Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Ekonomi Islam dikembangkan berdasarkan asumsi, bahwa persoalan ekonomi itu bersifat
kompleks atau multi-diomensional, sehingga membutuhkan pendekatan antar disiplin,
khususnya antara displin ilmu-ilmu keagamaan tradisional dan ilmu pengetahuan umum multidisiplin. Dengan demikian, maka ilmu Ekonomi Islam itu adalah sebuah ilmu ekonomi
kelembagaan (institutional economics). Pendekatan tersebut menimbulkan suatu struktur
pemikiran tertentu dan aneka aliran pemikiran. Hasil pemikiran yang kompleks dan multidimensional itu menimbulkan tiga kebutuhan. Pertama, kebutuhan stream-lining atau pengaris
bawahan berbagai penemuan yang dinilai paling mendekati kebenaran. Kedua, kebutuhan
restrukturisasi yang konsisten dan koheren. Dan ketiga membutuhkan integrasi untuk
membentuk kekuatan dan keuanggulan dalam aplikasinya.
Atas dasar asumsi di anas maka, pemikiran Ekonomi Islam pada dasarnya dapat digolongkan
menjadi tiga. Pertama adalah pemikiran ekonomi yang berujud teori dan metodologi pemikiran
atau epistemologi. Kedua adalah sistem ekonomi sebagai media penerapannya melalui legislasi
dan pelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya. Ketiga, realitas perekonomian yang berjalan,
baik berupa perekonomian umat Islam, bangsa Indonesia maupun dunia yang saling terkait.
Sesuai dengan kaedah ilmu pengetahuan yang sudah menjadi kesepakatan, suatu pengetahuan
ilmiah akan terdiri dari tiga aspek. Pertama diskripsi, persepsi dan penilaian mengenai kondisi
dan pemasalahan masyarakat yang disebut ontologi. Kedua pendekatan, cara pemahaman dan
pemecahan masalah yang disebut epistemologi. Ketiga rumusan hasil yang diharapkan, tujuan
dan nilai guna dari pengetahuan tersebut yang disebut aksiologi.
Dewasa ini pemikiran Ekonomi Islam telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan
cakupan yang komprehensif. Pada tingkat perkembangan ini sudah bisa diperoleh bahan untuk
menyusun konsep sistem ekonomi Islam, baik mikro maupun makro. Sistem ekonomi itu
mengandung dua pengertian. Pertama sistem ekonomi yang universal, misalnya kapitalisme,
sosialisme atau sosial demokrasi. Kedua sistem ekonomi yang diberlakukan pada tingkat
nasional. Kategori pertama perlu lebih dahulu disusun dengan pertama-tama menyusun
arsitektur atau rancang bangun. Disini sistem ekonomi diasumsaikan atau diumpamakan
sebagai suatu bangunan, rumah atau gedung. Sebelum dibangun menjadi sistem, diperlukan
pedoman berupa desain, arsitektur atau rancang bangun.
RANCANG BANGUN SISTEM EKONOMI.
Pada pokoknya mendirikan suatu bangunan itu dmulai dengan meletakkan fondasi (foundation))
yang kuat. Di atasnya dibangun lantai dasar (ground floor). Di atas lantai dasar ditegakkan
tiang-tiang penyengga (pillar). Dalam sistem rumah Jawa, pendopo di bagian tengannya
ditegakkan 4 tiang utama yang disebut soko-guru (main pillar). Lalu dibangun flafon (plafond).
Dan paling atas dibangun atap (roof). Pada bangunan rumah itu tentu ada pintu-pintu (door)
yang merupakan ruang masuk dan keluar dan jendela (window) yang menghubungkan ruang
dalam dan dunia luar. Sudah barang tentu masalahnya adalah, bagaimana menginterpretasi
bangunan rumah atau gedung itu dengan bangunan ekonomi yang sifatnya abstrak.
