Anda di halaman 1dari 150

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG


Sekretariat P3KP:
SUD Forum Lantai 8
Jl. Pattimura No. 20 Keb. Baru - Jakarta Selatan 12110
Tel/Fax: 021-7231611, 021-7243431
www.penataanruang.net

Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia

Bentuk kepedulian dan rencana aksi nyata Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Penataan Ruang bersama dengan mitra Badan Pelestarian Pusaka
Indonesia dalam program Pelestarian adalah bentuk penghargaan kita pada
sejarah dan sebagai aset untuk masa depan bangsa Indonesia. Aset pusaka,
pengelolaan, peran pemerintah daerah, stakeholder dan partisipasi lembaga
pelestari serta masyarakat lokal dalam suatu tatanan ruang adalah unsur penting
dalam mengembangkan suatu sistem pelestarian Kota Pusaka Indonesia yang
berkelanjutan dan diharapkan dapat menambah khasanah keragaman Kota
Pusaka Dunia. Mari wujudkan Kota Pusaka Indonesia yang lestari.

Kota Pusaka

Saatnya Kita Peduli!

Kota Pusaka
Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM


DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

Pasar Apung, Banjarmasin


Foto sumber: portalbanjarmasin.com

Balai Kota, Malang


Foto sumber: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI

Kota Pusaka
Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM


DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

Pengantar
Imam S. Ernawi
Direktur Jenderal Penataan Ruang
Kementerian Pekerjaan Umum

ndonesia merupakan negara yang memiliki potensi warisan


budaya yang kaya dan beragam. Potensi ini terwujud dalam
bentuk kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur
dan kawasan bersejarah. Kekayaan dan keragaman warisan
budaya inilah yang telah memberikan kontribusi kepada kotakota di Indonesia, sehingga masyarakat kota dengan proses
budayanya, telah membentuk karakter, keunikan, dan citra
budaya yang khas melekat pada setiap kota serta memberikan
peran signifikan dalam pembentukan identitas kota
Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang menegaskan pentingnya kota-kota memperhatikan
nilai parsial budaya yang berkembang di masyarakat dalam
penyelenggaraan penataan ruang.Hal ini mengandung makna
bahwa tema budaya menjadi salah satu faktor determinan
dalam pengelolaan kawasan disamping tema-tema lainnya,
seperti lingkungan, sumber daya alam dan teknologi, ekonomi
dan pertahanan keamanan.
Pelestarian dan pengelolaan kota-kota pusaka sangat
bergantung dengan potensi pusaka yang terdapat
didalamnya.Kota-kota atau kawasan pusaka dengan nilai
peninggalan budaya yang kuat perlu lebih komprehensif
penanganannya,sehingga tidak terfragmentasi secara sektoral.
Untuk itu, pendekatan pengelolaan kawasan pusaka harus
berbasis pada kebijakan spasial penataan ruang daerah
setempat yang solid dan konsisten, tercermin antara lain dari

urban leadership serta kebijakan program dan anggaran


yang responsif. Integrasi antar sektor yang mengambil
locus pada kawasan pusaka dengan aset-asetnya harus
diselenggarakan dalam kerangka mewujudkan kota
pusaka sebagai identitas utama, sekaligus mendorong
berbagai potensi ekonomi yang mengikutinya.
Keragaman visi jangka panjang kota-kota pusaka
seyogyanya tertuang pada kebijakan penataan ruang
secara hirarkis dari Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW), Rencana Detail Tata Ruang(RDTR),
hingga elaborasi panduan tata bangunan dan
lingkungan melalui Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan(RTBL). Kebijakan tersebut dapat menjadi
arahan dasar dalam pelestarian dan pengelolaan
kawasan pusaka secara terintegrasi dengan elemen
kota sekitar sebagai sebuah entitas perkotaan yang
utuh. Diperlukan kelembagaan yang adaptif untuk
mewujudkan kualitas tata ruang berbasis pelestarian
pusaka dan budaya kota yang berkelanjutan.
Pada tahun 2011 yang lalu, Kementerian Pekerjaan
Umum c.q Ditjen Penataan Ruang bekerjasama
dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI)
telah memetakan 9 (sembilan) kota pusaka sebagai
laboratorium untuk mengenal beberapa karakter kota/
kawasan pusaka di Indonesia. Kesembilan kota pusaka
tersebut dapat dibagi menjadi beberapa tipologi kota
pusaka, sebagai berikut: (1) Bukittinggi adalah kota
sedang di perbukitan/dataran tinggi, (2) Sawahlunto
merupakan kota kecil peninggalan pertambangan, (3)
Baubau adalah kota kecil dengan 1000 Benteng dan
Pelabuhan tradisional, (4) Yogyakarta merupakan kota
besar pada dataran rendah yang sudah berkembang
pesat, (5) Banjarmasin merupakan kota besar dengan
tipologi kota tepian air (waterfront city), (6) Ternate
merupakan kota pesisir pantai dengan karakter

kepulauan, (7) Malang merupakan kota besar ex-pusat


pemerintahan kolonial, (8) Banda Aceh merupakan
kota sedang dengan pusaka religius yang kental, dan
(9) Ambon merupakan kota sedang dengan karakter
pesisir dan pelabuhan yang kuat.
Keragaman tipologi kota pusaka yang dimiliki
oleh Indonesia membuktikan bahwa potensi
kearifan lokal yang telah mengental dapat menjadi
dasar terwujudnya Kota Pusaka Indonesia, sekaligus
sebagai cikal bakal menuju Kota Pusaka Dunia
(World Heritage City). Bagi kota-kota yang memiliki
peninggalan kebudayaan yang kuat dan telah terjaga
dengan baik diharapkan dapat terus meningkatkan
integrasinya dengan lingkungan binaan perkotaan
agar kota pusaka dapat meningkat kualitasnya secara
simultan, sedangkan untuk kota-kota lainnya perlu
terus didorong untuk meningkatkan pengelolaan
kawasan pusakanya sesuai dengan arahan rencana tata
ruangnya.
Akhirnya, kami berharap buku Kota Pusaka:
Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia benarbenar dapat menjadi media belajar bagi semua pihak
yang menaruh perhatian besar dalam pengelolaan
dan pelestarian Kota Pusaka, sekaligus membangun
motivasi dan inspirasi baruyang menjadi titik tolak
dalam perumusan langkah tindak lanjut yang terukur,
terjangkau, dan lebih sistematis menuju Kota Pusaka
Dunia di tanah air yang berkelanjutan.
Direktur Jenderal Penataan Ruang

Imam S. Ernawi

Kata Pengantar

Sambutan
I Gede Ardika

Ketua Dewan Pimpinan BPPI


Salam lestari!
Buku ringkasan eksekutif Kota Pusaka, Langkah Indonesia
Membuka Mata Dunia merupakan sebuah upaya strategis
untuk mengantarkan para pemangku kepentingan untuk
melaksanakan kegiatan pelestarian aset pusaka di daerahnya
masing-masing serta pengelolaan untuk pemanfaatan
bagi kesejahteraan masyarakatnya, yang pada akhirnya
mengantarkannya untuk mendapatkan pengakuan di tingkat
nasional dan dunia.
Menarik sekali mencermati hasil kajian dari survey dan
pengumpulan data dalam penajaman kriteria kota pusaka dan
penilaian kapasitas manajemen kota pusaka pada beberapa
kota yang telah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum
cq. Direktorat Jenderal Penataan Ruang bersama-sama Badan
Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada akhir tahun 2011.
Kajian yang akhirnya mengerucut pada pendefinisian kota
pusaka Indonesia adalah kota yang memiliki kekentalan
sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik
ragawi dan tak-ragawi serta rajutan berbagai pusaka tersebut
secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian
dari wilayah/kota, yang hidup, berkembang, dan dikelola secara
efektif.
Pemahaman ini berangkat dari kriteria yang terlebih dahulu
disusun oleh UNESCO mengenai kota pusaka dunia. Kota

yang memenuhi deskripsi sebagai kota pusaka dunia


merupakan kota yang penting dan istimewa sehingga
melampaui batas-batas nasional dan memiliki nilai
penting bagi umat manusia di masa kini maupun
mendatang. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa
sebuah perencanaan tata ruang tidak mudah
mengakomodasi kompleksnya aspek sosial budaya dan
bahkan belum sepenuhnya RTRW Kota mendapatkan
perhatian lintas sektoral yang terpadu dalam
implementasi pelestarian dan pengelolaan pusaka di
masing-masing kota. Dengan mempertimbangkan
hal tersebut di atas, Badan Pelestarian Pusaka
Indonesia (BPPI) mendukung sepenuhnya program
dari Kementerian Pekerjaan umum cq. Direktorat
Jenderal Penataan Ruang yang akan memberikan
perhatian kepada Kota Pusaka melalui Program
Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP), guna
mengawal implementasi Undang Undang Penataan
Ruang.

pengelolaan Kota Pusaka dalam kaidah penataan


ruang khususnya, maka sekaligus juga membantu
penyadaran kepedulian dan apresiasi terhadap aset
pusaka dan menghindarkannya dari penghancuran.
Program ini akan mendorong perumusan kebijakankebijakan yang diperlukan untuk mewujudkan
komitmen dan sinergi dukungan lintas sektoral,
pemerintah daerah dan masyarakat setempat, dalam
meningkatkan kualitas ruang serta kualitas hidup
masyarakat dalam aktualisasi Kota Pusaka Indonesia,
atau bahkan dapat dinominasikan sebagai Kota
Pusaka Dunia.

Hal ini menjadikan P3KP strategis di samping


mempersiapkan pelaksanaan pelestarian dan

I Gede Ardika

Nias

Sumber Foto: BPPI

Terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang


telah memberikan masukan sehingga tersusunnya
buku ringkasan eksekutif ini.
Ketua Dewan Pimpinan BPPI

Kata Pengantar

Panorama Candi Borobudur dan Gunung Merapi


Sumber Foto: Suparno, Borobudur, Magelang

Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka

Daftar Isi
Pendahuluan 9
Dasar Kebijakan

17

Kajian Pustaka

43

Studi Profil Kota Pusaka

59

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

95

Kesimpulan dan Rekomendasi

113

Lampiran

121

Daftar Pustaka

144

Tim Penyusun

146

Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka

1 Pendahuluan

Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka

Taman Sari, Yogyakarta

Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI

TANTANGAN KOTA PUSAKA

ada dasarnya Penataan Ruang adalah suatu


alat untuk mengatur alokasi ruang, manusia,
dan kegiatannya. Ruang tidak hanya berisi
benda-benda mati seperti rumah, pasar, kantor,
industri, jalan, jembatan, saluran, taman dll.
Ruang berisi manusia dan kegiatan didalamnya
yang meliputi seluruh upayanya memelihara dan
meningkatkan kualitas kehidupannya.
Ruang harus memungkinkan manusia untuk
hidup dan meningkatkan kualitas kehidupannya,
mencari
nafkah,
membina
keluarganya,
mengembangkan masyarakat yang harmonis,
mengembangkan kepribadian dan jatidirinya.
Ruang kota/desa mencerminkan kepribadian dan
jatidiri masyarakatnya, dan sebaliknya, ruang kota
juga dapat membentuk kepribadian dan jatidiri
warganya.
Ruang kota/desa perlu dibangun dan
dipelihara menyesuaikan pada karakter, sejarah,
dan budaya warganya, agar terbangun sambung
rasa serta keharmonisan yang membahagiakan.
Kota yang harmonis dan berkarakter tidak hanya
membahagiakan warganya, tetapi juga dinikmati
oleh semua pengunjung dan pendatang karena
mereka dapat menemukan kejelasan alur yang
dianut.
Sayang sekali nilai-nilai kehidupan, faktor
estetika, etika, jiwa, serta harmoni dalam penataan
ruang sering dilupakan dan diabaikan. Yang lebih
mendapat perhatian adalah perhitungan fisik,
kekuatan, dan efisiensi yang lebih terukur. Karakter
dan jatidiri ruang kurang digarap dengan sungguhsungguh, padahal ruang itu mencerminkan dan
juga membentuk karakter manusianya.

10

Kota Pusaka

Peninggalan sejarah berupa ruang, bangunan,


kehidupan, tradisi dan sejarah dari masa lalu
mengandung banyak pelajaran, inspirasi yang
dapat dimanfaatkan kedepan. Peninggalan itu
juga mengandung banyak collective memory yang
menyatukan kita, yang memberi suasana akrab,
kenangan lama dan semangat bersama untuk
membangun dan memelihara.
Peninggalan lama itu merupakan bukti sejarah
yang dapat langsung dilihat, dirasakan, dan
dinikmati, yang membantu generasi berikutnya
untuk memahami pengalaman dan perjuangan
generasi sebelumnya dalam menjawab tantangan
zamannya. Begitu banyak pelajaran yang dapat
diserap, yang sayangnya sering diabaikan dan tidak
dimanfaatkan.
Suatu kota tanpa ingatan ke belakang, tanpa
collective memory, tanpa kesadaran sejarah adalah
seperti orang hilang ingatan, orang yang tidak
punya referensi, tidak tahu dari mana mau
kemana. Sebaliknya suatu kota yang punya banyak
peninggalan dan referensi akan berdiri mantab,
percaya diri, dan dapat dengan mudah dikenali,
diapresiasi, dan dicintai.
Kawasan lama atau kawasan bersejarah suatu
kota atau desa perlu dilestarikan. Penataan Ruang
harus dapat melindungi kekayaan sejarah itu, yang
merupakan aset tak tergantikan yang tak ternilai.
Keseluruhan kota atau desa harus merupakan
kesatuan yang harmonis yang mencerminkan
kepribadian dan jatidirinya.
Ini tidak berarti bahwa kota atau desa itu tidak
boleh berubah dan berkembang. Pelestarian adalah
perubahan yang terkendali. Ia adalah bagian dari

Kawasan Pusaka yang Diharapkan dapat Dikelola dengan Baik


Sumber Foto: CHC - BPPI

Pendahuluan

11

perubahan menanggapi tantangan zamannya, tanpa


kehilangan aset dan nilai yang berharga yang harus
dilestarikan. Bagaimana membuat pertahanan
dalam perubahan itu adalah seni tata ruang yang
harus dikembangkan.
Orang yang sadar dan berkepribadian tidak akan
mau larut begitu saya dalam perubahan masal. Ia
akan bertahan menjaga agar karakternya tetap eksis
dalam perubahan yang melanda dunia. Suatu kota
atau desa yang berkarakter harus menjaga agar
karakter yang berasal dari sejarah dan budayanya
dapat terus lestari ditengah perubahan masal itu.
Kelestarian ini yang membuat suatu kota
tampil jelas ditengah keseragaman yang mewabah.
Konsistensi ini yang membuat suatu kota atau desa
dihormati dan dihargai, yang membuat warganya
nyaman dan tenteram di dalam harmoni ruangnya,
dan membuat tamu dan pendatang menikmati
suguhan yang berkualitas dan punya karakter.
Indonesia terkenal dengan sejarah dan
budayanya. Kota dan desa di Indonesia banyak yang
mempunyai cirri khas yang merupakan cerminan
dari budaya warganya yang tidak terdapat di daerah
atau di negara lain. Kekayaan lingkungan yang
berbasis budaya ini tidak boleh dibiarkan rusak dan
hilang. Ia harus tetap dipelihara untuk disampaikan
kepada generasi selanjutnya, dan merupakan
sumbangan bagi dunia.

KOTA PUSAKA INDONESIA


MENJAWAB TANTANGAN
Tak disangkal bahwa wilayah Indonesia yang luas
ini merupakan kekayaan akumulasi kota atau
kawasan bersejarah. Penelitian Werner Rutz tahun

12

Kota Pusaka

1987 menyebutkan bahwa kota-kota besar dan


kecil yang ada di Indonesia memiliki akar sejarah
yang dihasilkan dari berbagai situasi dan pengaruh
budaya serta kehadiran penguasa yang berbeda. Ini
dipertegas dengan berbagai studi tentang bentuk
kota (urban morphology) di Indonesia yang banyak
difokuskan pada pembangunan perkotaan dan
kadang dalam konteks konservasi kota. Objek
studi adalah kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta
(Santoso 2011) Bandung (Siregar 1990), Semarang
(Widodo 1988; Zahnd 2008), Lasem (Pratiwo
2010) dan Yogyakarta (Ikaputra 1993; Adishakti
1997, Zahnd 2008) atau di Sumatera, seperti
Padang (Alvarez 2002) dan Bukittingi (Wongso
2001). Belum lagi berbagai penelitian tentang
lansekap atau budaya setempat.
Sebagai contoh, dalam penelitiannya terhadap
morfologi kota Yogyakarta, Adishakti (1997)
menyimpulkan pusaka ruang perkotaan (urban
space heritage). Setting ruang di dalam bentuk
tatanan obyek-obyek di suatu lingkungan
sesungguhnya merupakan suatu keunikan, yang
berbeda dengan lingkungan yang lain. Elemen dari
tiap obyek tersebut seperti fasad bangunan maupun
teduh dan rimbunnya pepohonan saling terkait
dalam menciptakan pelingkup atau ruang tertentu.
Hal inilah yang dirasakan siapapun yang berada di
ruang tersebut dan mendorong adanya kegiatan
yang spesifik pula di ruang tersebut.
Hal tersebut menjelaskan komponen apa saja
yang merupakan potensi sebuah kota pusaka.
Bangunan bersejarah, kerajinan serta kesenian
bersanding harmonis dengan pohon dan satwa
setempat dalam bentang geografisnya. Surakarta
adalah contoh kota yang telah mengupayakan
pemanfaatan potensinya dipandu slogan Solo Past is
Solo Future. Ngarsapura sebagai kawasan kerajinan

Kawasan Wisata Batik Kauman Solo


Sumber Foto: CHC - BPPI

Pendahuluan

13

dan Galebo sebagai kawasan kuliner menunjukkan


peran pemerintah untuk memperkuat potensi lokal
yang ada, bukan sekadar memasukkan elemen kota
baru seperti mall atau night park. Saat bersamaan,
kawasan kerajinan batik yang merupakan bukti
hadirnya wirausahawan setempat pun menggeliat
dan menghidupkan kawasan lama, yaitu Kawasan
Kauman dan Laweyan.
Begitu pula dengan kota tambang Sawahlunto
yang kembali bergairah sebagai kota wisata budaya.
Penting pula menyebut Kota Yogyakarta yang
bangkit setelah gempa tahun 2006 dengan tetap
mengusung jati diri sebagai kota budaya serta Kota
Surabaya yang pelan-pelan menempatkan diri
sebagai kota metropolitan yang mengedepankan
kelestarian budaya serta alamnya. Pengalaman
mereka menunjukkan adanya upaya inovatif, seperti
mengikutkan aspek ekonomi. Bukankah ekonomi
tidak harus bertentangan dengan pelestarian.
Kota-kota yang telah disebutkan tadi berbagi
cerita adanya kepemimpinan serta visi yang baik.
Dalam jangka panjang, harus dapat dipastikan
hal yang baik dalam satu atau dua periode kepala
daerah menjadi satu rangkaian peristiwa menuju
perubahan yang terbaik. Di sinilah perencanaan
memegang peranan yang penting. Tentunya
bukan sekadar perencanan yang baik di atas kertas,
tetapi yang akan direalisasikan dengan dukungan
warga daerahnya. Sanggahan adalah kekayaan dan
dukungan adalah modal. Semata-mata, karena
perencanaan tersebut merupakan wujud dari citacita bersama.
Di seluruh dunia, sejak tahun 1970an
telah ada sekitar 200 kota yang dinobatkan sebagai
pusaka dunia. Negara tetangga di ASEAN seperti
Malaysia, Vietnam dan Filipina telah memiliki
kota pusaka dunianya. Menjadi pusaka dunia

14

Kota Pusaka

tentunya bukan sekadar gelar kebanggaan, tetapi


juga komitmen untuk mengelola pusaka secara
berkelanjutan yang antara lain diwujudkan melalui
perencanaan tata ruangnya. Mengelola berarti
pula dapat memanfaatkannya untuk kesejahteraan
warga.
Di Indonesia, sekitar 48 kota telah menghimpun
diri dalam sebuah organisasi bernama Jaringan Kota
Pusaka Indonesia (JKPI). Komitmen telah dibangun
untuk melestarikan pusaka alam dan budaya bangsa
melalui pengelolaan kota. Untuk kota-kota inilah,
dukungan wajib diberikan.
ISI BUKU
Buku ini berfokus pada kajian tentang pelestarian
dan pengelolaan kota pusaka, yang dapat menjadi
acuan bagi penyusunan panduan pelaksanaan
Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka
(P3KP). Kajian ini bersifat deskriptif, untuk
memberi gambaran konsep kota pusaka yang ada,
baik menurut piagam atau konvensi yang telah
disusun oleh badan dunia UNESCO dan institusi
mitranya maupun secara teoritis menurut berbagai
buku teks.
Selanjutnya, gambaran mengenai kota pusaka
Indonesia serta tata kelolanya, yaitu aspek-aspek
yang melekat dalam suatu sistem pengelolaan yang
utuh. Kota yang dikaji dipilih dari anggota JKPI,
yang mewakili karakteristik seperti sejarah atau
geografisnya
Tersusunnya naskah kajian tentang Pelestarian
dan Pengelolaan Kota Pusaka ini diharapkan
dapat menjadi acuan bagi penyusunan panduan
pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian
Kota Pusaka (P3KP).
Susunan buku ini terdiri dari Bab 1, yaitu
Pendahuluan yang berisi latar belakang, maksud dan

tujuan kajian ini serta metodologi yang digunakan.


Disusul Bab 2 dan Bab 3 tentang Tinjauan
Kebijakan dan Pustaka yang terkait pengelolaan
kota pusaka. Bagian ini berisi kebijakan yang terkait
perlindungan dan pengembangan pusaka kota,
baik pada lingkup nasional maupun internasional
dan definisi tentang kota pusaka dunia menurut
UNESCO, serta operasionalisasinya.
Pada Bab 4 dapat dilihat Gambaran Kota Pusaka
Indonesia. Isi adalah hasil pengamatan atas 9 kota
dari anggota JKPI, yang memiliki karakter pusaka
yang kuat dan pengalaman dalam mengelola

pusakanya. Bab 5 berisi Pembahasan, yakni aksiaksi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan
pengelolaan kota pusaka yang baik. Disebutkan
pula praktik yang telah terjadi pada 9 kota yang
diamati.
Pada bagian akhir, berisi kesimpulan serta
rekomendasi untuk memperkuat pengelolaan kotakota pusaka melalui suatu program lintas sektoral
yang sistematis. Program ini (direncanakan P3KP)
dalam jangka panjang bertujuan untuk mencapai
Kota Pusaka Indonesia bahkan Kota Pusaka Dunia.

Bangunan Bekas Penjara, Bukittinggi


Sumber Foto: BPPI

Pendahuluan

15

Jam Gadang, Bukit Tinggi


Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI

2 Dasar Kebijakan
Kebanyakan kota di Indonesia merupakan kota
bersejarah (historic city) yang usianya telah ratusan
tahun (Lihat Lampiran 3). Dilihat dari aspek
lain, kota di Indonesia memiliki keunikan, seperti
keunikan geografis maupun sosial-budayanya.
Berbagai peninggalan tersebut telah dikenali
kualitasnya dan dianggap sebagai aset. Untuk
itu dilakukan upaya untuk perlindungan dan
pengembangan lebih lanjut yang dipandu dengan
kebijakan berikut:

2.1. UNDANG-UNDANG RI NO.


26 TAHUN 2007 TENTANG
PENATAAN RUANG
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang
merupakan pembaruan UU No. 24/1992 tentang
Penataan Ruang.
1) Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1
5. Penataan ruang adalah suatu sistem
proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah

kegiatan yang meliputi pengaturan,


pembinaan,
pelaksanaan,
dan
pengawasan penataan ruang.
11.
Pelaksanaan penataan ruang adalah
upaya pencapaian tujuan penataan
ruang melalui pelaksanaan perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
12.
Pengawasan
penataan
ruang
adalah upaya agar penyelenggaraan
penataan ruang dapat diwujudkan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu
proses untuk menentukan struktur
ruang dan pola ruang yang meliputi
penyusunan dan penetapan rencana
tata ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang
melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya.
15.
Pengendalian pemanfaatan ruang
adalah upaya untuk mewujudkan tertib
tata ruang.

Dasar Kebijakan

17

21.
Kawasan lindung adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan.
22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
28.
Kawasan strategis nasional adalah
wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional
terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan keamanan negara, ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai
warisan dunia.
29.
Kawasan strategis provinsi adalah
wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup
provinsi terhadap ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan.
30.
Kawasan strategis kabupaten/kota
adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
2) Bab III Klasifikasi Penataan Ruang
Pasal 5
(5) Penataan ruang berdasarkan nilai
strategis kawasan terdiri atas penataan
ruang kawasan strategis nasional,

18

Kota Pusaka

penataan ruang kawasan strategis


provinsi, dan penataan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota.
Pasal 6
(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan:
a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang rentan
terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan sumber daya buatan;
kondisi ekonomi, sosial, budaya,
politik, hukum, pertahanan keamanan,
lingkungan
hidup,
serta
ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai satu
kesatuan.
3) Bab IV Tugas dan Wewenang
Pasal 7
(1)
Negara menyelenggarakan penataan
ruang untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
(2)
Dalam
melaksanakan
tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), negara memberikan kewenangan
penyelenggaraan
penataan
ruang
kepada Pemerintah dan pemerintah
daerah
4) Bab VIII Hak, Kewajiban, dan Peran
Maysarakat
Pasal 65
(1)
Penyelenggaraan
penataan
ruang
dilakukan oleh pemerintah dengan
melibatkan peran masyarakat.
(2)
Peran masyarakat dalam penataan
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan, antara lain, melalui:


a. partisipasi dalam penyusunan rencana
tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang;
dan
c. partisipasi dalam pengendalian
pemanfaatan ruang.

2.2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 28
TAHUN 2002 TENTANG
BANGUNAN GEDUNG
1) Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1
1. Bangunan Gedung, Bangunan gedung
dapat diartikan sebagai wujud fisik hasil
pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan
tempat
kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air,
yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk
hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya, maupun kegiatan
khusus.
2) Bab III Fungsi Bangunan Gedung, Pasal 5;
1. Fungsi bangunan gedung meliputi
fungsi hunian, keagamaan, usaha,
sosial dan budaya, serta fungsi khusus.
3) Bab IV Persyaratan Bangunan Gedung,
Bagian Ketiga Persyaratan Tata Bangunan,
Paragraf 3 Persyaratan Arsitektur Bangunan
Gedung, Pasal 14;

1. Persyaratan arsitektur bangunan gedung


meliputi persyaratan penampilan
bangunan gedung, tata ruang dalam,
keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan bangunan gedung dengan
lingkungannya, serta pertimbangan
adanya keseimbangan antara nilai-nilai
sosial budaya setempat terhadap
penerapan
berbagai
perkembangan
arsitektur dan rekayasa.
2. Persyaratan penampilan bangunan
gedung harus memperhatikan bentuk dan

2.3. UNDANG-UNDANG RI NO. 11


TAHUN 2010 TENTANG CAGAR
BUDAYA
UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya merupakan
pembaruan UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar
Budaya.
1) Bab I Ketentuan Umum
1. Cagar Budaya adalah warisan budaya
bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya
di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.
2. Benda Cagar Budaya adalah benda
alam dan/atau benda buatan manusia,
baik bergerak maupun tidak bergerak,

Dasar Kebijakan

19

berupa kesatuan atau kelompok, atau


bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya
yang memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan
manusia.
3.
Bangunan Cagar Budaya adalah
susunan binaan yang terbuat dari
benda alam atau benda buatan manusia
untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding,
dan beratap.
4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan
binaan yang terbuat dari benda alam
dan/atau benda buatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan ruang kegiatan
yang menyatu dengan alam, sarana,
dan prasarana untuk menampung
kebutuhan manusia.
5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang
berada di darat dan/atau di air yang
mengandung Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, dan/atau
Struktur Cagar Budaya sebagai hasil
kegiatan manusia atau bukti kejadian
pada masa lalu.
6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan
ruang geografis yang memiliki dua situs
cagar budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan dan/atau memperlihatkan
ciri tata ruang yang khas.
21. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk
melindungi, mengembangkan, dan
memanfaatkan Cagar Budaya melalui
kebijakan pengaturan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
22. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk

20

Kota Pusaka

mempertahankan keberadaan Cagar


Budaya dan nilainya dengan cara
melindungi, mengembangkan, dan
memanfaatkannya.
2) Bab III Kriteria Cagar Budaya
Pasal 5
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan
sebagai Benda Cagar Budaya
Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar
Budaya apabila memenuhi kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau
lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat
berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/
atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan
kepribadian bangsa.
Pasal 10
Satuan ruang geografis dapat ditetapkan
sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila:
a. mengandung dua Situs Cagar Budaya
atau lebih yang letaknya berdekatan;
b. berupa lanskap budaya hasil bentukan
manusia berusia sedikitnya 50 tahun;
c. memiliki pola yang memperlihatkan
fungsi ruang pada masa lalu berusia
sedikitnya 50 tahun;
d. memperlihatkan pengaruh manusia
masa lalu pada proses pemanfaatan
ruang berskala luas;
e. memperlihatkan bukti pembentukan
lanskap budaya; dan

f. memiliki lapisan tanah terbenam yang


mengandung bukti kegiatan manusia
atau endapan fosil.
3) Bab VIII Tugas dan Wewenang
Pasal 95
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah mempunyai tugas melakukan
Pelindungan, Pengembangan, dan
Pemanfaatan Cagar Budaya.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
sesuai dengan tingkatannya pemerintah
dan/atau pemerintah daerah memiliki
tugas,
a. mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan, serta
meningkatkan kesadaran dan
tanggung jawab akan hak dan
kewajiban masyarakat dalam
pengelolaan Cagar Budaya;
b. mengembangkan dan
menerapkan kebijakan yang dapat
menjamin terlindunginya dan
termanfaatkannya Cagar Budaya;
c. menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan Cagar Budaya;
d. menyediakan informasi Cagar
Budaya untuk masyarakat;
e. menyelenggarakan promosi Cagar
Budaya;
f. memfasilitasi setiap orang dalam
melaksanakan pemanfaatan dan
promosi Cagar Budaya;
g. menyelenggarakan penanggulangan
bencana dalam keadaan darurat
untuk benda, bangunan, struktur,
situs, dan kawasan yang telah

dinyatakan sebagai Cagar Budaya


serta memberikan dukungan
terhadap daerah yang mengalami
bencana
h. melakukan pengawasan,
pemantauan, dan evaluasi terhadap
pelestarian warisan budaya; dan
i. mengalokasikan dana bagi
kepentingan pelestarian Cagar
Budaya.
Pasal 97:
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
memfasilitasi pengelolaan KCB.
(2) Pengelolaan kawasan dilakukan tidak
bertentangan dengan kepentingan
masyarakat terhadap Cagar Budaya dan
kehidupan sosial.
(3) Pengelolaan KCB dilakukan oleh
badan pengelola yang dibentuk oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/
atau masyarakat hukum adat.
(4) Badan Pengelola dapat terdiri atas
unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.

