Anda di halaman 1dari 72

1

HASIL DISKUSI SKENARIO 1


TUTORIAL BLOK SISTEM KARDIOVASKULER
KELOMPOK 12
Modul 2
SCENARIO KASUS
Penyuluhan Balai Desa
Pak Joko, 60 tahun, akhir-akhir ini sering merasakan sakit di daerah tengkuk tapi
pak joko tak menghiraukannya. Pada hari minggu ada penyuluhan dibalai desa
dijelaskan mengenai hipertensi, saat itu juga dilakukan pemeriksaan gratis tekanan
darah, kolesterol dan gula darah sewaktu. Setelah diukur tekanan darahnya
didapatkan tekanan darah pak Joko 170/100 mmHg, nadi 76x/menit, kolesterol
total 270mg/dl, gula darah sewajtu 140 mg/dl. Pak Joko kemudian disarankan
untuk memeriksakan ke dokter untuk pentalaksanaan lebih lanjut. Setelah
penyuluhan pak Joko menjenguk saudaranya yang terkena stroke di RS,
saudaranya ini memiliki tekanan darah 200/ 120 mmHg saat di RS, selama ini
memiliki hipertensi tetapi tidak berobat ke dokter secara teratur.

STEP 1 - 7
A. STEP I
Klasifikasi Terminologi yang Tidak Diketahui

Tidak ada

B. STEP II
Definisi Masalah
Setelah mempelajari skenario, peserta tutorial mendefinisikan masalah yang harus
dibahas adalah sebagai berikut:

1. pengertian dari hipertensi ?


2. patofisiologi dari hipertensi ?
3. etiologi dari hipertensi ?
4. faktor resiko hipertensi ?
5. gejala hipertensi ?
6. cara mendiagnosis terjadinya hipertensi ?
7. klasifikasi dari hipertensi ?
8. penatalaksanaan dari hipertensi ?
9. obat hipertensi ?
10. komplikasi dari hipertensi ?
11. hubungan antar hipertensi dan kolesterol yang tinggi ?
12. kelainan pada vena ?
13. aterosklerosis ?

C. STEP III
Curah Pendapat

1. Hipertensi didefiniskan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan


sistoliknya diatas 140mmHg dan tekanan sistoliknya diatas 90mmHg.
2. Patofisiologi
- karena retensi vascular
- karena retensi air dan Na
- karena curah jantung
3. Genetic atau factor penyakit lain
4. Faktor resiko, dilihat dari :
- Usia
- Jenis kelamin
- Garam dapur
- Merokok
- Riwayat keluarga
- Stress
- Berat badan
5. Tanda-tanda:
- Tekanan darah meningkat
- Sakit kepala
- Mual
- Muntah
- Penglihatan kabur

6. Cara Mendiagnosis
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan Laboratorium
7. Klasifikasi
- Hipertensi stage 1
- Hipertensi stage 2
Hipertensi berdasarkan etiologi / penyebabnya dibagi menjadi 2 :
- Primer (esensial)
- Sekunder
Krisis hipertensi
- Hipertensi urgensi
- Hipertensi emergensi
8. Penatalaksanaan
Dengan alur algoritma hipertensi yang didalamnya terdapat pengobatan
non-farmakologik dan farmakologik

9. Obat anti hipertensi ada 8 golongan yaitu :


- Beta blockers
- Alfa blockers
- ACE Inhibitor
- Angiotensin reseptor blockers
- Diuretik :
o Thiazid
o Loop
o Penghemat kalium
o Lengkungan
- Calcium Chanal blockers
- Vasodilator
- Obat-obat SSP
10. Komplikasi
- Kerusakan organ
o Gagal ginjal
o Gagal jantung
o Stroke
o Penyakit jantung koroner
- Infark miokard
11. Hubungan dengan kolesterol
Berhubungan dengan metabolisme lipid

D. STEP IV

Analisis Masalah
1. Hipertensi adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan curah jantung
dan/atau kenaikan pertahanan perifer (Soemantri dan Nugroho, 2006).
Menurut The Joint National Commitee of Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of The Blood Pressure (2004) dikatakan
hipertensi jika tekanan darah sistolik yang lebih besar atau sama dengan
140 mmHg atau peningkatan tekanan darah diastolik yang lebih besar atau
sama dengan 90 mmHg. Umumnya tekanan darah normal seseorang 120
mmHg/80 mmHg. Hasil pemeriksaan tersebut dilakukan 2 atau lebih
pemeriksaan dan dirata-rata
2. Mekanisme patogenesis hipertensi yaitu Peningkatan tekanan darah yang
dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer (Dipiro, 2005).
Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan satu penyebab
khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dinamis antara faktor genetik,
lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai
perkalian antara curah jantung dan atau tekanan perifer yang akan
meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi ginjal,
meningkatnya rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin
angiotensin alosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfungsi
endotel merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme
hipertensi (Soemantri dan Nugroho, 2006). Mekanisme patofisiologi
hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin
aldosteron, dimana hampir semua golongan obat anti hipertensi bekerja
dengan mempengaruhi sistem tersebut. Renin angiotensin aldosteron
adalah sistem endogen komplek yang berkaitan dengan pengaturan
tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem renin angiotensin
aldosteron diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin angiotensi aldosteron
mengatur keseimbangan cairan, natrium dan kalium. Sistem ini secara
signifikan berpengaruh pada aliran pembuluh darah dan aktivasi sistem
saraf simpatik serta homeostatik regulasi tekanan darah (Dipiro, 2005).
3. Etiologi

Penyebab pasti sampai saat ini masih belum dapat diketahui. Kurang lebih
90% penderita hipertensi tergolong hipertensi esensial sedangkan 10% nya
tergolong hipertensi sekunder. Beberapa penyebab terjadinya hipertensi
sekunder:
1. Penyakit Ginjal
o

Stenosis arteri renalis

Pielonefritis

Glomerulonefritis

Tumor-tumor ginjal

Penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan)

Trauma pada ginjal (luka yang mengenai ginjal)

Terapi penyinaran yang mengenai ginjal

2. Kelainan Hormonal
o

Hiperaldosteronisme

Sindroma Cushing

Feokromositoma

3. Obat-obatan
o

Pil KB

Kortikosteroid

Siklosporin

Eritropoietin

Kokain

Penyalahgunaan alkohol

Kayu manis (dalam jumlah sangat besar)

4. Penyebab Lainnya
o

Koartasio aorta

Preeklamsi pada kehamilan

Porfiria intermiten akut

Keracunan timbal akut.

Karena golongan terbesar dari penderita hipertensi adalah hipertensia


esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan ke
penderita hipertensi esensial.Penggunaan obat-obatan seperti golongan
kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat hormon, termasuk beberapa
obat antiradang (anti-inflammasi) secara terus menerus (sering) dapat
meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok juga merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi
dikarenakan tembakau yang berisi nikotin. Minuman yang mengandung
alkohol juga termasuk salah satu faktor yang dapat

4. Faktor resiko dari hipertensi :

Ras
Orang-orang afro yang hidup di masyarakat barat mengalami
hipertensi secara merata yang lebih tinggi daripada orang berkulit
putih. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tubuh mereka
mengolah garam secara berbeda (Beevers, 2002).

Genetik
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang bersifat menurun dalam
suatu keluarga. Anak dengan orang tua hipertensi memiliki
kemungkinan dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada
anak dengan orang tua yang tekanan darahnya normal

Usia
Hipertensi lebih umum terjadi berkaitan dengan usia, Khususnya pada
masyarakat yang banyak mengkonsumsi garam. Wanita premenopause
cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada
usia yang sama, meskipun perbedaan diantara jenis kelamin kurang
tampak setelah usia 50 tahun. Penyebabnya, sebelum menopause,
wanita relatif terlindungi dari penyakit jantung oleh hormon estrogen.
Kadar estrogen menurun setelah menopause dan wanita mulai
menyamai pria dalam hal penyakit jantung

Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi
daripada wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin ini dapat pula
dipengaruhi oleh faktor psikologis. Pada pria seringkali dipicu oleh
perilaku tidak sehat (merokok, kelebihan berat badan), depresi dan
rendahnya status pekerjaan Sedangkan pada wanita lebih berhubungan
dengan pekerjaan yang mempengaruhi faktor psikis kuat

Stress (psikis)
Stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis, peningkatan ini
mempengaruhi meningkatnya tekanan darah secara bertahap. Apabila
stress berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap
tinggi. Secara fisiologis apabila seseorang stress maka kelenjer
pituitary

otak

akan

menstimulus

kelenjer

endokrin

untuk

mengahasilkan hormon adrenalin dan hidrokortison ke dalam darah


sebagai bagian homeostasis tubuh. Penelitian di AS menemukan enam
penyebab utama kematian karena stress adalah PJK, kanker, paru-paru,
kecelakan, pengerasan hati dan bunuh diri.

Obesitas
Pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja pada jantung untuk
memompa darah agar dapat menggerakan beban berlebih dari tubuh
tersebut. Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya
volume darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra
dihilangkan, TD dapat turun lebih kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg
penurunan berat badan (Tan dan Kirana, 2003).
Mereduksi berat badan hingga 5-10% dari bobot total tubuh dapat
menurunkan resiko kardiovaskular secara signifikan

Asupan Garam Na

10

Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah


bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat. Juga
memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin. Secara statistika,
ternyata bahwa pada kelompok penduduk yang mengkonsumsi terlalu
banyak garam terdapat lebih banyak hipertensi daripada orang-orang

yang memakan hanya sedikit garam


Rokok
Nikotin dalam tembakau adalah penyebab tekanan darah meningkat.
Hal ini karena nikotin terserap oleh pembuluh darah yang kecil dalam
paru-paru dan disebarkan keseluruh aliran darah. Hanya dibutuhkan
waktu 10 detik bagi nikotin untuk sampai ke otak. Otak bereaksi
terhadap nikotin dengan memberikan sinyal kepada kelenjer adrenal
untuk melepaskan efinephrine (adrenalin). Hormon yang sangat kuat
ini menyempitkan pembuluh darah, sehingga memaksa jantung untuk
memompa lebih keras dibawah tekanan yang lebih tinggi

Konsumsi alcohol
Alkohol memiliki pengaruh terhadap tekanan darah, dan secara
keseluruhan semakin banyak alkohol yang di minum semakin tinggi
tekanan darah. Tapi pada orang yang tidak meminum minuman keras
memiliki tekanan darah yang agak lebih tinggi daripada yang
meminum dengan jumlah yang sedikit

5. Tanda dan gejala hipertensi


Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah mengalami hipertensi
bertahun-tahun, dan berupa :

Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah,


akibat peningkatan tekanan darah intrakranium

11

Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi

Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf


pusat

Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus

Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan


kapiler

6. Cara mendiagnosis
Pemeriksaan

diagnostik

terhadap

pengidap

tekanan

darah

tinggi

mempunyai tujuan:
a) Memastikan bahwa tekanan darahnya memang selalu tinggi
b) Menilai keseluruhan risiko kardiovaskular
c) Menilai kerusakan organ yang sudah ada atau penyakit yang
menyertainya
d) Mencari kemungkinan penyebabnya.
Diagnosis hipertensi menggunakan tiga metode klasik yaitu
a) pencatatan riwayat penyakit (anamnesis)
b) pemeriksaan fisik (sphygomanometer)
c) pemeriksaan laboraturium (data darah,urun,kreatinin serum,kolesterol).
Kesulitan utama selama proses diagnosis ialah menentukan sejauh mana
pemeriksaan harus dilakukan. Dimana pemeriksaan secara dangkal saja
tidak cukup dapat diterima karena hipertensi merupakan penyakit seumur
hidup dan terapi yang dipilih dapat memberikan implikasi yang serius
untuk pasien.
Cara pemeriksaan tekanan darah, yaitu :
Anamnesis

12

Sering sakit kepala (meskipun tidak selalu), terutama bagian belakang,


sewaktu bangun tidur pagi atau kapan saja terutama sewaktu
mengalami ketegangan.

Keluhan sistem kardiovaskular (berdebar, dada terasa berat atau sesak


terutama sewaktu melakukan aktivitas isomerik)

Keluhan sistem serebrovaskular (susah berkonsentrasi, susah tidur,


migrain, mudah tersinggung, dll)

- Tidak jarang tanpa keluhan, diketahuinya secara kebetulan.


-

Lamanya mengidap hipertensi. Obat-obat antihipertensi yang telah


dipakai, hasil kerjanya dan apakah ada efek samping yang
ditimbulkan.

Pemakaian obat-obat lain yang diperkirakan dapat mempermudah


terjadinya atau mempengaruhi pengobatan hipertensi (kortikosteroid,
analgesik, anti inflamasi, obat flu yang mengandung pseudoefedrin
atau kafein, dll), Pemakaian obat kontrasepsi, analeptik,dll.

Riwayat hipertensi pada kehamilan, operasi pengangkatan kedua


ovarium atau monopause.

Riwayat keluarga untuk hipertensi.

Faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular atau kebiasaan buruk


(merokok, diabetes melitus, berat badan, makanan, stress, psikososial,
makanan asin dan berlemak).

Pemeriksaan Fisik
-

Pengukuran tekanan darah pada 2-3 kali kunjungan berhubung


variabilitas tekanan darah. Posisi terlentang, duduk atau berdiri
dilengan kanan dan kiri.

Perabaan denyut nadi diarteri karotis dan femoralis.

Adanya pembesaran jantung, irama gallop.

Pulsasi aorta abdominalis, tumor ginjal, bising abdominal

Denyut nadi diekstremitas, adanya paresis atau paralisis.

Penilaian organ target dan faktor-faktor resiko.

13

Funduskopi, untuk mencari adanya retinopati keith wagner i-v.

Elektrokardiografi, untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri,


abnormalitas atrium kiri, iskemia atau infark miokard.

