Anda di halaman 1dari 4

RUMUSAN

HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2014


Jakarta, 5-7 Februari 2014

Rapat Kerja dengan tema Undang-Undang Perindustrian Sebagai Landasan


Pembangunan Industri Untuk Menjadi Negara Industri Tangguh yang dihadiri oleh
seluruh Pejabat Eselon I, seluruh Pejabat Eselon II, Pejabat Eselon III yang membidangi program
di lingkungan Kementerian Perindustrian, Atase Perindustrian, KADIN, Asosiasi Industri & Pelaku
Usaha, seluruh Kepala Balai Besar, seluruh Kepala Baristand, seluruh Kepala Unit Pendidikan dan
Kepala Balai Diklat Industri menghasilkan rumusan sebagai berikut:
1. Setelah mengalami periode penurunan kinerja akibat dampak krisis ekonomi global pada
tahun 2007-2009, sektor industri kini mampu tumbuh dan berkembang secara signifikan.
Pertumbuhan industri pengolahan non-migas sampai dengan Triwulan III tahun 2013
mencapai 6,22%. Pertumbuhan ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi (PDB) pada
periode yang sama sebesar 5,83%. Sektor industri pengolahan non migas ini memberikan
kontribusi sebesar 20,57% dari total PDB nasional, yang tertinggi dibandingkan sektor-sektor
lainnya.
2. Sasaran utama pembangunan sektor industri tahun 2014 antara lain: pertumbuhan industri
pengolahan non-migas sebesar 6,4-6,8%, penyerapan tenaga kerja sektor industri sebanyak
400 ribu orang, meningkatnya ekspor sektor industri hingga mencapai US$ 125 miliar, serta
investasi PMA sebesar US$ 14 miliar dan investasi PMDN sebesar Rp 50 Triliun.
3. Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan industri tahun 2014 tersebut sebagai bagian
dari pembangunan industri nasional jangka panjang, diperlukan upaya yang maksimal.
Terlebih di tengah kondisi transaksi berjalan (current account) sektor industri yang masih
defisit disebabkan oleh impor yang cenderung meningkat berupa impor bahan baku dan
barang modal untuk industri.
4. Untuk itu, diperlukan upaya pengembangan industri substitusi impor dalam rangka
mengurangi impor bahan baku dan barang modal serta akselerasi hilirisasi industri dalam
rangka meningkatkan nilai tambah produk primer melalui berbagai usulan kebijakan, antara
lain berupa insentif fiskal, jaminan ketersediaan pasokan gas, energi termasuk listrik, bahan
baku, dan sumber daya industri lainnya, fasilitasi pengembangan kawasan industri dan
penyediaan infrastruktur pendukung industri; serta fasilitasi dukungan pembiayaan yang
kompetitif untuk mendorong investasi baru dan pengembangan usaha.
5. RUU tentang Perindustrian telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada tanggal
19 Desember 2013 dan telah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 15 Januari 2014
menjadi UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. UU Perindustrian yang baru ini
diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat, memberikan ruang yang lebih luas
untuk peningkatan kinerja sektor industri, serta lebih memberikan kepastian dan perlindungan
hukum bagi pemerintah, pelaku industri dan masyarakat dalam pengembangan Industri
nasional.
6. Beberapa ketentuan pokok yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
yang harus menjadi perhatian kita bersama, antara lain mengenai: (a) Penyelenggaraan
1

Urusan Pemerintahan Di Bidang Perindustrian; (b) Rencana Induk Pembangunan Industri