Interpretasi itu adalah material atau bahan-bahan bangunan. Dalam Ekonomi Islam, bahan
bangunan itu adalah ajaran Islam yang bersumber dari al Quran dan Sunah serta tradisi
pemikiran yang telah dikembangkan oleh para ulama, filsuf dan tindakan-tindakan para
pemimpin Islam, seperti para sahabat dan pemimpin-pemimpin berikutnya yang dicatat dalam
sejarah perkembangan perekonomian. Suroso Imam Djazuli dari Universitas Erlangga bahkan
berpendapat bahwa hakekat Ekonomi Islam itu adalah praktek kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Bahkan telah terbit sebuah buku mengenai praktek

ekonomi yang ditegakkan oleh Abu Bakar, Khalifah Umar bin Thottob, dan pandanganpandangan seorang sahabat penting seperti Abu Zar al Ghifari yang dijuluki pelopor sosialis
Islam. Dari pandangan itu nampak dua eleman bangunan Ekonomi Islam, yaitu elemen
normatif dan elemen historis-sosiologis. Jika mengikuti pendapat Imam Djajuli, maka yang
pertama diperlukan adalah kajian sejarah tentang praktek dan perkembangan ekonomi pada
masa Nabi dan para sahabatnya. Dewasa ini kajian yang komprehensif yang sifatnya historis
belum ada, sedangkan yang ada bersifat sepotong-sepotong berdasarkan anakdote ateu berita.
Tapi dewasa ini, seorang ekonom UII, Suwarsono Muhammad, sedang menyusun sejarah
perekonomian yang komprehensif itu. Dalam praktek, pengetahuan mengenai Ekonomi Islam
lebih didasarkan pada kajian para pemikir-ulama, seperti Abu Yusuf, Abu Ubeid, Ibn Rush, al
Gazali dan Ibn Taimiyah. Kajian ini menghasilkan dua jenis ilmu, pertama fiqih muamalah dan
kedua kalam atau teologi ekonomi yang menghasilkan moral dan etika ekonomi. Namun yang
berkembang menjadi arus utama (mainstream) adalah kajian ekonomi fiqih yang menghasilakn
ekonomi hukum (legal economics) yang menjadi fondasi Ekonomi Syariah dewasa ini yang
memfokus kepada ekonomi keuangan dan perbankan yang mengandung nilai instrumental yang
tinggi.
DEFINISI, HAKEKAT DAN PARADIGMA.
Dengan melihat definisi-definisi yang disusun oleh para penganjur dan pemikir Ekonomi Islam,
para pengamat Barat pada mulanya memandang Ekonomi Islam sebagai ekonomi normatif dan
ideologi. Tapi berkat rumusan hukum yang jelas dan praktis dari ilmu fiqih, maka rumusan
aplikasi ekonominya yang disebut Ekonomi Syariah itu bisa pula dirumuskan, walaupun
terbatas di bidang keuangan, sehingga terkesan bahwa Ekonomi Islam itu identik dengan
Ekonomi Syariah. Disitu yang nampak menonjol pada Ekonomi Syariah adalah adalah nilai
instruemtalnya (instrumental value). Dalam realitas perkembangnnya, konsep-konsep ekonomi
itu langsung diterapkan, khususnya di bidang keuangan dan perbankan yang didasarkan pada
hukum-hukum syariah dan karena itu maka Ekonomi Islam disebut juga sebagai Ekonomi
Syariah. Ahli ekonomi Islam kontemporer, Muhammad Arief Zakrullah dari Pakistan
mengambil kesimpulan, bahwa syariah adalah paradigma Ekonomi Islam atau cara pandang
yang disepakati oleh mayoritas penggagas Ekonomi Islam. Demikian pula, Umer Chappra
mengatakan bahwa acuan dasar Ekonomi Islam itu adalah al Maqasith al Syariah. Tujuan-tujuan
syariah yang lima atau enam. Atas dasar pandangan Chapra itu ia mengebangkan teori
ekonomi moneter yang makro yang mengarah kepada pembantukan aristektur keuangan
global. Dalam konteks hukum Islam, khususnya di bidang muamalah atau transaksi keuangan,
yang dominan adalah konsep-konsep yang bertolak dari hukum larangan riba yang menjadi
vokus pembahasan para ulama fiqih atau fukaha. Tapi solusi terhadap masalah riba itu adalah
praktek muamalah yang dijalankan oleh Nabi dan para sahabatnya, khususnya solusi al qiradh
yang dijabarkan lebih lanjut menjadi model-model pembiayaan yang lebih khusus, yaitu
murabahah, mudharobah, dan musyarakah yang menjadi produk-produk pelayananan utama
perbankan syariah, disusul dengan produk-produk baru lainnya. Dari praktek penerapan
hukum syariah di bidang keuangan itu timbul rekaman data yang menggambarkan realitas dari
Ekonomi Islam dalam wujud perkembangan ekonomi keuangan (finance economy). Berdasarkan
pengalaman itu, pemikiran Islam selanjutnya menghasilkan pengetahuan empiris-positif. Dari
sini, dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam perkembangnnya, Ekonomi Islam adalah ilmu
normatif yang menjadi ilmu terapan dan selanjutnya setelah dikaji diakui juga sebagai ilmu
empiris-positif. Dalam kaitan itu, Imam Djajuli mengambil kesimpulan bahwa Ekonomi Islam itu
pada dasarnya adalah Ekonomi Normatif. Ekonomi Islam menjadi empiris-positif setelah

diterapkan. Jadi Ekonomi Islam sebagai ilmu positif adalah hasil kajian dari praktek yang telah
terjadi.