Foto thoraks, untuk melihat adanya pembesaran jantung dengan


konfigurasi hipertensi bendungan atau edema paru.

Laboratorium : DL, UL, BUN, kreatin serum, asam urat, gula darah,
profil lipid K+ dan Na+ serum.

7. Klasifikasi hipertensi
Berdasarkan Nilai Tekanan Darahnya
Pada tahun 2004, The Joint National Commitee of Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of The Blood Pressure (JNC-7) mengeluarkan
batasan baru untuk klasifikasi tekanan darah, <120/80 mmHg adalah batas
optimal untuk risiko penyakit kardiovaskular. Didalamnya ada kelas baru
dalam klasifikasi tekanan darah yaitu pre-hipertensi. Kelas baru prehipertensi tidak digolongkan sebagai penyakit tapi hanya digunakan untuk
mengindikasikan bahwa seseorang yang masuk dalam kelas ini memiliki
resiko tinggi untuk terkena hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke
dengan demikian baik dokter maupun penderita dapat mengantisipasi
kondisi ini lebih awal, hingga tidak berkembang menjadi kondisi yang
lebih parah. Individu dengan prehipertensi tidak memerlukan medikasi,
tapi dianjurkan untuk melakukan modifikasi hidup sehat yang penting
mencegah peningkatan tekanan darahnya. Modifikasi pola hidup sehat
adalah penurunan berat badan, diet, olahraga, mengurangi asupan garam,
berhenti merokok dan membatasi minum alkohol (Chobanian et.al, 2004)
Berdasarkan Etiologinya
Hipertensi berdasarkan etiologi / penyebabnya dibagi menjadi 2 :
A. Hipertensi Primer atau Esensial

14

Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik
adalah hipertensi yang tidak diketahui etiologinya/penyebabnya (Shankie,
2001). Paling sedikit 90% dari semua penyakit hipertensi dinamakan
hipertensi primer (Saseen dan Carter, 2005).
Patofisiologi hipertensi primer
Beberapa teori patognesis hipertensi primer meliputi :
- Aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf simpatik
- Aktivitas yang berlebihan dari sistem RAA
- Retensi Na dan air oleh ginjal
- Inhibisi hormonal pada transport Na dan K melewati dinding sel pada
ginjal dan pembuluh darah

B. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat suatu
penyakit, kondisi dan kebiasaan. Karena itu umumnya hipertensi ini sudah
diketahui penyebabnya (Shankie, 2001). Terdapat 10% orang menderita
apa yang dinamakan hipertensi sekunder (Saseen dan Carter, 2005).
Umumnya penyebab Hipertensi sekunder dapat disembuhkan dengan
pengobatan kuratif, sehingga penderita dapat terhindar dari pengobatan
seumur hidup yang seringkali tidak nyaman dan membutuhkan biaya yang
mahal (Kumar dan Clark, 2004).

15

Patofisiologi hipertensi sekunder


Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu proses penyakit sistemik yang
meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer atau cardiac output,
contohnya adalah renal vaskular atau parenchymal disease, adrenocortical
tumor, feokromositoma dan obat-obatan. Bila penyebabnya diketahui dan
dapat disembuhkan sebelum terjadi perubahan struktural yang menetap,
tekanan darah dapat kembali normal (Huether dan McCance, 2004).

Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi didefinisikan sebagai kondisi peningkatan tekanan darah
yang disertai kerusakan atau yang mengancam kerusakan terget organ dan
memerlukan penanganan segera untuk mencegah kerusakan atau
keparahan target organ (Soemantri dan Nugroho, 2006).
The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7, 2004) membagi krisis
hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : Hipertensi emergensi (darurat)
dan Hipertensi urgensi (mendesak). Kedua hipertensi ini ditandai nilai
tekanan darah yang tinggi, yaitu 180 mmHg/120 mmHg dan ada atau
tidaknya kerusakan target organ pada hipertensi (Saseen dan Carter, 2005).
Membedakan kedua golongan krisis hipertensi bukanlah dari tingginya
TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada
seorang penderita dianggap sebagai suatu keadaan emergensi bila terjadi
kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral,
miokardinal, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi perlu
dibedakan karena cara penanggulangan keduanya berbeda (Majid, 2004).

1. Hipertensi emergensi (darurat)

16

Ditandai dengan TD Diastolik >120 mmHg, disertai kerusakan berat dari


organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut.
Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau
kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai
beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU) (Majid, 2004).
Penanggulangan hipertensi emergensi :
Pada umumnya kondisi ini memerlukan terapi obat antihipertensi
parenteral. Tujuan terapi hipertensi darurat bukanlah menurunkan tekanan
darah 140/90 mmHg, tetapi menurunkan tekanan arteri rerata (MAP)
sebanyak 25 % dalam kurun waktu kurang dari 1 jam. Apabila tekanan
darah sudah stabil, tekanan darah dapat diturunkan sampai 160
mmHg/100-110 mmHg dalam waktu 2-6 jam kemudian. Selanjutnya
tekanan darah dapat diturunkan sampai tekanan darah sasaran (<140
mmHg atau < 130 mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal kronik)
setelah 24-48 jam (Saseen dan Carter, 2005).

2. Hipertensi urgensi (mendesak)


Hipertensi mendesak ditandai dengan TD diastolik >120 mmHg dan
dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD
harus diturunkan secara bertahap dalam 24 jam sampai batas yang aman
memerlukan terapi oral hipertensi.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah
sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak
terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah tetap

17

masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya


digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam menggulangi hipertensi
urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan (Majid, 2004).
Penanggulangan hipertensi urgensi :
Pada umumnya, penatalaksanaan hipertensi mendesak dilakukan dengan
menggunakan atau menambahkan antihipertensi lain atau meningkatkan
dosis antihipertensi yang digunakan, dimana hal ini akan menyebabkan
penurunan tekanan darah secara bertahap. Penurunan tekanan darah yang
sangat cepat menuju tekanan darah sasaran (140/90 mmHg atau 130/80
mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal kronik) harus dihindari.
Hal ini disebabkan autoregulasi aliran darah pada penderita hipertensi
kronik terjadi pada tekanan yang lebih tinggi pada orang dengan tekanan
darah normal, sehingga penurunan tekanan darah yang sangat cepat dapat
menyebabkan terjadinya cerebrovaskular accident, infark miokard dan
gagal ginjal akut.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pengobatan hipertensi harus secara holistik dengan tujuan
menurunkan

morbiditas

dan

mortalitas

akibat

hipertensi

dengan

menurunkan tekanan darah seoptimal mungkin sambil mengontrol faktorfaktor resiko kardiovaskular lainnya, memilih obat yang rasional sesuai
dengan indikasi dan mempunyai efek samping yang kecil, untuk ini
dianjurkan pemberian obat kombinasi, dan harus disesuaikan dengan
kemampuan penderita (Soemantri dan Nugroho, 2006).
Tujuan terapi obat anti hipertensi adalah
1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal akibat
komplikasi

18

2. Tekanan darah yang diharapkan setelah terapi adalah <140/90 mmHg


tanpa adanya komplikasi, hal ini berhubungan dengan penurunan
risiko komplikasi CVD (Coronary Vascular Disease)
3. Pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes mellitus dan penyakit
renal, tekanan darah yang diharapkan dapat dicapai setelah terapi yaitu
<130/80 mmHg
Menurut

Shankie

(2001)

tanpa

mempertimbangkan

jenis

obat

antihipertensi yang digunakan, ada beberapa prinsip yang mendasari


penggunaan obat antihipertensi, yaitu :

Mulailah dengan dosis terkecil untuk menghindari reaksi yang tidak


dikehendaki. Bila terdapat respon tekanan darah yang baik dan obat
ditoleransi dengan baik, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap
sampai tekanan darah sasaran tercapai (<140 mmHg atau <130 mmHg
pada penderita diabetes atau penyakit ginjal kronik).

Gunakan kombinasi obat untuk memaksimalkan respon tekanan darah


dan meminimalkan reaksi yang tidak dikehendaki.

Gantilah dengan kelas obat yang berbeda bila dosis awal dari obat
tidak memberikan efek yang berarti atau ada masalah efek samping
obat.

Gunakan formulasi yang minimal memberikan kontrol tekanan darah


selama 24 jam. Hal ini penting untuk menjaga kepatuhan pasien dan
untuk memastikan tekanan darah terkontrol pada pagi hari ketika
terjadi peningkatan tekanan darah. Menghindari variasi tekanan darah
sepanjang hari yang membantu menghindari kerusakan organ sasaran

Menurut Gardner (2007) obat-obat yang dapat menurunkan tekanan darah


tinggi dapat dianjurkan :

Bila perubahan gaya hidup saja tidak mengendalikan tekanan darah.

Bila penurunan tekanan darah tinggi secara cepat dan drastis


diperlukan.

19

Bila penderita tekanan darah tinggi juga mengalami kondisi medis


yang menyertainya.

Metode yang paling baik dan aman untuk mengendalikan tekanan darah
adalah dengan melakukan perubahan-perubahan gaya hidup. Jika
perubahan-perubahan ini tidak membawa nilai tekanan darah yang
diinginkan, maka obat antihipertensi dapat diberikan.
9. Jenis Terapi Obat Anti Hipertensi
Terapi Tunggal
Penggunaan satu macam obat anti hipertensi untuk pengobatan hipertensi
dapat direkomendasikan bila nilai tekanan darah awal mendekati nilai
tekanan darah sasaran. Menurut JNC-7 nilai tekanan darah awal mendekati
nilai tekanan darah sasaran apabila selisihnya kurang dari 20 mmHg untuk
tekanan darah sistolik dan kurang darah sistolik dan kurang dari 10 mmHg
untuk tekanan darah diastolik. Hal ini meliputi penderita hipertensi tahap 1
dan tekanan darah sasaran <140/90 mmHg (Saseen and Carter, 2005).
Menurut Gardner (2007) setengah penderita tekanan darah tinggi tahap I
dan II dapat mengendalikan tekanan darah mereka dengan satu obat saja.
Jika satu obat tidak efektif, maka dapat ditingkatkan dosisnya jika tidak
ada efek sampingnya. Alternatif-alternatif lainnya adalah mencoba obat
yang berbeda dan menambahkan satu obat lagi pada obat yang telah
diminum (kombinasi).
Terapi Kombinasi

Kombinasi obat anti hipertensi

KEUNTUNGAN

ACE inhibitor Kalsium antagonis

20
- Menurunkan tekanan intra glomeruler
- Memperbaiki permeabilitas
glomeruler
- Menghambat terjadinya hipertrofi
glomeruler
- Mencegah terjadinya glomeruler
- Mengurangi proteinuria
- Mengurangi hipermetabolisme ginjal
- Meningkatkan natriuresis
- Mengurangi hipermetabolisme ginjal
-

Mengurangi

akumulasi

Ca2+

intraselular
- Diajurkan pada nefropati hipertensif
dan hipertensi dengan nefropati diabetik
ACEI/ARB Diuretik
- Meningkatkan natriuresis
- Memperbaiki toleransi glukosa dan
kadar asam
urat
- Mempertahankan kadar K+ plasma
- Mempercepat regresi LVH

21

Bila menggunakan terapi obat kombinasi, biasanya dipilih obat-obat yang


dapat meningkatkan efektivitas masing-masing obat atau mengurangi efek
samping masing-masing obat.
Memulai terapi dengan kombinasi dua obat direkomendasikan untuk
penderita hipertensi tahap 2 atau penderita hipertensi yang nilai tekanan
darah sasarannya jauh dari nilai tekanan darah awal (20 mmHg untuk
tekanan darah sistolik dan 10 mmHg untuk tekanan darah diastolik).
Terapi kombinasi juga merupakan pilihan bagi pasien yang nilai tekanan
darah sasarannya sulit dicapai (penderita diabetes dan penyakit ginjal
kronik) atau pada pasien dengan banyak indikasi pemaksaan yang
membutuhkan beberapa antihipertensi yang berbeda. Dalam ALLHAT
(Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment in Prevent Heart Attack
Trial) disebutkan 60% penderita hipertensi mencapai tekanan darah
terkontrol pada TD <140/90 mmHg dengan penggunaan dua atau lebih
anti hipertensi, dan hanya 30% yang tekanan darahnya terkontrol dengan
satu obat anti hipertensi. JNC-7 merekomendasikan penggunaan tiga atau
lebih obat anti hipertensi untuk mencapai target terapi tekanan darah yang
diinginkan.
Tabel 2.6 Kombinasi Obat Anti hipertensi yang Sering Digunakan

Perbedaan Pemberian Obat Tunggal dan Kombinasi


Perawatan satu obat

Perawatan Kombinasi

- Diperlukan dosis obat yang lebih

- Dosis rendah untuk masing masing

tinggi

obat sudah cukup

- Kurang efektif

- Lebih efektif

- Efek samping lebih banyak

- Efek samping lebih sedikit

22

Stratifikasi Faktor Risiko dan Rencana Penanggulangan Hipertensi


Tekanan Darah

Risiko Grup A

Risiko Grup B

Risiko Grup C(

(tidak ada faktor

(Faktor risiko paling

3 faktor risiko

risiko dan

sedikit 1 risiko selain

atau Diabetes

KOT/KOD)

diabetes dan tidak

dan/KOT/KKT)

High normal (130-

Perubahan Pola

ada KOT/KKT)
Perubahan Pola

Perubahan Pola

139/85-89)
Tingkat 1 (140-

Hidup
Perubahan Pola

Hidup
Perubahan Pola

Hidup + Obat
Perubahan Pola

159/90-99)
Tingkat 2

Hidup + Obat
Perubahan Pola

Hidup + Obat
Perubahan Pola

Hidup + Obat
Perubahan Pola

Hidup + Obat

Hidup + Obat

(mmHg)