Nasional (RIPIN); (c) Industri Strategis; (d) Pemanfaatan Sumber Daya Alam;
(e) Pembangunan Sumber Daya Manusia; (f) Infrastruktur Industri; (g) Standardisasi Industri;
(h) Tindakan Pengamanan Industri; serta (i) Fasilitas Industri.
7. UU Perindustrian mengamanatkan disusunnya berbagai peraturan perundangan sebagai
ketentuan lanjutan, yaitu 1 (satu) Undang-Undang tentang Pembentukan Lembaga
Pembiayaan Pembangunan Industri, 16 Peraturan Pemerintah, 5 (lima) Peraturan Presiden,
serta 12 Peraturan Menteri.
8. ASEAN Economic Community (AEC) merupakan agenda bersama negara-negara ASEAN
dengan tujuan menjadikan ASEAN sebagai: (1) Pasar dan basis produksi tunggal, (2)
Kawasan Ekonomi yang kompetitif, (3) Pengembangan ekonomi yang merata, dan (4)
Integrasi ke dalam ekonomi global. AEC mulai diberlakukan pada tahun 2015.
9. Dalam menghadapi AEC 2015 tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah dan kebijakan yang
bersifat lintas sektoral, antara lain: mengintensifkan sosialisasi AEC 2015 kepada stakeholder
industri, mengusulkan percepatan pemberlakuan safeguard dan anti-dumping bagi produk
impor tertentu, menambah fasilitas laboratorium uji dan meningkatkan kompetensi SDM
industri, Penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pada masingmasing sektor industri, serta penguatan IKM dan pengembangan wirausaha baru industri.
10. Indonesia harus mengantisipasi dampak dari implementasi FTA, bukan hanya membuka pasar
tetapi harus mampu menjaga industri dalam negeri agar tetap tumbuh sebagai lokomotif
pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk menjaga kepentingan industri di dalam negeri maupun
memperkuat daya saing industri di pasar global, diperlukan dukungan kebijakan dan
penguatan data industri melalui Industrial Resilience Information System (IRIS).
11. Dalam rangka pengembangan industri hijau akan dilakukan beberapa kegiatan antara lain:
Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Industri Hijau, Penyusunan Standar Industri Hijau
(SIH), Pembentukan Lembaga sertifikasi Industri Hijau (LSIH), Pedoman teknis konservasi
energi dan penurunan emisi GRK, dan Penyiapan Insentif untuk Pengembangan Industri
Hijau.
12. Untuk mewujudkan pemerataan dan penyebaran industri di luar Pulau Jawa sesuai dengan PP
No. 24 tahun 2009, Kementerian Perindustrian berupaya mendorong terbentuknya kawasan
industri baru dan menumbuhkan industri inti sebagai daya tarik berkembangnya industri
lainnya serta penyediaan lahan dan infrastruktur pendukung kawasan industri.
13. Sebagai tindak lanjut UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral & Batubara (Minerba),
Kementerian Perindustrian melaksanakan Program Hilirisasi Industri Berbasis Bahan Tambang
Mineral, dengan sasaran direalisasikannya pembangunan smelter pengolahan bahan mineral
untuk bijih besi, nikel, alumina dan tembaga di dalam negeri.
14. Dalam rangka memenuhi kebutuhan transportasi darat, penghematan penggunaan BBM dan
mengembangkan kendaraan yang ramah lingkungan, Pemerintah melaksanakan berbagai
program antara lain: Pengembangan Kendaraan Angkutan Umum Murah, Low Cost & Green
Car (LCGC) dan Low Carbon Emission Car, serta Konversi BBM Ke BBG Untuk Kendaraan
Bermotor.

15. Dalam upaya pengembangan Industri Agro, Pemerintah memberikan perhatian beberapa isu
strategis, antara lain kesiapan industri makanan & minuman menghadapi AEC 2015,
revitalisasi industri gula, dan jaminan legalitas bahan baku industri kayu olahan. Untuk
menjaga kualitas produk dan daya saing dengan produk luar, industri makanan & minuman
harus menggunakan bahan baku yang berkualitas dan sesuai standar higienis. Untuk
revitalisasi industri gula, perlu ada peningkatan kapasitas dan efisiensi pabrik gula. Untuk
menjamin legalitas bahan baku industri kayu olahan, Pemerintah mewajibkan sektor industri
menggunakan kayu yang telah memenuhi syarat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
16. Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) diarahkan untuk mewujudkan
penyebaran dan pemerataan industri ke luar Pulau Jawa serta memperkokoh perekonomian
masyarakat. Progam pengembangan IKM antara lain melalui pengembangan OVOP, klaster
IKM, industri kreatif IKM, kewirausahaan, restrukturisasi mesin/peralatan IKM, fasilitasi
layanan IKM, serta promosi dan pameran IKM. Dengan adanya UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kementerian Perindustrian memiliki
peluang yang lebih besar untuk pengembangan IKM di daerah pedesaan.
17. Arah pembangunan RPJMN ke-3 (2015-2019) adalah Memantapkan pembangunan secara
menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif
perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia
(SDM) berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi (IPTEK) yang terus meningkat. Arah
kebijakan pembangunan industri dalam RPJMN 2015-2019 adalah Akselerasi Pertumbuhan
Industri, dengan fokus pada: pengembangan perwilayahan industri, penumbuhan populasi
dan pemerataan persebaran industri, serta peningkatan daya saing dan produktivitas industri.
18. Pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2014 antara lain: Pengendalian defisit anggaran yang
lebih sehat, Peningkatan sumber-sumber pendapatan negara, baik penerimaan pajak maupun
PNBP, Peningkatan efektivitas dan kualitas belanja negara terutama pengendalian subsidi
energi serta efisiensi dan efektifitas belanja K/L. Sedangkan kebijakan anggaran belanja
pemerintah pusat diarahkan untuk meningkatkan kinerja K/L melalui langkah-langkah:
Melanjutkan pelaksanaan reformasi birokrasi, Perbaikan perencanaan anggaran di masingmasing K/L, serta Peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja operasional K/L (perjalanan
dinas, kegiatan seminar, konsinyering).
19. Arahan yang harus ditindaklanjuti dalam pelaksanaan anggaran K/L tahun 2014 antara lain:
(a) Perubahan rincian anggaran yang telah ditetapkan berdasarkan APBN TA 2014 dan
disahkan dalam DIPA TA 2014 mengacu kepada PMK Nomor 7/PMK.02/2014 tentang Tata
Cara Revisi Anggaran TA 2014, (b) Penyelesaian dana Optimalisasi APBN 2014 yang masih
memerlukan proses lebih lanjut, (c) Deviasi Disbursement Plan Belanja K/L dan realisasinya,
perlu dimonitor target capaiannya.

