Anda di halaman 1dari 14

Ontologi: Monisme, Dualisme dan Pluralisme

Pendahuluan
Telah kita pahami bersama bahwa filsafat merupakan permulaan atau awal dari sebuah
pengembangan ilmu pengetahuan, yang menyelidiki segala sesuatu (all thing) yang
mendalam (sampai keakar-akarnya atau radikal) dengan menggunakan akal sampai pada
hakikatnya.[1] Menarik apa yang dianalogikan oleh Will Durant (dalam Jujun S
Suriasumantri, 1988) untuk mengungkapkan hubunagna antara filsafat dan ilmu, yaitu
dikatakan bahwa filsafat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk
pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri sebagai pengetahuan yang diantaranya
ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu
ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan menyempurnakan kemenangan ini
yaitu pengetahuan yang dapat diandalkan.[2] Apa yang dikatakan Will Durant
menandakan bahwa pengetahuan tidak bisa dibangun tanpa landasan filsafat. Sebagai
misal, kita tidak bisa mengembangkan ilmu pendidikan sebelum terlebih dahulu
dikembangkan filsafat pendidikan, dan dari ilmu pendidikan maka akan berkembang
metode pendidikan dan seterusnya.[3]
Perlu diketahui oleh kita, bahwa tiap-tiap ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki
komponen yang merupakan tiang penyangga yang disusunnya, yaitu ontologi
(menjelaskan mengenai pertanyaan apa), epistemologi (menjelaskan pertanyaan
bagaimana) dan aksiologi (menjelaskan pertanyaan untuk apa). Para ahli berbeda-beda
dalam merumuskan aspek dalam filsafat tersebut yang menjadi penyangga pengetahuan.
Sebut saja Buller yang membaginya dengan Metafisika (teologi, kosmologi dan
antropologi), Epistemologi (hakikat, sumber dan metode Pengetahuan) dan aksiologi
(etika dan estetika).[4] Harry Hamersma (dalam Surojiyo, 2005) membaginya dengan
fungsi pembahasannya yaitu Epistemologi membahas tentang pengetahuan, metafisika
umum (ontologi) dan metafisika khusus, membahas tentang keseluruhan kenyataan dan
etika serta estetika membahas tentang tindakan.[5] Apa yang telah diungkap oleh para
ahli nampak jelas adanya perbedaan dua istilah yaitu ontologi dan metafisika. Pada
dasarnya perbedaan ini terjadi hanya pada bidang objek garapannya masing-masing.

Ontologi objek garapannya adalah sesuatu yang ada yang berada dialam fisika sedangkan
metafisika objek garapannya adalah sesuatu yang ada yang berada di alam sesudah fisika.
Yang oleh B. Derfgaauw, disebut, objek telaah ontologi yaitu yang bisa ditangkap panca
indra sedang metafisika objek telaahnya adalah yang tidak bisa ditangkap panca indra.[6]
Adapun yang menyamakan kedua istilah tersebut karena sama-sama membahas tentang
keseluruhan kenyataan (segala sesuatau yang ada), seperti yang diungkap Harry
Hamersma diatas. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengemukakannya pada bagian
pembahasan, sebelum membahas ontologi itu sendiri dan aliran-alirannya seperti
monisme, dualisme dan pluralisme yang menjadi fokus kajian ini.
Pembahasan
Metafisika dan Ontologi
Awalnya pada abad 17 dan 18, Christian Von Wolff (1679-1714) mulai membedakan
antara metaphysica generalis dan metaphysica special. Oleh Christian Von Wolff,
metaphysica generalis diistilahkan dengan menggunakan ontologi yang membahas asasasas atau prinsip-prinsip yang seumum-umumnya, sedang metaphysica specialis
membahas penerapan asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut terhadap bidang-bidang yang
khusus. Yang oleh Christian Von Wolff bidang itu dibagi menjadi cosmologia[7],
psichologia (dalam Burhanudin Salam [1997] digunakan istilah antropologi)[8] dan
theologi[9] . Dapat dikatakan bahwa orang yang pertama kali membuat istilah ontologi
adalah Christian Von Wolff.
Secara etimologi, antara ontologi dan metafisika berbeda, ontologi berasal dari ta onta
dan logia (Yunani). Ta onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia ajaran atau ilmu
pengetahuan. Jadi ontologi berarti ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang
ada. Sedangkan metafisika, berasal dari kata meta yang artinya sesudah dan fisika yaitu
nyata. Kata physic disamakan dengan kata nature yang berarti alam. Jadi secara istilah
metafisika berarti cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat, yang tersimpul
dibelakang dunia fenomenal. Metafisika melampui pengalaman objeknya diluar hal yang

dapat ditangkap panca indra.[10]