2.4. PP RI NO. 26 TAHUN 2008


TENTANG RENCANA TATA
RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 1
Dalam Peraturan
dimaksud dengan:

Pemerintah

ini

Dasar Kebijakan

yang

21

Panorama Candi Borobudur dan Gunung Merapi


Sumber Foto: Suparno, Borobudur, Magelang

Macam-macam Kerajinan
Sumber Foto: BPPI

(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional


yang selanjutnya disebut RTRWN adalah
arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan
ruang wilayah negara.

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup


sumber daya alam dan sumber daya buatan.

(2) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang


darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya.

(17) Kawasan strategis nasional adalah wilayah


yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting
secara nasional terhadap kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.

(3) Tata ruang adalah wujud struktur ruang


dan pola ruang.
(4) Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
(5) Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan
tata ruang.
(6) Wilayah adalah ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau
aspek fungsional.
(7) Wilayah nasional adalah seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(8) Kawasan adalah wilayah yang memiliki
fungsi utama lindung atau budi daya.
(9) Kawasan lindung adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi

24

Kota Pusaka

Pasal 1

(27) Peraturan zonasi adalah ketentuan yang


mengatur tentang persyaratan pemanfaatan
ruang dan ketentuan pengendaliannya dan
disusun untuk setiap blok/zona peruntukan
yang penetapan zonanya dalam rencana rinci
tata ruang.
(28) Pemerintah pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(29) Menteri adalah menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang penataan ruang.
(30) Pemerintah daerah adalah Gubernur,
Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
(31) Daerah otonom, selanjutnya disebut
daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat


setempat

a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian


fungsi lingkungan hidup; dan

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi


masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

b.
pencegahan dampak negatif kegiatan
manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 3

(2) Strategi untuk pemeliharaan dan


perwujudan kelestarian fungsi lingkungan
hidup meliputi:
a. menetapkan kawasan lindung di ruang
darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi;
b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung
dalam satu wilayah pulau dengan luas
paling sedikit 30% (tiga puluhpersen) dari
luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi
ekosistemnya; dan
c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi
kawasan lindung yang telah menurun
akibat pengembangan kegiatan budi
daya, dalam rangka mewujudkan dan
memelihara keseimbangan ekosistem
wilayah.

RTRWN menjadi pedoman untuk:


a. penyusunan rencana pembangunan jangka
panjang nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan perkembangan antarwilayah
provinsi, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis nasional;
dan
g. penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.
Pasal 4
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah
nasional meliputi kebijakan dan strategi
pengembangan struktur ruang dan pola ruang.
Pasal 7
(1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
meliputi:

(3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif


kegiatan manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup meliputi:
a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup;
b. melindungi kemampuan lingkungan
hidup dari tekanan perubahan dan/
atau dampak negatif yang ditimbulkan
oleh suatu kegiatan agar tetap mampu
mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya;

Dasar Kebijakan

25

c. melindungi kemampuan lingkungan hidup


untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang dibuang kedalamnya;
d. mencegah terjadinya tindakan yang
dapat secara langsung atau tidak
langsung menimbulkan perubahan sifat
fisik lingkungan yang mengakibatkan
lingkungan hidup tidak berfungsi
dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan;
e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya
alam secara bijaksana untuk menjamin
kepentingan generasi masa kini dan
generasi masa depan;
f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan
untuk
menjamin
pemanfaatannya
secara bijaksana dan sumber daya alam
yang terbarukan untuk menjamin
kesinambungan ketersediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai serta keanekaragamannya;
dan
g. mengembangkan kegiatan budidaya yang
mempunyai daya adaptasi bencana di
kawasan rawan bencana.
Pasal 9
(1) Kebijakan pengembangan kawasan strategis
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c meliputi:
a. pelestarian dan peningkatan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup untuk
mempertahankan dan meningkatkan

26

Kota Pusaka

keseimbangan ekosistem, melestarikan


keanekaragaman hayati, mempertahankan
dan meningkatkan fungsi perlindungan
kawasan, melestarikankeunikan bentang
alam, dan melestarikan warisan budaya
nasional;
b.
peningkatan fungsi kawasan untuk
pertahanan dan keamanan negara;
c.
pengembangan
dan
peningkatan
fungsi kawasan dalam pengembangan
perekonomian nasional yang produktif,
efisien, dan mampu bersaing dalam
perekonomian internasional;
d. pemanfaatan sumber daya alam dan/atau
teknologi tinggi secara optimal untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
e. pelestarian dan peningkatan sosial dan
budaya bangsa;
f. pelestarian dan peningkatan nilai kawasan
lindung yang ditetapkan sebagai warisan
dunia, cagar biosfer, dan ramsar; dan
g.
pengembangan
kawasan
tertinggal
untuk mengurangi kesenjangan tingkat
perkembangan antarkawasan.
(2) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan
fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
meliputi:
a. menetapkan kawasan strategis nasional
berfungsi lindung;
b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan
strategis nasional yang berpotensi
mengurangi fungsi lindung kawasan;
c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar
kawasan strategis nasional yang berpotensi
mengurangi fungsi lindung kawasan;

d. membatasi pengembangan prasarana dan


sarana di dalam dan di sekitar kawasan
strategis nasional yang dapat memicu
perkembangan kegiatan budi daya;
e. mengembangkan kegiatan budi daya tidak
terbangun di sekitar kawasan strategis
nasional yang berfungsi sebagai zona
penyangga yang memisahkan kawasan
lindung dengan kawasan budi daya
terbangun; dan
f. merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang
menurun akibat dampak pemanfaatan
ruang yang berkembang di dalam dan di
sekitar kawasan strategis nasional.
(3) Strategi untuk peningkatan fungsi kawasan
untuk pertahanan dan keamanan negara
meliputi:
a. menetapkan kawasan strategis nasional
dengan fungsi khusus pertahanan dan
keamanan;
b. mengembangkan kegiatan budi daya secara
selektif di dalam dan di sekitar kawasan
strategis nasional untuk menjaga fungsi
pertahanan dan keamanan; dan
c. mengembangkan kawasan lindung dan/
atau kawasan budi daya tidak terbangun
di sekitar kawasan strategis nasional
sebagai zona penyangga yang memisahkan
kawasan strategis nasional dengan kawasan
budi daya terbangun.
(4) Strategi untuk pengembangan dan
peningkatan
fungsi
kawasan
dalam
pengembangan
perekonomian
nasional
meliputi:

a.
mengembangkan pusat pertumbuhan
berbasis potensi sumber daya alam dan
kegiatan budi daya unggulan sebagai
penggerak utama pengembangan wilayah;
b. menciptakan iklim investasi yang kondusif;
c. mengelola pemanfaatan sumber daya alam
agar tidak melampaui daya dukung dan
daya tampung kawasan;
d. mengelola dampak negatif kegiatan budi
daya agar tidak menurunkan kualitas
lingkungan hidup dan efisiensi kawasan;
e. mengintensifkan promosi peluang investasi;
dan
f. meningkatkan pelayanan prasarana dan
sarana penunjang kegiatan ekonomi.
(5) Strategi untuk pemanfaatan sumber daya
alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal
meliputi:
a. mengembangkan kegiatan penunjang dan/
atau kegiatan turunan dari pemanfaatan
sumber daya dan/atau teknologi tinggi;
b.
meningkatkan
keterkaitan
kegiatan
pemanfaatan sumber daya dan/atau
teknologi tinggi dengan kegiatan
penunjang dan/atau turunannya; dan
c. mencegah dampak negatif pemanfaatan
sumber daya alam dan/atau teknologi
tinggi terhadap fungsi lingkungan hidup,
dan keselamatan masyarakat.
(6) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan
sosial dan budaya bangsa meliputi:
a. meningkatkan kecintaan masyarakat akan
nilai budaya yang mencerminkan jati diri
bangsa yang berbudi luhur;

Dasar Kebijakan

27

Pemandangan kota tua di Padang


28
Kota Pusaka
Sumber
Foto: BPPI

b. mengembangkan penerapan nilai budaya


bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan
c. melestarikan situs warisan budaya bangsa.
(7) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan
nilai kawasan yang ditetapkan sebagai warisan
dunia meliputi:
a.
melestarikan
keaslian
fisik
serta
mempertahankan
keseimbangan
ekosistemnya;
b. meningkatkan kepariwisataan nasional;
c. mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan
d. melestarikan keberlanjutan lingkungan
hidup.

(8) Strategi untuk pengembangan kawasan


tertinggal meliputi:
a. memanfaatkan sumber daya alam secara
optimal danberkelanjutan;
b.
membuka akses dan meningkatkan
aksesibilitas antara kawasan tertinggal dan
pusat pertumbuhan wilayah;
c. mengembangkan prasarana dan sarana
penunjang kegiatan ekonomi masyarakat;
d. meningkatkan akses masyarakat ke sumber
pembiayaan; dan
e.
meningkatkan kualitas dan kapasitas
sumber daya manusia dalam pengelolaan
kegiatan ekonomi.
Dalam PP ini juga membahas secara rinci
tentang Kawasan Lindung Nasional mulai dari
pasal 51-62.

2.5. PP RI NO. 15 TAHUN


2010 TENTANG
PENYELENGGARAAN
PENATAAN RUANG
2.5.1. Bab II Pengaturan Penataan Ruang
Pasal 4
(1)
Pengaturan penataan ruang oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 meliputi penyusunan dan
penetapan:
b. rencana tata ruang pulau/kepulauan
dan rencana tata ruang kawasan
strategis nasional yang ditetapkan
dengan peraturan presiden;

Dasar Kebijakan

29

(2)
Pengaturan penataan ruang oleh
pemerintah
daerah
provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
meliputi penyusunan dan penetapan:
a. rencana tata ruang wilayah provinsi,
rencana tata ruang kawasan
strategis provinsi, dan arahan
peraturan zonasi sistem provinsi
yang ditetapkan dengan peraturan
daerah provinsi; dan
b.
ketentuan
tentang
perizinan,
penetapan bentuk dan besaran
insentif dan disinsentif, sanksi
administratif,
serta
petunjuk
pelaksanaan pedoman bidang
penataan ruang yang ditetapkan
dengan peraturan gubernur.
(3)
Pengaturan penataan ruang oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
meliputi penyusunan dan penetapan:
a.
rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota, rencana tata ruang
kawasan strategis kabupaten/kota,
rencana detail tata ruang kabupaten/
kota termasuk peraturan zonasi
yang ditetapkan dengan peraturan
daerah kabupaten/kota; dan
b. ketentuan tentang perizinan, bentuk
dan besaran insentif dan disinsentif,
serta sanksi administratif, yang
ditetapkan
dengan
peraturan
bupati/walikota.

30

Kota Pusaka

Pasal 5
(1)
Selain penyusunan dan penetapan
peraturan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah
daerah
kabupaten/kota
dapat
menetapkan peraturan lain di bidang
penataan ruang sesuai kewenangan
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
dan pemerintah daerah kabupaten/kota
mendorong peran masyarakat dalam
penyusunan dan penetapan standar dan
kriteria teknis sebagai operasionalisasi
peraturan perundang-undangan dan
pedoman penataan ruang.
2.5.2. Bab IV Pelaksanaan Perencanaan
Tata Ruang
Pasal 19
(1) Pelaksanaan perencanaan tata ruang
meliputi prosedur penyusunan rencana
tata ruang dan prosedur penetapan
rencana tata ruang.
(2) Pelaksanaan perencanaan tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. prosedur penyusunan dan penetapan
rencana umum tata ruang; dan
b. prosedur penyusunan dan
penetapan rencana rinci tata ruang.

Pasal 20
Prosedur penyusunan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) meliputi:
a. proses penyusunan rencana tata
ruang;
b. pelibatan peran masyarakat dalam
perumusan konsepsi rencana tata
ruang;
c. pembahasan rancangan rencana tata
ruang oleh pemangku kepentingan.
Pasal 21
(1) Proses penyusunan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
huruf a dilakukan melalui tahapan:
a. persiapan penyusunan rencana tata
ruang;
b. pengumpulan data;
c. pengolahan dan analisis data;
d. perumusan konsepsi rencana tata
ruang; dan
e. penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan tentang
rencana tata ruang.
(2) Proses penyusunan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menghasilkan dokumen rancangan
rencana tata ruang dalam bentuk
rancangan peraturan perundangundangan tentang rencana tata ruang
beserta lampirannya.
Pasal 45
Penataan ruang kawasan strategis dilakukan
untuk mengembangkan, melestarikan,

melindungi dan/atau mengoordinasikan


keterpaduan pembangunan nilai strategis
kawasan dalam mendukung penataan ruang
wilayah.
Pasal 46
Kawasan strategis terdiri atas kawasan yang
mempunyai nilai strategis yang meliputi:
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan
pertahanan dan keamanan;
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan
pertumbuhan ekonomi;
c. kawasan strategis dari sudut kepentingan
sosial dan budaya;
d. kawasan strategis dari sudut kepentingan
pendayagunaan sumber daya alam dan/
atau teknologi tinggi; dan
e. kawasan strategis dari sudut kepentingan
fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup.
Pasal 49
Kriteria kawasan strategis dari sudut
kepentingan sosial dan budaya merupakan:
a. tempat pelestarian dan pengembangan
adat istiadat atau budaya;
b. prioritas peningkatan kualitas sosial dan
budaya;
c.
aset yang harus dilindungi dan
dilestarikan;
d.
tempat perlindungan peninggalan
budaya;
e. tempat yang memberikan perlindungan
terhadap keanekaragaman budaya;
f.
tempat yang memiliki potensi
kerawanan terhadap konflik sosial.

Dasar Kebijakan

31

Pasal 51
Kriteria kawasan strategis dari sudut
kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup meliputi:
a. tempat perlindungan keanekaragaman
hayati;
b. kawasan lindung yang ditetapkan bagi
perlindungan ekosistem, flora, dan/
atau fauna yang hampir punah atau
diperkirakan akan punah yang harus
dilindungi dan/atau dilestarikan;
c.
kawasan
yang
memberikan
perlindungan
keseimbangan
tata
guna air yang setiap tahun berpeluang
menimbulkan kerugian;
d.
kawasan
yang
memberikan
perlindungan terhadap keseimbangan
iklim makro;
e. kawasan yang menuntut prioritas tinggi
peningkatan kualitas lingkungan hidup;
f. kawasan rawan bencana alam; atau
g. kawasan yang sangat menentukan dalam
perubahan rona alam dan mempunyai
dampak luas terhadap kelangsungan
kehidupan.
Pasal 52
(1) Kriteria nilai strategis untuk kawasan
strategis nasional, kawasan strategis
provinsi, kawasan strategis kabupaten/
kota ditentukan berdasarkan aspek
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
dalam penanganan kawasan.
(2)
Kawasan strategis nasional dapat
ditetapkan sebagai kawasan strategis
provinsi dan/atau kawasan strategis
kabupaten/kota.
32

Kota Pusaka

(3)
Kawasan strategis provinsi dapat
ditetapkan sebagai kawasan strategis
kabupaten/kota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
kriteria nilai strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.

2.5.3. Bab V Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang


Pasal 94
(1)
Pelaksanaan
pemanfaatan
ruang
merupakan pelaksanaan pembangunan
sektoral dan pengembangan wilayah,
baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah maupun oleh
masyarakat, harus mengacu pada
rencana tata ruang.
(2)
Pelaksanaan
pemanfaatan
ruang
dilakukan melalui:
a.
penyusunan
dan
sinkronisasi
program pemanfaatan ruang;
b. pembiayaan program pemanfaatan
ruang; dan
c. pelaksanaan program pemanfaatan
ruang.
Pasal 123
(1)
Penyusunan program pemanfaatan
ruang kawasan strategis nasional
menghasilkan program pengembangan
kawasan strategis nasional.
(2)
Program pengembangan kawasan
strategis nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan bagian dari

rencana pembangunan jangka panjang


nasional, rencana pembangunan jangka
menengah nasional, dan rencana kerja
tahunan Pemerintah.
Pasal 127
(1)
Penyusunan program pemanfaatan
ruang kawasan strategis provinsi
menghasilkan program pengembangan
kawasan strategis provinsi.
(2)
Program pengembangan kawasan
strategis provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan bagian dari
rencana pembangunan jangka panjang
provinsi, rencana pembangunan jangka
menengah provinsi, dan rencana kerja
tahunan pemerintah daerah provinsi.
Pasal 131
(1)
Penyusunan program pemanfaatan
ruang kawasan strategis kabupaten
menghasilkan program pengembangan
kawasan strategis kabupaten.
(2)
Program pengembangan kawasan
strategis
kabupaten
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian dari rencana pembangunan
jangka panjang kabupaten, rencana
pembangunan
jangka
menengah
kabupaten, dan rencana kerja tahunan
pemerintah daerah kabupaten.
Pasal 135
(1)
Penyusunan program pemanfaatan
ruang
kawasan
strategis
kota
menghasilkan program pengembangan
kawasan strategis kota.

Jalan Braga Bandung


Sumber Foto: BPPI

(2)
Program pengembangan kawasan
strategis kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan bagian dari
rencana pembangunan jangka panjang
daerah kota, rencana pembangunan
jangka menengah daerah kota, dan
rencana kerja tahunan pemerintah
daerah kota.

2.5.4. Bab VI Pelaksanaan Pengendalian


Pemanfaatan Ruang
Pasal 148
Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. pengaturan zonasi;
b. perizinan;
c. pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. pengenaan sanksi.

Dasar Kebijakan

33

2.6. PERMEN PU NO. 16/PRT/M/2009


TENTANG PEDOMAN
PENYUSUNAN RENCANA
TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN DAN PERMEN PU
NO. 17/PRT/M/2009 TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KOTA
Muatan RTRW Kab/Kota
RTRW kab/kota memuat tujuan, kebijakan, dan
strategi penataan ruang wilayah kab/kota (penataan
kota); rencana struktur ruang wilayah kab/kota;
rencana pola ruang wilayah kab/kota; penetapan
kawasan strategis kab/kota; arahan pemanfaatan
ruang wilayah kab/kota; dan ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kab/kota.

2.6.1. Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan


Ruang Wilayah Kab/Kota
Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan
ruang wilayah kab/kota (penataan kota)
merupakan terjemahan dari visi dan misi
pengembangan wilayah kab/kota dalam
pelaksanaan pembangunan untuk mencapai
kondisi ideal tata ruang kota yang diharapkan.
2.6.2. Rencana Struktur Ruang Wilayah Kab/
Kota
Rencana struktur ruang wilayah kab/kota
merupakan kerangka sistem pusat-pusat
34

Kota Pusaka

pelayanan kegiatan kab/kota yang berhierarki


dan satu sama lain dihubungkan oleh sistem
jaringan prasarana wilayah kab/kota.
2.6.3. Rencana Pola Ruang Wilayah Kab/
Kota
Rencana pola ruang wilayah kab/kota
merupakan rencana distribusi peruntukan
ruang dalam wilayah kota yang meliputi
rencana peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan rencana peruntukan ruang untuk
fungsi budi daya.
2.6.4. Penetapan Kawasan Strategis Wilayah
Kab/Kota
Kawasan strategis kota merupakan bagian
wilayah kab/kota yang penataan ruangnya
diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh
Kedudukan RTRW Kota dalam Sistem Penataan Ruang dan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Rencana Umum

RPJP Nasional

RTRW Nasional

Rencana Rinci
RTR Pulau
RTR Kawasan Strategis Nasional

RPJM Nasional
RPJP Propinsi

RTRW Provinsi

RTR Kawasan Strategis Provinsi

RPJM Propinsi

RTRW Kabupaten

RDTR Kabupaten
RTR Kawasan Strategis
Kabupaten

RPJP
Kabupaten/Kota
RDTR Kota
RPJM
Kabupaten/Kota

RTRW Kota

RTR Kawasan Strategis Kota

Proses dan Prosedur Umum Penyusunan RTRW Kab/Kota

sangat penting dalam lingkup kab/kota di


bidang ekonomi, sosial, budaya dan/atau
lingkungan.
2.6.5. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah
Kab/Kota
Arahan pemanfaatan ruang wilayah kab/
kota merupakan upaya perwujudan rencana
tata ruang yang dijabarkan ke dalam indikasi
program utama penataan/pengembangan
kab/kota dalam jangka waktu perencanaan
5 (lima) tahunan sampai akhir tahun
perencanaan 20 (dua puluh) tahun.

2.6.6. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan


Ruang Wilayah Kab/Kota
Ketentuan
pengendalian
pemanfaatan
ruang wilayah kab/kota adalah ketentuan
yang diperuntukkan sebagai alat penertiban
penataan ruang, meliputi ketentuan umum
peraturan zonasi, ketentuan perizinan,
ketentuan pemberian insentif dan disinsentif,
serta arahan sanksi dalam rangka perwujudan
RTRW kab/kota.

Dasar Kebijakan

35

2.7. PERATURAN PEMERINTAH


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2002
TENTANG HUTAN KOTA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002
TENTANG HUTAN KOTA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Batasan Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud
dengan :
1) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya
yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
2) Hutan Kota adalah suatu hamparan
lahan yang bertumbuhan pohon-pohon
yang kompak dan rapat di dalam wilayah
perkotaan baik pada tanah negara maupun
tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan
kota oleh pejabat yang berwenang.
3) Wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat
permukiman yang berperan di dalam suatu
wilayah pengembangan dan atau wilayah
nasional sebagai simpul jasa atau suatu
bentuk ciri kehidupan kota.

36

Kota Pusaka

4) Kota adalah wilayah perkotaan yang


berstatus daerah otonom.
5) Tanah negara adalah tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.
6) Tanah hak adalah tanah yang dibebani hak
atas tanah.
Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi
Pasal 2
Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk
kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem
perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial
dan budaya.
Pasal 3
Fungsi hutan kota adalah untuk :
a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan
nilai estetika;
b. meresapkan air;
c. menciptakan keseimbangan dan keserasian
lingkungan fisik kota; dan
d. mendukung pelestarian keanekaragaman
hayati Indonesia.
BAB II
PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Untuk kepentingan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 di setiap wilayah perkotaan
ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan
kota.

(2) Penyelenggaraan hutan kota sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. penunjukan;
b. pembangunan;
c. penetapan; dan
d. pengelolaan.
Bagian Kedua
Penunjukan
Pasal 5
(1) Penunjukan hutan kota terdiri dari :
a. penunjukan lokasi hutan kota; dan
b. penunjukan luas hutan kota.
(2) Penunjukan lokasi dan luas hutan kota
dilakukan oleh Walikota atau Bupati
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
Perkotaan.
(3) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
penunjukan lokasi dan luas hutan kota
dilakukan oleh Gubernur Daerah Khusus
Ibukota Jakarta berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Pasal 6
Lokasi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 merupakan bagian dari Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan.
Pasal 14
(1) Penentuan Tipe hutan kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 sesuai dengan fungsi
yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Perkotaan atau Rencana Tata Ruang
Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

b. tipe kawasan industri;


c. tipe rekreasi;
d. tipe pelestarian plasma nutfah;
e. tipe perlindungan; dan
f. tipe pengamanan.
Pasal 15
(1) Penentuan bentuk hutan kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 disesuaikan dengan
karakteristik lahan.
(2) Bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas :
a. jalur;
b. mengelompok; dan
c. menyebar.
Berikut adalah kebijakan pemerintah lainnya yang
mengatur tentang kawasan ruang terbuka hijau,
lingkungan hidup dan warisan budaya tak benda,
sbb:
1 Peraturan menteri pekerjaan umum
nomor05/prt/m/2008 tentang pedoman
penyediaan dan pemanfaatan ruang
terbuka hijau di kawasan perkotaan
2 Peraturan lingkungan hidup nomor 27
tahun 2009 tentang pedoman pelaksanaan
klhs kebijakan terkait warisan budaya
tak benda
3 Peraturan presiden republik indonesia
nomor 78/2007 tentang pengesahan
konvensi perlindungan warisan budaya tak
benda

(2) Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) terdiri dari :
a. tipe kawasan permukiman;

Dasar Kebijakan

37

Relief candi Borobudur


Sumber Foto: BPPI

2.8. TABEL KONVENSI


INTERNASIONAL
Piagam dan Rekomendasi tentang Pengelolaan
dan Pelestarian Kota Pusaka
Bila menyimak berbagai piagam atau rekomendasi
di tingkat internasional tentang pelestarian pusaka,
tampak adanya perkembangan konsep kota
pusaka serta lingkup pelestariannya. Piagam atau
rekomendasi pelestarian kota pusaka yang telah ada
sejak tahun 1962, antara lain:

38

Kota Pusaka

1. The Athens Charter (1931)


2. The Recommendation concerning the
Safeguarding of the Beauty and Character
of Landscapes and Sites (1962)
3. The International Charter for the
Conservation
and
Restoration
of
Monuments atau Venice Charter (1964)
4. The
Recommendation
concerning
the Preservation of Cultural Property
Endangered by Public or Private Works
(1968)

5. The Recommendation Concerning the


Protection, at National Level, of the
Cultural and Natural Heritage (1972)
6. The European Charter of the Architectural
Heritage (1975)
7. The Declaration of Amsterdam (1975)
8. The Vancouver Declaration on Human
Settlements (1976)
9. The Recommendation concerning the
Safeguarding and Contemporary Role of
Historic Areas (1976)
10. The Charter for the Conservation of Historic
Towns and Urban Areas atau Washington
Charter (1987)
11. The Charter about the Preservation and
Revitalization of Historic Centres atau
Charter of Itaipava (1987)
12. The Charter of European Cities and Towns
towards Sustainability atau Aalborg Charter
(1994)
13. The Nara Document on Authenticity
(1994)
14. The Charter on the Built Vernacular
Heritage (1999)
15. The International Charter on Cultural
Tourism: Managing Tourism at Places of
Heritage Significance (1999)

Tari Persembahan, Sumatera Barat


Sumber Foto: BPPI

18. The Convention for the Safeguarding of the


Intangible Cultural Heritage (2003)
19. The Xian Declaration on the Conservation
of the Setting of Heritage Structures, Sites
and Areas (2005)
20. The Quebec Declaration on the Preservation
of the Spirit of Place (2008)

16. The Charter for Places of Cultural


Significance revisi Burra Charter (1999)

Berikut ini beberapa di antaranya yang banyak


mempengaruhi pengelolaan dan pelestarian kota
pusaka:

17. The European Landscape Convention


(2000)

Sumber: Oers (2010) mengutip presentasi Jade Tabet (2006)

Dasar Kebijakan

39

1968
Recommendation
Concerning the Preservation
of Cultural Property
Endangered by Public or
Private Works

DEFINISI

PRINSIP UMUM

ANCAMAN

40

1976
Nairobi Recommendation
Concerning the Safeguarding
and Contemporary Role of
Historic Areas

1987
Washington Charter for the
Conservation of Historic
Towns and Urban Areas

2005
Vienna Memorandum on World
Heritage and Contemporary
Architecture Managing the
Historic Urban Landscape

a) Tak Bergerak: Situs arkeologis,


historis
dan ilmiah termasuk kelompok
bangunan tradisional, kawasan
bersejarah di kawasan
terbangun perkotaan atau
pedesaan maupun
struktur etnologis
b) Bergerak: (tidak relevan)

Kawasan bersejarah dan


arsitektural: kelompok
bangunan, struktur dan ruang
terbuka baik pada lingkup
perkotaan atau pedesaan, kohesi
dan nilai yang diakui dari
aspek arkeologis, arsitektural,
prasejarah, sejarah, estetika atau
sosial-budaya.
Lingkungan: Lingkup alam
atau buatan manusia yang
mempengaruhi cara yang statis
atau dinamis bagaimana suatu
kawasan dirasakan atau yang
langsung terkait dalam hubungan
ruang atau sosial, ekonomi atau
budaya.

Kawasan perkotaan bersejarah,


besar dan kecil, termasuk
kota, kota kecil dan pusat
kota bersejarah atau kawasan
beserta lingkungan alam dan
buatan manusia.

Lansekap perkotaan bersejarah


melampaui pengertian tentang pusat
kota yang bersejarah, kesatuan,
lingkungan untuk menyertakan
konteks wilayah dan lansekap yang
lebih luas.
Terdiri dari elemen berkarakter:
guna dan pola lahan, organisasi spasial,
relasi visual, topografi dan tanah,
vegetasi dan seluruh elemen teknis
infrastruktur.

a) Pelestarian seluruh situs atau


struktur/bangunan dari efek
pekerjaan swasta atau umum
b) Penyelamatan suatu properti
jika suatu kawasan akan diubah,
termasuk
pelestarian maupun relokasi

a) Kawasan bersejarah dan


lingkungan sekitarnya
dinilai secara utuh sebagai satu
kesatuan yang koheren, yaitu
adanya keseimbangan dan sifat
spesifik yang tergantung pada
bagian-bagian kawasan tersebut.
b) Elemen yang perlu
dipertahankan termasuk kegiatan
manusia, bangunan, organisasi
spasial dan sekitarnya

a) Konservasi harus menjadi


bagian integral dari
kebijakan pembangunan
ekonomi dan sosial yang
serta perencanaan perkotaan
dan regional yang koheren.
b) Kualitas yang harus
dipertahankan termasuk
pola tata ruang perkotaan,
hubungan antara bangunan
dan ruang terbuka, penampilan
bangunan yang formal,
hubungan dengan lingkungan
sekitarnya dan fungsi.

a) Perubahan terus menerus diakui


sebagai bagian
dari tradisi kota: tanggapan terhadap
dinamika pembangunan harus
memfasilitasi perubahan dan
pertumbuhan dengan tetap
menghormati townscape yang
diwariskan dan lansekapnya, begitu
juga otentisitas dan integritas kota
bersejarah .
b) Meningkatkan kualitas hidup dan
efisiensi produksi untuk
membantu memperkuat identitas dan
kohesi sosial.

a) Ekspansi perkotaan dan


proyek peremajaan yang
dapat menghapus struktur atau
bangunan yang berada di sekitar
monumen yang telah terdaftar.
b) Modifikasi individu bangunan
yang gegabah
c) Bendungan, jalan raya,
jembatan, pembersihan
dan peninggian tanah,
pertambangan, penggalian,
dll ..

a) Kawasan yang baru


dikembangkan yang dapat
merusak lingkungan dan karakter
kawasan bersejarah yang
berdampingan
b) Pengrusakan kawasan
bersejarah yang disebabkan oleh
infrastruktur, polusi dan kerusakan
lingkungan
c) Spekulasi yang berkompromi
dengan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan.

a) Degradasi dan kehancuran


fisik yang disebabkan oleh
pembangunan kota yang
disebabkan industrialisasi.
b) Lalu Lintas dan parkir yang
tidak terkontrol, pembangunan
jalan raya di dalam kota
bersejarah sejarah, bencana
alam, polusi dan getaran.