(160/100)
Hidup + Obat
Keterangan :

KOT: Kerusakan Organ Target (Target Organ Damage)


KKT: Kondisi Klinik Terkait (Penyakit Penyerta)
(Chobanian et.al, 2004; Kimble, 2001)

Gambar 2.7 Manajemen Obat Anti Hipertensi Berdasarkan Indikasi


Khusus
Menurut JNC-7 (2004).
10. Komplikasi Hipertensi
1. Stroke

23

Hipertensi adalah faktor resiko yang penting dari stroke dan serangan
transient iskemik. Pada penderita hipertensi 80% stroke yang terjadi
merupakan stroke iskemik,yang disebabkan karena trombosis intraarterial atau embolisasi dari jantung dan arteri besar. Sisanya 20%
disebabkan oleh pendarahan (haemorrhage), yang juga berhubungan
dengan nilai tekanan darah yang sangat tinggi. Penderita hipertensi
yang berusia lanjut cenderung menderita stroke dan pada beberapa
episode menderita iskemia serebral yang mengakibatkan hilangnya
fungsi intelektual secara progresif dan dementia. Studi populasi
menunjukan bahwa penurunan tekanan darah sebesar 5 mmHg
menurunkan resiko terjadinya stroke (Shankie, 2001).
2. Penyakit jantung koroner
Nilai tekanan darah menunjukan hubungan yang positif dengan resiko
terjadinya penyakit jantung koroner (angina, infark miokard atau
kematian mendadak), meskipun kekuatan hubungan ini lebih rendah
daripada hubungan antara nilai tekanan darah dan stroke. Kekuatan
yang lebih rendah ini menunjukan adanya faktor-faktor resiko lain
yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner. Meskipun
demikian, suatu percobaan klinis yang melibatkan sejumlah besar
subyek penelitian (menggunakan -Blocer dan tiazid) menyatakan
bahwa terapi hipertensi yang adequate dapat menurunkan resiko
terjadinya infark miokard sebesar 20% (Shankie, 2001).
3. Gagal jantung
Bukti dari suatu studi epidemiologik yang bersifat retrospektif
menyatakan bahwa penderita dengan riwayat hipertensi memiliki
resiko enam kali lebih besar untuk menderita gagal jantung daripada
penderita tanpa riwayat hipertensi. Data yang ada menunjukan bahwa
pengobatan hipertensi, meskipun tidak dapat secara pasti mencegah

24

terjadinya gagal jantung, namun dapat menunda terjadinya gagal


jantung selama beberapa dekade (Shankie, 2001).
4. Hipertrofi ventrikel kiri
Hipertrofi ventrikel kiri terjadi sebagai respon kompensasi terhadap
peningkatan afterload terhadap jantung yang disebabkan oleh tekanan
darah yang tinggi. Pada akhirnya peningkatan massa otot melebihi
suplai oksigen, dan hal ini bersamaan dengan penurunan cadangan
pembuluh darah koroner yang sering dijumpai pada penderita
hipertensi, dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokard. Penderita
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri memiliki peningkatan resiko
terjadinya cardiac aritmia (fibrilasi atrial dan aritmia ventrikular) dan
penyakit atherosklerosis vaskular (penyakit koroner dan penyakit arteri
perifer) (Shankie, 2001).
5. Penyakit vaskular
Penyakit vaskular meliputi abdominal aortic aneurysm dan penyakit
vaskular

perifer.

Kedua

penyakit

ini

menunjukan

adanya

atherosklerosis yang diperbesar oleh hipertensi. Hipertensi juga


meningkatkan terjadinya lesi atherosklerosis pada arteri carotid,
dimana lesi atherosklerosis yang berat seringkali merupakan penyebab
terjadinya stroke (Shankie, 2001).
6. Retinopati
Hipertensi dapat menimbulkan perubahan vaskular pada mata, yang
disebut retinopati hipersensitif. Perubahan tersebut meliputi bilateral
retinal falmshaped haemorrhages, cotton woll spots, hard exudates dan
papiloedema (Shankie, 2001).

25

Pada tekanan yang sangat tinggi (diastolic >120 mmHg, kadangkadang setinggi 180 mmHg atau bahkan lebih) cairan mulai bocor dari
arteriol-arteriol kedalam retina, sehingga menyebabkan padangan
kabur, dan bukti nyata pendarahan otak yang sangat serius, gagal ginjal
atau kebutaan permanent karena rusaknya retina (Gardner, 2007).
7. Kerusakan ginjal
Ginjal merupakan organ penting yang sering rusak akibat hipertensi.
Dalam waktu beberapa tahun hipertensi parah dapat menyebabkan
insufiensi ginjal, kebanyakan sebagai akibat nekrosis febrinoid
insufisiensi arteri-ginjal kecil. Pada hipertensi yang tidak parah,
kerusakan ginjal akibat arteriosklerosis yang biasanya agak ringan dan
berkembang lebih lambat. Perkembangan kerusakan ginjal akibat
hipertensi biasanya ditandai oleh proteinuria. Proteinuria merupakan
faktor resiko bebas untuk kematian akibat semua penyebab, dan
kematian akibat penyakit kardiovaskular. Proteinuria dapat dikurangi
dengan menurunkan tekanan darah secara efektif .
11. Hubungan antara hipertensi dengan kolesterol
Kolesterol merupakan substansi lemak, yang secara normal dibentuk di
dalam tubuh; selain diperoleh juga dari makanan. Kolesterol memainkan
banyak peran penting dalam fungsi sel tubuh (antara lain produksi hormon
dan pembentukan membran sel). Dalam darah, kolesterol dibawa oleh
lipoprotein. Lipoprotein terbagi atas beberapa jenis namun yang paling
dikenal adalah dua jenis lipoprotein utama: LDL (Low Density
Lipoprotein) yang dikenal sebagai kolesterol jahat dan HDL (High
Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai kolesterol baik. Kadar LDL
yang tinggi akan memicu penimbunan kolesterol di sel, yang
menyebabkan munculnya aterosklerosis (pengerasan dinding pembuluh
darah arteri) dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit akibat gangguan pembuluh

26

darah (misalnya: penyakit jantung koroner, stroke, gangguan pembuluh


darah tepi).
Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor penyebab kadar kolesterol yang tinggi adalah genetik, diet
tinggi lemak, kelebihan berat badan, kurangnya aktivitas fisik, dan
merokok. Merokok meningkatkan kadar kolesterol LDL dan menurunkan
kadar kolesterol HDL. Kadar kolesterol LDL yang tinggi dapat pula
disebabkan oleh konsumsi alkohol atau obat-obatan (misalnya: steroid atau
pil kontrasepsi).

Jenis-jenis Kolesterol
Ada beberapa jenis kolesterol yang penting untuk diketahui.
1. Kolesterol LDL (low density lipoprotein)
Kolesterol LDL ini adalah kolesterol yang mengangkut paling banyak
kolesterol di dalam darah. LDL sering disebut sebagai kolesterol jahat,
karena kadar LDL yang tinggi akan menyebabkan mengendapnya
kolesterol dalam arteri. Kolesterol
LDL merupakan faktor risiko utama
penyakit jantung koroner dan
merupakan target utama dalam
pengobatan
2. Kolesterol HDL (high density
lipoprotein)
Kolesterol HDL mengangkut
kolesterol lebih sedikit. HDL sering
disebut kolesterol baik, karena dapat
membuang kelebihan kolesterol jahat

27

di pembuluh darah arteri kembali ke hati untuk diproses dan dibuang. Jadi
HDL mampu mencegah kolesterol mengendap di arteri dan melindungi
(proteksi) dari aterosklerosis (terbentuknya plak pada dinding pembuluh
darah).
Selain LDL dan HLD ada lagi satu jenis lemak yang berbahaya, yakni
trigliserida. Trigliserida adalah salah satu jenis lemak yang terdapat dalam
darah dan berbagai organ dalam tubuh. Meningkatnya kadar trigliserida
dalam darah dapat meningkatkan kadar kolesterol. Sejumlah faktor dapat
mempengaruhi kadar trigliserida dalam darah seperti kegemukan, minum
alkohol, makan gula, makan lemak. Kadar trigliserida yang tinggi banyak
dikaitkan dengan pankreatitis atau radang pankreas.
Kolesterol : Faktor Risiko Penyakit jantung dan stroke
Jika kadar kolesterol di dalam darah melebihi dari nilai normal, maka
risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan stroke akan lebih besar.
Kelebihan kolesterol dapat menyebabkan mengendapnya kolesterol pada
dinding pembuluh darah yang menyebabkan penyempitan dan pengerasan
pembuluh darah yang dikenal sebagai aterosklerosis (proses pembentukan
plak pada pembuluh darah).
Jika penyempitan dan pengerasan ini cukup berat, sehingga menyebabkan
suplai darah ke otot jantung tidak memadai, maka timbul sakit atau nyeri
dada yang disebut sebagai angina. Dan bila berlanjut akan menyebabkan
matinya jaringan otot jantung yang disebut infark miokard. Jika infark
miokard meluas, maka akan timbullah gagal jantung.
Selain kolesterol LDL, faktor risiko lain yang memperbesar terjadinya
penyakit jantung adalah kebiasaan merokok, nilai HDL rendah (< 40
mg/dl), memiliki penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi (140/90
atau sedang dalam pengobatan). Selain itu penyakit jantung berisiko lebih
tinggi pada usia 45 tahun (pria) dan 65 tahun (wanita), yang diketahui
memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit jantung.

28

Adapun gejala penyakit jantung adalah:

Rasa tertekan (ditimpa beban, sakit, terjepit, diperas, terbakar ) di dada


yang dapat menjalar ke lengan kiri, leher, dan punggung

Tercekik atau sesak

Berlangsung lebih dari 20 menit.

Keringat dingin, lemah, berdebar dan bisa sampai pingsan

Gejala akan berkurang dengan istirahat dan bertambah berat dengan


aktivitas

Jika sumbatan ini menyerang pembuluh


darah otak maka akan terjadi stroke.
Gejala serangan stroke tergantung dari
derajat serangan, mulai dari yang ringan
sampai berat.

Gejala stroke ringan :


o

Bicara tiba-tiba jadi pelo

Gejala yang sifatnya berat :


o

kelumpuhan anggota gerak


tubuh

wajah menjadi tidak simetris

jika terjadi perdarahan otak dapat menyebabkan KEMATIAN.

Gejala-gejala stroke memerlukan tindakan yang cepa agar jangan sampai


jatuh pada derajat yang lebih berat.
Hubungan kolesterol dan penyakit lain Diabetes Melitus (Kencing Manis)
Diabetes merupakan suatu keadaan dimana kadar gula darah melebihi
batas normal. Diabetes ini juga merupakan faktor risiko terhadap PJK. Bila
kadar gula darah naik dan berlangsung lama, maka akan memicu
terjadinya aterosklerosis pada arteri koroner. Pasien dengan diabetes
cenderung mengalami gangguan jantung pada usia yang masih muda.

29

Diabetes yang tidak terkonrol dengan kadar glukosa yang tinggi cenderung
meningkatkan kadar kolesterol dan trigliserida. Bentuk kolesterol LDL
pada penderita diabetes lebih padat dengan ukuran yang lebih kecil yang
sering disebut Small Dense LDL, sehingga mudah sekali masuk kedalam
lapisan pembuluh darah yang lebih dalam. Bentuk kolesterol LDL ini lebih
jahat lagi karena lebih bersifat aterogenik (lebih mudah menempel pada
pembuluh darah dan lebih mudah membentuk plak).

Pengendalian kadar kolesterol


Pengendalian kadar kolesterol menuju angka yang normal akan sangat
bermanfaat untuk menurunkan risiko stroke dan penyakit jantung. Target
penurunan kadar kolesterol adalah sebagai berikut:

Pengendalian kadar kolesterol darah sesuai target dicapai dengan


perubahan pola hidup dan terapi obat. Perubahan pola hidup yang
dianjurkan meliputi penurunan berat badan, banyak makan serat, konsumsi
buah dan sayuran, berhenti merokok, olahraga, dan pembatasan konsumsi
lemak berlebih.
Bila target penurunan kolesterol darah belum juga tercapai, pasien dapat
berkonsultasi ke dokter untuk memperoleh terapi obat. Obat yang
direkomendasikan untuk menurunkan kadar LDL adalah golongan statin.

30

Statin telah terbukti bermanfaat pada berbagai mekanisme penurunan lipid


seperti modifikasi fungsi endotel, respons peradangan, stabilitas plak, dan
pembentukan trombus. Golongan statin terdiri atas berbagai jenis obat
(misalnya: Pravastatin, Simvastatin, Lovastatin, Atorvastatin, Fluvastatin),
dan sebagian besar telah tersedia di Indonesia. Keberhasilan terapi statin
untuk menurunkan risiko stroke telah dibuktikan dari berbagai penelitian.

12. Kelainan vena


Varises
Varises adalah pelebaran pembukuh balik yang berkelok kelok dan
ditandai oleh katup di dalamnyabyang tidak berfungsi. Bila hanya melebar
saja disebut venektasi. Pada varises, kevuali pelebaran, juga terdapat
kelainan vena yang berbeda beda, bentuk yang berkelok kelong dan
hilangnya elastisitas dinding vena sehingga katup tidak berfungsi lagi.
Varises terutama terjadi pada tungkai, bisa terjadi pula pada vulva,
skrotum, esofagus bagian distal. Dan rectum.
Varises adalah vena normal yang mengalami dilatasi akibat pengaruh
peningkatanan tekanan vena. Varises ini merupakan suatu manifestasi yang
dari sindrom insufiensi vena dimana pada sindrom ini aliran darah dalam
vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik menuju tungkai
yang kemudian mengalami kongesti.
Varises adalah vena normal yang mengalami dilatasi akibat pengaruh
peningkatan tekanan vena. Varises ini merupakan suatu manisfetasi yang
dari sindrom insufiensi vena dimana pada sindrom ini aliran darah dalam
vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik menuju tungkai
yang kemudian mengalami kongesti.