Pengertian Ontologi
Dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, ontologi berasal dari kata yunani ontos (ada) dan
logos (ilmu)[11]. Sedangkan inggrisnya ontology. Secara istilah diartikan sebagai cabang
filsafat yang membahas sifat-sifat pokok dari keberadaan hal ihwal, misalnya: banyak
sedikitnya sesuatu, niscaya-tidaknya, tampak-tidaknya, kadar aktualisasi dan dan
potensialitasnya, pola perubahan katagori waktunya dan kadar ketergantungannya pada
sesuatu yang lain.[12] Sementara itu Surajiyo (2005), mengartikan ontologi dengan, ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang yang ada.[13] Dari beberapa arti tentang ontologi yang
telah disebutkan, sekiranya dapat diambil makna ontologi kaitannya dengan filsafat ilmu,
yaitu cabang dari filsafat ilmu[14] yang objek pembahasanya adalah segala sesuatu yang
ada yang berada di alam fisik yang bisa diamati atau ditangkap oleh panca indra. Menurut
Ali Mudhlofir (dalam Surajiyo, 2005)[15], orang yang ahli dalam masalah ontologi
disebut sebagai ontologis.
Sejak dini dalam pikiran orang Barat sudah menunjukan munculnya perenungan
ontologis, sebagaimana Thales (625-545 SM) ketika ia merenungkan dan mencari apa
sesungguhnya hakikat yang ada (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan
bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air. persoalan dalam keberadaan
atau ontologis, ada tiga pandangan yang masing-masing menimbulkan aliran yang
berbeda, tiga segi pandangan yaitu:
1. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas) sehingga melahirkan beberapa
aliran sebagai jawabannya yaitu: monisme, dualisme dan pluralisme serta agnotisisme
yaitu aliran yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi
dan hakikat rohani dan menolak suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden.
[16]
2. Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas), dari segi ini menimbulkan beberapa

aliran yaitu spiritualisme dan materialisme.


3. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian atau perubahan. Segi ini melahirkan
aliran mekanisme, teologi (serba Tuhan) dan vatalisme.
Dengan ungkapan yang berbeda Louis O Kattsof (dalam M. Zainiddin, 2003)[17]
membagi ontologi menjadi 3 bagian, yaitu: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan
kualitatif serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu
dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif
karena mempertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi
kualitatif karena juga berangkat dari pertanyaan apakah yang merupakan jenis kenyataan
itu. Sedangkan ontologi monistik[18] adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal
adanya. Ontologi monistik inilah yang pada gilirannya melahirkan monisme atau
idealisme dan materialisme. Dari pembagian persoalan tentang keberadaan (ontologi)
yang telah dipaparkan diatas, sekiranya dapat dikompromikan agar memiliki kesamaan
bahasa (bukan maksud), yaitu: meliputi ontologi kuantitas, ontologi kualitas dan ontologi
proses. Ontologi bersahaja lebih cenderung kepada ontologi proses. Sedang ontologi
monistik masuk dalam ontologi kuantitatif dan ontologi kualitatif. Sementara itu juga ada
yang menbagi ontologi berdasarkan jenis pertanyaan yang diajukan yaitu: What is being?
(apakah yang ada itu) yang dijawab dengan aliran monisme, dualisme dan pluralisme.
Where is being? (bagaimanakah yang ada itu). Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu
berada di alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi dan abstrak.[19] Aliran ini
melahirkan aliran idealisme. dan How is being? (bagaimanakah yang ada itu). Apakah
yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno
(490-430 SM) berpendapat bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini
dibantah oleh Bregson dan Russel, yang mengatakan bahwa alam ini dinamis, terus
bergerak dan merupakan struktur pristiwa yang mengalir terus secara kreatif.[20]
Melahirkan aliran materialisme.
Dari beberapa pembagian ontologi yang telah diuraikan diatas, dalam kajian ini penulis
memfokuskan diri pada pembahasan jenis ontologi yang bersifat kuantitatif yang

memiliki aliran-aliranya yaitu antara lain: monisme, dualisme dan pluralisme.


