wajah hukum yang selama ini borok.
Buruk rupa ditutupi topeng dalam negara yang, menurut konstitusi, berdasar atas
hukum. Adalah lakon rekayasa kriminalisasi Bibit Samad Rianto dan Chandra M
Hamzah yang kini dipentaskan di atas panggung hukum. Dan, tiga panggung
sekaligus mementaskan lakon yang sama. Panggung Mahkamah Konstitusi
memperdengarkan rekaman telepon seorang Anggodo Widjojo dengan penyidik
kepolisian, petinggi kejaksaan, dan pihak lain yang terkait dengan rekayasa
kriminalisasi KPK5.
Lainnya adalah panggung Tim Delapan. Tim yang kelahirannya dibidani
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memanggil sejumlah pihak dari
kepolisian, kejaksaan, KPK, dan pihak lain yang relevan. Tim yang diberi batas usia
dua minggu itu ditugasi memverifikasi fakta yuridis dan melaporkannya kepada
Presiden. Dalam kesimpulan sementaranya, Tim Delapan berpendapat penyidikan
terhadap Bibit dan Chandra belum memiliki bukti yang kuat.
Panggung ketiga dimainkan Komisi III DPR yang menggelar rapat kerja
dengan Kapolri dan Jaksa Agung. Penjelasan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso
Danuri terkait dengan dugaan pemerasan, penyuapan, dan penyalahgunaan wewenang

5 Balung Thox, Wajah Buruk Panggung Hukum Indonesia, http://www.purworejokita.com/,


Diakses Tanggal 22 Desember 2009.

4
yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra hanya menuai bantahan dan kecaman.
Begitu juga penjelasan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang pada intinya
mengakui tidak ada bukti mutlak aliran dana kepada dua pemimpin nonaktif KPK itu.
Kendati bukti mutlak tidak ada, Jaksa Agung berupaya menggunakan apa yang
disebutnya sebagai bukti kuat. Bukti kuat itu sesungguhnya hanya tafsiran atas
konstruksi rekayasa fakta. Ada benang merah alur cerita yang disajikan di atas tiga
panggung itu. Yaitu hukum ternyata telah lama diatur mafia. Jaksa Agung mengakui
keberadaan makelar kasus alias markus dan makelar jabatan atau marjab6.
Amat disayangkan, buruk rupa penegakan hukum negeri ini hanya dibawa ke
salon kecantikan kata-kata. Belum ada aksi. Pencanangan kegiatan memberantas
mafia hukum dalam agenda 100 hari pemerintahan dengan mengumumkan program
untuk melaporkan mafia hukum melalui PO Box 9949 Jakarta 10000 dengan kode
'Ganyang Mafia' bukanlah sebuah tindakan nyata yang diharapkan publik.
Sudah sangat terang benderang bahwa hukum sudah lama diatur mafia. Akan
tetapi, tangan penegak hukum seakan tak mampu menjangkaunya, apalagi menangkap
dan menahan para mafia. Identitas mafia sudah terkuak dalam rekaman yang
diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi dan nama mereka disebut-sebut dalam
panggung Tim Delapan dan Komisi III DPR. Alangkah ajaibnya, sejauh ini, belum
satu pun yang ditahan, termasuk Anggodo sang aktor utama rekayasa kriminalisasi
Bibit dan Chandra. Publik melihat terang benderang kesalahan Anggodo, tetapi atas
nama hukum polisi mengaku sulit kesalahannya. Kita tidak mau berburuk sangka
bahwa aparatur hukum sudah bisa diatur mafia. Jika para mafia peradilan yang
namanya disebutkan dalam rekaman tidak juga disentuh, jangan salahkan publik
menuding telah terjadi politik pembiaran, ini membuktikan kebobrokan hukum
indonesia.

6 Balung Thox, Ibid.

Anda mungkin juga menyukai