Sebenarnya, ilmu ekonomi konvensional yang disebut sebagai ilmu positif itu bermula juga dari
kajian filsafati, sebagaimana tercermin dari buku Suma Theologia yang ditulis oleh St. Thomas
Aquinas, dimana bahasan-bahasan ekonominya merupakan pemikiran theologies. Dan pada
abad 18, ilmu ekonomi disebut sebagai ilmu moral (moral science) dan ilmu ekonomi-politik
(political economy) yang oleh Lord Robbin disebut juga ilmu Ekonomi Normatif, yang oleh Lord
Robin disebut juga sebagai ilmu ekonomi normative, padahal Ekonomi Politik modern itu adalah
ilmu ekonomi positif, sebagaimana nampak dalam teori ekonomi ketergantungan Amerika Latin
yang bercorak sosiologis, sebagaimana Nampak dalam tulisan Theotonio Dos Santos dan Andre
Gunder Frank. Hanya saja dalam perkembangannya, aspek moral dalam ilmu ekonomi itu telah
dilupakan, padahal sebutan selfregulating pada mekanisme pasar itu terjadi melalui regulasi
moral pada setiap individu. Inilah maka pengertian tangan gaib (invisible hand) pasar,
sebagaimana dijelaskan oleh Heilbrouner itu menjadi salah kaprah hingga sekarang, sehingga
Hidayat Nataatmaja, menyebut kepercayaan terhadap tangan gaib itu sebagai tahayul
ekonomi. Sungguhpun demikian. perlu dicatat bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam al
Quran dan Sunnah itu ternyata menimbulkan interpretasi yang berbeda, karena pengalaman
empiris dan pandangan politik yang berbeda. Misalnya saja tentang riba yang ditafsirkan
sebagai segala macam bunga. Sjafruddin Prawiranegara misalnya mempunyai dua pendapat
mengenai masalah riba. Pertama adalah bahwa bunga yang rendah suku bunganya dan tidak
mengandung unsur keterpaksaan yang disebut interest itu tidak bisa disebut sebagai riba, tapi
laba perdagangan yang curang dan mengandung unsur keterpaksaan misalnya karena siasat
penimbunan (hoarding) adalah riba juga. Kedua, ia berpendapat bahwa riba memang dilarang,
tetapi yang disebut riba adalah sistem yang eksploitatif. Dari situ ia berpendapat bahwa hakekat
Ekonomi Islam terletak pada moral dan etika yang terkandung dalam ajaran Islam. Dari sini
dapat ditarik kesimpulan bahwa Ekonomi Islam menurut perspektifnya adalah apa yang disebut
Ekonomi Moral (Moral Economy) sekarang. Pandangan Syafruddin Prawiranegara yang
sebenarnya mengikuti pandangan seorang ulama PERSIS, A. Hasan, itu umumnya ditolak oleh
kalangan ulama dan bahkan para sarjana ekonomi Islam sendiri. Namun pandangannya yang
menafsirkan riba esensinya adalah sistem ekploitasi dalam berbagai kegiatan ekonomi, tidak
ditolak dan memberikan inspirasi, sehingga kini, para ekonom modern bisa memaknai berbagai
gejala ekonomi mutahir, misalnya buih ekonomi (economic bubble), sistem uang kertas, inflasi
dan tindakan devakluasi sebagai megandung riba, yang memperluas wawasan ekonomi dan
mengembangkan teori-teori Ekonomi Islam. Dari situ, dapat digali dan dirumuskan berbagai
prinsipprinsip Ekonomi Islam, sebagai penyangga atau pilar sistem Ekonomi Islam. Dengan
demikian dapat ditarik dua kesimpulan mengenai pengertian ekonomi Islam. Pertama Ekonomi
Islam adalah pemikiran atau konsep ekonomi yang berdasarkan pada norma-norma hukum.