Monisme
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah
monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu
adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran,
Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis
unsur itu roh atau ide.[21] Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme
adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan
zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun
mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein,
energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.[22] Atau dengan kata lain bahwa aliran
monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental.[23]
Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-545
SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air.
[24] Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) , yang mengatakan
bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar
(principle) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada
air pula.[25] Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian
besar terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan dalam
diri manusiapun, menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air.
[26] Tidak heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena
memang semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada
kehidupan. Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar
alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya sebagai
apeiron yaitu suatu zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan
tidak ada persamaannya dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales,
Anaximandros, menyatakan bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar
tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang

tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin.[27]
Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi
bisa dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya
alam dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang dimaksud
aperion adalah Tuhan.[28] Anaximenes (585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang
asal itu mestilah satu yang ada dan tampak (yang dapat diindera). Barang yang asal itu
yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena udara menjadi sebab
segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang hidup. Pikiran kearah itu
barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros, yang pernah menyatakan bahwa
jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan ajaranya dikatakan bahwa
sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita. Demikian udara
mengikat dunia ini menjadi satu.[29] Sedang filsuf moderen yang menganut aliran ini
adalah B. Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam
hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (naturans naturata).[30]
Dualisme
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang
menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang.
Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi, misalnya substansi adi
kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh dengan materi, jiwa dengan
badan dll.[31] Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang
menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan mengatakan bahwa alam
wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan ruhani.[32]
Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala
sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri.
Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700),
yang mengungkapkan bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara
subtantif.[33] Jadi adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang
termasuk dalam aliran ini adalah Plato (427-347 SM)[34], yang mengatakan bahwa dunia

lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu
adalah bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang
asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab
hanyalah merupakan tiruan yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia
pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang ideal di
dunia idea sana (dunia idea).[35] Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang
masing-masing mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan
dunia yang dapat dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan
hanya ada satu. Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan
tak sempurna.[36] Apa yang dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan
oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia bayang-bayang)
dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M)
seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi
pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua sebstansi terpisah
meskipun didalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat.[37] Dapat dimengerti
bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi keluasan (badan). Maka
menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab dengan berpikirlah maka sesuatu
lantas ada, cogito ergo sum! (saya berpikir maka saya ada).[38] Leibniz (1646-1716)
yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel
Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki
(noumena).[39]
Pluralisme
Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis (jamak). Aliran ini menyatakan bahwa
realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi banyak substansi yang
bersifat independen satu sama lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta pada dasarnya
tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis dan tatanan yang koheren, rasional,
fundamental. Didalamnya hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak
dapat diredusir. Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya
teori para filosuf yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api

dan air.[40] Dari pemahaman diatas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui
adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi,[41] karena
menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi juga tersusun dari
api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.[42] Para filsuf
yang termasuk dalam aliran ini antara lain: Empedakles (490-430 SM), yang menyatakan
hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah. Anaxogoras
(500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tidak
terhitung banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga
yang dinamakan nous[43] yaitu suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai
bergerak dan mengatur.[44]
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan, sekirannya dapat diambil kesimpulah bahwa ontologi
merupakan cabang dari filsafat ilmu yang berbeda dengan metafisika yang objek
kajiannya adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera yang berada
pada alam fisik. Dalam masalah ontologi untuk mendekati segala sesuatu yang ada dapat
dilakukan melalui pendekatan kuantitatif, kualitatif dan prosesnya. Cara yang dilakukan
dengan pendekatan kauntitatif melahirkan aliran monisme, dualisme dan pluralisme, yang
pada intinya masing-masing aliran memiliki argumen yang rasional. Dari apa yang telah
diuraikan, pendapat atau pemikiran masing-masing filsuf dalam setiap aliran sangat
dipengaruhi corak kehidupan atau latar belakang hidupnya. Sebagai contoh Thales,
karena dia seorang saudagar yang banyak berlayar kenegeri Mesir,[45] maka pemikiran
yang diungkapkanya yaitu bahwa semuanya adalah air. Karena hidup Thales
kesehariannya tidak pernah luput dari air atau dengan kata lain pengamatannya selalu
dipenuhi dengan nuansa air. Mungkin alasan ini (corak pemikiran yang dipengaruhi latar
belakang kehidupan) tidak bisa digeneralisasikan terhadap munculnya pemikiranpemikiran para filosuf yang lain. Dari ketiga aliran yang telah disebutkan seolah terdapat
pertentangan yang begitu tajam tentang keadaanya, tetapi ketika direnungkan dan
dipahami lebih dalam bahwasanya ketiga aliran tersebut sejatinya bersifat komplementer,
yang tidak mungkin meniadakan yang satu atas yang lainnya. Mungkin seperti itu.