31

Bentuk ringan dari insufisiensi vena hanya menunjukkan keluhan berupa


perasaan yang tidak nyaman, menggangu atau penampilan secara kosmetik
tidak enak, namun pada penyakit vena berat dapat menyebabkan respon
sistemuk berat yang dapat menyebabkan kehilangan tungkai atau berakibat
kematian.
Keadaan insufisiensi vena kronis akhirnya akan menyebabkan terjadinya
perubahan kronis kulit dan jaringan lunak yang dimulai dengan bengkak
ringan. Perjalanan sindrom ini akhirnya akan menghasilkan perubahan
warna kulit, dermatitis stasis, selulitis kronis atau rekuren, infark kulit,
ulkus, dan degenerasi ganas. Komplikasi berat yang dapat muncul sebagai
akibat dati insufisiensi vena dapat berupa ulkus pada tungkai yang kronis
dan sulit menyembuh, phlebitis berulang, dan perdarahan yang berasal
varises, dan hal ini dapat diatasi dengan penanganan dan koreksi pada
insufisiensi vena itu sendiri.
Kematian dapat terjadi sebagai akibat dari perdarahan yang bersumber dari
varises vena friabel, tapi kematian yang diakibat oleh varises vena paling
dekat dihubungkan dengan adanya troboemboli vena sekunder. Pasien
dengan varises vena mempunyai risiko tinggi mengalami trobosis vena
profunda (deep vein thrombosis,DVT) karena menyebabkan gagguan aliran
darah menjadi aliran darah statis yang sering menyebabkan phlebitis
superfisial kemudian berlanjut menjadi perforasi pembuluh darah vena
termasuk pembluluh darah vena profunda. Pada penatalaksaan penderita
dengan varises vena perlu diperhatikan kemungkinan adanya DVT karena
adanya tromboemboli yang tidak diketahui dan tidak diterapi akan
meningkatkan terjadinya mortalitas sekitar 30-60%.
Varises vena baru mungkin dapat muncul setelah adanya episode DVT
yang tidak diketahui yang menyebabkan kerusakan pada katup vena. Pada
pasien ini adanya faktor risiko yang mendasari untuk terjadinya
tromboemboli dan memiliki risiko tinggi untuk terjadi rekurensi.

32

Klasifikasi
Vena varikosa diklasifikasikan (Sabiston 1994):
a. Vena varikosa primer, merupakan kelainan tersendiri vena superficial
ekstremitas bawah
b. Vena varikosa sekunder, merupakan manifestasi insufisiensi vena
profunda dan disertai dengan beberapa stigmata insufisiensi vena kronis,
mencakp edema, perubahan kulit, dermatitis stasis dan ulserasi.

B.

ANATOMI FISIOLOGI

Vena Safena Magna (VSM) berawal dari sisi medial kaki merupakan
bagian dari lengkung vena dan mendapat percabangan dari vena profunda
pada kaki yang kemudian berjalan keatas sepanjang sisi anterior malleolus
medialis. Dari pergelangan kaki, VSM berjalan pada sisi anteromedial
betis sampai lutut dan ke bagian paha dimana terletak lebih medial. Dari
betis bagian atas sampai pelipatan paha VSM ditutupi oleh sebuah fasia
tipis dimana fasia ini berfungsi untuk mencegah agar vena ini tidak
berdilatasi secara berlebihan. Normalnya VSM memiliki ukuran normal 34 mm pada pertengahan paha.
Sepanjang

perjalanannya

sejumlah

vena

peforata

mungkin

menghubungkan antara VSM dengan sistem vena profunda pada regio


femoral, tibia posterior, gstrocnemius, dan vena soleal (gambar 1). Antara
pergelangan kaki dan lutut terdapat Cockett perforator, yang merupakan
kelompok vena perforata yang menghubungkan sistem vena profunda
dengan lengkung vena posterior yang memberikan percabangan ke v.
Safena Magna dari bawah pergelangan kaku dan berakhir di VSM di
bawah lutut.
Selain vena perforata pada beberapa vena superfisial juga memberikan
cabang ke VSM. Sedikit di bawah Safenofemoral Junction (SFJ), VSM

33

menerima percabangan dari cabang kutaneus lateral dan medial femoral,


vena iliaka sirkumfleksa eksterna, vena episgatrika superfisialis, dan vena
pudenda interna. Apabila vena-vena ini mengalami refluks akan
bermanifestasi pada paha bagian bawah dan btis bagian atas. Akhir dari
perjalanan VSM berakhir di vena femoralis bercabangan ini disebut
dengan Safenofemoral junction. pada pertemuan antara vena safena magna
dengan vena femoralis terdapat katup terakhir dari VSM.

C.

ETIOLOGI

Peningkatan tekanan vena superfisialis.

Obesitas

Pekerjaan dengan berdiri lama

Hormonal, pada wanita terjadi disaat manopouse

Kehamilan

Obat-obatan kontrasepsi

Keturunan/ genetik.

Etiologi yang sesungguhnya dari pelebaran suatu vena belum diketahui.


Faktor resiko terjadinta varises antara lain kehamilan, berat badan yang
berlebihan, peradangan, keturunan, umur tua, ataupun pekerjaan tertentu
yang kurang gerakan.

Berbagai faktor intrinsik berupa kondisi patologis dan ekstriksi yaitu


faktorlingkungan bergabung menciptakan spektrum yang luas dari
penyakit vena. Penyebab terbanyak dari varises vena adalah oleh karena

34

peningkatan tekanan vena superfisialis, namun pada beberapa penderita


pembentukan varises vena ini sudah terjadi saat lahir dimana sudah terjadi
kelenahan pada dinding pembuluh darah vena walaupun tidak adanya
peningkatan tekanan vena. Pada pasien ini juga didapatkan distensi
abnormal vena di lengan dan tangan.
Herediter merupakan faktor penting yang mendasari terjadinya kegagalan
katup primer, namun faktor genetik spesifik yang bertanggung jawab
terhadap terjadi varises masih belum diketahui. Pada penderita yang
memiliki riwayat refluks pada safenofemoral junction (tempat dimana v.
Safena Magna bergabung dengan v. femoralis kommunis) akan memiliki
risiko dua kali lipat. Pada penderita kembar monozigot, sekitar 75 % kasus
terjadi pada pasangan kembarnya. angka prevalensi varises vena pada
wanita sebesar 43 % sedangakan pada laki-laki sebesar 19 %.
Keadaan tertentu seperti berdiri terlalu lama akan memicu terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam vena hal ini akan menyebakan
distensi vena kronis dan inkopetensi katup vena sekunder dalam sistem
vena superfisialis. Jika katup penghubung vena dalam dengan vena
superfisialis di bagian proksimal menjadi inkopeten, maka akan terjadi
perpindahan tekanan tinggi dalam vena dalam ke sistem vena superfisialis
dan kondisi ini secara progresif menjadi ireeversibel dalam waktu singkat.
Setiap orang khususnya wanita rentan menderita varises vena, hal ini
dikarenakan pada wanita secara periodik terjadi distensi dinding dan katup
vena akibat pengaruh peningkatan hormon progrestron. Kehamilan
meningkatkan kerentangan menderita varises karena pengaruh faktor
hormonal dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan kehamilan. Hormon
ini akan meningkatkan kemampuan distensi dinding vena dan melunakkan
daun katup vena. pada saat bersaan, vena harus mengakomodasikan
peningkatan volume darah sirkulasi. Pada akhir kehamilan terjadi
penekanan vena cava inferior akibat dari uterus yang membesar.

35

penekanan pada v. cava inferior selanjutnya akan menyebabkan hipertensi


vena dan distensi vena tungkai sekunder. berdasarkan mekanisme tersebut
varises vena pada kehamilan mungkin akan menghilang setelah proses
kelahiran. pengobatan pada varises yang sudah ada sebelum kehamilan
akan menekan pembentukan varises pada vena yang lain selama
kehamilan.
Umur merupakan faktor risiko independen dari varises. Umur tua terjadi
atropi pada lamina elastis dari pembuluh darah vena dan terjadi degenerasi
lapisan otot polos meninggalkan kelemahan pada vena sehingga
meningkatkan kerentanan mengalami dilatasi.
Varises vena juga dapat terjadi apabila penekanan akibat adanya obstruksi.
Obstruksi akan menciptakan jalur baypass yang penting dalam aliran darah
vena ke sirkulasi sentral, maka dalam keadaan vena yang mengalami
varises tidah dianjurkan untuk di ablasi.
D. TANDA DAN GEJALA
Varises bisa terjadi tanpa gejala apapun sebaliknya ada varises kecil yang
memberikan bermacam macam gejala. Gejala gejala varises antara
lain:

Rasa pegal pada ekstremitas yang akan bertambah bila berdiri lama
dan berkurang bila ekstremitas ditinggikan.

Kadang kadang terjadi penyulit berbentuk koreng di daerah mata


kaki yang sukar sembuh. Biasanya didahului oleh kelainan kulit seperti
eksim yang sering disertai peradangan.

Perdarahan dapat terjadi kalau kulit di atas varises perifer menjadi


sangat tipis, biasanya disertai trauma ringan.

Keluhan dari segi kosmetika

Pemeriksaan fisik dilakukan

36

Untuk menentukan katup katup vena superfisial dan vv.


komunikantes digunakan tes Brodie Trendelengurg. Vena vena
dikosongkan dengan mengangkat tungkai beberapa waktu, lalu muara
vena safena magna ditekan dengan kuat atau dipasang torniket pada
paha bagian atas. Pasien diminta berdiri, lalu tiba tiba penekanan
dilepas. Bila vena terisi dengan segera, berarti katup inkompeten.
Kemudian tes dicoba untuk kedua kalinya tanpa melepas penekanan.
Bila selama kira kira 20 30 detik vena vena terisi, maka berarti
katup vena komunikantes tidak kompeten lagi.

Untuk menentukan kompetensi katup katup profunda digunakan :

Tes Perthes. Torniket dipasang pada pangkal paha, pasien diminta


berjalan jalan berkeliling. Bila vena vena tungkai jadi melebar,
berarti ada obstruksi. Bila tak melebar berarti vv. Komunikantes
profunda masih baik dan darah terus naik melalui sistem profunda.

Tes perban. Vena vena superfisial tungkai bawah ditekan dengan


perban elastis. Pasien berjalan jalan selama 10 menit. Bila ada
obstruksi pada sistem profunda, pasien akan merasa nyeri

Tegang, kram otot, sampai kelelahan otot tungkai bawah.

Edema tumit dan rasa berat tungkai dapat pula terjadi, sering terjadi
kram di malam hari.

Terjadi peningkatankepekaan terhadap cedera dan infeksi.

Apabila terjadi obstruksi vena dalam pada varises, pasien akan


menunjukkan tanda dan gejala insufisiensi vena kronis; edema, nyeri,
pigmentasi, dan ulserasi.

Gejala subjektif biasanya lebih berat pada awal perjalanan penyakit,


lebih ringan pada pertengahan dan menjadi berat lagi seiring
berjalannya waktu.Gejala yang muncul umunya berupa kaki terasa
berat, nyeri atau kedengan sepanjang vena, gatal, rasa terbakar, keram
pada malam hari, edema, perubahan kulit dan kesemutan. Nyeri
biasanya tidak terlalu berat namun dirasakan terus-menerus dan
memberat setelah berdiri terlalu lama.

37

Nyeri yang disebabkan oleh insufisiensi vena membaik bila


beraktifitas seperti berjalan atau dengan mengangkat tungkai,
sebaliknya nyeri pada insufisiensi arteri akan bertambah berat bila
berjalan dan tungkai diangkat.
Varises bisa terjadi tanpa gejala apapun sebaliknya ada varises kecil yang
memberikan bermacam macam gejala. Gejala gejala varises antara
lain:

Rasa pegal pada ekstremitas yang akan bertambah bila berdiri lama dan
berkurang bila ekstremitas ditinggikan.

Kadang kadang terjadi penyulit berbentuk koreng di daerah mata kaki


yang sukar sembuh. Biasanya didahului oleh kelainan kulit seperti eksim
yang sering disertai peradangan.

Perdarahan dapat terjadi kalau kulit di atas varises perifer menjadi sangat
tipis, biasanya disertai trauma ringan.

Keluhan dari segi kosmetika

Penderita biasanya merasakan nyeri, kemerahan, rasa panas/terbakar pada


tungkai, gatal, kram, kelemahan otot dan tungkai lemas, biasanya pada
sekian waktu akan terlihat dilatasi vena sehingga vena akan membesar dan
berkelok-kelok dibawah kulit.

E.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi varises primer bermula pada kerusakan dinding pembuluh


vena perifer yang karena sesuatu hal melebar kemudian diikuti oleh katup
yang tidak berfungsi. Vena perforantes dengan katupnya masih tetap
normal. Sedangkan varises sekunder bermula dengan insufisiensi vena
perforantes, vena dalam kemudian diikuti oleh meningginya tekanan darah
dalam vena perifer. Tidak berfungsinya katup vena perforantes biasanya
disebabkan oleh kelainan pada sistem vena dalam.