Perubahan dan pertumbuhan sosialekonomi yang


tidak menghormati keaslian dan
integritas kota bersejarah
serta townscape dan lansekap yang
mereka warisi.

Kota Pusaka

KEBIJAKAN YANG
DIUSULKAN DAN
STRATEGI YANG
DIREKOMENDASIKAN

a) Menetapkan dan memelihara


tindakan legislatif yang
diperlukan untuk menjamin
perlindungan atau
penyelamatan properti budaya
yang terancam punah
b) Memastikan anggaran publik
yang memadai untuk
perlindungan atau
penyelamatan
c) Mendorong pelestarian
melalui tarif pajak, hibah,
pinjaman, dll, yang
menguntungkan
d) Mempercayakan tanggung
jawab pelestarian kepada
badan-badan yang resmi di
tingkat nasional dan lokal.
e) Memberikan saran kepada
penduduk dan mengembangkan
program pendidikan

a) Menyiapkan survei detil


untuk kawasan bersejarah dan
lingkungannya termasuk
data arsitektur, sosial, ekonomi,
budaya dan teknis.
b) Menetapkan rencana yang
tepat dan dokumen yang
mendefinisikan daerah dan objek
yang akan dilindungi,
standar yang harus diamati,
kondisi yang mendorong
konstruksi baru, dll ..
c) Membuat prioritas untuk alokasi
dana-dana negara
d) Perlindungan dan pemulihan
harus disertai dengan revitalisasi
kebijakan sosial dan ekonomi
untuk menghindari adanya
hambatan dari tatanan sosial

a) Rencana konservasi harus


mencakup semua faktor yang
relevan termasuk sejarah,
arsitektur, sosiologi dan
ekonomi dan harus memastikan
hubungan yang harmonis
antara kawasan bersejarah dan
kota secara keseluruhan.
b) Fungsi dan kegiatan yang
baru harus kompatibel dengan
karakter kawasan bersejarah.
c) Program pendidikan dan
pelatihan khusus harus
ditetapkan.

a) Proses perencanaan pada


lansekap perkotaan yang bersejarah
membutuhkan perhitungan peluang
dan risiko yang menyeluruh untuk
menjamin pembangunan yang
seimbang.
b) Arsitektur kontemporer harus
menjadi pelengkap nilai-nilai lansekap
perkotaan bersejarah dan tidak boleh
berkompromi dengan sifat kesejarahan
kota tersebut.
c) Pembangunan ekonomi harus terikat
dengan tujuan pelestarian pusaka
jangka panjang.

Tenun Ikat Tradisional Flores, Nusa Tenggara Timur


Sumber Foto: BPPI

Dasar Kebijakan

41

42

Reog Ponorogo, Jawa Timur


Sumber Foto: BPPI

Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka

3 Kajian Pustaka
Permainan Angklung Anak-anak, Jawa Barat
Sumber Foto: BPPI

3.1. KONSEP PUSAKA

Menurut Konvensi ini, pusaka adalah


Aset yang menunjukkan evolusi kehidupan
manusia dan permukiman dari waktu
ke waktu, dipengaruhi hambatan dan
potensi fisik dari lingkungan alam mereka
dan ditunjukkan melalui kekuatan sosial,
ekonomi dan budaya, baik eksternal
maupun internal.

3.1.1. Pusaka Dunia


Konsep Pusaka Dunia atau World Heritage
diperkenalkan oleh salah satu badan dunia PBB,
yaitu United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO) pada saat
Sidang Umum sesi yang ke-17 di Paris, 17 Oktober
21 November 1972. Latar belakangnya adalah
keprihatinan akan pusaka budaya dan alam yang
semakin terancaman kerusakan. Penyebabnya
tidak hanya kerusakan alam, tetapi perubahan
kondisi sosial dan ekonomi, yang memperburuk
situasi bahkan berbagai fenomena kerusakan yang
makin buruk. Lahirlah kemudian CONVENTION
CONCERNING THE PROTECTION OF
THE WORLD CULTURAL AND NATURAL
HERITAGE.

Pusaka Dunia didefinisikan sebagai


Budaya dan/atau alam yang penting dan


istimewa sehingga melampaui batasbatas nasional dan memiliki nilai penting
bagi umat manusia di masa kini maupun
mendatang.

Pada awalnya, pusaka dibedakan menjadi pusaka


budaya dan alam.

Kajian Pustaka

43

1) Pusaka Budaya, terdiri dari monumen, kelompok bangunan dan situs


Monumen

Monumen, yang berupa karya arsitektur, sculpture dan lukisan monumental, elemen struktur dari suatu
objek arkeologis, prasasti, gua hunian dan gabungannya yang memiliki nilai universal yang unggul dari segi
sejarah, seni dan ilmu pengetahuan.

Kelompok bangunan

Kelompok bangunan, yang berupa sejumlah bangunan baik yang terpisah maupun terhubung yang karena
nilai arsitektural, homogenitasnya atau tempatnya di bentang alam memiliki nilai universal yang unggul
dari segi sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan.

Situs

Situs, yang berupa karya manusia atau gabungan antara karya manusia dan alam memiliki keunggulan nilai
universal yang unggul dari segi sejarah, seni, etnologis atau antropologis.

2)

Pusaka Alam, yaitu bentukan alam, pembentukan geologis dan fisiografis dan situs alam.

Bentukan alam

Bentukan fisik atau biologis atau sekelompok bentukan, yang memiliki nilai sejagad dari aspek estetik atau
ilmiahnya

Pembentukan geologis dan


fisiografis

Bentukan geologis atau fisiografis dan kawasan yang telah diidentifikasi dengan persis yang menyusun
habitat dari spesies terancam baik hewan atau tanaman dengan nilai sejagad dari aspek ilmiah atau
pelestarian

Situs alam

Situs alam atau kawasan alami yang telah diidentifikasi dengan persis yang memiliki nilai sejagad dari
aspek ilmiah, pelestarian atau keindahan alam

Klaim bahwa sebuah objek merupakan pusaka


dunia perlu didukung dengan adanya riset yang
komprehensif terhadap area yang dilindungi
serta subjeknya sendiri. Keberadaan riset ini yang
mendukung statement of significance atau pernyataan
pentingnya sebuah objek.
Untuk memberi kriteria pada pusaka dunia,
disusunlah Operational Guidelines for the
Implementation of the World Heritage
Convention. Panduan ini secara rutin diperbarui
dan yang terbaru dikeluarkan pada tahun 2011.
Kriteria penilaian suatu objek pusaka dunia
disebut Outstanding Universal Value atau Nilai
Sejagat yang Unggul (= Keunggulan Nilai Sejagat/
KNS). Ada sepuluh aspek, yaitu:
44

Kota Pusaka

(i)
(ii)

(iii)

(iv)

Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif


manusia
Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur
manusia, dalam rentang waktu atau dalam
lingkup budaya dunia, dalam arsitektur,
teknologi, seni monumental, perencanaan
kota atau rancangan lansekap;
Menyandang peran sebagai jejak yang unik
atau istimewa dari suatu tradisi budaya atau
peradaban baik yang sudah lenyap maupun
yang masih ada;
Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan,
gubahan arsitektur atau teknologi, atau
lansekap yang menggambarkan babakan
yang penting dalam sejarah manusia

(v)

Menjadi contoh utama permukiman, tata


guna lahan atau tata guna lautan tradisional
yang merupakan representasi budaya atau
interaksi manusia dengan lingkungan
khususnya jika situs tersebut terancam oleh
perubahan yang permanen
(vi) Berkaitan baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan peristiwa atau
tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan
kepercayaan, dengan karya seni dan sastra
yang memiliki nilai penting universal yang
menonjol;
(vii) Merupakan fenomena alam yang luar biasa
atau kawasan dengan keindahan alam serta
estetika yang luar biasa dan penting;
(viii) Merupakan contoh yang luar biasa
yang mewakili tahapan utama sejarah
perkembangan bumi, termasuk catatan
kehidupan, proses geologi signifikan yang

(ix)

(x)

sedang berlangsung dalam pengembangan


bentang alam, atau geomorfik yang
signifikan atau fitur fisiografi lainnya;
Merupakan contoh yang luar biasa mewakili
proses ekologis dan biologis yang signifikan
yang sedang berlangsung dalam evolusi dan
pengembangan darat, air tawar, ekosistem
pesisir dan laut dan komunitas tumbuhan
dan hewan;
Mengandung habitat alam yang paling
penting dan signifikan untuk konservasi
in-situ keanekaragaman hayati, termasuk
spesies terancam yang mengandung nilai
universal luar biasa dari sudut pandang
ilmu pengetahuan atau pelestarian.

Untuk dapat disebut memiliki nilai sejagad yang


unggul atau menonjol, suatu objek harus memenuhi
syarat integritas dan/atau keotentikan dan haruslah
memiliki sistem pelindungan dan pengelolaan
untuk menjamin kelestariannya.

Keaslian/
keotentikan

-
-
-
-
-
-
-
-

Bentuk dan rancangan


Bahan dan substansi
Guna dan fungsi
Tradisi, teknik dan sistem pengelolaan
Lokasi dan setting
Bahasa dan bentuk warisan budaya tak bendawi lainnya
Semangat dan perasaan
Faktor internal dan eksternal lainnya

Integritas

-
-

Memiliki semua elemen yang diperlukan untuk mengungkapkan nilai universal yang unggul
Memiliki ukuran yang memadai untuk menjamin tampilnya secara utuh ciri-ciri dan proses yang
menunjukkan nilai pentingnya
Memiliki pelindungan terhadap efek negatif pembangunan atau pengabaian

-
Pelindungan dan
pengelolaan

-
-
-
-

Kondisi fisik objek yang baik


Dampak penurunan kondisi terkendali
Proporsi tertentu dari objek menampilkan totalitas nilai yang terungkap
Hubungan dengan fungsi lingkungan yang dinamis yang penting bagi karakter utama objek tersebut
haruslah terjaga

Kajian Pustaka

45

Negara anggota yang mengajukan nominasi


harus dapat menunjukkan upaya perlindungan
keaslian serta integritas yang memadai. Itu
dibuktikan dengan dokumen yang mendampingi

berkas nominasi ini, lengkap dengan penjelasan


bagaimana perlindungan ini dijalankan untuk
mengamankan objek yang diajukan.

Naskah atau teks ini setidaknya meliputi:


Instrument legislatif, peraturan
dan kontraktual untuk
perlindungan

Lingkup yang tegas untuk


perlindungan yang efektif

Area pendukung
Sistem pengelolaan

-
-
-
-

Lingkup yang tegas merupakan syarat mutlak untuk perlindungan yang efektif
Lingkup ini sebaiknya tergambar dan dapat menampilkan KNS-nya
Memiliki ukuran yang memadai untuk menjamin tampilnya secara utuh ciri-ciri dan proses
yang menunjukkan nilai pentingnya
Memiliki pelindungan terhadap efek negatif pembangunan atau pengabaian

Area di sekitar objek pusaka sebagai pelapis perlindungan

Rencana pengelolaan menjelaskan bagaimana sebuah objek dan KNS-nya dilindungi,


terutama dengan cara partisipatoris.
Bisa berupa praktik tradisional/adat, instrumen perencanaan atau mekanisme pengendalian
baik formal maupun informal

-
Elemen sistem manajamen

46

Kota Pusaka

Instrument legislative dan peraturan baik pada lingkup nasional dan local harus dapat
memastikan keberlanjutan objek pusaka serta perlindungannya
Instrumen-instrumen tersebut harus dapat terimplementasi

-
-
-
-
-
-

Kesepahaman pengetahuan terhadap property


Siklus perencanaan, implementasi, monitoring , evaluasi dan umpan balik
Keterlibatan
Alokasi sumber daya
Peningkatan kapasitas
Deskripsi tentang bagaimana sistem manajemen berfungsi

Pada perkembangannya, pusaka tidak secara


mutlak dipisahkan sebagai pusaka alam atau budaya.
Ada kalanya, sebuah objek dapat memenuhi kedua
kriteria sehingga lahirlah kategori Pusaka Budaya
dan Alam dan pada perkembangannya kategori yang
disebut tipe yang spesifik, yaitu kategori Pusaka
Saujana (Cultural Landscape), Kota (Histotic Towns
and Town Centres), Kanal (Heritage Canals) dan Rute
(Heritage Routes). Dengan demikian, kategori kota
pusaka merupakan hasil perkembangan pemikiran
tentang pusaka (Lihat Lampiran 1).
World Heritage Commitee juga telah membuat
panduan terkait nominasi suatu kota pusaka, yang
tercantum dalam Guidelines on the Inscription
of Specific Types of Properties on the World Heritage
List, sebagai berikut yang didefinisikan sebagai:
Groups of urban buildings
Dengan kategori berikut:
i.

kota yang tidak lagi dihuni, tetapi yang


memberikan bukti arkeologi dari masa
lalu yang tidak berubah; umumnya
memenuhi kriteria keaslian dan kondisi
pelestarian relatif mudah dikontrol;

ii.

kota-kota bersejarah yang masih


dihuni dan yang, dengan sifatnya, telah
berkembang dan akan terus berkembang
di bawah pengaruh perubahan sosioekonomi dan budaya, situasi yang
membuat penilaian keaslian lebih
sulit dan membuat setiap kebijakan
konservasi lebih problematis;

iii.

kota-kota baru dari abad kedua puluh


yang secara paradoks memiliki sesuatu
yang sama dengan kedua kategori
tersebut: sementara tata ruang perkotaan

semula jelas dikenali dan keasliannya


tidak bisa dipungkiri, masa depan kotakota ini tidak jelas karena sebagian besar
perkembangan tak terkendali.
Sejak tahun 1979 hingga saat ini, setidaknya
telah ada 200 pusaka dunia yang berupa kota
pusaka (Lihat Lampiran 2). Kedua ratus ini tersebar
di berbagai belahan dunia. Dari jumlah tersebut,
18 diantaranya berada di benua Asia, yaitu di
China, Iran, Laos, Malaysia, Nepal, Filipina, Sri
Lanka, Vietnam dan Yaman. Negara pertama di
Asia yang memperoleh status kota pusaka dunia
adalah Nepal, yaitu Kathmandu Valley pada tahun
1979. Sedangkan negara yang terakhir, yaitu negara
tetangga Malaysia yang mengajukan Kota Melaka
dan George Town dan pada tahun 2008 mendapat
status pusaka dunia. Hingga saat ini, Negara China
memiliki jumlah pusaka dunia yang terbanyak di
antara negara lainnya, yaitu 6 kota pusaka.
Prosedur pengajuan sebuah kota menjadi pusaka
dunia tetaplah mengikuti Operational Guidelines,
yaitu menggunakan kriteria untuk menominasikan
ke dalam World Heritage List. Kriteria penilaian
KSN untuk beberapa kota di Asia yang sudah
ditetapkan sebagai Kota Pusaka Dunia UNESCO
menunjukkan bahwa sebuah kota memenuhi
setidaknya kriteria berikut.
(i) Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur
manusia, dalam rentang waktu atau dalam
lingkup budaya dunia, dalam arsitektur,
teknologi, seni monumental, perencanaan
kota atau rancangan lansekap;
(ii)

Menyandang peran sebagai jejak yang unik


atau istimewa dari suatu tradisi budaya atau

Kajian Pustaka

47

No

Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List


Including whole historic cities and towns, or in part
(inner cities, historic quarters)
1987, 2004 Imperial Palaces of the Ming and Qing Dynasties in Beijing and Shenyang
1997 Ancient City of Ping Yao
1997 Old Town of Lijiang
2000 Ancient Villages in Southern Anhui Xidi and Hongcun
2005 Historic Centre of Macao
2007 Kaiping Diaolou and Villages
2004, 2007 Bam and its Cultural Landscape
1995
2008
1979
1999
1988
1988
1999
1982
1986
1993

Town of Luang Prabang


Melaka and George Town, Historic Cities of the Straits of Malacca
Kathmandu Valley
Historic Town of Vigan
Old Town of Galle and its Fortifications
Sacred City of Kandy
Hoi An Ancient Town
Old Walled City of Shibam
Old City of Sanaa
Historic Town of Zabid

peradaban baik yang sudah lenyap maupun


yang masih ada;
(iii)

Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan,


gubahan arsitektur atau teknologi, atau
lansekap yang menggambarkan babakan
yang penting dalam sejarah manusia

(iv)

Menjadi contoh utama permukiman, tata


guna lahan atau tata guna lautan tradisional
yang merupakan representasi budaya atau
interaksi manusia dengan lingkungan
khususnya jika situs tersebut terancam oleh
perubahan yang permanen

48

Kota Pusaka

(v)

Negara
China

Iran
Lao Peoples Democratic
Malaysia
Nepal
Philippines
Sri Lanka
Viet Nam
Yemen

Berkaitan baik secara langsung maupun


tidak langsung dengan peristiwa atau
tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan
kepercayaan, dengan karya seni dan sastra
yang memiliki nilai penting universal yang
menonjol;

Pemerintah Republik Indonesia melalui


Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah
beberapa kali mengajukan situs purbakala untuk
menjadi pusaka dunia. Dua di antaranya yang berada
dalam daftar sementara adalah kota lama, yaitu
Kota Lama Banten (19/10/1995) dan Trowulan
Kota Lama Kerajaan Majapahit (06/10/2009).

Boks 1 : Contoh Kota Bersejarah


Hoi An adalah sebuah kota yang terletak di Vietnam yang dinominasikan menjadi pusaka dunia dengan dua kriteria, yaitu ii dan iv
berikut:
Kriteria (ii): Hoi An adalah manifestasi material yang luar biasa dari fusi budaya pada pelabuhan komersial internasional dari
waktu ke waktu.
Kriteria (v): Hoi An adalah contoh pelabuhan dagang tradisional Asia yang lestari dengan baik.
Contoh yang lain yaitu Melaka dan George Town di Malaysia yang dinominasikan menjadi pusaka dunia dengan tiga kriteria, yaitu
ii, iii dan iv berikut
Kriteria (ii): Melaka dan George Town merupakan contoh luar biasa dari kota perdagangan di Asia Timur dan Tenggara
yang multi-budaya, ditempa dari perdagangan dan pertukaran bahasa Melayu, budaya Cina, dan India dan tiga
kekuatan kolonial Eropa setelahnya selama hampir 500 tahun, masing-masing dengan jejak pada bentuk arsitektur
dan perkotaan, teknologi dan seni yang monumental. Kedua kota menunjukkan tahap perkembangan yang
berbeda dan perubahan-perubahan selama rentang waktu yang lama dan dengan demikian saling melengkapi.
Kriteria (iii): Melaka dan George Town adalah saksi hidup warisan multi-budaya dan tradisi di Asia,
dan pengaruh kolonial Eropa. Pusaka multi-budaya yang berwujud dan tidak berwujud dinyatakan
dalam berbagai bangunan keagamaan dari keyakinan yang berbeda, tempat etnik, keragaman bahasa,
festival pemujaan dan agama, tarian, kostum, seni dan musik, makanan, dan kehidupan sehari-hari.
Kriteria (iv): Melaka dan George Town mencerminkan campuran pengaruh yang telah menciptakan sebuah arsitektur,
budaya dan pemandangan kota yang unik mendatang tanpa disamai di Asia Timur dan Selatan lainnya. Secara khusus,
menunjukkan berbagai ruko dan townhouse yang luar biasa. Bangunan-bangunan ini menunjukkan berbagai jenis dan
tahapan pengembangan jenis bangunan, beberapa berasal dari periode Belanda atau Portugis.

Kajian Pustaka

49

3.1.2. Kota Pusaka Indonesia


Menurut Piagam Pusaka Tahun 2003, Pusaka
Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan
pusaka saujana.
1) Pusaka alam adalah bentukan alam yang
istimewa.
2) Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya yang istimewa dari lebih
500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia,
secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan
bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya
dengan budaya lain sepanjang sejarah
keberadaannya. Pusaka budaya mencakup
pusaka berwujud dan pusaka tidak
berwujud.
3) Pusaka saujana adalah gabungan pusaka
alam dan pusaka budaya dalam kesatuan
ruang dan waktu.
Pada tahun 2008, dideklarasikanlah Jaringan
Kota Pusaka Indonesia (JKPI)1 di Kota Surakarta
bersamaan dengan penyelenggaraan World Heritage
Cities Conference (WHC). Pertama kali anggotanya
sebanyak 12 kota di Indonesia dan sekarang telah
menjadi 48 kota, termasuk pula kabupaten.
1

50

Di India, ada Indian Heritage Cities Network (IHCN) yang


dinisiasi oleh UNESCO. Jaringan ini dideklrasikan pada
September 2006 melalui konferensi internasional Indian Cities
of Living Heritage di Jaipur, yang didukung oleh Kementerian
Pembangunan Perkotaan, Pemerintah India. Jaringan ini
terdiri dari 24 kota di India (Ahmedabad, Berhampore,
Bharatpur,Bhopal, Burhanpur, Chandigarh, Chamba,Cochin/
Kochi, Gwalior, Hyderabad, Indore, Jabalpur, Jaipur, Jodhpur,
Kota, Leh, Maheshwar, Madurai, Mysore, Puducherry,
Srinagar, Udaipur, Ujjian dan Varanasi), 7 kota di Perancis
(Aix-en-Provence, Bordeaux, Central Region, Chinon, La
Rochelle, Nancy dan Rennes) dan mitra regional lain, beberapa
universitas serta lembaga dan sejumlah mitra LSM. (Sumber:
http://www.ihcn.in/)

Kota Pusaka

NO

LINGKUP
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kabupaten
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kota
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kota
Kota
Kota

NAMA WILAYAH
Padang
Bau-Bau
Banda Aceh
Bukittinggi
Banjarmasin
Cirebon
Denpasar
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jakarta Pusat
Kepulauan Seribu
Langsa
Lubuk Linggau
Madiun
Malang
Medan
Palembang
Pangkal Pinang
Pekalongan
Ambon
Palopo
Pontianak
Salatiga
Surabaya
Semarang
Surakarta
Sibolga
Ternate
Yogyakarta
Bangka Barat
Karang Asem
Purbalingga
Cilacap
Buleleng
Tegal
Bangli
Brebes
Banjarnegara
Banyumas
Batang
Gianyar
Gresik
Badung
Pekalongan
Bogor
Bengkulu
Sawahlunto

PROVINSI
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
NAD
Sumatera Barat
Kalimantan Selatan
Jawa Barat
Bali
DKI Jakarta

NAD
Sumatera Selatan
Jawa Timur
Jawa Timur
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Kepulauan Bangka Belitung
Jawa Tengah
Maluku
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Sumatera Utara
Maluku Utara
DI Yogyakarta
Kepulauan Bangka Belitung
Bali
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Bali
Jawa Tengah
Bali
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Bali
Jawa Timur
Bali
Jawa Tengah
Jawa Barat
Bengkulu
Sumatera Barat

Tujuan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI)


adalah mendaya-upayakan kekayaan pusaka bangsa
menjadi aset yang bernilai jual tinggi, baik di
mata bangsa maupun dengan bangsa-bangsa lain
di dunia. Karena itu, anggota JKPI merupakan
kota dan Kabupaten yang mempunyai komitmen
dalam melindungi kekayaan pusaka alam (tangible)
maupun pusaka budaya (intangible). Kota dan
kabupaten yang tergabung dengan JKPI diharapkan
memiliki pemimpin yang mempunyai kepedulian
yang tinggi terhadap kekayaan pusaka bangsa.2

3.2. PELESTARIAN KOTA DAN AREA


KOTA BERSEJARAH
Terkait dengan pelestarian kawasan perkotaan,
UNESCO telah memberikan rekomendasinya
untuk melakukan safeguarding atau pelindungan dan
pengelolaan peran masa kni dari kawasan bersejarah
(Warsawa-Nairobi, 1976). Dalam konteks ini,
pelestarian kota dan area kota bersejarah dipahami
sebagai landasan penting untuk melindungi,
melestarikan, dan memugar kota dan kawasan
semacam, sebagaimana juga untuk kepentingan
pengembangan dan adaptasi yang selaras bagi
kehidupan masa kini.
Secara universal pelestarian kota dan/atau
kawasan pusaka perlu mengacu pada Piagam
Washington (Piagam Pelestarian Kota dan Kawasan
Perkotaan Pusaka) yang diadopsi dari Sidang Umum
International Council on Monuments and Sites
(ICOMOS) di Washington D.C., Oktober 1987
dan Pedoman Pengelolaan Kota Pusaka Dunia yang
dikeluarkan oleh Organization of World Heritage
Cities (Pedoman OWHC, 2003). Beberapa teks
2

http://indonesia-heritage.net/

dan konteks dari Indonesia tetap menjadi bahan


pertimbangan juga.
Washington Charter 1987 telah diadopsi oleh
ICOMOS (International Council on Monuments
and Sites). Disebutkan di dalamnya sejumlah
prinsip dan tujuan pelestarian kota dan area
kota bersejarah. Pertama, agar memberikan hasil
terbaik, pelestarian kota bersejarah maupun
kawasan terbatasnya harus menjadi bagian yang
integral dari kebijakan pembangunan ekonomi
dan sosial serta perencanaan kota. Kemudian,
kualitas yang dipreservasi meliputi karakter kota
atau kawasan yang bersangkutan, serta seluruh
elemen material dan spiritual yang menunjukkan
karakter tadi, terutama pola lingkungan (jalan
dan perpetakan), kaitan antara bangunan dan
ruang terbuka hijau, penampilan bentukan fisik
bangunan, hubungan kota atau kawasan dengan
setting lingkungan, dan beragam fungsi dari waktuke-waktu. Berikutnya, partisipasi dan keterlibatan
warga sangat penting untuk keberhasilan program
pelestarian. Oleh karena itu harus didorong adanya
keterlibatan ini, bahkan menjadi prasyarat penting.
Terakhir, konservasi kota dan area kota bersejarah
membutuhkan kehati-hatian, disiplin, dan sebuah
pendekatan sistematik, tanpa terkungkung pada
penanganan yang kaku seragam.
Mengelola suatu kota/kawasan pusaka, apapun
bentuknya saujana, kota, desa, kawasan, area
akan menyangkut persoalan kepekaan, selera dan
kreasi pengelolanya terhadap pusaka-pusaka yang
dimiliki wilayahnya. Dan di dalamnya akan terjadi
proses transaksi yang melibatkan banyak aspek dan
sektor secara menyeluruh. Pusaka bagaimanapun
adalah barang publik (Navrud & Ready, 2002) yang
memiliki dimensi ekonomi, di antaranya ekspresi
nilai budaya yang muncul dari fungsi penggunaan

Kajian Pustaka

51

secara individual dan dapat diukur, terutama


banyak kemauan berbagai pihak untuk membayar
(Thorsby, 1997).
A. Prinsip-prinsip Pelestarian Kota/Kawasan
Pusaka
Mengacu berbagai referensi dan pengalaman
lapangan dalam mengelola pelestarian Kota Pusaka
perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1) Perlu identifikasi kualitas tertentu yang
menyebabkan suatu situs pusaka perkotaan
dianggap penting (Pedoman OWHC, 2003).
Kualitas yang perlu dilestarikan adalah karakter
bersejarah kota atau kawasan perkotaan dan
segala elemen material dan spiritual yang
mengekspresikan karakter tersebut, khususnya
(Piagam Washington, 1987):
a. Pola perkotaan yang ditentukan oleh persil
tanah (lot) dan jalan-jalan
b. Hubungan antara bangunan, area hijau dan
ruang-ruang terbuka
c. Tampilan formal bangunan, interior dan
exterior, yang ditentukan oleh skala, ukuran,
langgam, konstruksi, material, warna dan
dekorasi
d. Hubungan antara kota atau area perkotaan
dengan lingkungan sekitarnya, baik alam
maupun buatan manusia, dan
e. Berbagai fungsi yang ada pada kota atau area
perkotaan dari waktu ke waktu
Ancaman apapun pada kualitas di atas akan
merubah keaslian kota dan perkotaan kota
pusaka.
52

Kota Pusaka

2) Perlu proses yang sistematik yang digunakan


untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian
suatu aset pelestarian (Pedoman OWHC,
2003). Proses tersebut diupayakan untuk
menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya
dukungnya dalam menjawab dinamika jaman
untuk membangun kehidupan bangsa yang
lebih berkualitas (Piagam Pelestarian Pusaka
Indonesia 2003);
3) Perlu dan agar menjadi efektif, dalam
perencanaan pelestarian, tujuan pelestarian
menjadi bagian integral dengan berbagai
tujuan dan kebijakan pembangunan sosial
dan ekonomi yang telah ditetapkan serta
perencanaan perkotaan dan daerah di semua
aras (Piagam Washington, 1987; Pedoman
OWHC, 2003).
4) Perlu dan harus terus menerus didorong untuk
melibatkan partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pelestarian. Pelestarian kota
dan kawasan perkotaan pusaka yang pertama
adalah mempedulikan penduduknya (Piagam
Washington, 1987; Pedoman OWHC, 2003).
Bahkan peran serta tersebut bukan sekedar
partisipasi namun menjadi pelaku pengelolaan
People centered management (Adishakti, 2003)
5) Perlu meyakinkan bahwa penilaian keuangan
atas suatu pembangunan baru tidak merusak
situs perkotaan pusaka (Pedoman OWHC,
2003).;
6) Perlu mendorong pemerintah pusat dan
daerah menggunakan kewenangannya dalam
menata dan menggunakan peraturan dan
pendanaan yang tepat (Pedoman OWHC,
2003);

7) Perlu memahami bahwa setiap persoalan


pelestarian pusaka adalah unik. Untuk itu
pelestarian dalam kota atau kawasan perkotaan
pusaka menuntut kelenturan pendekatan dan
disiplin yang sistematik. Pendekatan yang
kaku perlu dihindari, mengingat setiap kasus
akan memiliki masalah-masalah sendiri yang
khusus (Piagam Washington, 1987; Pedoman
OWHC, 2003).

d. Bertujuan agar diperoleh hubungan


harmonis antara kawasan perkotaan pusaka
dan kota secara keseluruhan.