Dalam pemikiran atau konsep ini, Ekonomi Islam adalah Ekonomi Syariah yang tergolong ke
dalam kategori Ekonomi Hukum (Legal Economics). Kedua, Ekonomi Islam adalah pemikiran
dan konsep ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai yang ditafsirkan dari ajaran Islam. Nilainilai itu tercermin dalam istilah-istilah yang terdapat dalam al Quran dan Hadist yang
ditafsirkan dengan teori ekonomi. Istilah riba misalnya, dalam pendekatan ini tidak ditafsirkan
sebagai hukum syariah, melainkan nilai yang tercermin dari perilaku ekonomi pada umumnya.
Demikian juga istilah zakat dan sadaqoh, tidak ditafsirkan sebagai hukum ibadah semata,
melainkan sebagai nilai yang menjadi pedoman perilaku. Pengertian yang lebih terurai dari
istilah-istilah itu dikembangkan melalui pendekatan ilmu tafsir, sebagaimana dilakukan oleh
ulama tafsir dan kalam, Abul Ala al Maududi, misalnya dalam buku Risalah Riba (1937) yang
kemudian dikembangkan menjadi konsep sistem ekonomi Islam. Hal yang serupa dilakukan

oleh ahli ekonomi pertanian, Ahmad Muflih Saefuddin dalam bukunya Nilai-nilai Sistem
Ekonomi Islam (1984) yang hasilnya memberi gambaran mengenai arsitektur dan sistem
Ekonomi Islam. Dalam perspektif ini, maka Ekonomi Islam adalah Ekonomi Moral (Moral
Economics). Pada tahun 1954, terbit buku terjemahan hasil disertasi Dr. Kaharuddin Yunus yang
berjudul Bersamaisme, Sistem Ekonomi Islam. Dalam bukunya itu ia berpendapat bahwa
sistem ekonomi Islam itu pada dasarnya adalah apa yang disebut ekonomi prosumen, yang
merupakan hubungan langsung antara konsumen dan produsen seperti ekonomi koperasi.
Hanya saja ia punya pendapat yang lebih darikal yang mengatakan bahwa perdagangan itu
adalah parasit, sebagaimana dikatakan oleh ekonom phisiokrat, sehingga ekonomi bersamaisme
adalah perekonomian tanpa sektor perdagangan. Teori ini dapat digolongkan sebagai apa yang
disebut ilmu Ekonomi-Sosial Islam (Islamic Social Economy). Aliran pemikiran ini belum
berkembang di Dunia Islam mauopun di Indonesia. Namun di Indonesia, embrio dari kajian
ekonomi ini adalah Ekonomi Kerakyatan berdasarkan gagasan Mohammad Hatta dan Mubyarto.
EKONOMI ISLAM SEBAGAI EKONOMI SYARIAH.
Dalam realitas, yang kini telah berkembang ke tingkat diskursus adalah Ekonomi Islam dengan
sebutan Ekonomi Syariah sebagai Ekonomi Hukum (Legal Economics). Gagasan ini kini telah
menjadi diskursus (discoutsce) di tingkat internasional, kawasan Asia Tenggara maupun
nasional Indonesia. Perkembangan pemikiran ini telah menghasilkan pengertian dan definisi
sebagaimana dirumuskan oleh Hasanuz Zaman sebagai berikut Ekonomi Islam adalah
pengetahuan tentang penerapan perintah perintah (injuctions) dan tata cara (rules) yang ditetapkan
oleh syariah, dalam rangka mencegah ketidak-Adilan dalam penggalian dan penggunaan
sumberdayamaterial guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka memenuhi
kewajiban meraka kepada Allah dan masyarakat.