38

Pada keadaan normal katup vena bekerja satu arah dalam mengalirkan
darah vena naik keatas dan masuk kedalam. Pertama darah dikumpulkan
dalam kapiler vena superfisialis kemudian dialirkan ke pembuluh vena
yang lebih besar, akhirnya melewati katup vena ke vena profunda yang
kemudian ke sirkulasi sentral menuju jantung dan paru. Vena superficial
terletak suprafasial, sedangkan vena vena profunda terletak di dalam fasia
dan otot. Ven perforate mengijinkan adanya aliran darah dari ven
asuperfisial ke\ vena profunda.
Di dalam kompartemen otot, vena profunda akan mengalirkan darah naik
keatas melawan gravitasi dibantu oleh adanya kontraksi otot yang
menghasikan suatu mekanisme pompa otot. Pompa ini akan meningkatkan
tekanan dalam vena profunda sekitar 5 atm. Tekanan sebesar 5 atm tidak
akan menimbulakan distensi pada vena profunda dan selain itu karena
vena profunda terletak di dalam fasia yang mencegah distensi berlebihan.
Tekanan dalam vena superficial normalnya sangat rendah, apabila
mendapat paparan tekanan tinggi yang berlebihan akan menyebabkan
distensi dan perunbahan bentuk menjadi berkelok-kelok.
Keadaan lain yang meyebabkan vena berdilatasi dapat dilihat pada pasien
dengan dialisis shunt dan pada pasien dengan arterivena malformation
spontan. Pada pasien tersebut terjadi peningkatan tekanan dalam pembuluh
darah vena yang memberikan respon terhadap vena menjadi melebar dan
berkelok-kelok. Pada pasien dengan kelainan heresiter berupa kelemahan
pada dinding pembuluh darah vena, tekanan vena normal pada pasien ini
akan menyebabkan distensi venambuluh vena paling sering dan vena
menjadi berkelok-kelok.
Peningkatan di dalam lumen paling sering disebabkan oleh terjadinya
insufisiensi vena dengan adanya refluks yang melewati katup vena yang
inkompeten baik terjadi pada vena profunda maupun pada vena
superficial. Peningkatan tekanan vena yang bersifat kronis juga dapat

39

disesbabkan oleh adanya obstruksi aliran darah vena. Penyebab obstruksi


ini dapat oleh karena thrombosis intravascular atau akibat adanya
penekanan dari luar pembuluh darah. Pada pasien dengan varises oleh
karena obstruksi tidak boleh dilakukan ablasi pada varisesnya karena
segera menghilang setelah penyebab obstruksi dihilangkan.
Kegagalan katup pada vena superfisal paling umum disebabkan oleh
karena peningkatan tekanan di dalam pembuluh darah oleh adanya
insufisiensi vena. Penyebab lain yang mungkin dapat memicu kegagalan
katup vena yaitu adanya trauma langsung pada vena adanya kelainan katup
karena thrombosis. Bila vena superficial ini terpapar dengan adanya
tekanan tinggi dalam pembuluh darah , pembuluh vena ini akan
mengalami dilatsi yang kemudian terus membesar sampai katup vena satu
sama lain tidak dapat saling betemu.
Kegagalan pada satu katup vena akan memicu terjadinya kegagalan pada
katup-katup lainnya. Peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam
system vena superfisial akan menyebabkan terjadinya dilatasi vena yang
bersifat local. Setelah beberapa katup vena mengalami kegagalan, fungsi
vena untuk mengalirkan darah ke atas dan ke vena profunda akan
mengalami gangguan. Tanpa adanya katup-katup fungsional, aliran darah
vena akan mengalir karena adanya gradient tekanan dan gravitasi.
Varises vena pada kehamilan paling sering disebabkan oleh karena adanya
perubahan hormonal yang menyebabkan dinding pembuluh darah dan
katupnya menjadi lebih lunak dan lentur, namun bila terbentuk bvarises
selama kehamilan hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menyingkir adanya kemungkinan disebabkan oleh keadaan DVT akut.
Kerusakan yang terjadi akibat insufisiensi vena berhubungan dengan
tekanan vena dan volume darah vena yang melewati katup yang
inkompeten. Sayangnya penampilan dan ukuran dari varies yang terlihat

40

tidak

mencerminkan

keadaan

volume

atau

tekanan

vena

yang

sesungguhnya. Vena yang terletak dibawah fasia atau terletak subkutan


dapat mengangkut darah dalam jumlah besar tanpa terlihat ke permukaan.
Sebaliknya peningkatan tekanan tidak terlalu besar akhirnya dapat
menyebabkan dilatasi yang berlebihan.
F. Pemeriksaan klinis (diagnostic)
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan:
a.

Test trendelenberg

b.

Test myer

c.

Test perthes

d.

Test Doppler

e.

Radiologi (phlebografi, morfometri, phlethysmografi)

Selain itu ada beberapa macam pemeriksaan klinis lainya, berikut


dijabarkan beserta penjelasannya.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik system vena penuh dengan kesulitan karena sebagian
besar sistem vena profunda tidak dapat dilakukan pemeriksaan langsung
seperti inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi. Pada sebagian besar area
tubuh, pemeriksaan pada system vena superfisial harus mencerminkan
keadaan sistem vena profunda secara tidak langsung.
Pemeriksaan vena dapat dilakukan secara bertahap melalui inspeksi,
palpasi,

perkusi,

dan

pemeriksaan

menggunakan

Doppler. Hasil

pemeriksaan tersebut nantinya dibuatkan peta mengenai gambaran


keadaan vena yang di terjemahkan ke dalam bentuk gambar. Gambar ini
akan memberikan informasi mengenai penatalaksaan selanjutnya.
Pemeriksaan fisik dilakukan

41

Untuk menentukan katup katup vena superfisial dan vv. komunikantes


digunakan tes Brodie Trendelengurg. Vena vena dikosongkan dengan
mengangkat tungkai beberapa waktu, lalu muara vena safena magna
ditekan dengan kuat atau dipasang torniket pada paha bagian atas. Pasien
diminta berdiri, lalu tiba tiba penekanan dilepas. Bila vena terisi dengan
segera, berarti katup inkompeten. Kemudian tes dicoba untuk kedua
kalinya tanpa melepas penekanan. Bila selama kira kira 20 30 detik
vena vena terisi, maka berarti katup vena komunikantes tidak kompeten
lagi.

Untuk menentukan kompetensi katup katup profunda digunakan :


o

Tes Perthes. Torniket dipasang pada pangkal paha, pasien diminta


berjalan jalanberkeliling. Bila vena vena tungkai jadi melebar,
berarti ada obstruksi. Bila tak melebar berarti vv. Komunikantes
profunda masih baik dan darah terus naik melalui sistem profunda.

Tes perban. Vena vena superfisial tungkai bawah ditekan dengan


perban elastis. Pasien berjalan jalan selama 10 menit. Bila ada
obstruksi pada sistem profunda, pasien akan merasa nyeri.

a.

Inspeksi

Inspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke


belakang. Region perineum, pubis, dan dinding abdomen juga dilakukan
inspeksi. Pada inspeksi juga dapat dilihat adanya ulserasi, telangiektasi,
sianosis akral, eksema, brow spot, dermatitis, angiomata, varises vena
prominent, jaringan parut karena luka operasi, atau riwayat injeksi
sklerotan sebelumnya. Setiap lesi yang terlihat seharusnya dilakukan
pengukuran dan didokumentasikan berupa pencitraan. Vena normalnya
terlihat distensi hanya pada kaki dan pergelangan kaki. Pelebaran vena
superfisial yang terlihat pada region lainnya pada tungkai biasanya
merupakan suatu kelainan. Pada seseorang yang mempunyai kulit yang
tipis vena akan terlihat lebih jelas.

42

Stasis aliran darah vena yang bersifat kronis terutama jika berlokasi pada
sisi medial pergelangan kaki dan tungkai menunjukkan gejala seperti
perubahan struktur kulit. Ulkus dapat terjadi dan sulit untuk sembuh, bila
ulkus berlokasi pada sisi media tungkai maka hal ini disebabkan oleh
adanya insufusiensi vena. Insufisiensi arteri dan trauma akan menunjukkan
gejala berupa ulkus yang berloksi pada sisi lateral.
b.

Palpasi

Palapsi merupakan bagian penting pada pemeriksaan vena. Seluruh


permukaan kulit dilakukan palpasi dengan jari tangan untuk mengetahui
adanya dilatasi vena walaupun tidak terlihat ke permukaan kulit. Palpasi
membantu untuk menemukan keadaan vena yang normal dan abnormal.
Setelah dilakukan perabaan pada kulit, dapat diidentifikasi adanya
kelainan vena superfisial. Penekanan yang lebih dalam dapat dilakukan
untuk mengetahui keadaan vena profunda.

Palpasi diawali dari sisi permukaan anteromedial untuk menilai keadaan


SVM kemudian dilanjutkan pada sisi lateral diraba apakah ada varises dari
vena nonsafena yang merupakan cabang kolateral dari VSM, selanjutnya
dilakukan palpasi pada permukaan posterior untuk meinail keadaan VSP.
Selain pemeriksaan vena, dilakukan juga palpasi denyut arteri distal dan
proksimal untuk mengetahui adanya insufisiensi arteri dengan menghitung
indeks ankle-brachial. Nyeri pada saat palpasi kemungkinan adanya suatu
penebalan, pengerasan, thrombosis vena. Empat puluh persen DVT
didapatkan pada palpasi vena superfisialis yang mengalami thrombosis.

c.

Perkusi

Perkusi dilakukan untuk mengetahui kedaan katup vena superficial.


Caranya dengan mengetok vena bagian distal dan dirasakan adanya
gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal. Katup

43

yang terbuka atau inkopeten pada pemeriksaan perkusi akan dirasakan


adanya gelombang tersebut.

Manuver Perthes
Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran
darah retrograde dengan aliran darah antegrade. Aliran antergrade dalam
system vena yang mengalami varises menunjukkan suatu jalur bypass
karena adanya obstruksi vena profunda. Hal ini penting karena apabila
aliran darah pada vena profunda tidak lancar, aliran bypass ini penting
untuk menjaga volume aliran darah balik vena ke jantung sehingga tidak
memerlukan terapi pembedahan maupun skeroterapi.
Untuk melakukan manuver ini pertama dipasang sebuah Penrose
tourniquet atau diikat di bagian proksimal tungkai yang mengalami
varises. Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menekan vena
superficial saja. Selanjutnya pasien disuruh untuk berjalan atau berdiri
sambil menggerakkan pergelangan kaki agar sistem pompa otot menjadi
aktif. Pada keadaan normal aktifitas pompa otot ini akan menyebabkan
darah dalam vena yang mengalami varises menjadi berkurang, namun
adanya obstruksi pada vena profunda akan mengakibatkan vena superficial
menjadi lebih lebar dan distesi.
Perthes positif apabila varises menjadi lebih lebar dan kemudian pasien
diposisikan dengan tungkai diangkat (test Linton) dengan tourniquet
terpasang. Obstruksi pada vena profunda ditemukan apabila setelah
tungkai diangkat, vena yang melebar tidak dapat kembali ke ukuran
semula.
Tes Trendelenburg
Tes Trendelenburg sering dapat membedakan antara pasien dengan refluks
vena superficial dengan pasien dengan inkopetensi katup vena profunda.

44

Tes ini dilakukan dengan cara mengangkat tungkai dimana sebelumnya


dilakukan pengikatan pada paha sampai vena yang mengalami varises
kolaps. Kemudian pasien disuruh untuk berdiri dengan ikatan tetap tidak
dilepaskan. Interpretasinya adalah apabila varises yang tadinya telah
kolaps tetap kolaps atau melebar secara perlahan-lahan berarti adanya
suatu inkopenten pada vena superfisal, namun apabila vena tersebut terisi
atau melebar dengan cepat adannya inkopensi pada katup vena yang lebih
tinggi atau adanya kelainan katup lainnya.

Auskultasi menggunakan Doppler


Pemeriksaan menggunakan Doppler digunakan untuk mengetahui arah
aliran darah vena yang mengalmi varises, baik itu aliran retrograde,
antegrade, atau aliran dari mana atau ke mana. Probe dari dopple ini
diletakkan pada vena kemudian dilakukan penekanan pada vena disisi
lainnya. Penekanan akan menyebabkan adanya aliran sesuai dengan arah
dari katup vena yang kemudian menyebabkan adanya perubahan suara
yang ditangkap oleh probe Doppler. Pelepasan dari penekanan vena tadi
akan menyebabkan aliran berlawanan arah akut. Normalnya bila katup
berfungsi normal tidak akan ada aliran berlawanan arah katup saat
penekanan dilepaskan, akhirnya tidak aka nada suara yang terdengar dari
Doppler.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium saat ini tidak bermanfaat dalam menegakkan
diagnosis atau terapi varises vena.
Pemeriksaan Imaging
Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan
memetakan seluruh area yang mengalami obstruksi dan refluks dalam
system vena superficial dan system vena profunda. Pemeriksaan yang
dapat dialkukan yaitu venografi dengan kontras, MRI, dan USG color-flow

45

dupleks. USG dupleks merupakan pemeriksaan imaging standar yang


digunakan untuk diagnosis sindrom insufisiensi vasirses dan untuk
perencanaan terapi serta pemetaan preoperasi. Color-flow USG (USG
tripleks) digunakan untuk mengetahui keadaan aliran darah dalam vena
menggunakan pewarnaan yang berbeda. Pemeriksaan yang paling
sensitive

dan

spesifik

yaitu

menggunakan

Magnetic

Resonance

venography (MRV) digunakan untuk pemeriksaan kelainan pada sistem


vena profunda dan vena superficial pada tungkai bawah dan pelvis. MRV
juga dapat mengetahui adanya kelainan nonvaskuler yang menyebabkan
nyeri dan edema pada tungkai. Venografi dengan kontras merupakan
teknik pemeriksaan invasive. Saat ini venografi sudah mulai ditinggalkan
dan digantikan dengan pemeriksaan USG dupleks sebagai pemeriksaan
rutin penyakit vena. Sekitar 15 % pasien yang dilakukan pemeriksaan
venografi ditemukan adanya DVT dan pembentukan trombosisi baru
setelah pemberian kontras.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi Non Operatif
1.