B. Metode dan Instrumen

g. Dilakukan dokumentasi kondisi area yang


ada secara lengkap sebelum dilakukan
intervensi apapun;

Dalam
melaksanakan
pengelolaan
dan
perencanaan pelestarian Kota Pusaka perlu
memperhatikan metoda dan instrumen sebagai
berikut (Piagam Washington, 1987; Pedoman
OWHC, 2003):
1) Perencanaan pelestarian kota dan kawasan
perkotaan pusaka perlu dilakukan melalui
studi-studi multi disiplin dan holistik. Oleh
karena itu perencanaan pelestarian kota dan
kawasan perkotaan pusaka perlu:
a. Memperhitungan berbagai faktor termasuk
pembangunan berkelanjutan, arkeologi,
sejarah, arsitektur, teknik, sosiologi dan
ekonomi.
b. Pemahaman
tentang
sejarah
kota
atau kawasan perkotaan pusaka perlu
ditingkatkan melalui investigasi arkeologi
dan pemugaran temuan arkeologi dengan
tepat.
c. Dinyatakan dengan jelas prinsip tujuan
rencana pelestarian serta hal-hal yang
terkait dengan aspek legal, perhitungan
administrasi dan keuangan yang diperlukan
untuk mencapai tujuan.

e. Perbaikan perumahan hendaknya menjadi


salah satu dari tujuan-tujuan pelestarian.
f. Menunjukkan
bangunan-bangunan
mana saja yang harus dipugar, mana yang
dilestarikan dengan kondisi tertentu, dan
mana dengan kondisi perkecualian yang
mungkin dapat dilakukan olah disain.

h. Didukung oleh penduduk kawasan pusaka..


2) Menyusun strategi pemanfaatan dan olah
disain arsitektur/kawasan pusaka
a.
Merupakan instrument disain yang
mempertimbangkan
pembangunan
berkelanjutan melalui pengelolaan dan
pengendalian pertumbuhannya;
b. Fungsi dan kegiatan baru harus sesuai
dengan karakter kota atau kawasan
perkotaan pusaka. Olah disain kawasan
yang diperuntukan bagi kehidupan
kontemporer mensyaratkan instalasi atau
perbaikan fasilitas pelayanan publik
c. Ketika perlu mendirikan bangunan baru
atau olah disain bangunan pusaka, tata
letak spasial yang ada harus dijunjung
tinggi, terutama dalam konteks skala dan
ukuran lot tanah. Mencangkokan elemen
kontemporer yang memiliki harmoni
dengan lingkungan hendaknya jangan

Kajian Pustaka

53

dibatasi mengingat elemen-elemen tersebut


dapat pula menambah citra dan keelokan
terhadap kawasannya.
3) Memposisikan pelestarian pusaka sebagai
bentuk pembangunan berkelanjutan melalui
3 tahap pendekatan yaitu advokasi, integrasi,
dan keberlanjutan.
a. Advokasi
menunjukkan
pandangan
pelestarian; mengupayakan pandangan
tentang pelestarian ini sederajat dengan
berbagai persoalan yang lain. Tujuannya
untuk peningkatan kepedulian. Bila
kepedulian sudah meningkat kembangkan
karakteristik
lembaga
pengelolaan,
serta memulai masuk dalam kebijakan
pembangunan dan strategi pelaksanannya;

b.
Ketika perencanaan perkotaan atau
perwilayahan menyediakan konstruksi
jalan raya, hendaknya hal ini tidak masuk ke
dalam kota atau kawasan perkotaan pusaka,
namun mereka perlu meningkatkan akses
ke sana.
6) Kota-kota pusaka perlu dilindungi dari
bencana alam dan gangguan seperti polusi dan
getaran-getaran agar pusaka terselamatkan dan
demi keamanan dan kenyamanan penghuni.
Meskipun bencana belum menerjang kota
atau kawasan perkotaan pusaka, kesiapan dan
perangkat perbaikan perlu disesuaikan dengan
karakter spesifik pusaka yang terkena bencana.
7) Peningkatan Sumber Daya Manusia

a. Dalam rangka meningkatkan partisipasi


dan keterlibatan masyarakat, program
informasi umum perlu dipersiapkan bagi
para penduduk kota, mulai dari anak usia
sekolah.

b. Integrasi promosikan pandangan pelestarian


ini menjadi satu kesatuan dengan berbagai
pandangan sektor-sektor yang lain;
membangun kapasitas teknis terkait dengan
isu ini;
c. Keberlanjutan mengawasi tingkat efektifitas
pelestarian dalam kelembagaan pemerintah
yang ada; meningkatkan terus kapasitas
teknis di bidang ini.
4)

Pemeliharaan yang terus-menerus walau


merupakan hal yang rumit namun harus
dilaksanakan demi mencapai pelestarian kota
atau area perkotaan pusaka yang effektif.

5) Aksesibilitas.
a. Lalu-lintas di dalam kota atau kawasan
perkotaan pusaka harus dikontrol dan
area parkir perlu direncanakan sehingga
tidak merusak unsur-unsur bersejarah atau
lingkungannya.
54

Kota Pusaka

b. Pelatihan khusus perlu disediakan untuk


semua profesi yang terkait dengan
pelestarian.
8)

Selama pelaksanaan aksi pelestarian, semua


kegiatan perlu sejalan dengan prinsip piagam
Washington dan Piagam Venice, serta berbagai
pedoman yang relevan.

C. Strategi Pengelolaan
Kunci strategi pengelolaan Kota Pusaka agar
dapat berjalan dengan baik adalah sebagai berikut
(Pedoman OWHC, 2003):
a. Menjunjung dinamika kota.
Upaya
pelestarian untuk peningkatan kualitas kota

pusaka tidak hanya tertuju pada bentuk fisik


lingkungan tetapi juga kehidupan yang hidup di
dalam kota. Kehidupan yang ada perlu dijaga.
Fokus pada karakteristik kota atau kawasan
perkotaan secara menyeluruh (kegiatan, fungsi
dan hubungan antara keduanya). Hal ini
akan membantu mengarahkan strategi jangka
panjang dengan arah yang tepat.

yang ada. Sementara budaya tradisi itu sendiri


mampu tetap hidup menembus jaman.

3.3. Rencana Pengelolaan


(Management Plan)

d. Pendekatan positif pada pengelolaan


konflik. Dalam kegiatan pelestarian sering kali
menghadapi keadaan yang tidak sejalan. Di satu
pihak akan melestarikan namun di pihak lain
berusaha untuk menggantikan dengan struktur
baru. Konflik-konflik seperti ini hanya dapat
diatasi bila ada minat yang sama dari kedua
belah pihak. Bila konflik sulit diatasi oleh dedua
belah pihak, untuk melaukan resolusi konflik
perlu mengundang profesional di bidang ini.

States Parties atau Negara yang telah


meratifikasi Konvensi UNESCO 1972 diundang
untuk memasukkan nominasi suatu objek baik
pusaka yang memiliki nilai budaya atau alam dan
dipertimbangkan memenuhi kriteria nilai sejagat
untuk masuk dalam Daftar Pusaka Dunia.
Nominasi yang diajukan pada Komite (World
Heritage Committee) mampu menunjukkan
komitmen yang sungguh-sungguh dari State Party
untuk melindungi pusaka yang dimaksud, dengan
caranya. Komitmen tersebut berupa kebijakan yang
sesuai, instrumen legal, ilmiah, teknis, administratif
serta finansial yang diadopsi dan diusulkan untuk
melindungi obyek dan OUV-nya.
Nominasi tersebut diajukan dalam suatu berkas,
yang terdiri dari:
1) Identifikasi Objek
2) Deskripsi Objek
3) Justifikasi
4) Kondisi pelestarian dan faktor yang
berpengaruh pada obyek
5) Perlindungan dan Pengeloaan
6) Monitoring
7) Dokumentasi
8) Kontak Informasi terkait autoritas yang
dilindungi
9) Tertanda atas nama State Party(ies)

e. Penyesuaian Budaya. Salah satu tantangan


adalah bagaimana berbagai budaya yang
tumbuh berkembang tetap menjunjung tradisi

Karena World Heritage sites and buffer zones atau


lingkup pusaka dunia yang berupa kota bersejarah
signifikan pada ruang, zonasi dan pembangunan,

b. Menjunjung nilai partisipasi publik.


Kesuksesan jangka panjang dalam strategi
pelestarian sangat tergantung pada seberapa
jauh masyarakat dapat berperan serta dalam
indentifikasi dan perlindungan kualitas pusaka
masyarakat itu. Di banyak kota, pelestari
professional, yang sudah mumpuni di bidang
inipun tetap mencari cara yang paling jitu yaitu
bekerja bersama masyarakat dalam memahami
dan menjaga pusaka-pusaka mereka.
c. Integrasi dengan tujuan pembangunan kota
yang lain. Strategi pengelolaan yang berhasil
juga karena integrasi dengan berbagai tujuan
pembangunan yang lain baik di sector public
maupun swasta.

Kajian Pustaka

55

peraturan perencanaan dan bangunan merupakan


instrument yang penting. Sebuah rencana tata
ruang baik pada lingkup regional hingga lokal
sebaiknya dapat menjelaskan apa dan bagaimana,

dalam kerangka penataan ruang, pemerintah yang


bertanggung jawab terlibat pengelolaan suatu
pusaka.

Boks 2: Contoh Peran Penting Penataan Ruang dalam Pengelolaan Kota Pusaka
Di Jerman, dalam UU Perencanaan Regional Federal (the Federal Regional Planning Act), perlindungan pusaka disebutkan sebagai salah
satu prinsip, yaitu
Historical and cultural relationship and regional connections shall be maintained; the characteristic features and the cultural and natural
monuments of evolved cultural landscapes shall be preserved.
Dengan begitu, Pemerintah Federal yang memiliki sedikit kompetensi terkait penataan ruang, merumuskan kerangka aksi dimana tiap
negara bagian bertanggung jawab dalam melaksanakan undang-undang penataan ruang di tingkat negara bagian.
Sumber: Management Plans for World Heritage Sites A Practical Gudes (Birgitta Ringbeck, 2008)

56

Kota Pusaka

Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka

Bau-Bau, Sulawesi Tenggara


57
Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI

4
Studi Profil Kota Pusaka

58

Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka

Untuk menyusun pedoman yang utuh, telah


dilakukan penggalian praktik yang baik (good
practice) serta berbagai kendala dalam upaya
pelestarian dan pengelolaan pusaka di Indonesia.
Pengamatan dilakukan atas 7 kota dari anggota
JKPI. Kota-kota tersebut mempunyai karakter
yang kuat. Dengan demikian, pengalaman yang
didapatkan berdasarkan kondisi lapangan dengan
karakter berbeda-beda.
Gambarannya seperti pada tabel berikut ini:

Ternate
Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI

Studi Profil Kota Pusaka

59

No.

Kota
Bukittinggi (dh. Fort
de Kock)

Periode
Pembangunan
1700-1900

Karakter Kota

Karakter Geografis

Kota Militer

Pedalaman
Sawahlunto

Industrialisasi
Modern

Kota Tambang (batubara)

Pedalaman
Banjarmasin

1400-1700

Kota Pemerintahan
Tradisional, Kota
Pelabuhan

Tepi Sungai

60

Kota Pusaka

No.

Kota
Bau-Bau (dh. Buton)

Periode
Pembangunan
1400-1700

Karakter Kota

Karakter Geografis

Kota Pemerintahan
Tradisional, Kota
Pelabuhan

Tepi Laut
Yogyakarta

1400-1700

Kota Pemerintahan
Tradisional

Pedalaman
Ternate

Sebelum 1400

Kota Pemerintahan
Tradisional, Kota
Pelabuhan

Tepi Laut

Studi Profil Kota Pusaka

61

No.

Kota
Malang

Periode
Pembangunan
1400-1700

Karakter Kota

Karakter Geografis

Kota Pemerintahan
Kolonial

Pedalaman
Banda Aceh

1400-1700

Kota Pemerintahan
Tradisional

Ambon

1400-1700

Kota Pemerintahan
Tradisional

Sumber: Werner, 1987; http://id.wikipedia.org

62

Kota Pusaka

Berikut ini kondisi pada kota-kota1 tersebut:

1856

4.1. BUKITTINGGI

1891-1894 Pembangunan Kereta api Bukittinggi-PayakumbuhPadang

Pembangunan sekolah guru untuk memajukan


pendidikan pribumi

Bukittinggi terletak di dataran tinggi Minangkabau,


Sumatra Barat di 018 LS dan 10022 BT pada
ketinggian 930 meter dpl dengan hawa sejuk 1625C. Bukittinggi berada di dekat Gunung Merapi
dan Gunung Singgalang yang masih aktif.

1943-1945 Bukittinggi merupakan Markas Besar Tentara Jepang


di Sumatra yang dipindah dari Singapore
1948

Sejak 19 Desember 1948, Bukittinggi sebagai Ibukota


Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
sewaktu Belanda menduduki Indonesia. Presiden,
Wakil Presiden dan para Menteri ditawan Belanda.

Sejarah Pendirian Bukittinggi

1950-1957

Bukittinggi menjadi Ibukota provinsi Sumatra Tengah


yang meliputi Sumatra Barat, Riau, dan Jambi.

1803-1838

Perang Padri

1825

Pembangunan Fort de Kock

Visi Kota Bukittinggi


Terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
pemanfaatan potensi unggulan daerah (Jasa dan
Perdagangan, Kepariwisataan, Pendidikan dan
Pelayanan Kesehatan), yang dijiwai oleh Agama
dan Adat, Syarak Mangato Adaik Mamakai.
Ragam Pusaka
Kekayaan pusaka di Bukittinggi meliputi pusaka
alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.
Pusaka alam, seperti Ngarai Sianok.
Pusaka budaya ragawi, seperti Jam Gadang,
masjid dan rumah-rumah adat.
Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian
serta kuliner setempat.

Gambar 1: Fort de Kock


1833-1841

Pembangunan jalan ke pantai barat

1 Kasus-kasus ini merupakan hasil pengamatan selama bulan


Desember 2011 dan Januari 2012.

Kondisi Pelestarian Pusaka


Dampak pembangunan baru, seperti
munculnya iklan, gedung bertingkat, tata
lingkungan yang baru seperti pembangunan
pagar dan dampak kehadiran PKL yang
belum tertata

Studi Profil Kota Pusaka

63

Gambar 2: Beragam Pusaka di Bukittinggi

Manajemen
Pusaka Ragawi
BP3 Sumatera Barat telah menyiapkan
daftar bangunan bersejarah yang harus
dilindungi, beberapa bangunan sudah
dirawat dan dipelihara. Jumlah ada sekitar
44 bangunan.
64

Kota Pusaka

Dinas
Kebudayaan
mencegah
pembongkaran bangunan tua seperti
gedung Polres, kompleks penjara dll.
Program pelestarian, seperti Pedestrianisasi
Lingkungan Jam Gadang, rehabilitasi
kawasan jenjang (17 tangga utama), rencana
rehabilitasi Pasar Atas, dll.

Pusaka Non-Ragawi
Pembinaan sanggar-sanggar dan
insentif untuk pelestarian pusaka
budaya intangible.
Festival musik dan tari tradisional,
lomba pantun, festival kuliner,
ch: festival rending dan Festival
Sulam Bordir se-ASEAN pada
tahun 2012.
Pengembangan pariwisata yang
menghormati alam dan budaya.

4.2. SAWAHLUNTO
Kota Sawahlunto terletak di perbukitan
terjal, landai dan dataran dengan
ketinggian 250-650 m di atas permukaan
laut di 040 40.16 S dan 10047 13.21

Gambar 4: Ragam Kesenian di Bukittinggi

E dengan suhu berkisar antara 22C. Luas total


adalah 273,45km2.
Visi Kota Sawahlunto
Sawahlunto: Kota Tambang Berbudaya
Sejarah Singkat
Abad ke 19 Batubara ditemukan di Sawahlunto oleh Ir. de
Greve

Gambar 3: Penataan Lingkungan Jam Gadang

1888

Sejak 1 Desember, investasi oleh pemerintah


Hindia Belanda

1892

Produksi batubara

Studi Profil Kota Pusaka

65

1894

Pembangunan Kereta api Padang-Sawahlunto

1918

Penetapan Gemeentelijk Resort dengan luas 778


ha

1930

Sawahlunto berpenduduk 43.576 jiwa, 564 jiwa


adalah orangBelanda.

1940-1970

Produksi batubara menurun, hanya puluhan ribu


ton/tahun

Gambar 5:
Beragam Pusaka di
Sawahlunto

66

Kota Pusaka

1990an

Produksi meningkat lagi sampai sejuta ton/


tahun, namun cadangan batubara terbatas,
basis ekonomi dialihkan ke pariwisata

Ragam Pusaka
Kekayaan pusaka di Kota Sawahlunto meliputi
pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun
non-ragawi.

Pusaka alam, terkait posisi Kota Sawahlunto


yang tumbuh sebagai kota tambang batu
bara.
Pusaka budaya ragawi, seperti rumah adat
dan infrastruktur tambang
Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian,
kerajinan serta kuliner setempat
Manajemen
Sawahlunto adalah salah satu perintis
pelestarian Kota Pusaka yang gigih dan
kreatif.
Berusaha menggeser basis ekonomi
Sawahlunto dari pertambangan ke arah
pariwisata budaya.

Kerjasama dengan Melaka, Malaysia


Pusaka Ragawi
Rehabilitasi lubang tambang mbah Suro,
membangun museum Gudang Ransum,
museum Kereta Api, Infobox, pusat
kebudayaan, taman rekreasi, pelestarian
kawasan pusat kota, perlindungan
bangunan bersejarah
Pusaka Non-Ragawi
Pembinaan sanggar-sanggar dan intensif
untuk pelestarian pusaka budaya intangible.
Festival musik dan tari tradisional, lomba
pantun, festival kuliner, ch: festival rendang.

Gambar 6: Visualisasi
Bentang Alam Sawahlunto

Studi Profil Kota Pusaka

67

Gambar 7: Lubang Mbah Suro


(kiri) dan Gudang Ransum (kanan)
setelah rehabilitasi

Pengembangan
pariwisata
menghormati alam dan budaya.

yang

Pengembangkan berbagai acara budaya,


festival musik, dll

4.3. BANJARMASIN
Banjarmasin
merupakan
ibukota
Provinsi
Kalimantan Selatan, terletak antara 3015 dan
3022 Lintang Selatan dan 114032 dan 114098
Lintang Utara; dengan luas area 72 km2 (0,19%
dari luas Pulau Kalimantan).

Gambar 8: SIMFEST (Sawahlunto International Music Festival)

Sejarah Singkat
1526

Banjar mengalahkan Daha pada tanggal 24


Desember 1526 yang menjadi Hari Jadi Kota
Bandjarmasih sebagai ibukota kerajaan baru di
Kalimantan Selatan.

1606

VOC pertama kali datang di Banjarmasin

1849

Banjarmasin (Pulau Tatas) menjadi ibukota Divisi


Selatan dan Timur Borneo.

Visi Kota Banjarmasin


Terwujudnya Kota Banjarmasin yang maju
dan mandiri sebagai pusat pelayanan dan
pertumbuhan bagi perkembangan regional
Kalimantan dengan didukung oleh sumber
daya manusia yang berkualitas dengan dijiwai
semangat Kayuh Baimbai
68

Kota Pusaka

Sungai
Barito

Kawasan Masjid
Sabilal Muhtadin

Sungai Martapura

1898

Ditetapkan dalam Staatblaad tahun 1898 No.


178 sebagai bagian Afdeeling Bandjermasin
en Ommelanden (Banjarmasin dan daerah
sekitarnya) (1898-1902).

1918

Banjarmasin menjadi ibukota Residentie Zuider en


Ooster Afdeeling van Borneo mendapat GemeenteRaad.

1936

Ordonantie pembentukan Gouvernementen


Sumatra, Borneo en de Groote-Oost (Stbld.
1936/68) dan sebagai pusat pemerintahannya
adalah Banjarmasin.

1937

Otonomi kota Banjarmasin ditingkatkan dengan


Stads Gemeente Banjarmasin karena Banjarmasin
sebagai ibukota Gouvernement Borneo.

1946

Banjarmasin sebagai ibukota Daerah Banjar


satuan kenegaraan sebagai daerah bagian dari
Republik Indonesia Serikat.

Gambar 9: Peta Kota


Banjarmasin

Gambar 10: Pintu gerbang dengan tulisan 1606 untuk


menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Dirk Fock pada tahun 1924

Studi Profil Kota Pusaka

69

Gambar 11: Beragam Pusaka di Banjarmasin

70

Kota Pusaka

Ragam Pusaka
Kekayaan pusaka di Kota Banjarmasin meliputi
pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun
non-ragawi.
Pusaka alam, melihat posisi Kota
Banjarmasin yang terdiri dari banyak sungai
(Kota Seribu Sungai) dan dilewati sungai
besar seperti Sungai Martapura, Sungai
Kuin, Sungai Andai, Sungai Alalak.
Pusaka budaya ragawi, seperti makam,
masjid dan rumah adat Banjar;
Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian
musik Panting, kerajinan kain sasirangan
serta kuliner setempat
Kondisi Pelestarian
Data menunjukkan penurunan jumlah
sungai. Pada 1997 terdapat 117 sungai,
pada 2002 menjadi 70 sungai, dan pada
2004 sampai sekarang tinggal 60 sungai.
Pembangunan gedung yang digunakan
sebagai sarang burung wallet.

Gambar 13: Kompleks Makam Sultan Suriansyah di


Banjarmasin

Gambar 12: Sungai di Banjarmasin

Studi Profil Kota Pusaka

71

Gambar 14: Rumah Adat


dan Rumah Tepi Sungai di
Banjarmasin

Perlunya penetapan kawasan Cagar Budaya


dan penguatan pada Perda Kota
Manajemen
Rancangan Peraturan Daerah Kota
Banjarmasin Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Banjarmasin
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 21
Tahun 2009 tentang Benda Cagar Budaya
Pemerintah telah mendata Grup Musik
Panting (11 kelompok), Grup Sanggara
Tari, (11 kelompok) dan Sinoman Haderah
(14 kelompok);

72

Kota Pusaka

Gambar 15: Rumah burung wallet

Gambar 16: Kawasan atau Kampung Tua yang Perlu


Direvitalisasi

Penyelenggaraan festival tahunan, seperti


Festival Budaya Pasar Terapung, yang antara
lain berisi Lomba Jukung tradisional.

Gambar 17: Festival Jukung

4.4. BAU-BAU
Bau-Bau terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara di
antara 5.21-5.33 LS dan 122.30-122.47 BT.
Luas area adalah 221,00 km dengan luas laut
mencapai 30 km merupakan kawasan potensial
untuk pengembangan sarana dan prasarana
transportasi laut.
Visi Kota Bau-Bau
Terwujudnya Kota Baubau Sebagai Pusat Perdagangan dan
Pelayanan Jasa Yang Nyaman, Maju, Sejahtera dan Berbudaya
pada Tahun 2023
Visi lima tahunan (2008 - 2013):
Terwujudnya Kota Baubau sebagai Kota Budaya yang
produktif dan nyaman, melalui optimalisasi sumberdaya
lokal secara profesional dan amanah, menuju masyarakat
sejahtera, bermartabat, dan religi.
Gambar 18: Peta Geografis Kota Bau-Bau

Studi Profil Kota Pusaka

73

Sejarah Singkat
Abad 12 Perkampungan Buton Pertama oleh Mia
Patamiana
1332
Pembentukan Kerajaan Buton yang terdiri dari 4
limbo (Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan
Baluwu) dan beberapa kerajaan kecil (Tobe-tobe,
Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga)
1542
Agama Islam masuk ke Buton, kerajaan berubah
menjadi Kesultanan Buton dengan Lakilaponto
sebagai Sultan I (Sultan Murhum)
1940
Pembentukan Kerajaan Laiwui dan Kesultanan
Buton menjadi daerah administratif yang disebut
Afdeeling Buton Dan Laiwui dengan Ibukota
di Baubau. Afdeeling Buton dan Laiwui dibagi
menjadi 3 Onderaffdeling Buton dan Pulau-Pulau
Tukang Besi dengan Ibukota di Baubau
1952
Daerah Sulawesi Tenggara beribukota di Bau-Bau
1960
Pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara, Kota
Baubau menjadi Ibukota Kabupaten Buton.
Ragam Pusaka
Kekayaan pusaka di Kota Bau-Bau meliputi pusaka
alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.
Pusaka alam Bukit Wantiro dan bukit
Kolema, Pantai Kamali, Air
Jatuh,
Lembah hijau, Gua Aru Palaka, Sungai
Buton, Topografi Kota dengan Kontur
bertingkat 6, Vegetasi: beragam vegetasi
pohon produksi (mangga, sawo, belimbing
wuluh, srikaya, delima dll), pohon industri,
penghijauan, semak dan gulma.
Pusaka budaya ragawi, termasuk tata ruang
kota, benteng, dan bangunan adat. Benteng
Wolio di Kota Bau-Bau memiliki panjang
2.740 meter dan luas 22,8 Ha. Benteng ini
selesai dibangun pada masa pemerintahan
Sultan Buton VI (1632-1645).

74

Kota Pusaka

Gambar 19: Sultan I Kesultanan Buton (Sultan Murhum)

Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian


serta kuliner setempat
Manajemen
Konstitusi
Murtabat
Tujuh
lahir
berdasarkan hasil kesepakatan (konsensus)
tentang konsep hukum tata negara adat
pada Kesultanan Buton.

Gambar 20: Benteng Wolio di Bau-Bau

Gambar 22: Beragam Pusaka di Bau-Bau

Studi Profil Kota Pusaka

75

Keputusan Menteri Kebudayaan dan


Pariwisata RI No. KM8/PW007/Hxp03
tentang Penetapan Benteng Baadia, Benteng
Keraton Buton (Benteng Walio), Benteng
Bengkudu, Kompleks Gua Prasejarah Pulau
Muna dan Mesjid Agung Keraton Buton
yang berlokasi di Wilayah Propinsi Sulawesi
Tenggara sebagai BCB dan/atau situs yang
dilindungi Undang-Undang RI Nomor 5
Tahun 1992
Keputusan Walikota Bau-bau Nomor 105
Tahun 2003 tentang Penetapan Benteng
Keraton sebagai Kawasan Khusus Kota
Bau-Bau.
Penyenggaraan Festival Perairan Puma dan
Festival Keraton Nusantara pada tahun
2012.
Gambar 23: Peta Administrasi Kota Yogyakarta

madani yang dijiwai semangat Mangayu


Hayuning Bawana.

4.5. YOGYAKARTA
Kota Yogyakarta adalah ibukota Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan sekaligus tempat
kedudukan bagi Kasultanan Yogyakarta. Letaknya
di 748 5 S 11021 52 E. Kota Yogyakarta memiliki
luas wilayah 3.250 hektar

Visi Kota Yogyakarta

Sejarah Singkat

Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota


Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata yang
berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa
yang prima, ramah lingkungan serta masyarakat

76

Kota Pusaka

Visi lima tahunan (2007-2011)


1584

Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan


Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat
Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan.
Pendirian Kerajaan Mataram oleh Sutawijaya,
anak dari Ki Ageng Pemanahan, yang berganti
nama menjadi Senopati.

dua, yaitu Kasunanan Surakarta yang dipimpin


oleh Paku Buwono dan Kasultanan Yogyakarta
yang dipimpin oleh Hamengkubuwono.
1756

Kota Yogyakarta berdiri pada tanggal 7 Oktober


1756, seiring berdirinya Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan konsep tata ruang Catur
Sagatra. Pada perkembangannya, mendapat
pengaruh dari budaya lain, seperti Cina, Belanda
dan Inggris.

Ragam Pusaka
Kekayaan pusaka di Yogyakarta meliputi pusaka
alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.
Pusaka alam, terkait konsep sumbu imajiner
yang menempatkan Kota Yogyakarta
terhubung dengan Gunung Merapi dan
Laut Selatan.
Gambar 24: Struktur Ruang Kota Yogyakarta

1584-1601 Masa kejayaan Panembahan Senopati, yang


dilanjutkan oleh
Sultan Seda ing Krapyak
(1601-1613) dan Sultan Agung (1613-1646).
1618

1749

1755

Pada masa Sultan Agung, ibukota Mataram


pindah ke Karta (1618), hal ini diiringi dengan
kondisi kejayaan yang memburuk akibat campur
tangan VOC.
Perlawanan raja-raja Mataram berikutnya dengan
VOC membuat kerajaan Mataram akhirnya
terpuruk dan diserahkan pada Belanda pada
tahun 1749.
Perjanjian Giyanti, Kerajaan Mataram yang dari
Kartasura pindah ke Surakarta kemudian dibagi

Pusaka budaya ragawi, sebagai Kekuatan


pola, simbol, filosofis, yang berakar dari
nilai sejarah dan sosial-budaya, bermula
dari 4 kekuatan unsur pembentuk kota:
keraton, alun-alun, mesjid dan pasar
(caturgatra tunggal)
Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian,
festival, kerajinan serta kuliner setempat
Manajemen
Pusaka Ragawi
Pengelolaan oleh pemerintah melalui Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata.
Kota Yogyakarta belum memiliki regulasi
untuk pengelolaan pusaka pada tingkat
kota, sementara menggunakan Perda

Studi Profil Kota Pusaka

77

Gambar 25: Beragam Pusaka di Yogyakarta

D.I. Yogyakarta No. 11/2005 tentang


Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan
Benda Cagar Budaya.
Sesuai SK Gubernur DIY No. 186/
KEP/2011 tentang Penetapan Kawasan
Cagar Budaya, telah ditetapkan 5 Kawasan
Cagar Budaya di Kota Yogyakarta, yaitu:
Kawasan
Kotabaru,
Kawasan
Pakualaman, Kawasan Keraton,
Kawasan Kotagede dan Kawasan
Malioboro.
78

Kota Pusaka

1 KCB lainnya adalah Kawasan


Imogiri di Kabupaten Bantul.
Karena itu, koordinasi dan penyesuaian
antara kebijakan yang dikeluarkan
provinsi dan kota yang sering berbenturan
merupakan isu yang penting.
Kebijakan-kebijakan yang berasal dari nilai
budaya masyarakat lokal sangat dominan,
misalnya penataan Rumah Jawa yang sehat
sesuai nilai hastagrata.