Ahli Ekonomi Islam dari Clark University, Kanada asal Pakistan, Muhammad Arief Zakrullah
dalam tulisannya menyatakan bahwa paradigma Ekonomi Islam yang telah disepakati dalam
komunitas ilmu Ekonomi Islam adalah Syariah. Tapi dalam realitas,yang dimaksud dengan
syariah di bidang ekonomi itu adalah hukum muamalah atau transaksi keuangan, Dan dalam
trasaksi keuangan itu yang menjadi dasar teori adalah konsep riba. Menurut ahli moneter dan
perbankan syariah Iran Dr. Abbad Mousoviyan, walaupun muncul banyak interpretasi
mengenai pengertian riba, namun para fukaha bersepakat bahwa riba adalah bunga uang yang
mencakup pengertian interest dan usury dan keduanya diharampak. Tetapi yang menjadi
masalah adalah, apakah yang menjadi alternatif dari sistem riba. Dalam al Quran disebutkan
dua alternatif, pertama zakat, dan kedua bayk jual beli. Namun, masal;ah riba itu dalam dunia
Islam dikaitkan dengan kebutuhan pembentukan bank untik membangun perekonomian Islam.
Karena itu, solusi yang muncul adalah solusi yang betrkaitan dengan sistem perbankan.
Menurut Mousroviyan, di kalangan fukaha lahir 4 pemikiran mengenai solusi non-ribawi.
Pertama adalah solusi zakat yang berkembang menjadi doktrin filantropi atau kedermawanan.
Kedua, adalah solusi qord al hasan. atau fasilitas kebaikan. Ketiga adalah solusi bayk atau tijarah
yang merubah transaksi keuangan menjadi transaksi jual beli atau perdagangan. Dan keempat
solusi musyarakah atau kerjasama permodalan untuk mengerjakan suatu proyek usaha.
Kesemua solusi itu dirangkum dan dijabarkan secara praktis sebagai model-model atau produk
perbankan sebagai yang kita kenal dewasa ini. Namun dalam realitas, perbankan Islam dari
berbagai negara atau di antara bank-bank Islam sendiri terdapat perbedaan strategi dalam
penerapan dan pemasarannya. Din Iran misalonya, yang menonjol adalah solusi atau produki
musyarakah dan qord al hasan. Sedangkan di Indonesia adalah produk murabahah atau bayk.
Lebih lanjut, Umer Chapra, ekonom profesional asal Saudi Arabia mengatakan bahwa basis
epistemologi dari sistem ekonomi Islam adalah al Maqasith al Syatriah atau tujuan syariah yang

intinya adalah doktrin mengenai al maslahah al mursalah atau kesejahteraan umum yang
menurut Ibn Raimiyah mencakup iman atau agama, akal, jiwa, keturunan dan harta.