Wallahu alam Bis Showab


Wallahul Muwaffiq Ila Ahdas sabil
Washalallahu ala Nabiyyina Muhammadin Wa ala alihi Wa Shahbihi Wassalam.

Referensi
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997.
Burhanudin Salam, Logika Material; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1997.
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003.
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1988.
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997.
Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.

ONTOLOGI
(Monisme, Dualisme dan Pluralisme)

Disusun untuk memenuhi tugas ujian semester Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Djamannuri, M.A.

Oleh:
Nama : Dika Setiawan
NIM : 20101010035

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER STUDI ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2011

[1]Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 4.
[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1988, hal.23.
[3]Penulis dapatkan ketika kuliah Filsafat Pendidikan oleh Drs. Syamsudin,M.Pd., di PAI
FAI UMY, 2008/2009
[4] Burhanudin Salam, Logika Material; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1997, hal. 70.
[5] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 19
[6] Ibid., hal. 117
[7] mempersoalkan asal dan struktur di alam semesta, lihat Burhanudin Salam, 1997, hal
72.
[8]Burhanudin Salam, Logika Material; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1997, hal. 71.
[9] tentang Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia realitas, ibid., hal 72.
[10] Ibid., hal.72.
[11] Berbeda dengan yang disampaikan oleh surajiyo (2005). Ontologi berasal dari kata
ta onta (segala sesuatu yang ada dan logia ( ajaran atau ilmu pengetahuan), lihat hal.118.
tetapi pada esensinya memiliki maksud yang sama.
[12] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 744.

[13] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 5.
[14] Kenapa disebut sebagai cabang filsafat ilmu bukan filsafat, karena memang ontologi
dibawah cabang filsafat ilmu, sedang filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat. Lihat
Jujun S Suriasumantri (1988), hal. 32.
[15] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 118.
[16] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003,
hal. 32.
[17] Ibid., hal. 30.s
[18] Barang kali paham ontologi monistik ini dalam aliran teologi Islam, yang mewarisi
paham kepada aliran Qodariah yang serba Tuhan.
[19] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003,
hal. 32.
[20] Ibid., hal. 32.
[21] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 681.
[22] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1988, hal. 66
[23] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 118.
[24] Ibid.

[25] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997,
hal. 40.
[26] Disampaikan dalam kulaiah Sains dalam Perspektif Al-Qur,an di FAI UMY, 2009.
[27] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997,
hal. 40.
[28] Idib., hal.44.
[29] Ibid., 45.
[30] Surajiyo, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, hal. 119.

[31] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 189.
[32] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Malang: Bayu Media, 2003,
hal. 31.
[33] Jujun S Suriasumantri, 1988, hal. 66.
[34] Dalam Surajiyo, 2005. Ditulis Plato (428-348 SM), perbedaan ini terjadi karena
salah pengetikan atau memang terjadi kaarena perbedaan sumber yang digunakan. Lihat
hal. 121.
[35] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997,
hal. 70.

[36] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 189.
[37] Ibid.
[38] Jujun S.Suriasumantri, 1988, 66.
[39] Surajiyo, 2005, hal. 121.
[40] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997, hal. 861.
[41] Jujun S. Suriasumantri, 1988, hal. 121.
[42] M. Zainuddin, 2003, hal. 31.
[43] Nous berasal dari bahasa Yunani yang berarti pikiran atau intelek. Menurut
Anaxagoras yaitu pikiran universal yang mengatur dan membuat alam semesta menjadi
suatu keteraturan yang rasionaldan bisa dimengerti. Sedang menurut Aris Toteles, pikiran
kekal yang bersifat Ilahiyah tempat segala bentuk mengaktualisasikan diri sehingga bisa
ditemukan dan dimengerti atau pikiran manusia manusia yang meliputi pemahaman
intelektual dan intuitif atas ide-ide yang bersifat fundamental. (Save M. Dagun, 1997, hal.
728).
[44] Surajiyo, 2005, hal. 121.
[45] Ahmad Syadali dan Mudzakir, 1997, hal. 39.
di 22.45

Anda mungkin juga menyukai