SK Anemia A7
SK Anemia A7
Kelompok : A - 7
Ketua
: Aditya Maulana
(1102010007)
Sekretaris
: Annisha Kartika
(1102010029)
Anggota
(1102010009)
Aminah Alaydrus
(1102010018)
(1102010040)
Bidari Asriassifa
(1102010049)
Daniel Bramantyo
(1102010063)
(1102009084)
(1102010084)
Khansa Haura
(1102010144)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
2011/2012
SKENARIO 1
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang berobat ke poliklinik YARSI dengan keluhan sering
merasa lekas lelah setelah bekerja 2 bulan yang lalu. Riwayat keluarga dengan keluhan yang
sama tidak ada. Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit paru-paru, jantung atau kelainan
ginjal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : keadaan umum tampak pucat, tinggi badan 160cm, berat
badan 50 kg, frekuensi pernafasan 24x/menit, tekanan darah 110/60mmHg, frekuensi nadi
98x/menit, suhu tubuh 36,8 oC, tekanan vena jugularis normal, konjungtiva palpebra
inferior pucat. Pada pemeriksaan jantung: bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar
gallop dan murmur. Pada pemeriksaan paru dan abdomen dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8gr/dl, Ht 25%, MCV 70 fl, MCH 20 pg,
MCHC 25%, sediaan darah apus tepi dengan pewarnaan Wright terdapat sel pensil. Dokter
mengatakan pasien mengalami anemia dan disarankan pemeriksaan kadar besi serum (TI),
kadar ferin dan kapasitas ikat besi total (TIBC)
SASARAN BELAJAR
Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan terjadi di
luar sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga sebagai
eritropoesis ekstra meduler
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran
O2 ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi
eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan
langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan
stimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum tulang.
Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone sex
wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita
lebih rendah daripada pria.
Eritropoeitin
- Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati
- Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
- penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke dalam
darah merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang proliferasi dan
pematangan eritrosit jumlah eritrosit meningkatkapasitas darah mengangkut O2 dan
penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal stimulus awal yang mencetuskan
sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali.
- Pasokan O2 ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah
melepaskan O2 : stimulus eritroprotein turun
- Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus berproliferasi
menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb.
- Bekerja pada sel-sel tingkat G1
- Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O 2 & kebutuhan
mengatur pembentukan eritrosit.
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu
molekul organik dengan satu atom besi. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein
(globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA)
terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang
masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul
hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF.
Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein), yang
terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunitsubunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang
menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang
mengandung besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga
secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul
heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah,
zat ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah.
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah,
gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal.
Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
a. Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari
Gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan
yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan
myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan
ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik.
Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan
sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada
anemia sideroblastik)
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua
keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi
secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang
bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi
sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan Menyerupai anemia
defisiensi besi.
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis.
Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena
keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan
sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu
empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara
episodik (self limiting).
LO 3.3 Pemeriksaan
---Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH
menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor.
RDW (red cell
distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit sudah
dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering
turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul
perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan
mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit
dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus
ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok kelompok normo-blast
basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecilkecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350
mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia defisensi
besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat
menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang
rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau
meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.
lidah menghilang
Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
dan lain-lain
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologic pada defisiensi vitamin B12
dalam tubuh besi bebas biasanya terikat ke protein . Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe
3+ ) oleh protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi
transferin. Besi dioksidasi dari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal sebagai
seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Tingkat saturasi transferin oleh besi
biasanya hanya sepertiga. Kapasitas total darah mengikat besi, yang terutama disebabkan
oleh kandungan transferinnya, adalah sekitar 300 g/dL.Penyimpanan besi terjadi di
sebagian besar sel tetapi terutama di hati, limpa, dan sumsum tulang. Dalam sel-sel ini,
protein penyimpan, apoferitin, membentuk kompleks dengan besi (Fe 3+) yang dikenal
sebagai feritin. Dalam keadaan normal, hanya terdapat sedikit feritin di dalam darah. Namun,
jumlah ini meningkat seiring dengan peningkatan simpanan besi. Dengan demikian, jumlah
feritin di dalam darah adalah indicator paling peka mengenai jumlah besi yang tersimpan di
dalam tubuh. Besi dapat diambil
transferin, dan disera oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis yang
diperatarai oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin).