Sementara, menurut al Syatibi, akal digantikan dengan kehormatan, sehingga jika
dikombinasikan mencakup 6 aspek kemaslahatan. Dalam kaitannya dengan Ekonomi Islam,
maka tujuan Ekonomi Islam adalah kemaslahatan atau kesejahteraan di bidang harta atau
kekayaan material, tapi berkaitan dengan Ekonomi Islam, dalam rangka beribadah kepada
Allah, arttinmya kegiatan ekonomi dipandang sebagai ibadah kepada Allah, sehingga
kemelahatan dan mengelola harta material berkaitan dengan aspek-aspek kemaslahatan lainnya
dalam al Maqosith al Syariah. Aspek pertama dalam al Maqosith al Syariah adalah perlindungan
terhadap dan pengembangan iman atau agama. Ini berarti bahwa pemikiran ekonomi bertolak
dari iman terhadap Allah, Hari Kemudian dan Amel Saleh. Konsekeunsi dari kepercayaan kepada
Allah adalah keyakinan bahwa Allah itu adalah Pencipta dan Pemilik alam semesta sehingga
Allah adalah sumber rizki. Dalam kaitan ini Allah memerintah agar setelah selasai menunaikan
sholat, hendaknya manusia bertebar di muka bumi mencari rizki tetepi dengan cara yang halal,
artinya dengan cara yang mengikuti petunjukkan Allah dan menghindari laranganNya. Dengan
perkataan lain, mencari rizki itu dilakukan dengan cara yang bermoral dan beretika. Para ulama
Syiah merumuskan doktrin al tauhid wa al adalah, dimana iman kepada Allah menimbulkan
konsekuensi menagakkan keadilan, dalam hal ini keadilan sokia, sehingga di kalangan Syiah
banyak timbu teori mengenai keadilan social, sebagaimana antara lain ditulis oleh ayatollah
Rafsanjani, yang pernah menjabat Perdana Menteri Republik Islam Iranl. Kepercayaan kepada
Hari Kemudian mengandung konsekuensi bahwa kegiatan ekonomi itu harus dfilakukan secara
bebas tetepi bertanggung-jawab, dengan cara-cara tertentu yang dapat dirumuskan ke dalam
norma-norma ekonomi. Menurut teori Max Weber, norma ekonomi itu dibentuk dan dipengaruhi
oleh tiga faktor, yaitu sejarah sosial, agama dan geografi ekonomi. Norma-norma itu mencakup
norma-norma terhadap (1) kerja,(2) harta dan kepemilikan, (3) perdagangan, keuangan dan
industri, (4) faktor-faktor ekonomi atau sumberdaya, (5) faktor perubahan dan inovasi tehnis
(5) sikap terhadap mereka yang tidak memiliki sumberdaya. Norma-norma syariah itu bisa
mengikuti kerangka Weber atau menyusun kerangka sendiri yang bersumber dari fiqih ekonomi.
Para fukaha, mengambil kesimpulan tentang tiga norma, yaitu norma tentang kekayaan atau
harta dan pembelanjaannya, norma tentang kerja dan norma tentang filantropi Sahid Humaid
Ali misalnya merumuskan lima norma, yang dirumuskan sebagai prinsip atau mabadi yaitu
prinsip-prinsip: (1) kepemilikan, (2) distribusi kekayaan, (3) kebebasan ekonomi yang terikat
pada hokum agama, (4) pembelanjaan atau investasi (infaq) dan (5) kewajiban terhadap harta
atau penggunaan harta dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi. Amel Saleh, menurut
Nurcholish Madjid adalah perbuatan yang harmonis dengan lingkungan atau member manfaat
kepada orang lain melahirkan konsekuensi, bahwa kegiatan ekonomi tidak hanya dilakukan
secara individual, melainkan dilakukan secara sosial atau secara kooperatif sehingga asilnya
otomatis bisa dinikmati bersama secara adil dan merata sesuai dengan kontribusi masingmasing dalam usaha bersama. Menurut rumusan Hatta, tentang Demokrasi Ekonomi adalah
kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua, di bawah penilikan masyarakat.
Kemekmuran masyarakatlah yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang-seorang. Prinsip
pertama itu menurunkan prinsip kedua, yaitu perlindungan terhadap dan pengembangan akal.
Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa kegiatan ekonomi itu dilakukan berdasarkan
rasionalitas ekonomi dan menggunakan pengatahuan sebagai modal. Dalam ekonomi
konvensional, rasionalitas diukur berdasarkan nilai utilitarianisme, yaitu kegiatan ekonomi harus
bisa mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya kepada sebanyak mungkin orang.