20. Untuk menjaga agar pelaksanaan program dan kegiatan di lingkungan Kementerian
Perindustrian berjalan secara akuntabel dan transparan, Inspektorat Jenderal melaksanakan
beberapa Monitoring dan Evaluasi (Monev) yang hasilnya perlu ditindaklanjuti oleh unit
terkait, antara lain: (a) Monev efektivitas penerapan SNI, yaitu masih kurangnya pengawasan
terhadap SNI; (b) Monev pelaksanaan RICE dan IBC, yaitu dibutuhkan sinergi antara lembaga
pendidikan, industri dan badan pemerintah yang lebih erat; (c) Monev Program P3DN, yaitu
kewajiban penggunaan produk dalam negeri belum dijadikan prioritas oleh pelaksana
3

pengadaan barang/jasa pemerintah; (d) Monev pengadaan barang/jasa, yaitu kesalahan


memilih prosedur atau metode; (e) Monev revitalisasi industri gula, yaitu belum cukup
signifikan dampaknya terhadap tujuan revitalisasi industri gula nasional; (f) Monev
pengembangan wirausaha baru, yaitu diperlukan keterpaduan dengan program penumbuhan
IKM lainnya.

21. Dalam rangka peningkatan pengawasan pelaksanaan anggaran dan pencegahan


tindak korupsi di instansi pemerintah, diperlukan adanya optimalisasi peran APIP,
yaitu untuk: (a) memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan,
efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi
Instansi Pemerintah (assurance activities); (b) memberikan peringatan dini dan
meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
Instansi Pemerintah (anti corruption activities); dan (c) memberikan masukan yang
dapat memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan
fungsi Instansi Pemerintah (consulting activities).
22. RUU tentang Aparatur Sipil Negara telah disetujui oleh DPR pada tanggal 19
Desember 2013 dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 15 Januari 2014 menjadi
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Tujuan utama UU ASN
adalah untuk: Independensi dan Netralitas, Kompetensi, Kinerja/ Produktivitas Kerja,
Integritas, Kesejahteraan, Kualitas Pelayanan Publik, serta Pengawasan dan
Akuntabilitas.
23. Pokok-pokok ketentuan dalam UU ASN mencakup: (a) asas, prinsip, nilai dasar, kode
perilaku dan kode etik, (b) jenis, status, dan kedudukan ASN, (c) fungsi, tugas, dan
peran ASN, (d) jabatan ASN, (e) hak dan kewajiban ASN, (f) kelembagaan, (g)
managemen ASN, (h) pengisian jabatan pimpinan tinggi, (i) pegawai ASN yang
menjadi pejabat negara, (j) organisasi, (k) sistem informasi
ASN, dan (l)
penyelesaian sengketa.

Jakarta, 7 Februari 2014

Kementerian Perindustrian

Anda mungkin juga menyukai