Kaus Kaki Kompresi (Stocking)

Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan


hemodinamik pasien dengan varises vena dan mengilangkan edema. Kaus
kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang
maksimal. Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang
menggunakan kaus kaki ini selama 1 tahun setelah menderita DVT
mencegah terjadi ulkus pada kaki. Kekurangan menggunakan kaos kaki ini
adalah dari segi harga yang relatif mahal, kurangnya pendidikan pasien,
dan kosmetik yang kurang baik. Pada penelitian randomize controlled trial
compression menggunakan stoking (grade I dan II) dibandingkan dengan
kontrol penggunaan kaus kaki ini mengurangi terjadinya refluks VSM dan
mengurangi keluhan dan gejala varises pada wanita hamil namun tidak ada
perbedaan terhadap pembentukan varises vena.

46

2.

Skleroterapi

Skleroterapi dilakukan dengan menyuntikkan substansi sklerotan kedalam


pembuluh darah yang abnormal sehingga terjadi destruksi endotel yang
diikuti dengan pembentukan jaringan fibrotik. Sklerotan yang digunakan
saat yaitu ferric chloride, salin hipertonik, polidocanol, iodine gliserin,
dan sodium tetradecyl sulphate, namun untuk terapi varises vena safena
paling umum digunakan saat ini adalah sodium tetradecyl sulphate dan
polidacanol. Kedua bahan ini dipilih karena sedikit menimbulkan reaksi
alergi, efek pada perubahan warna kulit (penumpukan hemosiderin) yang
rendah, dan jarang menimbulkan kerusakan jaringan apabila terjadi
ekstravasasi ke jaringan.

Terapi menggunakan kombinasi skleroterapi dengan ligasi safenofemoral


junction sangat pupuler dilakukan pada tahun 1960an dan 1970an, terapi
kombinasi ini diberikan setelah dilakukan pembedahan konvensional
untuk menghilangkan vaarises residual setelah operasi. Sebuah penelitian
yang membandingkan antara kombinasi skleroterapi dengan ligasi SFJ
dibandingkan kombinas ligasi SFJ dengan stripping didapatkan angka
rekurensi klinis dan rekuresnsi terjadinya refluks SFJ yang lebih tinggi
pada kelompok yang menggunakan skleroterapi.
Sklerotan dibagi berdasarkan jenis substansinya yaitu yang berbentuk
foam dan benbentuk liquid. Pada sklerotan jenis foam memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan jenis liquid yaitu dosis yang lebih
sedikit, lebih efektif dan menimbulkan komplikasi yang lebih rendah. Pada
sebuah penelitian non-randomised membandingkan antara sklerotan jenis
foam dengan liquid didapatkan angka oklusi pembuluh darah yang lebih
tinggi (67 % dengan 17 % dalam 1 tahun) dan angka gejala klinis yang
lebih rendah (8,1 % dan 25 %) pada pasien yang menggunakan sklerotan
foam. Tidak ada komplikasi ditemukan pada penelitian ini. Penelitian

47

randomized trial lebih lanjut yang membandingkan antara polidocalol


foam dengan polidocanol liquid didapatkan dalam terapi VSM inkompen
(diameter < 8 mm) didapatkan keberhasilan dalam mengablasi refluks
VSM lebih tinggi pada polidocanol jenis foam ( 84% lawan 14 %).
Terapi Minimal Invasif
1.

Radiofrekuensi ablasi (RF)

Radiofrekuensi

adalah

teknik

ablasi

vena

menggunakan

kateter

radiofrekuensi yang diletakkan di dalam vena untuk menghangatkan


dinding pembuluh darah dan jaringan sekitar pembuluh darah. Pemanasan
ini menyebakan denaturasi protein, kontraksi kolagen dan penutupan vena.
Kateter dimasukkan sampai ujung aktif kateter berada sedikit sebelah
distal SFJ yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan USG. Ujung kateter
menempel pada endotel vena, kemusian energy radiofrekuensi dihantarkan
melalui kateter logam untuk memanaskan pembuluh darah dan jaringan
sekitarnya. Jumlah energy yang diberikan dimonitor melalui sensor termal
yang diletakkan di dalam pembuluh darah. Sensor ini berfungsi mngatur
suhu yang sesui agar ablasi endotel terjadi.
Penelitian multi-center didapat 85 % VSM mengalami obliterasi pada 2
tahun. Dua penelitian randomized-controlled trial yang membandingkan
ablasi radiofrekuensi dengan pembedahan konvensional. Penelitian
pertama Lurie et al melaporkan hasil dari EVOLVeS Study yang
merupakan percobaan multi-center dengan 81 pasien yang dilakukan
radiofrekuensi ablasi atau ligasi SFJ, Stripping VSM dan phlebectomy.
Hasil yang didapat 81 % oklusi VSM pada kelompok RF ablasi dengan
lama waktu perwatan lebih singkat dari pada kelompok pembedahan ( 74
SD 10 mnt Vs 89 SD 12 mnt), lebih cepat pada RF ablasi (1,39 Vs 6,65
hari kerja). Walaupun komplikasi yang sitimbulkan pada RF ablasi lebih
sedikit, komplikasi pasca terapi berupa parestesia lebih banyak pada
kelompok RF ablasi ( 16% dibandingkan 6 % pada kelompok
pembedahan, tetapi tidak signifikan). Interpretasi hasil study EVOLVeS

48

sulit dilakukan karena berbagai variasi teknik anestesi dan prosedur yang
dilakukan pada berbagai Center. Selain itu jumlah sample yang kecil tidak
cukup kuat untuk menampilkan signifikansi perbedaan antara teknik yang
dilakukan.
Penelitian kedua , Rautio randomized pada 28 pasien yang mendapatkan
RF ablasi atau pembedahan konvensional. Kedua kelompok ini dilakukan
di bawah anestesi umum. Hasil yang didapat penurunan rata-rata VCSS
(venous clinical severity score). Pada RF ablasi didapat score VCSS 5,1
(SD=1,5) dan pada pembedahan didapat 4,4 (SD=1), nyeri pasca
pembedahan secara signifikan lebih rendah pada RF ablasi dibandingkan
kelompok pembedahan konvensional, komplikasi parestesia didapatkan 13
% pada kelompok RF dan 23 % pada pembedahan, Thomboplebitis
sistemik didapat 20 % pada kelompok RF. Biaya pengobatan lebih besar
pada kelompo RF ablasi dibandingkan dengan kelompok pembedahan
konvensional.
Pada beberapa penelitian individual didapatkan komplikasi yang lebih
rendah pada RF ablasi. Safena neuritis 3-49%, kulit terbakar 2-7 %,
hematoma dan phlebitis. DVT dilaporkan sekitar 1 % dan 0,3 % terjadi
emboli pulmonum.
2.

Endovenous Laser Therapy (EVLT)

Salah satu pilihan terapi varises vena yang minimal invasive adalah
dengan Endovenous laset therapy (EVLT). Keuntungan yang didapat
menggunakan pilihan terapi ini adalah dapat dilakukan pada pasien
poliklinis di bawah anestesi local. EVLT yang secara luas digunakan
menggunakan daya sebesar 10 14 watt. Prosedurnya EVLT menggunakan
fibre laser yang dimasukkan ke distal VSM sampai SFJ dibawah control
USG.
Prosedur yang dilakukan pertama-tama dialkuakn anestesi local perivena
dengan jalan memberikan infiltrasi di sekitar pembuluh darah pepanjang

49

VSM. Tujuannya selain memberikan efek analgesia juga memberikan efek


penekanan pada vena agar dinding vena beraposisi dengan fibred an
berperan sebagai heat sink mencegah kerusakan jaringan local.
EVLT tidak

menyebabkan

vena

segera

menjadi

mengecil

bila

dibandingkan dengan apabila dilakukan FR ablation, tetapi vena akan


mengecil secara gradual beberapa minggu sampai tidak tampak setelah 6
bulan dengan pemerikasaan USG, kemudia diikuti dengan kerusakan
endotel, nekrosis koagulatif, penyempitan dan thrombosis vena.
Pada sebuah penelitian observasional, VSM mengecil 94 99 % dengan
perbaikan penampilan varises superficial dan menurunkan gejala yang
timbul. Dilaporkan oleh Min et al, sekitar 500 pasien yang di follow-up
selam 3 tahun didapatkan abalsi VSM sebesar 98 % pada 1 bulan dan 93
% pada 2 tahun.
Komplikasi

utama

yang

muncul

seperti

bruising

(24

%)

dan

thomboplebitis (5%), tetapi tidak didapatkan adanya DVT, perasaan


terbakar atau parestesia. Debandingkan dengan RF abalaton absennya
komplikasi DVT adalah kemungkinan karena duarsi terapi yang lebih
singkat, kontak dengan kateter trombogenik yang lebih singkat, dan suhu
yang digunakan lebih tinggi.
Terapi Pembedahan
1.

Ambualtory phlebectomy (Stab Avulsion)

Teknik

yang

digunakan

adalah

teknik

Stab-avulsion

dengan

menghilangkan segmen varises yang pendek dan vena retikular dengan


jalan melakukan insisi ukuran kecil dan menggunakan kaitan khusus yang
dibuat

untuk

tujuan

ini,

prosedur

ini

dapat

digunakan

untuk

menghilangkan kelompok varises residual setelah dilakukan sphenectomy.

50

Mikroinsisi dibuat diatas pembuluh darah menggunakan pisau kecil atau


jarum yang berukuran besar. Selanjutnya kaitan phlebectomu dimasukkan
ke dalam dan vena dicapai melalui mikroinsisi ini. Menggunakan kaitan
kemusian dilakukan traksi pada vena, bagian vena yang panjang
dipisahkan dari perlekatan sekitarnya.. bila vena tidak dapat ditarik apat
dilakukan insuisi di tempat lain dan proses diulangi dari awal sampai
keseluruhan vena.
2.

Saphectomy

Teknik saphenektomi yang paling popular saat ini adalah teknik


menggunakan peralatan stripping internal dan teknik invaginasi dengan
jalan membalik pembuluh darah dan menariknya menggunakan traksi
endovenous, teknik tersebut dapat menurunkan terjadinya cedera pada
struktur di sekitarnya.Gambar 5-6. Untuk menghilangkan VSM, sebuah
insisi dibuat 2-3 cm sebelah medial lipatan paha untuk melihat SFJ.
Sebelum melakukan stripping pada VSM, semua percabangan dari SFJ
harus diidentifikasi dan dilakukan ligasi untuk memilinimalkan terjadinya
rekurensi. Setelah ligasi dan pemisahan Junction, peralatan stripping
dimasukkan ke dalam VSM di lipatan paha didorong sampai level cruris
selnajutnya alat strippeer dikeluarkan melalui insisi yang dibuat (5 mm
ataiu lebih kecil) sekitar 1 cm dari tuberosity tibia pada lutut. Kemudia
head stripper dipasangkan pada lipatan paha dan dikunci pada ujung
proksimal vena. Pembuluh darah kemudian ditarik dan dilipat ke dalam
lumen vena sepanjang pembuluh darah sampai pintu keluar yang dibuat
sebelumnya di bagian distal. Jika di perlukan dapat diberikan gaas yang
berisi efinefrin atau dilakukan ligasi untuk tujuan hemostasis setelah
dilakukan stripping.
Teknik lama dalam stripping vena sudah ditinggalkan karena tingginya
insiden komplikaasi yang terjasi setelah dilakukan stripping, komplikasi

51

ini meliputi kerusakan pada nervus safena, yang berlokasi sangat dekat
dengan vena pada regio lutut.
Komplikasi banyak terjadi pada bila VSP dikeluarkan, karena anatomi dan
risiko terjadinya cedera pada vena poplitea dan nerevus peroneal lebih
besar. Safenopopliteal junction harus diidentifikasi dengan pemeriksaan
dupleks USG sebelum dilakukan deseksi, dan visualisasi dari Safeno
popleteal jungtion secara langsung yang adekuat sangat pentingdilakukan.
Setelah dilakukan ligasi dan pemisahan junction, sebiauh peralatan
stripping dimasukkan ke dalam vena sampai distal cruris dan dikeluarkan
melalui pintu yang dibuat dengan insisi (2 -4 mm). Selanjutnya stripper
dikunci di proksimal vena dan dilakukan invaginasi dan ditarik dari daerah
lutut sampai daerah pergelngan kaki
Modifikasi Teknik Pembedahan
1.

Ambulatory Conservative Haemodynamic Management (ACHM or

CHIVA)
Conservative haemodynamic surgery for varicose veins (CHIVA) adalah
sebuah teknik pembedahan fisiologis meliputi identifikasi mengugunakan
ultrasound dupleks dan ligasi refluk. Vena perforata dan vena safena
dipersiapkan dan tidak dilakukan tindakan phlebektomi. Walaupun
terdapat peningkatan hemodinamik dan morbilitas yang rendah namun
agka rekurensi masih cukup tingg sebesar 35 % pada 3 tahun. Namun pada
sebuah studi yang membandingkan antara ligasi SFJ, stripping, dan
phlebektomi dilaporkan hasil yang sama pada 3 tahun tapi dengan
kerusakan pada nervus cutaneus yang lebih sedikit pada kelompok
CHIVA. Prosedur ini belum secara luas digunakan karena teknik yang
relatif lebih rumit.
2.

Transilluminated Powered Phlebectomy Ablation of Varicosities

(TriVexe)

52

Phelebektomi dengan transiluuminasi merupakan metode unutk ablasi


varises yang lebih cepat dan reliabel. Teknik memungkinkan dilakukan
insisi dan menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit. Beberapa studi
melaporkan peningkatan biaya operasi, peningkatan insiden terjadinya
hematome, dan parestesia pada pasien dengan TriVex. Walupun demikian
teknik ini mungkin bermanfaan pada pembedahan dengan varises yang
rekuren dimana didapatkan jaringan parut perivaskular dan kekkakuan
pembuluh vena yang menurunkan efikasi bila dilakukan stab avulsion
konvensional

3.