Gambar 26: Kawasan Kotagede Salah


satu KCB di Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta telah mendata aset pusaka


yang berupa bangunan, sesuai UU No
11/2010 tentang Cagar Budaya, yaitu:
88 Benda Cagar Budaya, sesuai
Keputusan
Mendikbud
dan
Gubernur.
369 Bangunan Warisan Budaya,
sesuai penetapan Walikota.
42 Bangunan yang Diduga
BCB (potensial), belum ada
penetapannya.
Pengendalian pembangunan pada BCB
atau KCB dilakukan melalui mekanisme
perijinan. Pemilik bangunan pusaka yang
mengurus IMB harus berkonsultasi dengan
Dinas Kebudayaan.
Pengelolaan
pusaka
pada
tingkat
pemerintah kota sudah dijalankan dengan
diberlakukannya insentif.
Pemberian
insentif pada pemilik bangunan sejak
tahun 2010 berupa keringanan pajak

dengan kisaran 10- 90%. Dan bantuan


dana pembangunan melalui dana propinsi
/ dan kota untuk pemeliharaan beberapa
bangunan, seperti Dalem Ropingen di
Kotagede.
Pelibatan masyarakat, seperti
Kelompok pelestari, yaitu Jogja
Heritage Society (JHS) dan Madya
(Masyarakat Advokasi Warisan
Budaya),
Perguruan Tinggi, misalnya Jurusan
Arsitektur&Perencanaan UGM dan
Jurusan Arkeologi UGM
Organisasi Pelestari di kawasan
pusaka, contohnya di Kotagede
yaitu Yayasan Pusdok (Pusat Studi
dan Dokumentasi Pengembangan
Budaya Kotagede), Yayasan Kanthil,
OPKP
(Organisasi
Pelestari
Kawasan Pusaka) dan Forum Joglo
Kotagede

Studi Profil Kota Pusaka

79

Pusaka Non-Ragawi
Inventarisasi Pusaka Budaya Tak Ragawi
juga sudah mulai dibina melalui hubungan
dengan sekitar 500 paguyuban kesenian
yang aktif.
Penyelenggaraan Pekan Budaya Tionghoa
Yogyakarta (PBTY) pada awal Tahun Baru
Cina, hingga tahun 2011 sudah pelaksanaan
yang ke-6.
Tiap perayaan hari ulang tahun Kota
Yogyakarta
pada
bulan
Oktober,
diselenggarakan Festival 45 Kelurahan
yang diisi dengan pentas kesenian di tiap
kelurahan tersebut.
Pada tahun 2012, Pemerintah Kota
berencana menginventarisasi Benda Pusaka
Bergerak (Immovable Heritage), seperti
Keris, Kendi dan Tombak

4.6. TERNATE
Luas Wilayah Kota Ternate adalah 250,85 km.
Merupakan kepulauan, yang terdiri dari Pulau
Ternate, Pulau Hiri, Pulai Moti, Pulau Mayau dan
Pulai Tfure yang berpenduduk, sedangkan Pulau
Maka, Pulau Mano dan Pulau Gurida merupakan
pulau berukuran kecil yang tidak berpenghuni.
Visi Kota Ternate (2011-2015)
Terwujudnya Ternate menjadi Kota Berbudaya,
Agamais, Harmonis, Mandiri, Berkeadilan dan
Berwawasan Lingkungan atau KOTA TERNATE
BAHARI BERKESAN.
Sejarah Singkat
Abad XIII
1257
Abad XV

1512
1575
1607

1635
Gambar 27: Dragon Festival pada PBTY VI di jalan Malioboro
(Sumber: jogjatrip.com)

80

Kota Pusaka

1683

Eksodus warga dari Halmahera dan terbentuknya


4 kampung
Pembentukan Kerajaan Gapi (skrg Ternate) yang
penyatuan 4 kampung di Kampung Ternate.
Agama Islam menjadi resmi dan kerajaan
berubah menjadi KESULTANAN dengan Sultan
pertama adalah Sultan Zainal Abidin dengan
komoditi utama, yaitu rempah
Kedatangan Portugal yg berupaya menguasai
ekonomi Ternate
Portugal dikalahkan Ternate di bawah Sultan
Baabullah
Perjanjian monopoli dengan VOC atas imbal
mengusir Spanyol dan Portugal. VOC membangun
Benteng Oranje
Hongi Tochten (penebangan besar-besaran
cengkeh dan pala)
Ternate di bawah kekuasaan VOC

Gambar 28: Peta Administrasi


Kota Ternate

Ragam Pusaka

Manajemen

Kekayaan pusaka di Ternate meliputi pusaka alam,


budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.

Lembaga Pengelola di lingkup pemerintah,


yaitu

Pusaka alam, yaitu lansekap alam yang


terdiri dari Gunung Gamalama, pulaupulau, danau serta lautan.

Bidang Kebudayan - Dinas


Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Ternate

Pusaka budaya ragawi, sebagai Kedaton,


mesjid, benteng dan rumah adat

Balai
Pelestarian
Peninggalan
Purbakala (BP3) Ternate dengan
Wilayah Kerja Provinsi Papua Barat,
Papua, Maluku dan Maluku Utara

Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian,


kerajinan serta kuliner setempat

Studi Profil Kota Pusaka

81

Gambar 29: Kota Ternate yang berbasis kepulauan secara fungsional memiliki akesbilitas dengan daerah luar.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Uitzicht_op_Ternate_TMnr_3728-865.jpg

Keputusan
Menteri
Kebudayaan
dan Pariwisata RI No. 31/BCBTB/09/08469-08523 tentang SITUS/
BENDA CAGAR BUDAYA TIDAK
BERGERAK di Kota Ternate, seperti
Kedaton Sultan Ternate dan Benteng
Oranje

82

Kota Pusaka

Peranan dan Partisipasi Masyarakat, antara


lain Ternate Heritage Society (THS) dan
Jurusan Arsitektur Universitas Khairun

Gambar 30: Beragam Pusaka di Ternate

Studi Profil Kota Pusaka

83

4.7. MALANG
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Jawa Timur. Terletak pada ketinggian
antara 440-667 m dpl, serta 112,06 Bujur Timur dan 7,06-8,02 Lintang Selatan. Kota Malang
memiliki luas 110,06 Km2.

Gambar 28: Peta Administrasi Kota Malang


84

Kota Pusaka

Visi Kota Malang (2009-2013)


Terwujudnya Kota Malang sebagai kota
pendidikan yang berkualitas, kota sehat dan
ramah lingkungan, kota pariwisata yang
berbudaya, menuju masyarakat yang maju
dan mandiri.
Sejarah Singkat
1767

Belanda memasuki Kota Malang dan


mendirikan
benteng/loji/ke-loji-an/
klojen
1821 Kedudukan
Pemerintah
Hindia
Belanda dipusatkan di sekitar Kali
Brantas
1824
Malang mempunyai Asisten Residen,
sedang kedudukan residennya di
Pasuruan
1876
Dibuka hubungan kereta api antara
Surabaya, Malang dan Pasuruan
1882
Rumah-rumah di bagian barat Kota
Malang didirikan dan alun-alun
dibangun.
1914
Pada 1 April, Malang ditetapkan
sebagai Kotapraja
1942
Pada 8 Maret, Malang diduduki Jepang
1945
Pada 21 September, Malang menjadi
bagian Wilayah Republik Indonesia
1947
Pada 22 Juli, Malang diduduki kembali
Belanda
1947
Pada 2 Maret, Pemerintah Republik
Indonesia kembali memasuki Kota
Malang.
2001
Pada 1 Januari, pembentukan Kota
Malang.
Ragam Pusaka
Kekayaan pusaka di Kota Malang meliputi pusaka
alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.

Pusaka alam, yaitu lansekap alam Sungai


Brantas.
Pusaka budaya ragawi, meliputi:
Lingkungan Cagar Budaya meliputi
Lingkungan Candi Badut, Lingkungan
candi Tidar, Lingkungan Gunung
Buring, Situs Tlogomas dan Lingkungan
Polowijen;
Bangunan Cagar Budaya meliputi
bangunan-bangunan yang memiliki nilai
sejarah dan penanda kota, yaitu Balai
Kota Malang, Stasiun Kereta Api, Bank
Indonesia, Kantor Perbendaharaan dan
Kas Negara, Gereja Katedral Hati Kudus,
Sekolah Cor-Jessu, Gedung PLN, serta
perumahan yang ada di sepanjang Jalan
Besar Ijen, Toko Oen serta Masjid Agung
Jami.
Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian,
yaitu ludruk, topeng Malang, macapat,
kerajinan serta kuliner setempat.
Kondisi Pelestarian
Dari segi pelestarian pusaka, penataan ruang
Kota Malang memerlukan koordinasi antara
Pemerintah Kota dan Kabupaten yang baik.
Beberapan pusaka budaya yang penting
terletak tidak jauh dari perbatasan kota,
misalnya Candi Badut yang merupakan
candi tertua, Candi Singasari, Candi Kidal
dan candi Jago.
Kurangnya koordinasi tiga pihak, yaitu
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota
untuk duduk bersama dalam pengelolaan

Studi Profil Kota Pusaka

85

Gambar 30: Beragam Pusaka di Kota Malang

wilayah. Tata ruang Kota Malang dan


sekitarnya selayaknya berfokus pada
Malang Raya dengan wilayah kota
sebagai intinya, sesuai karakteristik Kota
Malang yang dikelilingi satelit-satelitnya
seperti Batu (18 km di barat), Lawang (18
km di utara), Kepanjen (18 km di selatan)
dan Tumpang (23 km di timur).
Peranan akademisi, seperti Universitas
Brawijaya, Universitas Negeri Malang
(eks
IKIP),
Universitas
Merdeka,
Muhamadiyah, Universitas Widyawacana
serta LSM pusaka seperti Pandu Pusaka,
Restomuseum Inggil atau Dragonfly
Society belum terlalu terlihat.

86

Kota Pusaka

Manajemen
Lembaga Pengelola di lingkup pemerintah,
yaitu
Bidang Perencanaan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Malang
Dewan Kesenian Kota Malang yang kreatif
dalam mengemas seni tradisional, di
antaranya menawarkan paket-paket tarian
dan musik gamelan.
Pemerintah Kota Malang telah menyusun
Rencana Kawasan Strategis Sosial Budaya,
Tahun 2012-2032 dengan tujuan antara
lain:

Untuk mendapatkan gambaran


terhadap sebaran kawasan Cagar
Budaya, situs-situs sejarah serta
bangunan-bangunan
bersejarah
yang ada di Kota Malang;
Menetapkan karakter desain
bangunan berarsitektur kolonial
yang ada di kawasan bersejarah
dan strategis di Kota Malang;
Untuk mengetahui perubahan
fungsi kawasan yang berkaitan
dengan kawasan Cagar Budaya,
situs-situs sejarah serta bangunanbangunan bersejarah yang ada di
Kota Malang;
Menetapkan
arahan
kriteria
karakter
desain
bangunan
berarsitektur kolonial yang dapat
digunakan sebagai pedoman
perancangan dan pengendalian
pembangunan fisik bangunan lama
dan baru di kawasan bersejarah
dan strategis di Kota Malang;
Untuk
memberikan
arahan
penetapan
serta
arahan
pemanfaatan kawasan Cagar
Budaya, situs-situs sejarah serta
bangunan-bangunan
bersejarah
yang ada di Kota Malang sebagai
kawasan strategis Kota Malang;
Meningkatkan kualitas lingkungan
dan stabilitas ekonomi dengan
menghidupkan kembali potensi
cagar budaya melalui
upaya
konservasi dan preservasi bangunan

Gambar: Peta Rencana Kawasan Strategis Sosial Kultural Kota Malang

cagar budaya serta meningkatkan


infrastruktur penunjangnya;
Peningkatan image Kota Malang secara
keseluruhan;

Studi Profil Kota Pusaka

87

Peningkatan intervensi kegiatan


yang
mampu
menciptakan
pertumbuhan
dan
stabilitas
ekonomi lokal, terintegrasi dengan
sistem kota, layak huni, berkeadilan
sosial, berwawasan budaya dan
berkelanjutan.

4.8. BANDA ACEH


Keberadaan wilayah geografis Kota Banda Aceh
terletak antara 050 16 15 - 050 36 16 Lintang
Utara dan 950 16 15 - 950 22 35 Bujur Timur
dengan tinggi rata-rata 0,80 meter diatas permukaan
laut. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh
sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61, 36 Km2

88

Kota Pusaka

Sejarah Singkat
Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah,
Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puingpuing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti
Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa,
Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari
penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande salah
satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan
Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah,
maka terungkaplah keterangan bahwa Banda Aceh
adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang
dibangun pada hari Jumat, tanggal 1 Ramadhan
601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh
Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan
Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan
ibukotanya Bandar Lamuri.

Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia


adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar.
Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle
yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di
Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang).
Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga
(kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung
Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.
Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan
Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di
seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama
Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe
Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau
juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada
tahun 691 H.
Kota Banda Aceh berumur 802 tahun
berdasarkan Peraturan Daerah Aceh Nomor 5
Tahun 1988, tanggal 22 April1205 ditetapkan
sebagai tanggal keberadaan kota tersebut. Cheng
Ho pernah singgah di Banda Aceh dalam ekspedisi
pertamanya setelah singgah di Palembang.
Pada tanggal 26 Desember 2004, kota ini dilanda
gelombang pasang tsunami yang diakibatkan oleh
gempa 9,2 Skala Richter di Samudera Indonesia.
Bencana ini menelan ratusan ribu jiwa penduduk
dan menghancurkan lebih dari 60% bangunan kota
ini. Hingga kini belum diketahui berapa jumlah
pasti penduduk Banda Aceh pasca tsunami.
Visi Kota Banda Aceh (2007-2012)
Mewujudkan
Masyarakat
Mandiri
Berkualitas, Bermartabat dan Islami

yang

Misi
1. Membangun hubungan dan keikutsertaan
masyarakat yang kuat untuk menumbuh
kembangkan kebanggaan dan kepribadian

sebagai warga Kota Banda Aceh yang Islami;


2. Mengembangkan nilai-nilai kebesaran dan
potensi daerah Kota Banda Aceh, sebagai
Ibukota Provinsi, Pusat Perdagangan,
Pendidikan dan Budaya;
3. Mengembangkan
kerjasama
dengan
masyarakat untuk memelihara dan menata
sumber daya alam dan lingkun gan untuk
dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan
sebagai warisan bagi generasi yang akan
datang;
4. Meningkatkan
derajat
kesehatan,
kesejahteraan dan keamanan serta
tumbuhnya peluang ekonomi sebagai
wujud dari kebesaran Kota Banda Aceh
yang islami;
5. Membangun Pemerintahan yang efisien,
akuntabel, transparan, partisipatif dan
mampu melayani masyarakat secara
optimal melalui pembangunan tata kelola
pemerintahan yang baik.
Ragam Pusaka
Kekayaan pusaka di Banda Aceh meliputi pusaka
alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.
Pusaka Alam, yaitu Taman Wisata Krueng
Aceh
Pusaka Budaya Ragawi, yaitu Mesjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh, Pinto Khop,
Gunongan, Makam Sultan Iskandar
Muda,Gerbang Peutjoet Kerkoff, Mesjid
Baiturrahim Ulee Lheu.

Studi Profil Kota Pusaka

89

memajukan kebudayaan dan pariwisata


daerah.
Aset pusaka ragawi yang ada di kota ditata
dan dikelola kembali agar aset pusaka dapat
memiliki daya tarik yang tinggi.

Gambar: Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Pusaka Budaya Non Ragawi, yaitu Tari


Ranup Lampuan, Tari Liko Pulo,Tari
Tarek Pukat, Tari Saman, SeruneKalee,
Geundrang, Rapai

Kondisi Pelestarian Pusaka


Dampak pembangunan baru, seperti
munculnya iklan, gedung bertingkat, tata
lingkungan yang baru seperti pembangunan
pagar dan dampak kehadiran PKL yang
belum tertata
Manajemen
Pusaka Ragawi
Pengelolaan aset pusaka dilakukan oleh
pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata.
Koordinasi dan kerjasama antara Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Daerah dengan
stakeholder/para pelaku usaha wisata dan
pihak terkait lainnya dilakukan secara
berkala dalam rangka mengembangkan dan
90

Kota Pusaka

Pusaka Non-Ragawi
Pembinaan sanggar-sanggar dan insentif
untuk pelestarian pusaka budaya intangible.
Diadakannya Pekan Kebudayaan Aceh
secara berkala untuk mempromosikan
kebudayaan secara berkala.
Pengembangan
pariwisata
yang
menghormati alam dan budaya.

4.9. AMBON

Kota Ambon berada sebagian besar dalam wilayah


pulau Ambon, dan secara geografis terletak pada
posisi: 3o-4o Lintang Selatan dan 128o-129o Bujur
Timur, dimana secara keseluruhan Kota Ambon
berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah.
Visi dan Misi (2011-2016)
Ambon yang maju, mandiri, religius,
lestari dan harmonis berbasis masyarakat
Dengan Misi:
Menata dan meningkatkan profesionalisme
birokrasi dalam pelayanan publik
Meningkatkan mutu pendidikan dan
pelayanan kesehatan yang berpihak pada
masyarakat
Menata dan meningkatkan lingkungan
lestari berbasis partisipasi masyarakat

Sejarah Singkat

Memacu pertumbuhan ekonomi dan


industri kerakyatan berbasis sumberdaya
alam yang tersedia
Meningkatkan kehidupan orang basudara
di atas kearifan lokal
Merevitalisasi penegakan hukum dan
pranata sisoal masyarakat

Pada tahun 1575, saat dibangunnya Benteng


Portugis di Pantai Honipopu, yang disebut
Benteng Kota Laha atau Ferangi, kelompokkelompok masyarakat kemudian mendiami
sekitar benteng. Kelompok-kelompok masyarakat
tersebut kemudian dikenal dengan nama soa
Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimessing
dan sebagainya. Kelompok-kelompok masyarakat
inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kota
Ambon. Dalam perkembangannya, kelompokkelompok masyarakat tersebut telah berkembang
menjadi masyarakat Ginekologis territorial yang
teratur. Karena itu, tahun 1575 dikenal sebagai
tahun lahirnya Kota Ambon. Pada tanggal 7
September 1921, masyarakat Kota Ambon diberi
hak yang sama dengan Pemerintah Colonial, sebagai
manifestasi hasil perjuangan Rakyat Indonesia asal
Maluku. Momentum ini merupakan salah satu
momentum kekalahan politis dari Bangsa Penjajah

Studi Profil Kota Pusaka

91

dan merupakan awal mulanya warga Kota Ambon


memainkan peranannya di dalam Pemerintahan
seirama dengan politik penjajah pada masa itu, serta
menjadi modal bagi Rakyat Kota Ambon dalam
menentukan masa depannya. Karena itu, tanggal
7 September ditetapkan sebagai tanggal kelahiran
Kota Ambon.
Ragam Pusaka
Pusaka Kota Ambon terdiri dari:
Pusaka Alam, yaitu laut dan pantai sangat
dominan. Terutama sebaran penduduk
yang berada di pulau-pulau kecil seperti
Pulau Seram, dan lainnya.
Gambar: Pemandangan jalanan di Ambon (1883-1889)

Sumber http://id.wikipedia.org/w/index.
php?title=Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Straat_in_
Ambon_TMnr_3728-864.jpg&filetimestamp=20100728203256

Ambon
Sumber Foto: Catrini (BPPI)

92

Kota Pusaka

Pusaka Budaya Ragawi, yaitu


Rumah tradisional sangat jarang ditemui di
Kota Saparua. Beberapa bangunan Belanda
sudah ada yang dirobohkan dan diganti
bangunan modern. Bangunan kolonial
yg masih bertahan terutama adalah gereja
dimana sebagian besar masyarakat Ambon
adalah umat kristiani. Ada peninggalan
benteng kolonial Duustende yang sudah
pernah dipugar oleh BP3 dan menjadi
bagian daftar Cagar Budaya.
Pusaka Budaya Non Ragawi:
Kerajinan tenun yang mulai dijual untuk
pariwisata dimana sebelumnya hanya untuk
konsumsi adat.

Pusaka kuliner menjadi salah satu daya tarik,


terutama kue-kue kering berbahan baku kenari,
kepiting kenari dan lainnya.
Manajemen
Pengelolaan pusaka alam sangat kurang,
kerusakan terumbu karang dan pengelolaan
sampah mulai menjadi masalah saat ini.
Berbagai upaya pemda untuk meredam
konflik sosial karena pertentangan antar
suku yang kuat. Salah satu upaya yang
disebutkan adalah pendekatan budaya dan
pemahaman pluralisme.

Benteng Duurstede Ambon


Sumber Foto: indonesiabox.com

Studi Profil Kota Pusaka

93

Anak Nias, Sumatera Utara


Sumber Foto: Catrini (BPPI)

5
Kota Pusaka, Kriteria Dan
Pengelolaannya
5.1. DEFINISI KOTA PUSAKA
Pengertian
Kota Pusaka Indonesia dipahami sebagai
Kota Pusaka adalah kota yang memiliki
kekentalan sejarah yang bernilai dan
memiliki pusaka alam, budaya baik
ragawi dan tak-ragawi serta rajutan
berbagai pusaka tersebut secara utuh
sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota
atau bagian dari wilayah/kota, yang
hidup, berkembang, dan dikelola secara
efektif.
Dengan rincian, yaitu:
1) Kota yang memiliki kekentalan sejarah yang
bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya
baik ragawi dan tak-ragawi yang terajur
secara utuh sebagai aset pusaka
Penjelasan: Kota tersebut merupakan hasil
dari proses pembentukan dan transformasi
Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka

terus-menerus, seringkali mendapat pengaruh


dari berbagai budaya yang berbeda.
Kekayaannya karena itu terdiri dari kondisi
alam, bangunan pusaka dan komponen fisik
lainnya serta beragam bahasa, kesenian,
kerajinan yang dikembangkan oleh berbagai
etnis yang tinggal.
2) Dapat berupa kawasan pusaka sebagai
bagian dari kota tersebut
Penjelasan: Kawasan yang memiliki
kekentalan sejarah biasanya sebagian saja dari
wilayah kota yang lebih luas1, pada beberapa
kasus merupakan bagian dari suatu wilayah
administasi kabupaten.
3) Yang hidup dan berkembang serta dikelola
secara efektif.
1 Johnson, Jim. The Future of Historic Cities The Case
of Edinburgh dalam The Future of Historic Cities. An
International Symposium, Kyoto, 7-8 Oktober 1995.
95

Gambar 1: Skema Identifikasi Kota Pusaka

Penjelasan: Pengembangan vitalitas ekonomi


dan juga kehidupan sosial budaya dari sebuah
kawasan bersejarah, yang kemudian berperan
dalam menjaga keberlangsungan area serta
karakternya2.
Pusaka pada setiap kota merupakan
keunikan dan aset yang nilainya berbeda
antara satu kota dan lainnya. Penataan
ruang hendaknya merupakan upaya yang
bertujuan untuk mengelola keunikan
serta aset tersebut untuk memastikan
keberlanjutannya. Sebagai bagian dari
penataan ruang, pengelolaan pusaka
juga bertujuan akhir untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat secara adil
dan merata. Pusaka tidak hanya tentang
objek itu sendiri, tetapi juga sikap terkait
pengelolaannya. Mulai dengan mengenali
serta memahami aset yang ada dalam konteks
2 Johnson, Jim. The Future of Historic Cities The Case
of Edinburgh dalam The Future of Historic Cities. An
International Symposium, Kyoto, 7-8 Oktober 1995.

96

Kota Pusaka

ruangnya dan bagaimana merencanakan,


memanfaatkan
serta
mengendalikan
pemanfaatannya dengan baik. Pada kota
yang memiliki aset pusaka, penting untuk
berfokus pada keberlanjutannya, selain
semata-mata untuk upaya pengawetan.
Manfaat
Untuk mengenali apakah sebuah kota
merupakan Kota Pusaka Indonesia, atau
bahkan dapat dinominasikan sebagai kota
pusaka dunia. Untuk mengenali kota yang
memenuhi deskripsi sebagai kota pusaka
dunia sebagaimana telah disebutkan oleh
UNESCO, yaitu kota yang penting dan
istimewa sehingga melampaui batasbatas nasional dan memiliki nilai penting
bagi umat manusia di masa kini maupun
mendatang.
Komponen
Kriteria penilaian suatu pusaka dunia
disebut Keunggulan Nilai Sejagat (KNS),
sedangkan kriteria penilaian pusaka nasional
disebut Keunggulan Nilai Nasional (KNN).

Tabel 1: KNS dan KNN


Keunggulan Nilai Sejagat
(Outstanding Universal Value)3

Keunggulan Nilai Nasional

1. Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif manusia


2. Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang
waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur,
teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan
lansekap;
3. Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari
suatu tradisi budaya atau peradaban baik yang sudah lenyap
maupun yang masih ada;
4. Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur
atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang
penting dalam sejarah manusia

1. Menunjukkan evolusi panjang kesejarahan tumbuh


kembang kota. yang terlihat dari tinggalan berbentuk
struktur kota, bentang alam, wajah jalan, monumen,
arsitektur, teknologi serta seni budaya yang istimewa
2. Menampilkan dan menjadi contoh ciri khas lokal maupun
percampuran antar budaya daerah/bangsa
3. Memiliki peran sebagai wadah perkembangan peradaban,
tradisi, gerakan perjuangan bangsa, atau kejadian yang
istimewa bagi negara

5. Menjadi contoh utama permukiman, tata guna lahan atau tata


guna lautan tradisional yang merupakan representasi budaya atau
interaksi manusia dengan lingkungan khususnya jika situs tersebut
terancam oleh perubahan yang permanen
6. Berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan
kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai
penting universal yang menonjol.
3

The Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention

Permasalahan
Dari hasil survey, pemerintah kota
maupun organisasi masyarakat / komunitas
pemerhati pelestarian setempat telah dapat
mengenali adanya aset pusaka baik yang
teraga maupun tidak teraga. Namun begitu,
belum semua mengkaji sejarah kotanya
secara lengkap dan bagaimana proses
bentukan kota tersebut terjadi. Dengan
begitu, mengenali sebuah kota termasuk

kota pusaka dunia atau bukan masih


memerlukan kajian tersendiri.
Good Practice
Adanya
perguruan
tinggi
yang
mengembangkan kajian-kajian membantu
mengenali kota seperti Yogyakarta atau
Bukittinggi sebagai kota pusaka. Berbagai
skripsi, tesis dan disertasi menunjukkan
evolusi panjang kesejarahan tumbuh

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

97

Gambar 2: Buku Terbitan Pemerintah Kota Baubau

kembang kota serta asset pusaka lainnya.


Contohnya Buku berjudul Kota-Kota
Pantai di Sulawesi Tenggara karangan La
Ode Rabbani (2010) yang menceritakan
Baubau, selain Kota Kendari dan Muna.
Pada tahun 2011 lalu, pemerintah Kota
Baubau menerbitkan pula buku berjudul
Kota Baubau, Sejarah dan Perjalanannya.

5.2. RUMUSAN VISI


Pengertian
Visi adalah rangkaian kalimat yang
menyatakan cita-cita atau impian sebuah
organisasi yang ingin dicapai di masa
datang. Dalam visi suatu organisasi terdapat
juga nilai-nilai, aspirasi serta kebutuhan
98

Kota Pusaka

organisasi di masa depan. Karena itulah, visi


merupakan hal yang sangat krusial untuk
menjamin kelestarian dan kesuksesan jangka
panjang. Untuk menyusun sebuah visi,
tentunya pemerintah kota dan masyarakat
mengenali potensi dan nilai pusaka dan
memiliki wawasan untuk memberi arah
dalam pengelolaan potensi pusaka. Dengan
demikian, bagi kota pusaka visi berarti
pernyataan untuk memelihara aset pusaka
dan memperkuat jatidiri atau identitasnya,
sekaligus untuk memberi kemajuan
terhadap kota dan masyarakatnya.
Manfaat
Cita-cita keberlanjutan ini hendaknya dapat
terbaca dari rumusan visi tiap kota pusaka.

Perencanaan
Pemb.Nasional

PenataanRuang

Kota
Pusaka Dunia
Kota
Pusaka
Nasional

Kota
Pusaka
Nasional

Kota
Pusaka
Nasional

Visi
Pembangunan
Kota

Tujuan,
Kebijakan dan
Strategi

Gambar 3 : Kedudukan RTRW dalam


Sistem Penataan Ruang dan Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional

Berwawasan
Pusaka

5-8

Melalui visi, terlihat apakah pemerintah


kota mengenali aset pusakanya. Visi ini
kelak menjadi acuan bagi pengembangan
tujuan, pengembangan serta strategi
pelaksanaan penataan ruang yang berbasis
pengelolaan aset pusaka.

disusun oleh Kepala Daerah3. Rumusan


ini yang kemudian diacu dalam berbagai
dokumen perencanaan sektoral lainnya
yang disusun oleh daerah. Rumusan visi
yang disebutkan dalam dokumen RPJMD
sebaiknya telah berwawasan pusaka.

Komponen
Visi kota dinyatakan dalam RPJPD (20
tahun) atau RPJMD (5 tahun) yang harus

3 Menurut UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

99

Permasalahan
RPJM disusun oleh kepala daerah yang telah ditetapkan. Dalam waktu singkat, terlihat sulit untuk
mengenali secara utuh aset pusaka yang dimiliki kota atau kabupaten bersangkutan.
Good Practice
Berikut beberapa kota yang menyebutkan unsur budaya dalam rumusan visinya, yaitu:
Kota Bau-Bau

Kota Sawahlunto

Terwujudnya Kota Bau-Bau Kota Tambang yang Berbudaya


Sebagai Pusat Perdagangan dan
Pelayanan Jasa Yang Nyaman,
Maju, Sejahtera dan Berbudaya
pada Tahun 2023

Visi lima tahunan (2008-2013):


Terwujudnya Kota Baubau sebagai
Kota Budaya yang produktif dan
nyaman,
melalui
optimalisasi
sumberdaya lokal secara profesional dan
amanah, menuju masyarakat sejahtera,
bermartabat dan religi.

5.3. PENGELOLAAN KOTA PUSAKA


Keberadaan pusaka melekat pada proses penataan
ruang dan karena itu, terwujud dalam berbagai
dokumen keluarannya. Dalam praktiknya, proses
ini meliputi bidang penataan ruang dan cipta
karya. Dokumen yang dimaksud di sini termasuk
perencanaan tata ruang serta tata bangunan dan
lingkungan.
Sebagaimana diketahui, reformasi dan otonomi
telah berpengaruh pada perubahan pendekatan
100

Kota Pusaka

Kota Yogyakarta
Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan
yang berkualitas, Pariwisata yang berbudaya, pertumbuhan
dan pelayanan jasa yang prima, ramah lingkungan serta
masyarakat madani yang dijiwai semangat Mangayu Hayuning
Bawana

Gambar 3. Proses Perubahan Para Pelaku Penataan Ruang


(Sumber: http://www.penataanruang.net/ta/Lapak05/P2/3/Bab3.pdf)

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

101

penataan ruang. Yang semula masyarakat sebagai


objek peraturan menjadi masyarakat sebagai subjek
peraturan serta dengan keanekaragaman perilaku.
Pendekatan ini menuntut peranan pemerintah
untuk menggali dan mengembangkan visi bersama
antara pemerintah dan kelompok masyarakat di
dalam merumuskan wajah ruang kota di masa
depan, kualitas ruang serta aktivitas yang diinginkan
dan dilarang pada suatu kawasan. Karena itu,
peran serta masyarakat semakin meningkat dengan

102

Kota Pusaka

keikutsertaan kelompok-kelompok yang ada


dalam masyarakat seperti ormas, pers, organisasi
masyarakat / komunitas pemerhati pelestarian, dan
sebagainya.
Melihat skema tersebut, proses perencanaan
dapat diperkuat dengan mengintegrasikan langkahlangkah dalam proses perencanaan pelestarian
(conservation plan). Langkah tersebut sebagai
berikut:

Gambar 5 : SKEMA KERANGKA RENCANA PELESTARIAN

IDENTIFIKASI
SIGNIFIKANSI
RENCANA
TINDAK

O&P

ATURAN
PELESTARIAN

5-14

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

103

5.4. IDENTIFIKASI PUSAKA

satuan ruang geografis yang didaftarkan


layak sebagai Cagar Budaya.