Apabila terjadi penyerapan besi
sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi tambahan
yang tidak mudah dimobilisasi segera.
vitamin C).
Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu
o
o
METABOLISME BESI
Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase:
o Fase Luminal
Besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan heme terlepas dari
apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
o Fase Mukosal
Proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan penting pada absorpsi
besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster,
ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak
vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel
absorptive, sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks.
etidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari lumen usus ke
sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap
larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel,
pada brush border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang
diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor 10 melalui
membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di
sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri. sebagian besar besi
akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke
dalam kapiler usus melalui basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang
diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase,
kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus.
o Fase corporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang
membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh. Dalam sirkulasi, besi tidak pernah
berada dalam bentuk logam bebas, melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat
seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi
kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum
tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi
terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses
endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan
hemoglobin. Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks
besiapoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum
tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada
sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit
mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari 11 pembongkaran eritrosit. Bila jumlah
total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam
bentuk yang tidak larut (hemosiderin).
Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin,
tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam
plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum
terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus,
dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik
karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme
mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik,
bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu
kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam
eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3. Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin
menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga
menimbulkan berbagai gejala.
Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
1. Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang
menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang
mempercepat kelelahan otot.
2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak
Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga
mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.
3. Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang sehingga
menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan meningkatkan risiko
prematuritas dan gangguan partus.
LO 3.2 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan FEP) harus
dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
2.
3.
4.
5.
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun Red cell distribution width (RDW) > 17%
FEP meingkat
Feritin serum menurun
Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16%
Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV meningkat
1%/hari
6. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi.
Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons
hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6
mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat
dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.
LO 3.3 Penatalaksanaan
1. Terapi kausal: tergantung penyebab penyakitnya, misalnya: pengobatan cacing tambang,
pengobatan hematoid. Terapi ini harus dilakukan, apabila tidak dilakukan maka anemia
akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk pengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi peroral
ferrous sulphat dosis 3 x 200 mg (murah)
ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferros succinate (lebih
mahal)
Sebaiknya diberikan pada saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih banyak
dibanding setelah makan. Efek sampingnya yaitu mual, muntah, serta konstipasi.
Pengobatan diberikan selama 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi
cadangan besi tubuh. Kalau tidak, maka akan kembali kambuh.
b) Besi parenteral
Efek sampingnya lebih berbahaya, dan harganya lebih mahal, indikasi:
Intoleransi oral berat
Kepatuhan berobat kurang
Kolitis ulserativa
Perlu peningkatan Hb secara cepat
Preparat yang tersedia: iron dextran complex, iron sorbital citric acid complex
diberikan secara intramuskuler atau intravena pelan.
Efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri
perut, dan sinkop.
c) Pengobatan lain
Diet: makanan bergizi dengan tinggi protein (protein hewani)
Vitamin c: diberikan 3 x 100 mg perhari untuk meningkatan absorpsi besi
Transfusi darah: jarang dilakukan
LO 3.4 Pencegahan
Beberapa tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada awal
kehidupan adalah sebagai berikut :
Memberi bayi makanan yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan
asam askorbat (jus buah).
DAFTAR PUSTAKA
Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A
Guide to Diagnosis and Management. New York; McGraw Hill, 1995 : 72-85.
Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2.
New York; Churchill Livingstone Inc, 1995 : 35-50.
Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood.
Edisi ke-1. Philadelphia; Saunders, 1974 : 103-25.
Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. Dalam : McMillan JA, DeAngelis CD,
Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oskis Pediatrics : Principles and Practice. Edisi ke3. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 1999 : 1447-8.
Sadikin Muhamad, 2002, Biokimia Darah, widia medika, jakarta
Schwart E. Iron Deficiency Anemia. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia ; Saunders, 2000 :
1469-71.
Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC, Jakarta
http://www.pediatrik.com