Subfascial Endoscopic Perforator Ligation (SEPS) and The Linton

Procedure
Peran dari vena perforata dalam etiologi varises vena masih kontroversi.
Bagaimanapun ukuran dan persentase vena perforata yang mengalami
inkompenten di sisi medial cruris menunjukkna hubungan dengan
severitas penyakit insufisiensi vena kronis. Beberapa ahli bedah vaskurel
berpendapat ligasi pada vena perforata merupakan tindakan yang tidak
rutin dilakukan.
Bila ligasi vena perforata diperlukan untuk mengisolasi vena perforata
yang

inkompeten,

tindakan

ligasi

endoskopi

lebih

disarankan

dibandingkan dengan operasi terbuka untuk menghindari masalah dengan


penyembuhan luka operasi. Atau bila dilakukan operasi terbuka, penentuan
vena perforata melalui pemeriksaan ultraound mungkin dapat mengatasi
masalah penyembuhan luka operasi bila dibandingkan dengan prosedur
Linton tradisional
4.

External Valvular Stents

53

Penggunaan valvular stent eksternal diperkenalkan oleh Lane merupakan


sebuah solusi yang fisiologis dalam mengatasi refluks vena dengan
mempertahankan VSM. Dia medriskripsikan pada 1500 pasien walaupun
ourcome data hanya tersedia pada 107 pasien saja menunjukkan setelah
folow-up selama 57 bulan , 90 % didapatakan dengan SFJ yang kompeten
dengan rara-rata penuruanan diameter VSM dari 7,6 menjasi 4,8 mm.
Rekurensi secara klinis menurun. Sayangnya pasien dengan VSM yang
berdiameter 10-11 mm atau dengan varises yang berkelok-kelok sepanjang
VSF diekslusi dan teknik ini hanya dapat diaplikasikan pada 34 % pasien
saja. Pasien dengan valvuloplasty didapatkan tingkat morbiditas yang
lebih rendah dibandingkan bila dialakukan stripping. Komplikasi yang
terjasi lebih jarang dan infeksi yang terjasi karena pelepasa cuff hanya 0,3
% kasus. Teknik mungkin dapat dipilih pada pasien dengan varises vena
minor, namun belum ada penelitian yang membandingkan dengan teknik
lain dan teknik ini belum secara luas digunakan.
5.

Endovenous Diathermy

Teknik ini telah dialakukan oleh beberapa ahli bedah pada than 19601970-an. Tidak ada bukti keuntungan yang didapat dan ini meningkatkan
ririko terjadinya cidera termal. Studi terbaru dikatakan teknik ini mungkin
dapat digunakan untuk mengablasi percangan VSM yang inkompeten
dengan tetap mempertahankan VSM setelah dilakuakan ligasi Safenofemoral walupun tidak ada folow up yang dilakuakan selanjutnya dan
sebagian besar pasien memerlukan terapi tambahan seperti skloroterapi.
H. KOMPLIKASI
Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus,
keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen.
Inform konsen mengenai komplikasi ini diperlukan sebelum dilakukan
tindakan terapi. NHSLA melaporkan komplikasi akibat cedera pada saraf
pada 12 pasien dengan drop foot setelah dilakukan ligasi safeno-popliteal.

54

Komplikasi berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat
untuk dihindari.
Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10
%), dan terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari.
Thromboembolism berpotensi terjadi pada pembedahan varises vena,
tetapi belum ada bukti yang menujukkan risiko ini meningkat bila
dilakukan pembedahan. Sebagian besar ahli bedah vaskuler melakukan
profilaksisi agar tidak terjadi komplikasi thomboemboli ini. Tabel 2
menunjukkan angka komplikasi yang terjadi pada berbagai prosedur yang
digunakan dalam terapi varises vena.
Tromboflebitis
Invasi/perluasan mikroorganisme patogen yang mengikuti aliran darah
disepanjang vena dan cabang-cabangnya. Tromboflebitis didahului dengan
trombosis, dapat terjadi pada kehamilan tetapi lebih sering ditemukan pada
masa nifas.
a.

Penyebab

Perubahan susunan darah

Perubahan laju peredaran darah

Perlukaan lapisan intema pembuluh darah

Pada masa hamil dan khususnya persalinan saat terlepasnya plasenta kadar
fibrinogen yang memegang peranan penting dalam pembekuan darah
meningkat sehingga memudahkan timbulnya pembekuan.
b. Faktor predisposisi

riwayat bedah kebidanan

usia lanjut

multi paritas

varices

infeksi nifas

55

Trombosis bisa terdapat pada vena-vena kaki juga pada vena-vena


panggul. Trombosis pada vena-vena yang dekat pada permukaan biasanya
disertai peradangan, sehingga merupakan tromboflebitis. Adanya
septikhema, dapat dibuktikan dengan jalan pembiakan kuman-kuman dari
darah.

c. Klasifikasi

Pelvio tromboflebitis

Pelvio tromboflebitis mengenai vena-vena dinding uterus dan ligamentum


latum yaitu vena ovarika, vena uterina dan vena hipogastika. Vena yang
paling sering terkena adalah vena ovarika dextra perluasan infeksi dari
vena ovarika sinistra ke vena renalis, sedangkan perluasan infeksi dari
vena ovarika dextra adalah ke vena cava inferior.
d. Gejala

Nyeri terdapat pada perut bagian bawah atau perut bagian samping,
timbul pada hari ke 2-3 masa nifas dengan atau tanpa panas

Penderita tampak sakit berat dengan gambaran karakteristik


sebagai berikut :

Menggigil berulang kali, menggigil terjadi sangat berat (30-40


menit) dengan interval hanya beberapa jam saja dan kadangkadang 3 hari. Pada waktu menggigil penderita hampir tidak panas.

56

Suhu badan naik turun secara tajam (36C-40C)

Penyakit dapat berlangsung selama 1-3 bulan

Cenderung terbentuk pus yang menjalar kemana-mana terutama ke


paru-paru

Gambaran darah

Terdapat leukositosis

Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat tepat


sebelum mulai menggigil, kultur darah sangat sukar dibuat karena
bakterinya adalah anaerob.

Pada pemeriksaan dalam hampir tidak ditemukan apa-apa karena


yang paling banyak terkena adalah vena ovarika

e. Komplikasi

Komplikais pada paru-paru infark, abses, pneumonia

Komplikasi pada ginjal sinistra, yaitu nyeri mendadak yang diikuti


dengan proteinuria dan hematuria

Komplikasi pada mata, persendian dan jaringan subkutan.


f. Penanganan

Rawat inap, penderita tirah baring untuk pemantauan gejala penyakitnya


dan mencegah terjadinya emboli pulmonal.

Therapi medik, pemberian antibiotika atau pemberian heparin jika


terdapat tanda-tanda atau dugaan adanya emboli pulmonal

Therapi operati , peningkatan vena cava inferior dan vena ovarika jika
emboli septik terus berlangsung sampai mencapai paru-paru meskipun
sedang dilakukan heparisasi

Tromboflebitis femoralis (Flegmasia alba dolens)

57

Tromboflebitis femoralis mengenai vena-vena pada tungkai misalnya pada


vena femoralis, vena poplitea dan vena safena.
Edema pada salah satu tungkai kebanyakan disebabkan oleh suatu
trombosis yaitu suatu pembekuan darah balik dengan kemungkinan
timbulnya komplikasi emboli paru-paru yang biasanya mengakibatkan
kematian
g. Penilaian klinik

Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris 7-10 hari kemudian
suhu mendadak baik kira-kira pada hari ke 10-20 yang disertai dengan
menggigil dan nyeri sekali.

Pada salah satu kaki yang terkena, akan memberikan tanda-tanda


sebagai berikut :

Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi keluar serta sukar
bergerak, lebih panas dibandingkan dengan kaki yang lain

Seluruh bagian dari salah satu vena pada kaki terasa tegang dan keras
pada paha bagian atas

Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha

Reflektorik akan terjadi spasmus arteria sehingga kaki menjadi


bengkak, tegang, dan nyeri

Edema kadang-kadang terjadi selalu atau setelah nyeri, pada umumnya


terdapat pada paha bagian atas tetapi lebih sering dimulai dari jari-jari
kaki dan pergelangan kaki kemudian meluas dari bawah keatas

Nyeri pada betis

Pada trombosis vena femoralis, vena dapat teraba didaerah lipat paha

Oedema pada tungkai dapat dibuktikan dengan mengukur lingkaran


dari betis dan dibandingkan dengan tungkai sebelah lain yang normal.
h. Penanganan

Perawatan

58

Kaki ditinggikan untuk mengurangi oedema lakukan kompres


pada kaki

Setelah mobilisasi kaki hendaknya tetap dibalut elastik atau


memakai kaos kaki yang panjang elastik selama mungkin

Jangan menyusui bayinya, mengingat kondisi ibu yang sangat


jelek

Terapi pemberian antibiotik dan anti analgesik

13. Ateroskelrosis
a. DEFINISI
Arteri adalah pembuluh darah yang membawa oksigen dan zat makanan
dari jantung ke seluruh tubuh. Arteri yang sehat adalah arteri yang
fleksibel, kuat dan elastis. Bagaimanapun, terlalu banyak tekanan pada
arteri dapat membuat dinding menebal dan kaku terkadang membatasi
aliran darah menuju organ dan jaringan. Proses ini disebut arteriosklerosis,
atau mengerasnya arteri.
Aterosklerosis adalah tipe spesifik dari arteriosklerosis, tapi istilah yang
sering digunakan bergantian. Aterosklerosis lebih kepada terbentuknya
lemak di dalam dan di atas dinding arteri (plak), yang dapat membatasi
aliran darah. Plak ini dapat juga pecah dan menyebabkan bekuan darah.
Meskipun aterosklerosis sering dianggap masalah jantung, ini dapat
berefek pada arteri di manapun di dalam tubuh. Aterosklerosis adalah
kondisi yang dapat dicegah dan dapat diobati.

b. GEJALA
Aterosclerosis terbentuk secara bertahap. Biasanya tidak akan muncul
gejala aterosklerosis sampai arteri sangat menyempit atau tersumbat
sehingga tak dapat menyuplai cukup darah ke organ dan jaringan.
Terkadang bekuan darah benar-benar menyumbat aliran darah, atau
bahkan terpecah dan menyebabkan bekuan darah yang dapat memicu
serangan jantung atau stroke.

59

Gejala aterosclerosis didasarkan pada arteri mana yang terkena. Sebagai


contoh:

Jika anda memiliki aterosklerosis di dalam arteri jantung, anda

mungkin memiliki gejala yang sama dengan serangan jantung lain, seperti
sakit pada dada (angina)

Jika anda memiliki aterosklerosis di dalam arteri yang menuju otak,

anda mungkin memiliki gejala seperti mati rasa secara tiba-tiba atau lemah
pada lengan atau kaki, sulit berbicara atau berbicara melantur, atau otot
wajah yang terkulai

Jika anda memiliki aterosklerosis pada arteri di lengan dan kaki, anda

mungkin memiliki gejala peripheral arterial disease, seperti sakit pada kaki
ketika berjalan.
Terkadang, aterosklerosis menyebabkan disfungsi ereksi pada laki-laki.

c. Penyebab & Faktor Risiko

Penyebab
Aterosklerosis adalah penyakit yang lamban dan berkembang secara
bertahap. Penyakit ini dapat dimulai pada awal masa anak-anak.
Meskpun penyebab pasti belum diketahui, ilmuwan mencurigai bahwa
aterosklerosis dimulai dengan kerusakan atau cedera pada lapisan
dalam arteri.
Kerusakan mungkin disebabkan oleh:
Tekanan darah tinggi
Kolestrol tinggi
Iritan, seperti nikotin
Penyakit tertentu, seperti diabetes

60

Sekali dinding bagian dalam arteri rusak, sel darah yang disebut
platelet sering menggumpal dan mencederai tempat tersebut untuk
mencoba memperbaiki arteri sehingga menimbulkan pembengkakan.
Seiring waktu, plak yang terbentuk dari kolestrol dan zat ampas lain
juga berkumpul pada tempat cedera ini, mengeras dan mempersempit
arteri. Organ dan jaringan yang dihubungkan dengan arteri yang
tersumbat tersebut kemudian tidak menerima cukup darah untuk
berfungsi secara baik.

Lama kelamaan sebagian plak tersebut mungkin pecah dan masuk ke


dalam aliran darah. Ini dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah
dan merusak organ, seperti pada serangan jantung. Bekuan darah dapat
juga dihantarkan ke bagian lain dari tubuh dan sebagian atau
seluruhnya menyumbat aliran darah ke organ tubuh lain.

Faktor risiko
Mengerasnya arteri terjadi setiap waktu. Sebagai tambahan, faktor
yang menambah risiko aterosklerosis antara lain:
Tekanan darah tinggi

Kolestrol tinggi

Diabetes

Obesitas

Merokok

Sejarah keluarga dengan aneurysm atau sakit jantung dini

d. Pencegahan
Perubahan gaya hidup yang sama direkomendasikan untuk merawat
aterosklerosis juga dapat mencegahnya. Anda telah mengetahui
sebelumnya juga membantu dalam pencegahan berhenti merokok,
makan makanan sehat, rutin berolahraga, menjaga berat badan sehat, dan
tidak meminum alkohol. Ingatlah untuk membuat satu langkah perubahan

61

sekarang.