Rasionalitas Ekonomi Syariah didasarkan pada prinsip keadilan yang mengandung unsur
persamaan, kemerataan dan keseimbangan manfaat ekonomi. Selain itu, berdasar pada

pengprmatan pada akal yang merupakan anugerah Tuhan yang utama kepada manusia, maka
kegiatan ekonomi juga harus mengambangkan dan menghargai akal atau pengetahuan sebagai
modal. Aspek ketiga berdasarkan pemikiran al Syatibi adalah perlindungan terhadap dan
pengembangan kehormatan manusia atau kemuliaan jidup. Dalam teori ekonomi, kehormatan
manusia itu terletak pada kerja dan pendapatan warga. Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2
dirumuskan bahwa Setiap warganegara itu berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan
pendapatan yang sesuai dengan kemanusiaan. Atas dasar itu maka Ekonomi Syariah harus
bisa menjamin setiap warganegara untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang sesuai
dengan kemanusiaan. Namun demikian, dalam rangka pemeliharaan terhadap kehormatan dan
kemuliaan manusia, beban pekerjaan manusia itu di satu pihak harus diperingan dengan
teknologi dan manajemen, di lain pihak harus dipelihara ketranpilannya, jangan sampai
menimbulkan apa yang disebut deskilling society sebagaimana dilihat oleh Ivan Illich pada
masyarakat industri. Dari sudut ini, maka ekonomi Syariah adalah ekonomi yang manusiawi,
berbudaya dan bermartabat. Dari aspek kemartabatan ini, maka Ekonomi Islam juga menolak
ekonomi perbudakan yang dalam teori ekonomi modern, mengadung banyak arti. misalnya
kemandirian ekonomi suatu bangsa dan kelompok masyarakat itu adalah merupakan bentuk
kemartabatan dalam perekonomian yang bebas dari dominasi dan perbudakan. Arti lain dari
kehortaman manusia adalah kebebasannya dalam bertindak. Tapi demi melindungi kehormatan
manusia itu sendiri, maka tindakan manusia harus berkualitas, dengan melandaskannya pada
nilai-nilai moral dan etika. Aspek keempat adalah perlindungan dan pengembangan jiwa
manusia. Konsekuensinya adalah bahwa kegiatan ekonomi harus melindungi jiwa manusia dan
menghindari kegiatan ekonomi yang membahayakan jiwa manusia, misalnya produksi enerji
nuklir, obat-obatan dan makanan yang membahayakan kesehatan manusia, produksi
persenjataan untuk perang atau eksploitasi sumberdaya alam yang merusak ekologi yang
membayakan hidup manusia, seperti penebangan hutan yang menimbulkan banjir atau
penciptaan limbah yang merusak lingkungan hidup. Aspek kelima adalah perlindungan terhadap
dan pengembangan keturunan. Konsekuensi ekonomi dari prinsip ini adalah pertama
perlindungan terhadap kesehatan manusia, terutama ibu dan anak. Kedua adalah kegiatan
pembangunan yang berkelanjutan dengan cara penciptaan sumberdaya ekonomi di masa
mendatang. Dalam al Quran dikatakan bahwa hendaknya manusia itu jangan mewaiskan
kondisi hidup yang lebih buruk kepada generasi mendatang. Atau dalam kalimat yang positif,
hendaknya manusia itu menciptakan atau merintis kehidupan generasi mendatang yang lebih
baik. Dengan demikian maka Ekonomi Syariah itu menganjurkan pembanguanan ramah
lingkungan dan berkelanjutan (sustainable development). Dan terakhir aspek keenam adalah
perlindungan dan pengembangan harta. Konsekuensi ekonominya adalah pertama, bahwa
manusia memiliki hak untuk memperkaya sumberdaya ekonomi sebagai alat pemuas kebutuhan
hidup, tetapi mengandung fungsi sosial karena harus membagi hak itu kepada orang lain atau
mesyarakat keseluruhan. Kedua, kegiatan ekonomi harus bisa memperbanyak pilihan (freedom
f choise) dalam konsumsi yang berarti memperluas kebebasan dalam pilihan konsumsi. Ketiga,
sumberdaya alam yang dimiliki oleh suatu masyarakat harus dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Di Indonesia, Ekonomi Islam yang lebih populer disebut sebagai Ekonomi
Syariah itu, telah menjadi diskursus. Dalam aspek kelembagaan, telah melahirkan lembaga