5.4.1. Identifikasi Pusaka

3) Presentasi

Pengertian
Merupakan upaya untuk mengenali aset
pusaka pada sebuah wilayah secara utuh serta
memahami arti penting/signifikansinya.
Manfaat
Menjadi dasar dalam mengelola aset
pusaka secara efektif, sesuai dengan potensi
maupun kebutuhan penanganan.
Komponen
Merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri
dari tiga langkah berikut:
1) Inventarisasi
Dokumentasi

Aset

Pusaka

&

Kegiatan pengumpulan data tentang


Pusaka Alam termasuk bentang alam/
landscape, Budaya Ragawi & Tak
Ragawi, Rajutan berbagai pusaka,
public realm/ruang antar bangunan,
pemandangan indah/panorama.
2) Registrasi
Kegiatan penetapan daftar pusaka
sesuai dengan kriteria, kaitannya
terhadap UU 11/2010 yaitu UU
11/2010, Pasal 33 menyatakan Bupati/
Walikota berwenang mengeluarkan
penetapan status Cagar Budaya setelah
rekomendasi diterima dari Tim Ahli
Cagar Budaya yang menyatakan benda,
bangunan, struktur, lokasi, dan/atau

104

Kota Pusaka

Kegiatan ekspos inventarisasi maupun


dokumentasi pusaka, dapat berupa
barang cetak, digital, public accessible
web dan peta pusaka/heritage map
Permasalahan
Dari hasil survey, antara satu kota dan
lainnya memiliki pemahaman yang
berbeda mengenai kegiatan inventarisasi.
Kelengkapan juga dipengaruhi cara melihat
yang biasanya ditentukan sektor apa yang
melakukan kegiatan tersebut.
Good Practice
1) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,
Pemerintah Kota Yogyakarta telah
mendata dan menetapkan aset pusaka
kota yang berupa bangunan, yaitu:
a. 88 Benda Cagar Budaya, sesuai
Keputusan
Mendikbud
dan
Gubernur.
b. 369 Bangunan Warisan Budaya,
sesuai penetapan Walikota.
c.
42 Bangunan yang Diduga
BCB (potensial), belum ada
penetapannya.
2) Pemerintah Kota Banjarmasin telah
mendata Grup Musik Panting (11
kelompok), Grup Sanggara Tari, (11
kelompok) dan Sinoman Haderah (14
kelompok);

Manfaat

5.4.2. Identifikasi Bencana


Pengertian
Identifikasi bencana sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari kegiatan inventarisasi dan
dokumentasi. Pada saat pendataan, penting
untuk mengetahui adanya ancaman
bencana serta dampaknya (kerentanan
atau vulnerability) terhadap aset pusaka di
wilayah tersebut.
Bencana yang dimaksudkan dalam sub bab
ini adalah bencana yang diakibatkan oleh
alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah
longsor, banjir dan sebagainya, sementara
di sisi lain bencana dapat pula diartikan
bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia
(sumber: Heritage Emergency Response in
Indonesia, Recovery and Sustainability After
Disaster, by Catrini P. Kubontubuh- article
in Emergency in Conflict and Disaster Prince Claus Fund 2011).

Apabila dideteksi lebih awal, dapat dilakukan


kegiatan untuk mengurangi resiko bencana
terhadap pusaka. Pada saat terjadi bencana,
dapat melakukan kegiatan Penilaian Cepat
Pusaka Rusak (PCPR) secara efektif.
Komponen
1) Resiko Bencana
Identifikasi terhadap adanya ancaman
bencana pada wilayah dengan asset
pusaka, dapat ditunjukkan dengan Peta
Rawan Bencana.
2) Ancaman
Pusaka

Bencana

terhadap

Aset

Identifikasi kerentanan asset pusaka,


dapat ditunjukkan dengan peta yang
merupakan overlay Peta Rawan Bencana
dan Peta Pusaka

Gambar : Peta Pusaka Dunia Hoi An, Vietnam (kiri) dan Vigan, Filipina (kanan)
Sumber: http://whc.unesco.org/

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

105

Permasalahan
Meski wilayah Indonesia kini memiliki
kesadaran kebencanaan, namun belum
semua wilayah telah memiliki peta rawan
bencana. Lebih lanjut, pemetaan terhadap
kerawanan pusaka belum menjadi bagian
upaya manajemen resiko bencana saat ini.
Good Practice
-5.4.3. Penilaian Signifikansi
Pengertian
Merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi
kawasan pusaka pada suatu kota/kabupaten
dan menunjukkan elemen-elemennya yang
penting. Yang dimaksud elemen, baik
berupa bangunan, lingkungan terbangun
maupun alaminya.

Manfaat
Memastikan pengelolaan pusaka yang
berbasis pada signifikansinya dapat
membuat tindakan penanganan yang lebih
efektif.
Komponen
1)

Lingkup kawasan pusaka


Identifikasi kawasan inti serta
kawasan pendukung (bila ada),
didukung dengan gambar peta.

2) Deskripsi
Identifikasi kawasan-kawasan pusaka
pada suatu wilayah, berupa karakter
serta letaknya.
3) Keberadaan Tim ahli Cagar Budaya
sesuai UU 11/2010 di tingkat kota/
kabupaten, serta tidak menutup
partisipasi dari organisasi masyarakat/
komunitas pelestarian di daerah
tersebut.

Gambar 6 : Kawasan Kotagede


Sebagai KCB di Kota Yogyakarta

106

Kota Pusaka

Permasalahan
Kerap kali terjadi salah paham terhadap
lingkungan pusaka yang merupakan
bagian dari kawasan lindung, contohnya:
lingkungan pusaka yang terkontaminasi
dengan adanya kegiatan perdagangan,
jasa dan lainnya. Dengan demikian perlu
kiranya dibuatkan Dokumen Perencanaan

Kawasan Pusaka yang lebih rinci untuk


mengatur hal tersebut.
Good Practice
1) Pemerintah
Kota
Bau-Bau
mengeluarkan Keputusan Walikota No.
105 Tahun 2003 tentang Penetapan
Benteng Keraton sebagai Kawasan
Khusus Kota Bau-Bau.
2) Sesuai SK Gubernur DIY No. 186/
KEP/2011 tentang Penetapan Kawasan
Cagar Budaya, Pemerintah Provinsi
D.I. Yogyakarta menetapkan 5 Kawasan
Cagar Budaya di Kota Yogyakarta, yaitu:
Kawasan
Kotabaru,
Kawasan
Pakualaman, Kawasan Keraton,
Kawasan Kotagede dan Kawasan
Malioboro.
3) Pemerintah Kota Malang menetapkan
Kawasan Strategis Sosial-Budaya dalam
RTRW Kota Malang Tahun 20102030.
5.4.4. Aturan Pelestarian
a) Pengertian
Merupakan upaya untuk mengendalikan
implementasi perencanaan pelestarian
yang telah disusun dengan berbagai
instrumen,
seperti
peraturan
perundangan.

Gambar 6 : Kawasan Strategis Sosial-Budaya di Kota Malang

b) Manfaat
Mendorong implementasi pemanfaatan
ruang yang berkualitas, termasuk

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

107

memastikan keterlibatan masyarakat


dan swasta untuk bersama-sama dengan
pemerintah dalam mengelola aset
pusaka.
Komponen
1) Kelembagaan Pelestarian
Terlembaganya upaya menjalankan
pelestarian, yang terwujud pada
tata kelola pengelolaan, yang
merupakan kerja bersama antara
SKPD, Swasta, PTN, organisasi
masyarakat / komunitas pemerhati
pelestarian peduli pelestarian.
Termasuk memberi payung untuk
upaya pelestarian, seperti peraturan

tentang perlindungan, pengelolaan


dsb.
2) Komunitas Pelestarian
Keberadaan pelaku atau organisasi
masyarakat / komunitas pemerhati
pelestarian yang semakin meningkat
kapasitasnya dan berpartisipasi
dalam proses pelestarian.
3) Kompetensi Pelestarian
Keahlian teknis yang dimiliki
para pelaku pelestarian pusaka,
baik pada lingkup perencanaan &
perancangan dan teknis penanganan
bangunan.

Gambar : Peta Rencana Perlindungan Kawasan Pusaka (PSMV) Kota Paris

Sumber: http://www.mairie4.paris.fr/mairie04/jsp/site/Portal.jsp?page_id=140
108

Kota Pusaka

Permasalahan

Komponen

Keberdayaan masyarakat merupakan isu


penting saat ini. Meskipun demikian,
tidak tiap kota memiliki warga yang
baik untuk sukarela terlibat dalam
kegiatan kota, termasuk pelestarian ini.
Good Practice
Pemerintah DIY melalui Perda DIY No.
10 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
KCB dan BCB telah menyebutkan
pengelolaan pusaka tidak hanya
menjadi peran pemerintah, tetapi juga
masyarakat. Contohnya di Kawasan
Kotagede, Forum Joglo telah menjadi
mitra pemerintah dalam pengembangan
kawasan.
5.4.5. Rencana Tindak Pelestarian
Pengertian
Merupakan kegiatan untuk mendorong
pengelolaan aset pusaka suatu wilayah,
baik pemeliharaan, pemanfaatan dan
pengendalian.
Manfaat

1) Informasi & Edukasi Pelestarian


Kegiatan untuk sosialisasi pemahaman
pelestarian pusaka secara konsisten
melalui Jelajah Pusaka atau Heritage
Trail dan Pendidikan Pusaka atau
Heritage Education.
2) Olah Disain Arsitektur/kawasan Pusaka
Pemanfaatan & pengembangan aset,
yang dalam peraturan perundangundangan disebutkan bahwa untuk
perencanaan yang lebih rinci pada
kawasan khusus seperti kawasan pusaka
dibuatkan Rencana Revitalisasi atau
RTBL.
3) Prasarana & Sarana Pelestarian
Pengembangan prasarana & sarana
yang mendukung pemanfaatan aset
pusaka, misalnya di sektor transportasi
berupa akses lalu lintas, transportasi
publik, pejalan kaki & jalur pesepeda,
akses untuk semua
Permasalahan

Memastikan aset pusaka tidak hanya dilindungi, tetapi juga dilestarikan dalam
bentuk berbagai kegiatan perlindungan,
dimanfaatkan dan dikembangkan untuk
kesejahteraan warga kota. Penting pula
untuk mendorong keterlibatan masyarakat,
dengan menciptakan kegiatan yang bisa
membangkitkan kesadaran masyarakat.

Olah desain pusaka atau adaptive


reuse pada sebuah kegiatan pelestarian
sering berbenturan maksudnya dengan
pemahaman pusaka yang kaku, harus
dilindungi tanpa diberi fungsi kembali;
sehingga yang sering terjadi obyek pusaka
yang sudah dilindungi terbengkalai karena
tidak ada kegiatan didalamnya.

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

109

Gambar 7: Beberapa Pusaka Tambang yang Telah Dimanfaatkan Kembali

Good Practice
Pemerintah Kota Sawahlunto dengan
visinya Kota Tambang yang Berbudaya
mengembangkan
rencana
revitalisasi
berbagai aset pusaka tambang. Aset tersebut
bukan untuk kegiatan tambang, namun
dihadirkan untuk fungsi baru yang terkait
dengan kegiatan pariwisata. Antar objek
tersebut diangkat dalam satu rangkaian
jelajah, melalui kegiatan jelajah pusaka/
heritage trail.
5.4.6. Operasi dan Pemeliharaan
Pengertian
Merupakan upaya untuk terus-menerus
mendayagunakan atau memanfaatkan

110

Kota Pusaka

serta memelihara kelestarian bangunan


pusaka. Pemanfaatan untuk kegiatan
kehidupan sebaiknya selaras dengan
keberadaan pusaka tersebut, dan
tidak memberikan ancaman terhadap
kelestariannya. Pemanfaatan membuat
aset pusaka tidak menjadi peninggalan
mati, melainkan lebih hidup dan
sekaligus menjadi lebih terpelihara.
b) Manfaat
Mendorong implementasi pemanfaatan
ruang yang berkualitas, termasuk
memastikan keterlibatan masyarakat
dan swasta untuk bersama-sama
dengan pemerintah dalam mengelola
aset pusaka. Pemanfaatan menjadikan
aset pusaka tidak terlantar dan lebih
terkendali.

Komponen
1) Kewirausahaan Pelestarian & Investasi
pusaka/Heritage investment
Kegiatan yang bersifat komersial
dalam
memanfaatkan
dan
mengembangkan aset pusaka, baik
berupa pengembangan ekonomi
lokal atau menghadirkan investasi
berupa modal usaha untuk kegiatan
baru.
2) Dinamika Budaya
Kreatif dan dinamis dalam
pengembangan kegiatan budaya,
termasuk pencangkokan kegiatan
baru pada aset pusaka, seperti
kegiatan festival
3) Pemasaran/marketing
Kreatif dan dinamis dalam
menyebarkan informasi mengenai
kota pusaka atau kawasan di
dalamnya beserta aset yang
ada
dengan
tujuan
untuk
mempengaruhi
munculnya
berbagai macam kegiatan.
Permasalahan
Kunci operasi dan pemeliharaan adalah
kreativitas dalam menghasilkan
inovasi.
Pada
intinya
adalah
menghasilkan sesuatu di luar kekakuan
kebiasaan yang ada, yang tidak
semua orang dapat melakukannya.
Terutama untuk pemerintah pusat ata
daerah, batasannya adalah peraturan
perundangan-undangan yang telah
mengatur apa yang menjadi tupoksinya.

Good Practice
Pemerintah Kota Yogyakarta beberapa
tahun terakhir menyelenggarakan
beberapa festival yang berbasis
pada potensi pusaka setempat.
Misalnya Pekan Budaya Tionghoa
Yogyakarta (PBTY), yang tahun 2012
masuk pelaksanaan yang ketujuh.
Pelaksanaannya selalu diselenggarakan
di Kawasan Ketandan, yang dianggap
sebagai kawasan Pecinan awal di Kota
Yogyakarta. Dengan begitu, festival ini
juga sekaligus menghidupkan kembali
gairah di kawasan tersebut.
Pemerintah Kota Banjarmasin rutin
menyelenggarakan festival tahunan,
seperti Festival Budaya Pasar Terapung,
yang antara lain berisi Lomba Jukung
tradisional.

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

111

Rumah adat, Nias


Sumber Foto: BPPI

Kesimpulan
dan Rekomendasi
Mesjid Raya Al-Mashun, Medan
Sumber Foto: BPPI

6.1. KESIMPULAN
6.1.1. Rasionalisasi
Dari pembahasan sebelumnya, dapat ditarik suatu
pemahaman tentang Kota Pusaka Indonesia, yaitu

Kota yang memiliki kekentalan sejarah yang


bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik
ragawi dan tak-ragawi yang terajut secara utuh
sebagai aset pusaka dan/atau dapat berupa
kawasan pusaka sebagai bagian dari kota
tersebut yang hidup dan perlu berkembang serta
dikelola secara efektif.

UNESCO merupakan badan dunia yang telah


membuat kriteria pusaka dunia, termasuk kota
pusaka dunia. Kota yang memenuhi deskripsi
sebagai kota pusaka dunia sebagaimana telah
disebutkan oleh UNESCO merupakan kota yang
penting dan istimewa sehingga melampaui batasbatas nasional dan memiliki nilai penting bagi
umat manusia di masa kini maupun mendatang.
Karena itu, perlu dicermati apakah kota tersebut
merupakan Kota Pusaka Indonesia, atau bahkan
dapat dinominasikan sebagai kota pusaka dunia.
Kriteria penilaian suatu objek pusaka dunia
disebut Keunggulan Nilai Sejagat/KNS mengikuti
dokumen Operational Guidelines, sedangkan

Kesimpulan dan Rekomendasi

113

kriteria penilaian objek pusaka nasional disebut


Keunggulan Nilai Nasional (KNN).
Untuk dapat disebut memiliki nilai sejagad yang
unggul atau menonjol, suatu objek harus memenuhi
syarat integritas dan/atau keotentikan dan haruslah
memiliki sistem pelindungan dan pengelolaan
untuk menjamin kelestariannya. Untuk itu, kota

pusaka harus memiliki masterplan pelestarian dan


pengelolaan (conservation plan). Perencanaan yang
berorientasi pada tindakan ini diperlukan untuk
memperkuat keberadaan dokumen perencanaan
yang ada, seperti dokumen RPJMD, RTRW atau
RDTR.

Keunggulan Nilai Sejagat


(Outstanding Universal Value)
1. Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif manusia
2. Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang
waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi,
seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap;
3. Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari suatu
tradisi budaya atau peradaban baik yang sudah lenyap maupun yang
masih ada;
4. Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau
teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang penting
dalam sejarah manusia
5. Menjadi contoh utama permukiman, tata guna lahan atau tata guna
lautan tradisional yang merupakan representasi budaya atau interaksi
manusia dengan lingkungan khususnya jika situs tersebut terancam
oleh perubahan yang permanen
6. Berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan
kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai penting
universal yang menonjol.

114

Kota Pusaka

Keunggulan Nilai Nasional


1. Menunjukkan evolusi panjang kesejarahan tumbuh
kembang kota. yang terlihat dari tinggalan berbentuk
struktur kota, bentang alam, wajah jalan, monumen,
arsitektur, teknologi serta seni budaya yang istimewa
2. Menampilkan dan menjadi contoh ciri khas lokal maupun
percampuran antar budaya daerah/bangsa
3. Memiliki peran sebagai wadah perkembangan peradaban,
tradisi, gerakan perjuangan bangsa, atau kejadian yang
istimewa bagi negara

6.1.2. Kota Pusaka dalam Sistem Perencanaan


Tata Ruang
Keberadaan Kota Pusaka tidak lepas dari konsep
historic urban landscapes (HUL). Penjelasannya
dapat dilihat dalam VIENNA MEMORANDUM
on World Heritage and Contemporary Architecture
Managing the Historic Urban Landscape tahun
2005.
The historic urban landscape refers to ensembles
of any group of buildings, structures and open
spaces, in their natural and ecological context,
including archaeological and paleontological
sites, constituting human settlements in an urban
environment over a relevant period of time, the
cohesion and value of which are recognized from the
archaeological, architectural, prehistoric, historic,
scientific, aesthetic, socio-cultural or ecological
point of view. This landscape has shaped modern
society and has great value for our understanding of
how we live today.
The historic urban landscape is embedded with
current and past social expressions and developments
that are place-based. It is composed of characterdefining elements that include land uses and
patterns, spatial organization, visual relationships,
topography and soils, vegetation, and all elements
of the technical infrastructure, including small scale
objects and details of construction (curbs, paving,
drain gutters, lights, etc.).
HUL dapat berupa seluruh bagian kota atau
bagian tertentu saja. Dalam pengelolaan sebuah
kota, HUL merupakan satu aspek yang perlu
dikelola dengan benar dan harus signifikansinya
perlu teridentifikasi dengan lengkap.
Dalam ketataruangan, kawasan tersebut
dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis.

Dokumen perencanaan dari kota/kabupaten yang


bersangkutan perlu diperkuat lebih lanjut
6.1.3. Kota Pusaka Indonesia
Kondisi serta lingkup pengelolaan satu kota dan
lainnya saat ini berbeda. Perbedaan ini dapat
disebabkan keberadaan SDM serta kapasitasnya
yang belum optimal dalam pengelolaan. Bisa
disebabkan pengenalan yang masih awal atau justru
pengabaian, yang terwujud dalam berbagai kebijakan
pembangunan atau kesadaran masyarakat yang
masih rendah. Hal ini yang hendak dipengaruhi,
yaitu kapasitas pengelolaan suatu kota sehingga
asset pusaka yang dimilikinya dapat dilestarikan
dengan berkelanjutan.
Dari pengamatan terhadap beberapa kota,
tidak ada kota yang secara utuh telah mengelola
asset pusakanya berdasarkan aspek di atas. Namun
demikian, dapat digambarkan bahwa:
-
Sebuah kota yang memiliki cita-cita dalam
mengelola asset pusakanya, setidaknya telah
mengenal atau setidaknya mencoba untuk
mengenali asset pusaka yang dimiliki, dan
ditandai dengan adanya daftar pusaka atau
inventarisasi pusaka, baik untuk pusaka
alam maupun budayanya. Daftar pusaka
ini disusun oleh SKPD bidang kebudayaan,
biasanya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
yang didukung adanya lembaga pelestarian,
seperti LSM atau perguruan tinggi yang aktif.
Kebijakan di lingkup ini adalah perlindungan,
biasanya diterbitkannya peraturan daerah
terkait perlindungan pusaka. Selanjutnya,
kota tersebut yang mengenali aset pusakanya
telah melihat pula pentingnya aset tersebut
sebagai bagian dari pembangunan kota.

Kesimpulan dan Rekomendasi

115

Karena itu, mendorong kesadaran dan


keterlibatan masyarakat dan memanfaatkan
pula untuk mendorong tumbuhnya jati diri
kota tersebut.
Kota-kota yang lebih maju telah
mengembangkan berbagai gagasan inovatif
baik secara fisik maupun dengan pengadaan
kegiatan budaya dalam pemanfaatan asset
yang dimilikinya.

6.2 REKOMENDASI
1) Per Desember 2004, Indonesia terdiri dari
349 kabupaten/kabupaten administrasi dan
91 kota/kota administrasi yang tersebar di 33

116

Kota Pusaka

provinsi. Dari jumlah tersebut, sekitar 48 kota/


kabupaten telah menjadi anggota Jaringan
Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang karena
itu dapat dilihat sebagai kota pusaka. Sejauh
ini, 18 kota/kabupaten (lihat lampiran) telah
memiliki peraturan daerah tentang RTRW
atau substansinya telah disetujui. Nuansa
pusaka dalam RTRW Kota/kabupaten ini
perlu untuk diperkuat melalui sebuah program
pendampingan.
2) Perencanaan tata ruang sendiri merupakan
dasar pengelolaan spasial sebuah wilayah,
yang merupakan alat untuk menilai
bagaimana sebuah kota/kabupaten mengenali
kewilayahannya sebagai sebuah kota pusaka.
Secara formal, dalam peraturan perundangan-

undangan menyebutkan adanya kawasan


strategis, dimana kawasan strategis nasional
social budaya merupakan pusaka dunia, seperti
Kawasan Borobudur dan Prambanan. Konsep
kawasan strategis ini perlu dikembangkan lebih
lanjut untuk juga dapat mencakup pengelolaan
dan pelestarian kota pusaka.
3) Rencana tata ruang saat ini bukanlah bertipe
comprehensive planning, melainkan collaborative
planning yang di dalam prosesnya melibatkan
berbagai stakeholder, baik pemerintah sendiri,
swasta maupun masyarakat. Ketiga elemen ini
masih perlu diperinci lebih jauh, sebagai contoh,
bidang apa saja di pemerintahan yang dapat
terlibat dan kegiatan apa saja yang sudah atau
akan dikerjakan sehingga bisa menghasilkan

sinergi antar sector yang berkaitan. Karena


itu, dalam jangka panjang perlu upaya untuk
melibatkan berbagai stakeholder melalui
kesepakatan pengelolaan dan pelestarian kota
pusaka yang berbasis pada tata ruang.
4) Kajian ini masih merupakan awal, untuk
menunjukkan gambaran kondisi pelestarian
dan pengelolaan dengan sampel 9 kota yang
merupakan anggota JKPI. Tetap diperlukan
suatu kajian yang lebih mendalam. Meski
demikian, kajian ini menjadi awal untuk
program yang lebih sistematis. Diharapkan
melalui kajian ini, dapat dirumuskan suatu
Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka
untuk mencapai Kota Pusaka Indonesia,

NAMA ANGGOTA JARINGAN KOTA PUSAKA INDONESIA & STATUS RTRW


No

Lingkup

Nama Wilayah

Propinsi

Status RTRW

1 Kota

Ambon

Maluku

Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/743 tanggal 9 April 2010

2 Kota

Banda Aceh

NAD

Perda Nomor 4 tahun 2009

3 Kota

Bengkulu

Bengkulu

BKPRN tanggal 9 November 2011

4 Kota

Bukittinggi

Sumatera Barat

Perda Nomor 6 tahun 2010

5 Kota

Bau-bau

Sulawesi Tenggara

Persetujuan Substansi No.Hk.01 03-Dr/247 tanggal 24 Mei 2011

6 Kota

Blitar

Jawa Timur

Perda Nomor 9 tahun 2011

7 Kota

Banjarmasin

Kalimantan Selatan

Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/258 tanggal 31 Mei 2011

8 Kota

Bontang

Kalimantan Timur

Persetujuan Substansi No.Hk.01 03-Dr/154 tanggal 30 Maret


2011

9 Kota

Bogor

Jawa Barat

Perda Nomor 8 tahun 2011

10 Kabupaten

Bangka Barat

Kepulauan Bangka
Belitung

Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/204 tanggal 29 April


2011

11 Kabupaten

Bangli

Bali

Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/298 tanggal 7 Juli 2011

12 Kabupaten

Buleleng

Bali

Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/1007 tgl 30 Desember


2011

Kesimpulan dan Rekomendasi

117

13 Kabupaten

Brebes

Jawa Tengah

Perda Nomor 2 Tahun 2011

14 Kabupaten

Banjarnegara

Jawa Tengah

Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/148 tanggal 30 Maret


2011

15 Kabupaten

Banyumas

Jawa Tengah

Perda Nomor 10 tahun 2011

16 Kabupaten

Batang

Jawa Tengah

Perda Nomor 7 tahun 2011

17 Kota

Cirebon

Jawa Barat

Persetujuan substansi No.Hk.01.03-Dr/641 tanggal 25


November 2011

18 Kabupaten

Cilacap

Jawa Tengah

Perda Nomor 9 tahun 2011

19 Kota

Denpasar

Bali

Perda Nomor 27 tahun 2012

20 Kabupaten

Gianyar

Bali

Persetujuan Substansi No.HK 01.03-Dr/370 tanggal 23 agustus


2011

21 Kota

Jakarta Barat

DKI Jakarta

(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103


tanggal 22 Maret 2011

22 Kota

Jakarta Utara

DKI Jakarta

(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103


tanggal 22 Maret 2011

23 Kota

Jakarta Pusat

DKI Jakarta

(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103


tanggal 22 Maret 2011

24 Kota

Lubuk Linggau

Sumatera Selatan

BKPRN tanggal 16 November 2011

25 Kota

Langsa

NAD

Perbaikan Daerah setelah BKPRD

26 Kabupaten

Kepulauan
Seribu

DKI Jakarta

(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103


tanggal 22 Maret 2011

27 Kabupaten

Karangasem

Bali

Persetujuan Substansi No.HK 01 03-Dr/522 tanggal 18 Oktober


2011

28 Kota

Medan

Sumatera Utara

Perda Nomor 13 tahun 2011

29 Kota

Madiun

Jawa Timur

Perda Nomor 6 tahun 2011

30 Kota

Malang

Jawa Timur

Perda Nomor 4 tahun 2011

31 Kota

Palembang

Sumatera Selatan

Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/70 tanggal 12 Januari


2012

Pangkal Pinang

Kepulauan Bangka
Belitung

Perda Nomor 11 tahun 2011

32 Kota
33 Kota

Pekalongan

Jawa Tengah

Perda Nomor 30 tahun 2011

34 Kota

Padang

Sumatera Barat

Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/56 tanggal 19 Januari


2011

35 Kota

Palopo

Sulawesi Selatan

BKPRN tanggal 15 Februari 2012

36 Kota

Pontianak

Kalimantan Barat

BKPRN tanggal 14 Desember 2011

118

Kota Pusaka

37 Kabupaten

Purbalingga

Jawa Tengah

Perda Nomor 5 Tahun 2011

38 Kota

Sawahlunto

Sumatera Barat

Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/626 tanggal 22


November 2011

39 Kota

Semarang

Jawa Tengah

Perda Nomor 14 tahun 2011

40 Kota

Surakarta

Jawa Tengah

Persetujuan substansi No.Hk.01.03-Dr/526 tanggal 20 Oktober


2011

41 Kota

Sibolga

Sumatera Utara

BKPRN tanggal 28 Desember 2011

42 Kota

Salatiga

Jawa Tengah

Perda Nomor 4 tahun 2011

43 Kota

Surabaya

Jawa Timur

Perbaikan Daerah setelah BKPRD

44 Kota

Singkawang

Kalimantan Barat

Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/92 tanggal 25 Januari


2012

45 Kota

Ternate

Maluku Utara

BKPRN tanggal 21 Desember 2011

46 Kota

Tegal

Jawa Tengah

Perda Nomor 4 tahun 2012, 30 Januari 2012

47 Kabupaten

Tegal

Jawa Tengah

Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/580 tanggal 2 November


2011

48 Kota

Yogyakarta

Jawa Tengah

Perda Nomor 2 tahun 2010

Kapel Santo Leo Padang, Sumatera Barat


Sumber Foto: BPPI

Kesimpulan dan Rekomendasi

119

Lampiran

Kantor PT. Bukit Asam - Sumatera Barat


Sumber Foto: pecintawisata.wordpress.com

Lampiran 1
Piagam dan Rekomendasi Terkait Kota Pusaka
Bila menyimak berbagai piagam atau rekomendasi
di tingkat internasional tentang pelestarian pusaka,
tampak adanya perkembangan konsep kota pusaka
serta lingkup pelestariannya. Perhatian internasional
terhadap pelestarian kota pusaka telah ada sejak
tahun 1962 dan setelah itu, setidaknya ada 18
piagam atau rekomendasi, sebagai berikut:
- Rekomendasi
tentang
Pengamanan
Keindahan dan Karakter Lanskap dan Situs
(The Recommendation concerning the
Safeguarding of the Beauty and Character of
Landscapes and Sites), diadopsi oleh Sidang
Umum UNESCO pada Desember 1962.
Rekomendasi ini menekankan pentingnya
ilmiah dan estetika lanskap budaya dan alam.
Ke dalam instrumen ini, prinsip umum
dipadukan bahwa lanskap merupakan pusaka
yang memiliki pengaruh utama bagi kondisi
hidup masyarakat. Rekomendasi tahun 1962
ini merupakan dokumen penetapan standar
pertama yang memperkenalkan istilah lanskap
perkotaan. Gagasannya bahwa lanskap ini
pantas mendapatkan sarana perlindungan
yang sama seperti lingkungan alam, meskipun
rekomendasi ini mengganggap pelestarian
lanskap adalah soal kebijakan publik. Referensi
satu-satunya untuk pembangunan perkotaan
terkait dengan rencana umum dan perencanaan
di lingkup regional, tingkat pedesaan dan
perkotaan. Pendekatan ini simbolik dari
kebijakan perencanaan umum waktu itu, yang
melihat lanskap sebagai objek yang statis. Dan
dengan demikian diharapkan dapat dilindungi
122