E. STEP V
Tujuan Pembelajaran (Menentukan LO)
1.
2.
3.

Obat- obat yang digunakan pada hipertensi


Farmakokinetik dan farmakodinamik obat anti hipertensi
Krisis hipertensi, hipertensi maligna

62

F. STEP VI
Belajar Mandiri
A. Graber, dkk. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga University Of IOWA.
Jakarta : EGC.
De Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29.
Jakarta: EGC.
Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Lawrence M. T. Jr, Stephen J. McP, Maxine A. P. 2011. Current Medical
Diagnosis And Treatment. McGraw-Hill Companies Inc.
Moore, Keith L. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.
Price. S. A, Wilson. L. M.Pathophysiology Clinical Concepts Of Disease
Processes, Ed.4. Mosby Year Book, Inc.
Silbernagl, Stefan. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC.

63

G. STEP VII
Laporan Hasil Belajar Mandiri

1. Obat- obat yang digunakan pada hipertensi


Pemilihan obat antihipertensi dan dosis
DIURETIKTHIAZID
merupakan obat utama dalam terapi antihipertensi pada penderita dengan
fungsi ginjal yang normal.
Tiazid digunakan sebagai obat tunggal pada penderita hipertensi ringan
sampai sedang.
ESO:
hipokalemia,

hipomagnesia,

hiperkalsemia

,hiperuresemia,

hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual.


Jenis obat
Chlorothiazide
Chlorothalidone
Hydrochlorothiazide
Polythiazide
Indapamide
Metolazone

Dosis (mg/hari)
125-500
12,2-25
12,5-50
2-4
1,25-2,5
0,5-1,0

Frekuensi perhari
1-2
1
1
1
1
1

LOOPDIURETIK(DiuretikKuat)
lebih efektif dibandingkan tiazid untuk hipertensi dengan gangguan fungsi
ginjal atau gagal jantung.
Tidak menyebabkan hipokalsemia seperti thiazide Loop Diuretik
meningkatkan

kandungan

kadar

kalsium

urin,

sedangkan

menurunkan konsentrasi kalsium pada urin


Contoh: Furosemid, bumetanid, torasemid.
DIURETIK HEMAT KALIUM dan Antagonis Aldosteron

tiazide

64

Diuretik ini bekerja pada segmen yg berespon terhadap aldosteron, dimana


homeostasis kalium(K+) dikendalikan.
Contoh: Hematkalium: Amilorid, Triamteren
Antagonis aldosteron: Spironolakton
ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor)
Obat obat ini menghambat enzim pengkonversi angiotensin (ACE) yang
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II vasodilatasi.
ESO : yang sering terjadi adalah batuk kering (akibat bradi kinin yang
dimetabolisme oleh ACE).
Contoh: Benazepril, Captopril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Moexipril,
Perindopril, Quinapril, Ramipril, Trandolapril.
CCB (Calsium Channel Blocker)
Bukan firstline, hanya sebagai terapi tambahan namun sangat efektif
sebagai antihipertensi.
Jenis:*dihidropiridin Amlodipine, Felodipine, Isradipine, Nicardipine
Nifedipine, Nisoldipine *non dihidropiridin Diltiazem, Verapamil.
SIMPATOLITIK
a.BETA BLOCKER
memiliki efek kronotropik dan ion otropik negative pada jantung yang dapat
mengurangi curah jantung.
Contoh: *non selektif - blocker (1/2) propanolol, betaxolol,
bisoprolol, nadolol, timolol *selektif 1 Atenolol, metoprolol.
b. ALPHA BLOCKER selektif memblok adreno reseptor 1, yang berguna
untuk pengobatan hipertensi.
Contoh: prazosin, terazosin, doksazosin, dan bunazosin.
ARB/AIIRA
Mekanisme kerja: Akan berikatan dengan reseptor angiotensin II sehingga
angiotensin II tidak dapat berikatan dengn reseptornya relaksasi otot
polos vasodilatasi.

65

Contoh: Candesartan, Eprosartan, Irbesartan

VASODILATOR LANGSUNG
Arteri
hidralazin, minoksidil, diazoksid
Arteri dan vena
nitroprusid
Panduan Pemilihan Obat Pada Terapi Hipertensi

Kelas obat

Indikasi

Diuretik

mutlak
mungkin
Gagal jantung, Diabetes
pasien

Indikasi yang Kontraindikasi


mutlak
GOUT

agak

Kontra

indikasi

yang mungkin
Dislipidemia,pria
yang

tua, hipertensi

aktif

berhubungan sex

Beta

sistolik
Angina,

Gagal

Asma, PPOK, Dislipidemia,

blocker

setelah

jantung,

henti jantung

miokard

kehamilan,

yang aktif secara

infark,

DM

fisik,

ACE

takiaritmia
Gagal jantung,

Kehamilan

Inhibitor

disfungsi

LV,

hiperkalemia,

setelah

MI,

bilateral renal

atlet dan pasien


penyakit

pembuluh

DM

arteri stenosis

Kalsium

nephropathy
Angina, pasien Penyakit

Henti jantung

Antagonis

agak

tua, pembuluh

Gagal
kongestif

hipertensi

darah

Alfa

sistolik
Hipertropi

Gangguan

Blocker

prostat

toleransi

Hipotensi

glukosa,

ortostatik

AII

dislipidemia
Batuk karena Gagal

Kehamilan,

Antagonis

ACEI

bilateral renal

jantung

arteri stenosis,

jantung

66

hiperkalemia
Pemilihan Obat Antihipertensi

Pathofisiology hipertensi
Komplikasi hipertensi
Cara kerja obat
Efek samping

Hasil yang tidak diharapkan pada Pengobatan Hipertensi Dikarenakan :


Pendidikan dokter dan masyarakat yang tidak memuaskan, dan bukti yang
tidak cukup dalam pencapaian target pengobatan, karena lebih percaya pada
monoterapi dengan dosis tinggi dan obat terbaru.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Pilihan Pertama Obat Antihipertens


Diuretik
Beta blocker
ACE inhibitor
Kalsium antagonis
Alfa blocker
Alfa beta blocker
Reseptor angiotensin blocker
Kombinasi dengan dosis yang rendah
Pengontrolan Tekanan Darah yang lebih baik
Pendekatan terbaru memperkenalkan pengobatan hipertensi yang paling
utama, yaitu dengan penggunaan kombinasi 2 obat, yang memiliki sifat
sinergis, dan dikombinasikan pada dosis yang lebih rendah daripada
pemakaian monoterapi.
Terapi kombinasi dosis rendah yang rasional
Prinsip umum :
Kombinasi dosis rendah dari dua agen yang berasal dari kelas yang berbeda,
memperlihatkan peningkatan efektivitas anti-hipertensi dan meminimalkan
efek samping obat.

67

Berdasarkan JNC VI :
Formulasi yang optimal seharusnya memiliki kekuatan selama 24 jam
dengan dosis 1 hari sekali, dengan serendahnya 50 persen dari efek puncak
yang tertinggal pada 24 jam terakhir.

Formulasi dengan waktu kerja lama yang memiliki efektivitas 24 jam lebih

dipilih daripada agen dengan waktu kerja pendek dengan alasan :


1. Ketaatan lebih baik dengan dosis sehari sekali.
2. Pada beberapa agen tablet terbarunya memiliki harga yang lebih rendah.
3. Mengontrol hipertensi secara menetap dan perlahan lebih baik daripada
intermiten.
4. Dilengkapi perlindungan yang dapat menentang resiko apa saja dari
kematian mendadak, serangan jantung dan stroke oleh karena peningkatan
tekanan darah yang tiba tiba setelah bangun tidur di malam hari.
Keuntungan Terapi Kombinasi dengan Dosis Rendah

Kenyamanan
Meningkatkan kepatuhan pasien dikarenakan pemberian dosis satu kali

sehari
Penederhanaan pemberian
Lebih ekonomis dibandingkan pembiayaan secara individual
Efek antihipertensi aditif dan sinergis
Efek samping metabolik lebih sedikit
Pendekatan yang Rasional

Nilai tambah pada pemakai obat


Efek samping minimal
Meningkatkan kepatuhan
LODOZ ZIAC
Kombinasi dosis yang sangat rendah
Bisoprolol + 6,25 HCTZ
Mekanisme Kerja
Bisoprolol
Menghambat :

68

RAAS

Katekolamin

HCTZ
Mengurangi Volume
-

Vasodilatasi

10. Farmakokinetik dan farmakodinamik obat anti hipertensi


Farmakologi obat
Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis)
Obat-obatan antihipertensi. Terdapat banyak jenis obat antihipertensi yang
beredar saat ini. Untuk pemilihan obat yang tepat diharapkan menghubungi
dokter.

Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing) sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
Contoh obatannya adalah Hidroklorotiazid.

Penghambat Simpatetik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis
(saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas ).
Contoh obatnya adalah : Metildopa, Klonidin dan Reserpin.

Betabloker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah
diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial.
Contoh obatnya adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol. Pada
penderita diabetes melitus harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala
hipoglikemia (kondisi dimana kadar gula dalam darah turun menjadi sangat
rendah yang bisa berakibat bahaya bagi penderitanya). Pada orang tua

69

terdapat gejala bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga


pemberian obat harus hati-hati.

Vasodilator
Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi
otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini
adalah : Prasosin, Hidralasin. Efek samping yang kemungkinan akan terjadi
dari pemberian obat ini adalah : sakit kepala dan pusing.

Penghambat ensim konversi Angiotensin


Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat
Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah).
Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril. Efek samping
yang mungkin timbul adalah : batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.

Antagonis kalsium
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara
menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan
obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil. Efek samping yang
mungkin timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah.

Penghambat Reseptor Angiotensin II


Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat Angiotensin
II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan).
Efek samping yang mungkin timbul adalah : sakit kepala, pusing, lemas dan
mual.
Dengan pengobatan dan kontrol yang teratur, serta menghindari faktor
resiko terjadinya hipertensi, maka angka kematian akibat penyakit ini bisa
ditekan.

11. Krisis hipertensi, hipertensi maligna


Krisis Hipertensi

70

Krisis hipertensi didefinisikan sebagai kondisi peningkatan tekanan darah


yang disertai kerusakan atau yang mengancam kerusakan terget organ dan
memerlukan penanganan segera untuk mencegah kerusakan atau
keparahan target organ (Soemantri dan Nugroho, 2006).
The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7, 2004) membagi krisis
hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : Hipertensi emergensi (darurat)
dan Hipertensi urgensi (mendesak). Kedua hipertensi ini ditandai nilai
tekanan darah yang tinggi, yaitu 180 mmHg/120 mmHg dan ada atau
tidaknya kerusakan target organ pada hipertensi (Saseen dan Carter, 2005).
Membedakan kedua golongan krisis hipertensi bukanlah dari tingginya
TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada
seorang penderita dianggap sebagai suatu keadaan emergensi bila terjadi
kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral,
miokardinal, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi perlu
dibedakan karena cara penanggulangan keduanya berbeda (Majid, 2004).
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Ditandai dengan TD Diastolik >120 mmHg, disertai kerusakan berat dari
organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut.
Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau
kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai
beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU) (Majid, 2004).
Penanggulangan hipertensi emergensi :
Pada umumnya kondisi ini memerlukan terapi obat antihipertensi
parenteral. Tujuan terapi hipertensi darurat bukanlah menurunkan tekanan
darah 140/90 mmHg, tetapi menurunkan tekanan arteri rerata (MAP)
sebanyak 25 % dalam kurun waktu kurang dari 1 jam. Apabila tekanan

71

darah sudah stabil, tekanan darah dapat diturunkan sampai 160


mmHg/100-110 mmHg dalam waktu 2-6 jam kemudian. Selanjutnya
tekanan darah dapat diturunkan sampai tekanan darah sasaran (<140
mmHg atau < 130 mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal kronik)
setelah 24-48 jam (Saseen dan Carter, 2005).

2. Hipertensi urgensi (mendesak)


Hipertensi mendesak ditandai dengan TD diastolik >120 mmHg dan
dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD
harus diturunkan secara bertahap dalam 24 jam sampai batas yang aman
memerlukan terapi oral hipertensi.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah
sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak
terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah tetap
masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam menggulangi hipertensi
urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan (Majid, 2004).
Penanggulangan hipertensi urgensi :
Pada umumnya, penatalaksanaan hipertensi mendesak dilakukan dengan
menggunakan atau menambahkan antihipertensi lain atau meningkatkan
dosis antihipertensi yang digunakan, dimana hal ini akan menyebabkan
penurunan tekanan darah secara bertahap. Penurunan tekanan darah yang
sangat cepat menuju tekanan darah sasaran (140/90 mmHg atau 130/80
mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal kronik) harus dihindari.
Hal ini disebabkan autoregulasi aliran darah pada penderita hipertensi
kronik terjadi pada tekanan yang lebih tinggi pada orang dengan tekanan
darah normal, sehingga penurunan tekanan darah yang sangat cepat dapat
menyebabkan terjadinya cerebrovaskular accident, infark miokard dan
gagal ginjal akut.

72

Hipertensi maligna
Suatu keadaan gawat darurat, dimana tekanan diastolik diatas 120mmHg,
terjadi perdarahan pada retina, pupil udema dengan keluarnya eksudat dan
gagal ginjal akut. Hipertensi maligna banyak terjadi pada umur 40 sampai 50
tahun, juga terjadi pada umur yang lebih muda dari 30 tahun atau lebih tua
dari 60 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

A. Graber, dkk. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga University Of IOWA.


Jakarta : EGC.
Lily ismudiaty dkk. 2001.Buku ajar kardiologi. Jakarta. Universitas
Indonesia
De Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29.
Jakarta: EGC.
Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Lawrence M. T. Jr, Stephen J. McP, Maxine A. P. 2011. Current Medical
Diagnosis And Treatment. McGraw-Hill Companies Inc.
Moore, Keith L. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.
Price. S. A, Wilson. L. M.Pathophysiology Clinical Concepts Of Disease
Processes, Ed.4. Mosby Year Book, Inc.
Silbernagl, Stefan. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC.

Anda mungkin juga menyukai