BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan ibu dan anak merupakan prioritas utama dalam upaya
pelayanan kesehatan pada suatu negara. Sesuai dengan kebijakan dibidang
kesejahteraan dan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Salah satu
gangguan kesehatan yang sering terjadi pada sistem reproduksi wanita adalah
kista ovarium. Kista ovarium merupakan suatu benjolan yang berada di
ovarium yang dapat mengakibatkan pembesaran pada abdomen bagian bawah
(Prawirohardjo, 2009).
Kista ovarium itu sendiri memiliki risiko yaitu mengalami degenerasi
keganasan menjadi kanker, disamping itu bisa mengalami torsi atau terpuntir
sehingga menimbulkan nyeri akut, perdarahan atau infeksi bahkan sampai
kematian. Oleh karena itu kista ovarium merupakan masalah penting yang
menyangkut kualitas kesehatan reproduksi wanita (Wiknjosastro, 2007).
Tingginya angka kematian karena penyakit ini dikarenakan tanpa
adanya gejala dan tanpa menimbulkan keluhan, sehingga sulitnya mendeteksi
penyakit ini menyebabkan 60% 70% pasien datang pada stadium lanjut.
Insiden kista ovarium yaitu 7% dari populasi wanita dan 85% bersifat jinak
(Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, 2006).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Serikat Pengendalian Kanker
Internasional (UICC) memprediksi, akan terjadi peningkatan lonjakan
penderita kanker sebesar 300 persen di seluruh dunia pada tahun 2030. Jumlah
tersebut 70 persennya berada di negara berkembang seperti Indonesia
(Kompas, 2013).
Kepala Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Profesor Soehartati Gondhowiardjo mengatakan, jumlah penderita kanker di
Indonesia kian meningkat. Dari data Kementrian Kesehatan (Kemenkes) tahun
2012 menyebutkan, prevalensi kanker mencapai 4,3 banding 1.000 orang.
Padahal data sebelumnya menyebutkan prevalensinya 1 banding 1.000 orang
(Kemenkes, 2012).
Berdasarkan data Dinkes Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010,
berdasarkan laporan program dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
berasal dari Rumah Sakit dan Puskesmas, kasus penyakit tumor terdapat 7.345
kasus terdiri dari tumor jinak 4.678 (68%) kasus dan tumor ganas 2.667 (42%)
kasus, kasus terbanyak ditemukan di Kota Semarang (Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah, 2010).
Data yang peneliti dapatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang angka kejadian kista ovarium dalam dua tahun terakhir mengalami
peningkatan, pada tahun 2011 terdapat 33 kasus kista ovarium menjadi 133
kasus kista ovarium pada tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2013 sampai
bulan Mei, angka kejadian kista ovarium terdapat 46 kasus kista ovarium.
Data ginekologi lainnya yang peneliti dapatkan pada tahun 2011
diantaranya, mioma uteri 50 kasus, tumor ovarium 15 kasus, Ca. cerviks 12
kasus, dan kista bartholini 8 kasus. Sedangkan pada tahun 2012 terdapat kasus
mioma uteri 84 kasus, tumor ovarium 24 kasus, Ca. cerviks 4 kasus, dan kista
bartholini 6 kasus.
Pengobatan kista ovarium yang besar biasanya melalui pembedahan.
Jika ukuran kista kurang dari 5 cm dan tampak terisi cairan atau fisiologis
pada pasien muda dan sehat, kontrasepsi oral dapat digunakan untuk menekan
aktivitas ovarium dan menghilangkan kista. Perawatan pasca operatif setelah
pembedahan pengangkatan kista ovarium sama dengan perawatan setelah
pembedahan abdomen (Smeltzer dan Bare, 2001).
Klien dengan post operasi kista ovarium akan mengalami masalah
yang berhubungan dengan nyeri, perdarahan, resiko infeksi, kurang perawatan
diri dan masalah lain yang akan mengganggu kebutuhan klien. Untuk itu peran
bidan membantu mengatasi masalah-masalah misalnya mengurangi efek nyeri
dengan cara memberikan kompres hangat dan mengajarkan teknik relaksasi,
kemudian mengajarkan perawatan luka bekas operasi agar mencegah infeksi,
dan membantu memenuhi kebutuhan personal hygiene agar klien merasa
nyaman dan kebersihan tubuh terjaga. Tindakan yang diberikan ialah untuk
mencegah terjadinya komplikasi sehingga asuhan kebidanan pada klien post
operasi kista ovarium dapat dilakukan secara optimal (Johnson, 2008).
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengambil
judul
Asuhan
Kebidanan
Gangguan
Reproduksi
Post
Salpingo
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan kebidanan gangguan reproduksi post salpingo
oophorectomy dextra di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang?.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan gangguan
reproduksi post salpingo oophorektomy dextra di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang sesuai dengan Manajemen Kebidanan 7 Langkah
Varney.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa diharapkan dapat:
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian data pada klien dengan post
salpingo oophorectomy dextra di RSUD kota Semarang.
b. Mahasiswa mampu membuat interpretasi data dari pengkajian data
pada klien dengan post salpingo oophorectomy dextra di RSUD kota
Semarang.
c. Mahasiswa mampu mengidentifikasi diagnosa potensial pada klien
dengan post salpingo oophorectomy dextra di RSUD kota Semarang.
d. Mahasiswa mampu melaksanakan antisipasi yang harus dilakukan
pada klien dengan post salpingo oophorectomy dextra di RSUD kota
Semarang.
2. Manfaat Teoritis
Bidan mengetahui bagaimana penatalaksanaan asuhan kebidanan
gangguan reproduksi post salpingo oophorectomy dextra, serta diharapkan
bidan dapat memberikan asuhan kebidanan gangguan reproduksi post
salpingo oophorectomy dextra secara professional.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis mulai dari kepala sampai
kaki (head to toe) meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan
diaknostik
lainnya
seperti
ultrasonografi
(USG),