Kota Pusaka

seolah-olah sebagai sebuah monumen yang


seharusnya
mendapatkan
perlindungan
khusus (pasal 5).
- Piagam Internasional untuk Konservasi dan
Restorasi Monumen/ Piagam Venice (The
International Charter for the Conservation
and Restoration of Monuments/Venice
Charter) diterbitkan pada tahun 1964 pada
Kongres Internasional Arsitek dan Teknisi
Monumen bersejarah yang kedua (The
Second International Congress of Architects and
Technicians of Historic Monuments), sebagai
revisi dari Piagam Athena 1931 (the 1931
Athens Charter). Piagam Venice diadopsi sebagai
teks prinsip doktrinal dari Dewan Internasional
Monumen dan Situs atau the International
Council on Monuments and Sites (ICOMOS)
ketika didirikan pada tahun berikutnya, pada
tahun 1965. Piagam ini terus disebut sebagai
dokumen dasar untuk filosofi pelestarian di
lingkup internasional dan praktek hingga
hari ini. Ini memperluas konsep monumen
bersejarah untuk memasukkan lingkup
perkotaan dan pedesaan mereka, menekankan
pentingnya keaslian yang didasarkan pada bukti
dokumenter dan bahan asli, kembali mengulangi
dukungan untuk penggunaan material modern
dan teknik, dan bersikeras bahwa komponen
yang diganti harus diintegrasikan secara
harmonis, tetapi akan berbeda dari komposisi
arsitektur dan... membawa cap kontemporer.
Piagam Venesia itu kembali ditegaskan dalam
Deklarasi Pcs 2004 (the 2004 Pcs Declaration).
- Rekomendasi tentang Pelestarian Budaya
Terancam Properti oleh Publik atau
Pekerjaan swasta (The Recommendation

concerning the Preservation of Cultural


Property Endangered by Public or Private
Works), yang diadopsi oleh Konferensi Umum
UNESCO pada bulan November 1968,
terkait dengan kekhawatiran yang muncul dari
pembangunan masyarakat Aswan di seluruh
wilayah mereka, terlepas dari apakah itu
ditempatkan di Daftar Pusaka Dunia. Implikasi
komitmen ini diperluas dalam Rekomendasi
UNESCO di Tingkat Nasional, yang diadopsi
pada tahun 1972 secara bersamaan.
- Rekomendasi mengenai Perlindungan, di
Tingkat Nasional, Pusaka Kebudayaan dan
Alam The Recommendation Concerning
the Protection, at National Level, of the
Cultural and Natural Heritage), diadopsi
pada saat yang sama dengan Konvensi Warisan
Dunia (the World Heritage Convention), secara
efektif merupakan dokumen internasional
pertama yang menetapkan hubungan antara
perlindungan dan peningkatan monumen
dan kelompok bangunan, dan kebutuhan
penduduk daerah bersejarah di sebuah kota.
Ini diperluas hingga pentingnya menyediakan
pusaka budaya dan alam dengan fungsi
yang aktif pada saat ini untuk memfasilitasi
pemeliharaannya ke masa depan. Selanjutnya,
dalam pasal 5, mengingatkan bahwa pusaka
budaya atau alam terdiri tidak hanya suatu karya
yang memiliki nilai intrinsik yang besar, tetapi
juga item yang lebih sederhana, yang dengan
berlalunya waktu, memperoleh nilai budaya
atau alam. Mengenai isu yang mempengaruhi
rencana rehabilitasi bangunan bersejarah,
Rekomendasi 1972 menekankan pentingnya
menghubungkan rehabilitasi kepada konteks
urban sekitarnya dan konsultasi dengan otoritas

lokal dan wakil-wakil dari penduduk daerah


tersebut, sehingga dapat memperkenalkan
proses-proses partisipatif dalam pengelolaan
proses pembangunan perkotaan.
- Piagam Eropa tentang Pusaka Arsitektur
(The European Charter of the Architectural
Heritage) diundangkan pada tahun 1975
atas inisiatif Dewan Eropa yang memberikan
perhatian khusus untuk arsitektur setempat.
Pasal 1 Piagam itu mengarahkan perhatian
pada kelompok-kelompok bangunan kecil
di kota lama dan desa yang berkarakteristik
di dalam lingkungan alam atau buatan
manusia. Dalam pasal 6, diperingatkan
tentang perencanaan perkotaan yang keliru
yang dapat merusak ketika pemerintah terlalu
mudah menyerah terhadap tekanan ekonomi
dan tuntutan lalu lintas kendaraan bermotor.
Dalam rangka memenuhi tantangan tersebut,
ia memperkenalkan konsep pelestarian
yang terpadu dalam kelengkapan Deklarasi
Amsterdam (Declaration of Amsterdam),
diadopsi dalam kerangka Piagam, dengan
penekanan khusus pada ancaman terhadap
pusaka perkotaan dan mengingat bahwa
pembangunan daerah pinggiran perkotaan
dapat berorientasi sedemikian rupa untuk
mengurangi tekanan pada lingkungan yang
lebih tua.
- Tahun berikutnya, pada tahun 1976, Vancouver
(Kanada) menjadi tuan rumah Konferensi
PBB tentang Pemukiman Manusia (the United
Nations Conference on Human Settlements),
yang disebut HABITAT. Konferensi Ini
diselenggarakan sebagai hasil Konferensi
Stockholm dan muncul dari keprihatinan

Lampiran

123

mengenai urbanisasi dan ancaman terhadap


lingkungan oleh aktivitas manusia. Hal ini
menyebabkan pemahaman yang meningkat
tentang kota dan komunitas mereka, dengan
pengakuan atas kebutuhan untuk mencapai
keberlanjutan untuk menjaga keseimbangan
urban-rural
yang
saling
mendukung,
dipromosikan melalui pedoman yang spesifik
termasuk dalam Deklarasi Vancouver tentang
Pemukiman
Manusia
(the
Vancouver
Declaration on Human Settlements).
- Pada tahun yang sama, pada bulan November
1976, Konferensi Umum UNESCO diadopsi di
Nairobi (Kenya) dengan Rekomendasi tentang
Pengamanan dan Peran Kontemporer Kawasan
Bersejarah (the Recommendation concerning
the Safeguarding and Contemporary Role
of Historic Areas), dalam menanggapi
keprihatinan tentang perencanaan kota modern
dan dampak pada pusat-pusat kota tua dan desadesa tradisional. Rekomendasi ini menegaskan
pentingnya kawasan bersejarah, peran mereka
dalam mendefinisikan keragaman budaya
dan identitas masyarakat yang individual,
dan kebutuhan untuk mengintegrasikan
mereka secara harmonis ke dalam kehidupan
masyarakat kontemporer [sebagai] faktor dasar
dalam perencanaankota dan pengembangan
lahan. Dokumen ini mencatat adanya
ketidakhadiran yang sering di tingkat nasional
mengenai ketentuan legislatif yang terkait
pusaka arsitektur dengan konteks perencanaan,
mencela gangguan sosial dan kerugian ekonomi
akibat spekulasi dan perusakan kawasan
bersejarah dan tradisional, dan mendesak
kebijakan komprehensif dan energik untuk
perlindungan, renovasi dan revitalisasi [mereka]
124

Kota Pusaka

yang terpisahkan dengan lingkungan sekitar


mereka. Dalam Rekomendasi ini, fokus melekat
pada kelangsungan aktivitas manusia di kawasan
bersejarah meskipun mungkin sederhana,
termasuk pola hidup dan kerajinan tradisional
-,pada pijakan yang sama dengan perlindungan
bangunan, menetapkan petak ukuran, pola
jalan dan organisasi spasial secara keseluruhan.
Rekomendasi ini mendesak perhatian khusus
dan kontrol terhadap skala dan desain bangunan
baru dan menetapkan bahwa analisis konteks
urban harus mendahului setiap konstruksi baru
untuk mencapai keserasian ketinggian, volume,
bentuk, proporsi, warna dan bahan.
- Piagam untuk Pelestarian Kota Bersejarah
dan Kawasan Perkotaan (The Charter for the
Conservation of Historic Towns and Urban
Areas) atau Piagam Washington, diadopsi pada
tahun 1987 oleh Majelis Umum ICOMOS,
didahului oleh rancangan Piagam Eger (the
draft Eger Charter) dan melengkapi Piagam
Venesia 1964 (the 1931 Athens Charter). Ini
mengakui peran lingkungan dan kota-kota
bersejarah sebagai perwujudan dari budaya
perkotaan tradisional, dan mengurai pelestarian
sebagai langkah-langkah yang diperlukan
untuk perlindungan, pelestarian [mereka], dan
restorasi [...], serta pembangunan dan adaptasi
yang harmonis untuk kehidupan kontemporer.
Piagam Washington menyebutkan pula bahwa
pelestarian perkotaan harus tidak terpisahkan
dengan pembangunan sosial ekonomi dan
kebijakan perencanaan di semua tingkat. Ini
menekankan sifat multi-disiplin pelestarian
perkotaan, menekankan pentingnya partisipasi
aktif oleh penduduk-yang dianggap sebagai
stakeholder utama-, dan menekankan pada

Kampung Kauman, Yogyakarta


Lampiran
Sumber Foto: BPPI

125

perbaikan perumahan sebagai tujuan utama.


Ini meringkas kualitas penting yang harus
dipertahankan, antara lain tata letak dan blok
perkotaan; hubungan antara bangunan dan
ruang hijau dan terbuka; hubungan antara
kawasan bersejarah atau kota dan sekitarnya
serta lingkungan baik buatan manusia dan
alam; keragaman berfungsi sebagai akumulasi
dari waktu ke waktu, dan eksterior dan
penampilan interior bangunan - dari skala,
melalui gaya dan bahan, warna dan dekorasi.
Piagam Washington mendukung pengenalan
unsur-unsur (arsitektur) kontemporer sebagai
kontribusi potensial untuk pengayaan suatu
kawasan bersejarah, subjek yang menjadi bagian
dalam keselarasan dan menghormati tata letak
ruang yang ada dalam hal skala dan ukuran
persil.
- Pada tahun yang sama tahun 1987, ICOMOS
Brasil mengadopsi Piagam tentang Pelestarian
dan Revitalisasi Kawasan Pusat Kota yang
Bersejarah (The Charter about the Preservation
and Revitalization of Historic Centres) atau
Piagam Itaipava, yang memiliki relevansi khusus
dalam konteks ini sebagaimana dijelaskan
bahwa kota dalam totalitasnya [sebagai] suatu
entitas sejarah, karena itu terkait dengan situs
perkotaan yang bersejarah untuk lingkungan
alami dan terbangun yang lebih luas dan
pengalaman hidup sehari-hari penghuninya.
Ini menekankan nilai-nilai sosial-budaya dari
kawasan pusat kota bersejarah dan menyatakan
bahwa tujuan utama pelestarian adalah
pemeliharaan dan peningkatan pola referensi
yang diperlukan untuk ekspresi dan konsolidasi
kewarganegaraan [...] yang [...] berkontribusi
untuk meningkatkan kualitas hidup. Piagam
126

Kota Pusaka

ini juga menekankan pentingnya penduduk


dan kegiatan tradisional di situs perkotaan
bersejarah, revitalisasi harus dilihat sebagai
proses terus menerus dan permanen, dan nilai
sosial properti perkotaan harus mengungguli
nilai pasarnya.
- Pada Konferensi Eropa tentang Kota dan
Kota Kecil yang Berkelanjutan, pada tahun
1994 di Aalborg (Swedia), Piagam Kota dan
Kota Kecil Eropa menuju Keberlanjutan
(The Charter of European Cities and Towns
towards Sustainability) atau Piagam Aalborg
diadopsi. Piagam ini menegaskan peran abadi
kota sebagai pusat kehidupan sosial, pemacu
ekonomi, dan penjaga budaya, pusaka dan
tradisi, serta industri, kerajinan, pendidikan
perdagangan, dan pemerintah. Piagam ini
mengakui hubungan antara gaya hidup kaum
perkotaan saat ini - terutama pemisahan
fungsi, pola transportasi, produksi industri,
pertanian, konsumsi dan kegiatan rekreasi
- dan masalah lingkungan serta kurangnya
keadilan sosial yang dihadapi umat manusia.
Piagam ini mengakui pula keterbatasan sumber
daya alam dunia, karenanya kebutuhan untuk
hidup di dalam daya dukung alam, serta
peran penting kota sebagai pusat konsumsi
yang harus bererdalam mengatasi pemanasan
global dan mencapai kelestarian lingkungan.
Piagam Aalborg mendefinisikan keberlanjutan
sebagai suatu proses kreatif, lokal, serta
pencarian keseimbangan yang merupakan pusat
manajemen kota yang bertanggung jawab,
dan bersikeras bahwa proses pengambilan
keputusan harus mengedepankan pelestarian
dan penambahan modal alam di kota, kualitas
hidup, penggunaan lahan dan pola mobilitas

yang berkelanjutan- termasuk mengurangi


kebutuhan pergerakan dengan mendorong
lingkungan guna-campur dengan kepadatan
yang lebih tinggi -, dan penggunaan sumber
energi terbarukan. Piagam ini mempromosikan
ide saling ketergantungan antar-daerah yang
adil, untuk menyeimbangkan arus antara
kota dan desa dan mencegah kota yang
sekedar mengeksploitasi sumber daya daerah
sekitarnya. Hal ini juga mendesak pendekatan
ekosistem untuk manajemen perkotaan dan
membayangkan peran yang sangat meningkat
bagi warga negara dalam membangun dan
melaksanakan rencana aksi jangka panjang
lokal (misalnya Agenda Lokal 21).
- Juga pada tahun 1994 Konferensi Nara
tentang Keaslian dalam Kaitannya dengan
Konvensi Pusaka Dunia (the Nara Conference
on Authenticity in Relation to the World
Heritage Convention) berlangsung, di Nara,
Jepang, yang mengembangkan Dokumen
Nara tentang Keaslian (The Nara Document
on Authenticity). Dokumen Nara menantang
definisi Keaslian yang konvensional dan berbasis
Barat, untuk menetapkan pengghargaan yang
lebih besar terhadap budaya dan keragaman
pusaka, dan untuk memperluas parameter
penilaian nilai-nilai budaya dari suatu objek
yang diusulkan menjadi Daftar Pusaka Dunia
maupun daftar lainnya. Dokumen ini mengakui
bahwa masyarakat yang berbeda menyertakan
set nilai yang berbeda pada karakteristik asli
dan berikutnya dari pusaka budaya mereka,
dan menguraikan suatu kerangka kerja yang
memungkinkan keaslian dapat dinilai dalam
tiap konteks budaya, baik dalam waktu dan
ruang, dan tidak dinilai terhadap orang lain yang

mungkin tidak memiliki kesetiaan atau koneksi.


Dokumen Nara mengusulkan penilaian -dalam
setiap contoh yang diberikan- harus mencakup
hal yang berkaitan dengan: bentuk dan desain,
bahan dan substansi, penggunaan dan fungsi;
tradisi, teknik dan sistem manajemen; lokasi dan
pengaturan; bahasa dan bentuk lain dari pusaka
tidak berwujud; serta semangat dan perasaan.
Perdebatan menantang pandangan bahwa
keaslian bukanlah konsep yang membatasi,
baik dalam waktu atau ruang, dan bahwa
seperti setiap generasi mendahului generasi kita
telah memberikan kontribusi ke lapisan historis
bangunan dan kota yang telah dimewarisi. Jadi,
generasi ini dan selanjutnya generasi memiliki
kontribusi yang sama valid untuk membuat dengan syarat bahwa itu adalah satu positif dan
abadi. Karena itu, keaslian dipahami dalam hal
masa lalu yang dipadukan dengan proses kreatif
saat ini untuk masa depan.
- Pada tahun 1999 Majelis Umum ICOMOS
mengadopsi Piagam tentang Pusaka Vernakular
(The Charter on the Built Vernacular
Heritage), yang mengakui pentingnya pusaka
ekspresi lokal sebagai dasar [untuk] budaya
masyarakat, hubungan dengan wilayahnya
dan, pada saat yang sama, ekspresi keragaman
budaya dunia. tergantung Apresiasi dan
perlindungan pusaka yang sukses tergantung
pertama dan terutama pada keterlibatan dan
dukungan masyarakat setempat. Sebagai
salah satu prinsip pelestarian, Piagam ini
menyatakan bahwa karya kontemporer pada
bangunan atau kelompok bangunan serta
permukiman vernakular harus menghormati
nilai-nilai budaya dan karakter tradisional
mereka. Diuraikan pula anjuran bahwa

Lampiran

127

City Hall Medan,


Sumatera
128
Kota Utara
Pusaka
Sumber Foto: BPPI

perubahan yang sah menanggapi tuntutan


penggunaan kontemporer harus dilakukan
dengan pengenalan bahan yang memelihara
konsistensi ekspresi, tekstur, penampilan dan
bentuk seluruh struktur dan konsistensi bahan
bangunan.

Budaya (Charter for Places of Cultural


Significance) atau Piagam Burra, yang secara
luas diakui sebagai dokumen penting dalam
memberikan petunjuk untuk pelestarian
dan pengelolaan tempat-tempat signifikansi
budaya. Dengan demikian, Piagam ini
tidak eksklusif untuk bangunan bersejarah
atau kawasan perkotaan, tapi juga meliputi
pemandangan dimodifikasi oleh aktivitas
manusia dan mencakup tempat-tempat adat
dengan nilai-nilai budaya. Prinsipnya adalah
pentingnya pemahaman dan pengamanan
signifikansi, termasuk melalui pengungkapan
informasi lapisan bersejarah, dengan cara
yang merangkum estetika tempat, bersejarah,
nilai-nilai ilmiah dan spiritual: dari masa lalu,
pada saat ini, dan untuk masa depan. Piagam
itu mendesak pendekatan hati-hati untuk
pelestarian didasarkan pada penghormatan
untuk komponen yang ada, kegunaan, asosiasi
serta makna.

- Pada tahun 1999 Majelis Umum ICOMOS


mengadopsi Piagam Internasional tentang
Pariwisata Budaya: Mengelola Pariwisata pada
Lokasi Signifikansi Pusaka (The International
Charter on Cultural Tourism: Managing
Tourism at Places of Heritage Significance),
yang mengakui pariwisata sebagai salah satu
kendaraan utama untuk pertukaran budaya.
Bila dikelola dengan benar, pariwisata dapat
menjadi ekonomi yang positif dan kekuatan
pendidikan yang memberikan kontribusi untuk
pelestarian pusaka. Piagam ini mengakui adanya
ancaman yang ditimbulkan oleh pengelolaan
pariwisata yang buruk dan jumlah pengunjung
yang berlebihan. Dianjurkan bahwa pariwisata
yang berkelanjutan dapat melindungi aspek
berwujud dan tidak berwujud dari suatu
sumber daya pusaka untuk generasi mendatang,
menghormati dan memberi manfaat kepada
masyarakat tuan rumah, dan menanggapi
kebutuhan
serta
aspirasi
pengunjung
melalui akses fisik, intelektual dan spiritual
yang terkelola dan disajikan dengan baik.
Perkembangan pariwisata dan proyek-proyek
infrastruktur, menurut Piagam tersebut, harus
dilakukan dengan menggunakan bahan lokal
dan mempertimbangkan gaya arsitektur lokal
serta tradisi vernakular.

- Pada tahun 2000 Dewan Eropa mengadopsi


Konvensi Eropa Lansekap (The European
Landscape Convention). Konvensi ini mencatat
kontribusi lanskap untuk pembentukan budaya
lokal, yang digambarkan sebagai komponen
dasar dari pusaka alam dan budaya Eropa, [...]
di kawasan perkotaan dan di pedesaan, [...] di
daerah diakui sebagai keindahan yang luar biasa
sebagai serta daerah sehari-hari dipromosikan
untuk perlindungan, pengelolaan dan
perencanaan lanskap. sebagai komponen
penting dari lingkungan masyarakat, ekspresi
[...] pusaka dan landasan identitas mereka.

- Pada tahun 1999, ICOMOS Australia


menerbitkan revisi Piagam Tempat Signifikansi

- Pada tahun 2003 Konferensi Umum


UNESCO mengadopsi Konvensi untuk

Lampiran

129

Pengamanan Warisan Budaya tidak berwujud


(The Convention for the Safeguarding of the
Intangible Cultural Heritage). Konvensi
ini menegaskan pentingnya pusaka budaya
teraga (tangible) sebagai dorongan utama dari
keragaman budaya dan jaminan pembangunan
berkelanjutan [...] dan mendalam antarketergantungan antara warisan budaya tak
berwujud dan warisan budaya dan alam nyata.
Berwujud budaya warisan diambil untuk
mencakup, antara lain: tradisi lisan dan ekspresi,
termasuk bahasa, seni pertunjukan, praktik
sosial, ritual dan acara meriah, pengetahuan dan
praktek tentang alam dan semesta, seni kuliner,
dan keahlian tradisional. Ini pendukung
pertimbangan ini tidak hanya sebagai
manifestasi dari masa lalu, yang dapat direkam
dan didokumentasikan, tetapi untuk tujuan
mengamankan kelangsungan hidup mereka
dan kontinuitas kreatif sebagai komponen
penting dari keanekaragaman budaya di hari
ini dan dunia besok. Mengakui kerapuhan
dari pusaka budaya tak berwujud dihadapkan
dengan proses globalisasi dan transformasi
sosial, Konvensi ini menetapkan peran Negaranegara Anggota UNESCO (States Parties)
dalam menjaga pusaka budaya tak berwujud
baik di tingkat nasional dan internasional,
termasuk dalam pembentukan Perwakilan
Daftar Pusaka Budaya Tak Berwujud atas
Kemanusiaan (Representative List of Intangible
Cultural Heritage of Humanity). Konvensi ini
mulai berlaku pada tahun 2006 dan nominasi
pertama untuk masuk ke Daftar telah dievaluasi
pada tahun 2009.
- Pada tahun 2005 oleh Konferensi Umum
ICOMOS mengadopsi Deklarasi Xian
130

Kota Pusaka

tentang Pelestarian Setting Struktur, Situs dan


Kawasan Pusaka (The Xian Declaration on
the Conservation of the Setting of Heritage
Structures, Sites and Areas. Deklarasi ini
mendefinisikan pengaturan kawasan pusaka
sebagai lingkungan segera dan diperluas yang
merupakan bagian dari, atau memberikan
kontribusi terhadap, signifikansi dan karakter
khas dan, setelah mengakui bahwa makna dan
karakter khas daerah bersejarah berasal dari
hubungan dengan fisik mereka, visual, konteks
budaya spiritual dan lainnya dan pengaturan,
Deklarasi itu memandang perlu untuk
mengembangkan alat perencanaan yang tepat
dan strategi untuk pelestarian dan pengelolaan
suatu kawasan dalam membentuk suatu setting.
- Sebagai pelengkap Deklarasi itu, Majelis Umum
ICOMOS pada tahun 2008 mengadopsi
Deklarasi Quebec tentang Pelestarian Jiwa
Tempat (The Quebec Declaration on the
Preservation of the Spirit of Place), yang
didefinisikan sebagai interaksi dan konstruksi
bersama antara unsur yang nyata dan berwujud
yang memberikan makna, nilai, emosi dan
misteri untuk suatu tempat. Bahwa pada
saat ini, terlalu dini untuk mengukur sejauh
mana orientasi teks tentang praktek pelestarian
di kota-kota bersejarah. Naskah-naskah ini
mendorong evolusi saat ini untuk menuju
pemahaman yang lebih komprehensif tentang
hidup dan karakter permanen dari lanskap
perkotaan bersejarah, yang menyediakan visi
yang lebih inklusif tentang pusaka budaya yang
perlu benar tercermin dan dikodifikasi pada
tingkat internasional.

Lampiran 2
Kota Pusaka Dunia menurut UNESCO
Sejak tahun 1979 hingga saat ini, setidaknya telah ada 200 pusaka dunia yang berupa kota pusaka. Kedua
ratus ini tersebar di berbagai belahan dunia.

Daftar Kota Besar dan Kecil yang terdaftar sebagai Pusaka Dunia
No

Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List


Including whole historic cities and towns, or in part
(inner cities, historic quarters)
2005 Historic Centres of Berat and Gjirokastra
1982 MZab Valley
1992 Kasbah of Algiers
1996 Historic Centre of the City of Salzburg
1999 City of Graz Historic Centre
2001 Historic Centre of Vienna
2000 The Walled City of Baku with the Shirvanshahs Palace and Maiden Tower
2000 Historic Centre of Brugge
1987 City of Potosi
1991 Historic City of Sucre
2005 Old Bridge Area of the Old City of Mostar
1980 Historic Town of Ouro Preto
1982 Historic Centre of the Town of Olinda
1985 Historic Centre of Salvador de Bahia
1987 Brasilia
1997 Historic Centre of So Luis
1999 Historic Centre of the Town of Diamantina
2001 Historic Centre of the Town of Gois
1983 Ancient City of Nessebar
1985 Historic District of Qubec
1995 Old Town Lunenburg
2009 Cidade Velha, Historic Centre of Ribeira Grande
2003 Historic Quarter of the Seaport City of Valparaso
1987, 2004 Imperial Palaces of the Ming and Qing Dynasties in Beijing and Shenyang
1997 Ancient City of Ping Yao
1997 Old Town of Lijiang
2000 Ancient Villages in Southern Anhui Xidi and Hongcun
2005 Historic Centre of Macao
2007 Kaiping Diaolou and Villages
1984 Port, Fortresses and Group of Monuments, Cartagena
1995 Historic Centre of Santa Cruz de Mompox
1979 Historical Complex of Split with the Palace of Diocletian
1979 Old City of Dubrovnik

Negara
Albania
Algeria
Austria
Azerbaijan
Belgium
Bolivia
Bosnia and Herzegovina
Brazil

Bulgaria
Canada
Cape Verde
Chile
China

Colombia
Croatia

Lampiran

131

Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List


Including whole historic cities and towns, or in part
(inner cities, historic quarters)

No
1997
1982
1988
2005
2008
1980
1992
1992
1992
1995
2003
1990

Historic City of Trogir


Old Havana and its Fortifications
Trinidad and the Valley de los Ingenios
Urban Historic Centre of Cienfuegos
Historic Centre of Camagey
Paphos
Historic Centre of Cesk Krumlov
Historic Centre of Prague
Historic Centre of Telc
Kutn Hora: Historical Town Centre with the Church of St Barbara and the Cathedral of Our
Lady at Sedlec
Jewish Quarter and St Procopius Basilica in Trebc
Colonial City of Santo Domingo

1978
1999
1979
1997

City of Quito
Historic Centre of Santa Ana de los Ros de Cuenca
Historic Cairo
Historic Centre (Old Town) of Tallinn

Ecuador

2006
1991

Harar Jugol, the Fortified Historic Town


Old Rauma

Ethiopia

1979

Ohrid Region with its Cultural and Historical Aspect and its Natural Environment

1988
1991
1997
1998
2001
2005
2007
1987
1992
1993
1994
1998
2002

Strasbourg - Grande le
Paris, Banks of the Seine
Historic Fortified City of Carcassonne
Historic Site of Lyon
Provins, Town of Medieval Fairs
Le Havre, the City Rebuilt by Auguste Perret
Bordeaux, Port of the Moon
Hanseatic City of Lbeck
Mines of Rammelsberg and Historic Town of Goslar
Town of Bamberg
Collegiate Church, Castle, and Old Town of Quedlinburg
Classical Weimar
Historic Centres of Stralsund and Wismar

2006
1988
1999

Old Town of Regensburg with Stadtamhof


Medieval City of Rhodes
Historic Centre (Chor) with the Monastery of Saint John the Theologian and the Cave of
the Apocalypse on the Island of Ptmos
Old Town of Corfu
Antigua Guatemala

2007
1979

132

Negara

Kota Pusaka

Cuba

Cyprus
Czech Republic

Dominican Republic

Egypt
Estonia
Finland
Former Yugoslav Republic of
Macedonia
France

Germany

Greece

Guatemala

Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List


Including whole historic cities and towns, or in part
(inner cities, historic quarters)

No

Negara

Vatican City
Historic Centre of Rome, the Properties of the Holy See in that City Enjoying Extraterritorial
Rights and San Paolo Fuori le Mura
1987, 2002 Budapest, the Banks of the Danube and the Buda Castle Quarter

Holy See
Holy See/Italy

2004, 2007 Bam and its Cultural Landscape

Iran
Israel

1984
1980

Hungary

2001
2003
1982
1987
1990
1994
1995
1995
1995
1995
1996
1996
1997
1997
1998
2000
2000
2002
2006
2008
1981
2001

Old City of Acre


White City of Tel-Aviv -- the Modern Movement
Historic Centre of Florence
Venice and its Lagoon
Historic Centre of San Gimignano
City of Vicenza and the Palladian Villas of the Veneto
Crespi dAdda
Ferrara, City of the Renaissance and its Po Delta
Historic Centre of Naples
Historic Centre of Siena
Historic Centre of the City of Pienza
The Trulli of Alberobello
Costiera Amalfitana
Portovenere, Cinque Terre, and the Islands (Palmaria, Tino and Tinetto)
Historic Centre of Urbino
Assisi, the Basilica of San Francesco and Other Franciscan Sites
City of Verona
The Late Baroque Towns of the Val di Noto (Southeastern Sicily)
Genoa: Le Strade Nuove and the system of the Palazzi dei Rolli
Mantua and Sabbioneta
Old City of Jerusalem and its Walls
Lamu Old Town