perbankan, asuransi, keuangan mikro, surat berharga, dan pasar saham. Di sektor riil, Ekonomi
yariah telah menimbulkan industri makanan halal, fashion dan kesenian, khusnya murik dengan
lirik-lirik religious, film, sinetron dan lukisan kafigrafi. Di bidang legislasi telah menghasilkan UU
Zakat, UU Perbankan Syariah dan UU Wakaf. Legislasi juga berbentuk fatwa yang walaupun
berbentuk hukum sukarela (voluntary law), tetapi berpengaruh terhadap produk-produk syariah
dan kegiatan lembaga-lembaga ekonomi dan pelakupelaku ekonomi. Di lingkungan keuangan

dan perbankan, telah dilahirkan 4 prinsip pengelolaan keuangan Islam, yang berupa ketentuan
larangan yaitu: (1) maisir atau perjudian, (2) gharar atau spekulasi, (3) riba atau bunga uang
dan (4) haram atau berdosa. Prinsip-prinsip itu merupakan azas prudensialitas keuangan dan
perbankan syariah. Sebagai industri, keuangan Islam telah melahirkan berbagai produk
penghimpunan dana dan pembiayaan. Dalam penghimpunan dana, telah diilahirkan produkproduk (1) wadiah atau simpanan rekening koran (2) hasil penjualan saham syariah, (3) Sukuk
atau obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan atau negara (4) zakat, sadaqah dan infaq. Di
bidang pembioayaan, telah dikeluarkan produkproduk (1) murabahah, pinjaman dengan
pembayaran tambahan laba (mark-up) dalam pembayaranna (2) mudharobah atau bagi hasil
(revenue sharing) (3 musyarakah, kerjasama permodalan bagi pendapatan (4) kord al hasan atau
injaman tanpa tambahan dalam pembayarannya (5) ijarah atau beli sewa, dan (6) rahn atau
gadai. (7) Dalam pasar uang, telah pula dilakukan produksi dan perdagangan uang dinar (uang
emas). Dari perkembangan diskursus Ekonomi Syariah itu dapat ditarik beberapa kesimpulan
sehubungan dengan pembentukan arsitektur Ekonomi Isyariah. Pertama, Ekonomi Syariah
adalah pengetahuan tentang penerapan perintah-perintah dan tata cara yang ditetapkan oleh
hukum syariah. Kedua, tujuan Ekonomi Syariah adalah (1) menciptakan keselamatan melalui
tindakan-tindakan yang selamat dan menyelamatkan.(2) mencagah ketidak-adilan dalam
penggalian dan penggunaan sumberdaya material, (mencapai kesejahteraan material.
Kesemuanya itu dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka
melaksanakan kewajiban mereka kepada Allah dan masyarakat. Ketiga, tujuan-tujuan syariah
melahirkan doktrin kesejahteraan sosial yang terdiri dari prinsipprinsip perlindungan terhadap
dan mengembangkan iman atau agama, akal, kerhoramatan, jiwa, keturunan dan harta atau
hak milik. Keempat, Doktrin kesejahteran sosial itu melahirkan beberapa prinsip dalam kegiatan
ekonomi: (1) Prinsip menghindarkan diri dari tindakan untung-untungan, yaitu mengharapkan
keuntungan besar pesat, dengan risiko besar, (2) prinsip mengindari kegiatan spekulasi yakni
mengharapkan keuntungan besar di masa mendatang, (3) menolak transaksi yang
mengandung eksploitasi oleh pemilik modal terhadap tenaga kerja, (4) prinsip perlindungan
konsumen dari konsumsi batrang-barang yang dilarang, merusak kesehatan dan pemakaian
busana yang melanggar larangan agama, (5) prinsip pelaksanaan perdagangan yang jujur dan
adil dan menghindari larangan perdagangan curang yang mendatangkan kerugian di pihak lain
(6) prinsip membantu orang lain guna keluar dari kemiskinan (7) jaminan sosial, terutama
kepada golongan fakir dan miskin. Dalam kaitan itu perlu diperhatian kemungkinan
pembentukan lembaga Hisbah yang berfungsi pengawasan terhadap praktek kegiatan ekonomi
yang menyangkut kepentingan publik. Lembaga ini memiliki fungsi penilikan masyarakat
terhadap kegiatan ekonomi, sebagaimana disebut dalam Penjelasan pasal 33 UUD 1945
mengenai demokrasi ekonomi. Dengan demikian, maka lembaga hisbah adalah merupakan
suatu aspek demokrasi ekonomi dalam Ekonomi Islam.

Anda mungkin juga menyukai