1995
1997
1986

Town of Luang Prabang


Historic Centre of Riga
Old Town of Ghadames

Lao Peoples Democratic


Republic Latvia

1994

Vilnius Historic Centre

Lithuania

1994
2008
1988
1988
1980
1996
1987
1987
1987

City of Luxembourg: its Old Quarters and Fortifications


Melaka and George Town, Historic Cities of the Straits of Malacca
Old Towns of Djenn
Timbuktu
City of Valletta
Ancient Ksour of Ouadane, Chinguetti, Tichitt and Oualata
Historic Centre of Mexico City and Xochimilco
Historic Centre of Oaxaca and Archaeological Site of Monte Alban
Historic Centre of Puebla

Luxembourg
Malaysia
Mali

Italy

Jerusalem (Site Proposed By Jordan)


Kenya

Libyan Arab Jamahiriya

Malta
Mauritania
Mexico

Lampiran

133

Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List


Including whole historic cities and towns, or in part
(inner cities, historic quarters)

No
1988
1991
1993
1996
1998
1999
2008
1979
1981
1985
1996
1997
2001
2004
1991
1979
1997
1999
1979
1980

Historic Town of Guanajuato and Adjacent Mines


Historic Centre of Morelia
Historic Centre of Zacatecas
Historic Monuments Zone of Quertaro
Historic Monuments Zone of Tlacotalpan
Historic Fortified Town of Campeche
Protective town of San Miguel and the Sanctuary of Jess Nazareno de Atotonilco
Natural and Culturo-Historical Region of Kotor
Medina of Fez
Medina of Marrakesh
Historic City of Meknes
Medina of Ttouan (formerly known as Titawin)
Medina of Essaouira (formerly Mogador)
Portuguese City of Mazagan (El Jadida)
Island of Mozambique
Kathmandu Valley
Historic Area of Willemstad, Inner City and Harbour, Netherlands Antilles
Droogmakerij de Beemster (Beemster Polder)
Bryggen

Rros Mining Town


1997, 2003 Archaeological Site of Panam Viego and Historic District of Panama
1983 City of Cuzco
1988 Historic Centre of Lima
2000 Historical Centre of the City of Arequipa
1999 Historic Town of Vigan
1978 Cracows Historic Centre
1980 Historic Centre of Warsaw
1992 Old City of Zamosc
1997 Medieval Town of Torun
1983 Central Zone of the Town of Angra do Heroismo in the Azores
1986 Historic Centre of Evora
1996 Historic Centre of Oporto
2001 Historic Centre of Guimares
1999 Historic Centre of Sighisoara
1990 Historic Centre of Saint Petersburg and Related Groups of Monuments
1992
2000
2005
2008

134

Historic Monuments of Novgorod and Surroundings


Historic and Architectural Complex of the Kazan Kremlin
Historical Centre of the City of Yaroslavl
San Marino Historic Centre and Mount Titano

Kota Pusaka

Negara

Montenegro
Morocco

Mozambique
Nepal
Netherlands
Norway
Panama
Peru
Philippines
Poland

Portugal

Romania
Russian Federation

San Marino

Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List


Including whole historic cities and towns, or in part
(inner cities, historic quarters)

No
2000

The Island of Saint-Louis

1993

Historic Town of Banska Stiavnica and the Technical Monuments in its Vicinity

1993, 2009 Levo_a, Spisk Hrad and the Associated Cultural Monuments
2000 Bardejov Town Conservation Reserve
1984 Alhambra, Generalife and Albayzin, Granada
1984 Historic Centre of Cordoba
1985 Old Town of Avila with its Extra-Muros Churches
1985 Old Town of Segovia and its Aqueduct
1985 Santiago de Compostela (Old town)
1986 Historic City of Toledo
1986 Old Town of Caceres
1988 Old City of Salamanca
1996 Historic Walled Town of Cuenca
1998 University and Historic Precinct of Alcal de Henares
1999 Ibiza, biodiversity and culture
1999 San Cristbal de La Laguna
2001 Aranjuez Cultural Landscape
2003 Renaissance Ensembles of beda and Baeza
1988 Old Town of Galle and its Fortifications
1988 Sacred City of Kandy
2002 Historic Inner City of Paramaribo
1995 Hanseatic Town of Visby
1996 Church Village of Gammelstad, Lule
1998 Naval Port of Karlskrona
1983 Old City of Berne
2009 La Chaux-de-Fonds / Le Locle, watchmaking town planning
1979 Ancient City of Damascus
1980 Ancient City of Bosra
1986 Ancient City of Aleppo
1979 Medina of Tunis
1988 Kairouan
1988 Medina of Sousse
1985 Historic Areas of Istanbul
1994 City of Safranbolu
1998 Lviv - the Ensemble of the Historic Centre
1987 City of Bath
1995
2000
2001
2001
2004
2000

Old and New Towns of Edinburgh


The Historic Town of St George and Related Fortifications, Bermuda
New Lanark
Saltaire
Liverpool Maritime Mercantile City
The Stone Town of Zanzibar

Negara
Senegal
Slovakia

Spain

Sri Lanka
Suriname
Sweden
Switzerland
Syrian Arab Republic
Tunisia
Turkey
Ukraine
United Kingdom of Great Britain and
Northern Ireland

United Republic of Tanzania

Lampiran

135

Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List


Including whole historic cities and towns, or in part
(inner cities, historic quarters)

No
1995
1990
1993
2000
2001
1993
1999
1982
1986
1993

Historic Quarter of the City of Colonia del Sacramento


Itchan Kala
Historic Centre of Bukhara
Historic Centre of Shakhrisyabz
Samarkand - Crossroads of Cultures
Coro and its Port
Hoi An Ancient Town
Old Walled City of Shibam
Old City of Sanaa
Historic Town of Zabid

Ternate
Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI
136

Kota Pusaka

Negara
Uruguay
Uzbekistan

Venezuela
Viet Nam
Yemen

Lampiran 3
Periode Kemunculan Kota Indonesia
Menurut Werner (1987: 44), kota-kota besar dan kecil yang ada di Indonesia memiliki akar sejarah yang
dihasilkan dari berbagai situasi dan pengaruh budaya serta kehadiran penguasa yang berbeda. Tempattempat ini secara umum dibagi dalam empat strata utama dalam formasi perkotaan. Strata yang tertua untuk
formasi awal pembentukan kota sudah ada sebelum periode Hindu, yang diindikasikan dengan adanya
institusionalisasi pemerintahan yang diatur oleh seorang penguasa. Yang diatur adalah hasil pertanian serta
perdagangan regional dan antar pulau dan menghasilkan permukiman berupa bandar perdagangan dan
pusat pemerintahan pedalaman. Pengaruh perdagangan internasional yang menghadirkan budaya India dan
Cina berpengaruh pada terbentuknya kota-kota ini. Meskipun tidak semua bertahan sebagai kota penting
seperti terjadi pada Majapahit. Beberapa identitas kota dengan berbagai ciri fisik yaitu, letak permukiman
yang berada di tepi pantai atau muara sungai dan memiliki akses ke laut lepas.

Tabel 1. Permukiman perkotaan yang muncul hingga 1400


Lokasi

Kota

Sumatera

Samudra/Pase, Perla/Peureulak, Barus, Pagar Rujung, Melayu/Jambi, Shrivijaya/Palembang

Jawa

Pakuan, Dieng, Borobudur, Prambanan, Madiun, Wengker/Setana, Kediri/Daha, Singosari, Majapahit, Blitar, Wirasaba/Jombang,
Japan/Mojokerto, Kudus, Bintara/Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Surabaya, Sumenep, Canggu, Kepulungan,
Kedungpluk, Badung, Kulur, Pajarakan/Kutorenon, Renes, Sadeng, Baremi/Bermi, Gending Pajarakan, Binor, Ketah, Patukangan/
Situbondo, Balambangan, Walain, Taruma, Kalinga, Wawatan-mas, Kahuripan, Janggala

Kalimantan

Muara Kaman, Tanjung Puri,/Sukadana, Santubong, Puni

Ind. Timur

Bendahulu (Bali), Lwa Gayuh (Bali), Sukun (Penida), Bantayan/BantaEng, Ternate/Maloko, Tidore, Jailolo, Bacan

Penyebaran Islam dan kehadiran kekuasaan Eropa, yaitu Portugis dan Belanda pada abad ke-15 dan
17, mempengaruhi pola perdagangan. Ini menjadi faktor pada pembentukan karakteristik perkotaan pada
tahapan kedua.

Lampiran

137

Tabel 2. Permukiman perkotaan yang muncul pada 1400-1700


Lokasi

Kota

Sumatera

Pedir-Pidie, Banda Aceh, Deli, Tanjung Balai, Siak Sri Indrapura, Pekan Tua Indragiri, Singkil, Tapanuli, Natal, Batahan, Tiku, Pariaman,
Ulakan, Koto Tangah, Pauh, Padang, Bayang, Tarusan, Salido-Pulo Cingko, Painan, Batang Kapas, Indrapura, Menjuto, Sungai Limau,
Silebar

Jawa

Banten, Anyar, Sunda Kelapa/Jakarta/Batavia, Karawang, Pamanukan, Indramayu, Cirebon, Sumedang, Parakan Mucang, Citeureup/
Dayeuh Kolot, B(a)lubur Limbangan, Sukapura/Sukaraja, Galuh, Ciamis, Semarang, Kedu, Bagelen, Banyumas, Mataram/Yogyakarta,
Wonokerto/Kertasura, Pajang/Surakarta, Sampang, Malang, Pasuruan, Panarukan, Macanputih, Lateng/Banyuwangi, Gebang, Brebes,
Tegal, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang, Kendal, Kaliwungu, Dayeuh Luhur, Ajibarang, Pamerden, Rema, Ayah, Nampudadi,
Bocor, Ambal, Rawa, Kali Beber, Ungaran, Ambarawa, Salatiga, Wates, Kaduwang, Sukowati, Godong, Grobogan, Sela, Pati, Juwana,
Rembang, Blora, Jipang, Jorogo, Magetan, Caruban, Ponorogo, Pacitan, Kalangbret, Berbek, Nganjuk, Pace, Kertosono, Lamongan,
Senggara, Lumajang, Puger, Blater, Probolinggo, Besuki, Arosbaya, Blega, Pamekasan

Kalimantan

Sambas, Kota Waringin, Banjarmasin, Martapura, Pasir, Kuta;

Ind. Timur

Gelgel, Karangasem, Buleleng, Sumbawa Besar, Dompu, Bima, Ende, Larantuka, Fort Henricus, Kupang, Atapupu, Lifao, Oekussi, Ulu
Siau, Tagulandang, Manado, Tondano, Amurang, Boroko/Kaidipang, Gorontalo, Limboto, Leok/Buol, Toli-Toli, Batangnipa (Mandar),
Wajo/Sengkang, Watan Soppeng, Bone/Watampone, Makassar, Tibore (Muna), Buton/Bau-Bau, Hitu, Ambon, Fort Overberg (Kayelili)

Kendali yang semakin luas atas wilayah dan perkembangan ekonomi yang berorientasi pasar mendorong
munculnya jaringan kota-kota yang lebih kecil. Abad ke-18 dan 19 merupakan panggung kemunculan kota
pada tahap ketiga. Pertumbuhan perkotaan lebih efektif dirangsang dengan menggunakan faktor politis/
administrasi ketimbang dengan faktor kegiatan perdagangan.
Tabel 3. Permukiman perkotaan yang muncul pada 1700-1900
Lokasi

Kota

Sumatera

Meulaboh, Sigli, Lhok Suemawe, Idi, Seruwai, Tanjung Pura, Medan, Rantau Panjang Serd., Tanjung Beringin, Bandar Khalipah, Mesjid,
Negerilama, Kota Pinang, Labuhan Bilik, Gunung Sitoli, Sibolga, Tarutung, Batang Toru, Padang Sidempuan, Portibi, Panyabungan,
Kota Nopan, Air Bangis, Talu, Rao, Lubuk Sikaping, Bonjol, Palembayan, Fort de Kock/Bukittinggi, Maninjau, Lubuk Basung, Kayu
Tanam, Padang Panjang, Fort van der Capellen/Batu Sangkar, Buo, Payahkumbuh, Suliki, Pgkl. Kota Baru, Sijungjung, Singkarak,
Solok, Supajang, Alahan Panjang, Muara Labuh, Balai Selasa, Ayer Haji, Muko-Muko, Riau-Tjg. Pinang, Tanjung Balai Karimun, Daik,
Bengkalis, Rengat, Kuala Tungkal, Muara Sabak, Muara Kumpeh, Muntok, Jebus, Belinyu, Sungai Liat, Batu Rusa, Pangkal Pinang,
Koba, Toboali, Tanjung Pandan, Banding Agung, Muara Dua, Baturaja, Tanjung Raya, Kayu Agung, Muara Enim, Lahat, Bandar, Pagar
Alam, Talang Padang, Tebingtinggi, Talang Benunu, Sekayu, Muara Rupit, Surulangun, Muara Beliti, Padang Ulak Tanding, Kepahiang,
Lais, Bengkulu, Tais, Manna, Bintuhan, Krui, Tarabangi, Teluk Betung, Menggala, Sukadana, Kota Agung, Kalianda

Jawa

Serang, Cilegon, Pandeglang, Caringin, Rangkasbitung, Buitenzorg/Bogor, Cikao, Purwakarta, Cianjur, Sukabumi, Pacet, Bandung,
Garut, Manonjaya, Panjalu, Kuningan, Majalengka, Plered, Weleri, Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Karanganyar,
Kebumen, Kutoarjo, Purworejo, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Menoreh, Pengasih, Wonosari, Bantul, Sleman, Klaten,
Boyolali, Sragen, Wonogiri, Purwodadi, Wirosari, Ngawi, Gempol, Jember, Bondowoso, Subang, Tasikmalaya, Trenggalek, Ngorowo/
Tulungagung, Bojonegoro, Sidoarjo, Bangil, Kraksaan

138

Kota Pusaka

Lokasi

Kota

Kalimantan

Sandakan, Kuching, Pemangkat, Singkawang, Montrado, Mempawa, Pontianak, Bengkajang, Ngabang, Sanggau, Sintang, Salimbau,
Ketapang, Pangkalan Bun, Sampit, Kuala Kapuas, Marabahan, Pleihari, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, Tanjung, Pegatan, Kota
Baru, Tanah Grogot, Tenggarong, Samarinda, Berau-Tg. Redeb, Bulungan-Tg. Selor

Ind. Timur

Tahuna, Kota Mobagu, Donggala, Banggai, Majene, Palopo, Enrekang, Pampanua, Rappang, Pinrang, Pare-Pare, Sumpang Binaraga E/
Barru, Pangkajene, Maros, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Sinjai, Benteng Selayar, Cakranegara/Mataram/Ampenan, Denpasar, Geser,
Tobelo

Perkembangan teknologi dalam pembangunan infrastruktur dan transportasi pada abad ke-19 dan 20
mendorong kendali atas seluruh wilayah. Pembangunan sistem tranportasi, perhubungan, industri serta
didukung kebijakan kolonial yang mendorong kehadiran kota pada tahap yang keempat. Kota yang lahir
karena industri manufaktur dan kota tambang umumnya berkembang karena dorongan dari perkembangan
infrastruktur, motorisasi, dan perkembangan jasa-jasa pelayanan, umumnya terletak diluar/bersebelahan
dengan kota pemerintahan. Sedangkan kota pariwisata, secara fisik seperti karakter alamnya memiliki
keunikan atau keistimewaan, seperti sumber air panas di wilayah tropik, lokasi di wilayah pegunungan atau
perbukitan seperti Bandung, secara non fisik seperti keunikan etnik dan budaya.1
Tabel 4. Permukiman perkotaan yang muncul pada periode industrialisasi modern
Lokasi

Kota

Sumatera

Sabang, Krueng Raja, Seulimeun, Calang, Susoh, Tapaktuan, Bakongan, Sinabang, Bireun, Meureudu, Takengon, Lhok Sukon, Lokop,
Langsa, Kuala Langsa, Kuala Simpang, Blang Kejeren, Kutacane, Sidikalang, Kabanjahe, Berastagi, Pangkalan Susu, Pangkalan
Brandan, Binjai, Lubuk Pakam, Tebingtinggi (Deli), Pematang Siantar, Prapat, Kisaran, Rantau Prapat, Gunung Tua, Balige, Panguruan,
Siborong-borong, Teluk Dalam, Muara Siberut, Sawahlunto, Taluk Kuantan, Gunung Sahilan, Bangkinang, Pasir Pengarayan, Pekan
Baru, Duri, Dumai, Bagan Siapi-Api, Tembilahan, Penuba, Dabo, Muara Tebo, Muara Bungo, Bangko, Sarolangun, Sungai Penuh,
Kenaliasem, Argamakmur, Curup, Lubuk Linggau, Prabumulih, Tanjung Enim, Pendopo-Tl. Akar, Martapura, Kota Bumi, Metro, Tanjung
Karang, Oosthaven-Panjang

Jawa

Menes, Labuhan, Cikotok, Cimahi, Lembang, Cikampek, Jatibarang, Banjar, Kroya, Cepu, Gundih, Batu

Kalimantan

Telok Air, Batu Ampar, Nanga Tayap, Sekadau, Nanga Pinoh, Semitau, Putus Sibau, Kumai, Kuala Pembuang, Kasongan, Pahandut/
Palangka Raya, Pulang Pisau, Kuala Kurun, Puruk Cahu, Buntok, Tamiang Layang, Kelua, Negara, Balikpapan, Muara Muntai, Melak,
Long Iram, Sangkulirang, Tarakan, Nunukan, Malinau, Long Nawang, Long Bawang

Werner Rutz, Urbanization of the Earth 4, Cities and Towns in Indonesia, Stuttgart, Berlin, 1987

Lampiran

139

Lokasi

Kota

Ind. Timur

Negara (Bali), Tabanan, Gianyar, Bangli, Klungkung, Lembar, Praya, Selong, Waikabubak, Waingapu, Baa, Soe, Kefamenanu, Atambua,
Kalabahi, Maumere, Bajawa, Ruteng, Pante Makassar, Likisia, Manatuto, Baucau, Aileu, Ermera, Maliana, Suai, Ainaro, Same, Vikeke,
Lospalos, Bitung, Tomohon, Kwandang, Tilamuta, Palu, Parigi, Poso, Luwuk, Kolonedale, Soroako, Malili, Masamba, Rantepao, Makale,
Mamasa, Polewali, Mamuju, Pangkajene-Sidenreng, CabengE, Kolaka, Pomalaa, Kendari, Raha, Weda, Sanana, Namlea, Piru, Saparua,
Amahai, Wahai, Tual, Dobo, Larat, Saumlaki, Tepa, Wonreli

Papua

Manokwari, Fak-Fak, Merauke, Hollandia/Jayapura, Bosnik/Biak, Seuri, Sorong, Nabire, Wamena, Tembagapura

Pada awal pertumbuhannya, permukiman


urban di Indonesia tetap diwarnai oleh tradisi
pedesaan yang dipengaruhi oleh struktur agraris
dengan kehidupan sosial yang diwarnai oleh tradisi.
Termasuk adanya kelompok masyarakat yang
telah mengenal budaya tulis-menulis, misalnya
Sansekerta, Jawa Kuno, Arab Melayu serta wujud
tradisi lainnya. Pertumbuhan kota menghasilkan
pula struktur masyarakat yang selain menghasilkan
surplus di bidang pertanian juga industri domestik,
seperti kerajinan serta kesenian yang mendukung
kebudayaan kota. Situasi ini menghasilkan
peradaban kota.

Pasar Hindu, Medan


Sumber Foto: BPPI

140

Kota Pusaka

Kota-Kota di Indonesia yang beragam


merupakan hasil dari proses yang terus berlangsung.
Selain itu, kota juga merupakan wujud peristiwa
yang berbeda di tiap periode, juga situasi ekonomi,
sosial-budaya serta lingkungan seperti kota pantai,
perbukitan atau muara. Karena itulah, pengelolaan
kota hendaknya mengenal keragaman ini
Setelah kemerdekaan, kota-kota ini yang
terus dikembangkan. Sebagaimana dirintis pada
periode sebelumnya, pembangunan dipandu oleh
perencanaan tata ruang yang sistematis.

Lampiran 4
Kota/Kabupaten Anggota JKPI dan Status RTRW
NO

NAMA WILAYAH
Padang

LINGKUP
Kota

PROVINSI
Sumatera Barat

PERDA RTRW

Bau-Bau

Kota

Sulawesi Tenggara

Banda Aceh
Bukittinggi
Banjarmasin

Kota
Kota
Kota

NAD
Sumatera Barat
Kalimantan Selatan

Perda No.4 Tahun 2009


Perda No. 6 Tahun 2011
-

Cirebon

Kota

Jawa Barat

Denpasar

Kota

Bali

Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jakarta Pusat
Kepulauan Seribu
Langsa
Lubuk Linggau

Kota
Kota
Kota
Kabupaten
Kota
Kota

DKI Jakarta

Perda No. _ Tahun 2011

NAD
Sumatera Selatan

Madiun
Malang
Medan

Kota
Kota
Kota

Jawa Timur
Jawa Timur
Sumatera Utara

Palembang

Kota

Sumatera Selatan

Perda No. 6 Tahun 2011


Perda No. 4 Tahun 2011
Perda No. 13 Tahun
2011
-

Pangkal Pinang

Kota

Pekalongan

Kota

Kepulauan Bangka
Belitung
Jawa Tengah

Ambon

Kota

Maluku

Perda No. 11 Tahun


2011
Perda No. 30 Tahun
2011
-

Palopo

Kota

Sulawesi Selatan

KETERANGAN
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang
Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang
Pembahasanan DPRD

Sudah Persetujuan Substansi & Sedang


Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang
Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang
Pembahasanan DPRD

Proses Revisi RTRW


Sudah Pembahasan BKPRN & Sedang Perbaikan
di Daerah

Sudah Persetujuan Substansi & Sedang


Pembahasanan DPRD

Sudah Persetujuan Substansi & Sedang


Pembahasanan DPRD
Proses Rekomendasi Gubenur

Lampiran

141

NO

NAMA WILAYAH
Pontianak

LINGKUP
Kota

PROVINSI
Kalimantan Barat

Salatiga
Surabaya
Semarang
Surakarta
Sibolga

Kota
Kota
Kota
Kota
Kota

Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Sumatera Utara

Perda No. 4 Tahun 2011


Perda No. 4 Tahun 2011
-

Ternate

Kota

Maluku Utara

Yogyakarta
Bangka Barat

Kota
Kabupaten

Perda No.2 Tahun 2010


-

Karang Asem

Kabupaten

DI Yogyakarta
Kepulauan Bangka
Belitung
Bali

Purbalingga
Cilacap
Buleleng

Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten

Jawa Tengah
Jawa Tengah
Bali

Perda No. 5 Tahun 2011


Perda No. 9 Tahun 2011
-

Tegal
Bangli

Kabupaten
Kabupaten

Jawa Tengah
Bali

Brebes
Banjarnegara
Banyumas

Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten

Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah

Batang
Gianyar

Kabupaten
Kabupaten

Jawa Tengah
Bali

Perda No. 2 Tahun 2011


Perda No. 10 Tahun
2011
-

Gresik
Badung
Pekalongan
Bogor
Bengkulu
Sawahlunto

Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Kota
Kota
Kota

Jawa Timur
Bali
Jawa Tengah
Jawa Barat
Bengkulu
Sumatera Barat

Perda No. 8 Tahun 2011


Perda No. 2 Tahun 2011
Perda No.8 Tahun 2011
-

Sumber: http://www.penataanruang.net/

142

Kota Pusaka

PERDA RTRW

KETERANGAN
Sudah Pembahasan BKPRN & Sedang Perbaikan
di Daerah
Proses Rekomendasi Gubenur

Sudah Pembahasan BKPRN & Sedang Perbaikan


di Daerah
Sudah Pembahasan BKPRN & Sedang Perbaikan
di Daerah
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Proses
Kehutanan
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang
Pembahasanan DPRD

Sudah Persetujuan Substansi & Sedang


Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang
Pembahasanan DPRD

Sudah Persetujuan Substansi & Sedang


Pembahasanan DPRD

Sudah Persetujuan Substansi & Sedang


Pembahasanan DPRD

Laut Ambon
Sumber Foto: Catrini (BPPI)

Daftar Pustaka
PIAGAM DAN KONVENSI
ICOMOS, Charter for the Conservation of Historic Towns and Urban Areas (Washington Charter
1987), adopted by its General Assembly in Washington DC, October 1987.
http://www.international.icomos.org/charters/towns_e.pdf
UNESCO, Guidelines on The Inscription of Specific Types of Properties on The World Heritage List,
included in the Operational Guidelines by the World Heritage Committee at its 16th session in Santa
Fe, 1992.
http://whc.unesco.org/archive/opguide05-annex3-en.pdf
UNESCO, Convention concerning the protection of the world cultural and natural heritage, adopted by
the General Conference at its seventeenth session, Paris, 16 November 1972, WHC-2001/WS/2
http://whc.unesco.org/en/conventiontext
UNESCO, Declaration on the Conservation of Historic Urban Landscapes, adopted by the General
Assembly at its fifteenth session, Paris, 10-15 October 2005, WHC-05/15.GA/7
http://whc.unesco.org/uploads/activities/documents/activity-48-1.pdf
UNESCO, Intergovernmental Committee for the protection of the World Cultural and Natural
Heritage, Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention,
WHC.2011/1.
http://whc.unesco.org/en/guidelines
BUKU&PAPER
Adishakti, Laretna dan Punto Wijayanto. Belajar dari Penetapan Kota Pusaka Dunia UNESCO.
Paper dipresentasikan pada Workshop Terbatas I Kota Pusaka, 1 Desember 2011.
Ringbeck, Brigittta. Management Plans for World Heritage Sites. A Practical Guide. Bonn: German
Commission for UNESCO, 2008.
Rutz, Werner. Cities and Towns in Indonesia: Their Development, Current Positions and Functions
With Regard to Administration and Regional Economy (Urbanization of the Earth). Berlin:
Gebruder Borntraeg, 1987.
Van Oers, Ron, Sachiko Haraguchi, et al. Managing Historic Cities. World Heritage Papers, 27. Paris:
UNESCO World Heritage Centre, 2010.

144

Kota Pusaka

PERATURAN PERUNDANGAN
UU RI No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
PP RI No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Permen PU No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang WilayahCagar Budaya
PP RI No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Permen PU No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Permen PU No. 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Nias
Sumber Foto: BPPI

Daftar Pustaka

145

Tim Penyusun
TIM PENGARAH:

TIM PELAKSANA:

Imam S. Ernawi
Ruchjat Deni Dj
Iman Soedrajat
Joessair Lubis
Bahal Edison N
Rido Matari Ichwan

Endra S. Atmawidjaja
Taufan Madiasworo
Allien Dyah Lestari
Hajar Ahmad Chusaini
Shahnaz Acrydiena
Caesar Adi Nugroho
Wulansih
Ratu Veby Renita
Rocky Adam
Siti Maesaroh

(Ditjen Penataan Ruang


Kementerian PU)

TIM AHLI (BPPI):

146

I Gede Ardika
Budhi Tjahyati S. Soegijoko
Gunawan Tjahjono
Mohammad Danisworo
Catrini Pratihari Kubontubuh
Suhadi Hadiwinoto
Laretna Adishakti
Haryo Sasongko
Ning Purnomohadi
Dani B. Ishak
Arya Abieta
Hardini Sumono
Benjamin Ishak
Aristia Kusuma
Punto Wijayanto
Asfarinal

Kota Pusaka

(Ditjen Penataan Ruang


Kementerian PU)

KONTRIBUTOR:

Rita Tri Puspitasari


Wahyu Mulyana
Fransisco
Azwir Malaon
Iwan Darma Setiawan
Andri Hari
Gita Santi
Tommy Faizal

Pengukir Kayu
Sumber Foto: BPPI

MENGAWAL KELESTARIAN PUSAKA INDONESIA


Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) adalah organisasi nirlaba. Anggota BPPI tersebar di seluruh Nusantara dan
dunia yang terdiri dari individu praktisi dan pemerhati pelestarian. Ruang lingkup program-program BPPI yang sangat luas
menjadikan BPPI kaya dengan anggota dari berbagai disiplin ilmu seperti arsitektur, perencanaan kota/daerah, lingkungan
hidup, arkeologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, hukum, sejarah, sastra, musik, teater dan lain sebagainya.

KEMITRAAN

Saat ini BPPI bermitra dengan lebih dari 50 mitra lokal yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia serta mitra internasional
dari Australia, Belanda, Lebanon dll. BPPI merupakan anggota dari International National Trusts Organisation (INTO) yaitu
wadah jaringan organisasi pelestarian sedunia yang berpusat di London.

DEWAN PIMPINAN BPPI 2010-2013

1. I Gede Ardika (Ketua)


2. Dorodjatun Kuntjoro Jakti (Wakil Ketua I)
3. Pia Alisjahbana (Wakil Ketua II)
4. Hashim Djojohadikusumo (Wakil Ketua III)
5. Catrini Pratihari Kubontubuh (Direktur Eksekutif )
6. Arya Abieta (anggota)
7. Amran Nur (anggota)
8. Dedy Gumelar (anggota)
9. Hardini Sumono (anggota)

DEWAN PAKAR BPPI

10. Hasti Tarekat (anggota)


11. Heri Akhmadi (anggota)
12. Laretna T. Adishakti (anggota)
13. Luluk Sumiarso (anggota)
14. Ning Purnomohadi (anggota)
15. Rudy J. Pesik (anggota)
16. Setyanto P. Santosa (anggota)
17. Soehardi Hartono (anggota)

BPPI didukung oleh kumpulan individu yang memiliki kepakaran di bidangnya masing-masing, serta membentuk
kelompok-kelompok kerja sesuai dengan bidang yang diminati. Tiga bidang utama yang mendapat perhatian istimewa
adalah pusaka ragawi, pusaka tak-ragawi, dan pusaka saujana (lanskap) gabungan antara alam dan kebudayaan.

SEKRETARIAT BPPI

1. Aristia Kusuma (Koordinator)


2. Hannisya Subana (Bidang Internal)
3. Patricia Manangkot (Bidang Eksternal)
4. Suci Rifani (Administrasi)
5. Leni Marlina (Tenaga Pendukung)
BPPI didukung pula oleh para sukarelawan pencinta pusaka.

INFORMASI LEBIH LANJUT

Griya BPPI:
Jl. Veteran I no. 27 Jakarta 10110 Indonesia
T/F: 021.35 111 27
Rekening BPPI:
Badan Pelestarian Pusaka Indonesia
Permata Bank, Jl. Sudirman Kav. 27 Jakarta 10110
No: 070 162 16 62 (Rupiah) / 090 450 40 41 (Euro)

Bau-Bau,
Tenggara
148Sulawesi
Kota
Pusaka
Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI

Anda mungkin juga menyukai