PENDAHULUAN
dimana otot Longisimus dorsi persentase kerutannya lebih tinggi yaitu, 35,6%,
Semitendinosus 31,71% sedangkan otot Pectoralis profundus 30%.
dan fisik
Bahan
tambahan pangan yang alami yang bersifat pengawet sekaligus sebagai bahan
pengikat dan aman untuk dikonsumsi oleh manusia adalah asap cair, dengan
penambahan asap cair pada daging pascarigor maka diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan daging dalam mengikat air dan susut masak daging
yang rendah.
Hal inilah yang melatarbelakangi dilaksanakannya penelitian mengenai
penambahan asap cair pada daging sebagai bahan pengikat (binder) pada ketiga
jenis otot yaitu Longissimus dorsi, Semitendinosus, Pectoralis profundus selama
pasca rigor dalam meningkatkan sifat fisik dan fungsional daging yang meliputi
susut masak, daya putus daging (DPD), keempukan, kebasahan, flavour, dan
residu pengunyahan. Sehingga kualitas daging yang akan dibuat dalam suatu
prodak dapat ditingkatkan.
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu, untuk melihat peran asap cair
sebagai bahan pengikat pada daging pascarigor, berupa perubahan fungsional dan
fisik. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi
kepada
masyarakat
bahwa
pemberian
asap
cair
pada
daging
akan
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Daging
Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat
menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena
kandungan gizinya lengkap, sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat
terpenuhi (Soeparno, 2005).
Defenisi daging terbatas pada beberapa 3000 spesies mamalia yang
dikenal, sering pula diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati dan
ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan atau dikonsumsi. Variasi yang
sangat banyak dalam kualitas penyimpanan daging, selalu terlihat semu oleh
konsumen. Pendapat yang mengatakan bahwa variabilitas dalam beberapa serat
daging, mungkin secara rasional mencerminkan perbedaan sistematis dalam
komposisi dan kondisi jaringan urat daging sebagai aspek pascamati (post
mortem) secara perlahan disadari (Lawrie, 2003).
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi.
Dari tingkat
kealotan daging merupakan sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Istilah
daging dibedakan dengan karkas, daging adalah bagian yang sudah tidak
mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisakan dari
tulang atau kerangkanya (Astawan, 2007).
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor
setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi
metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging,
bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotika,
lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam
otot daging dan lokasi otot daging (Abustam, 2009).
B. Rigormortis pada Daging
Rigormortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan
terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai
terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat
(Abustam, 2009)
Perubahan otot menjadi daging yang terjadi secara biokimia dan biofisika
yang ditandai dengan penurunan pH lewat pembentukan asam laktat dan glikolisis
secara anaerobik. Mekanisme anaerobik ini terjadi karena otot-otot tidak
mendapatkan lagi oksigen akibat terhentinya peredaran darah, sementara itu otot
masih tetap hidup dengan menghabiskan cadangan energinya (Abustam dan Ali,
2004)
Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan
proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase
yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase prerigor mortis,
rigor mortis, dan pascarigor mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak
karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis
berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan. Penemuan baru
menunjukkan bahwa ada penyusutan otot pada fase prerigor, oleh karena itu
bertambah kerasnya otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada
temperatur 20oC pada fase prerigor mortis (Abustam, 2009).
Darah yang keluar dari tubuh ternak mengakibatkan hilangnya mekanisme
pengendalian temperatur didalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari dalam
tubuh tidak ada lagi yang diangkut ke paru-paru dan permukaan tubuh lain,
sehingga terjadi kenaikan temperatur didalam otot dan tubuh setelah pemotongan,
kenaikan temperatur dalam tubuh tergantung pada laju produksi panas metabolik
dan lama produksi serta pelepasan panas. Faktor yang menyebabkan kenaikan
temperatur otot postmortem, juga menyebabkan pH otot pacamerta (Soeparno,
2005).
Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku. Fase ini
sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah
dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase
pascarigor adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi
lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat. Lama
pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses
kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan
daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging
diatas 40% sampai 60% kekerasan menurun. Ini dikonfirmasikan oleh Marsh dan
Carse (1974) yang memperlihatkan bahwa kekerasan maksimal pada daging
dicapai pada saat otot memendek antara 35 40% dari panjang semula. (Abustam
dan Ali, 2004).
C. Aging
Selama proses conditioning terjadi proteolisis yang kuat dari proteinprotein sarkoplasma yang larut dan karena kehilangan ion-ion potasium maka
protein-protein urat daging meningkat dalam mengikat air. Adapun sifat dari
protein tertentu selama conditioning yang berhubungan dengan keempukan,
karena seperti yang diketahui bahwa urat-urat daging mengandung enzim
proteolitik yang beroperasi secara baik pada suhu 370 C dibanding suhu 50 C.
Pada umumnya suhu conditioning yang lebih tinggi akan menghasilkan level
pengempukan tertentu dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding pada suhu
yang lebih rendah (Lawrie, 2003).
Pelayuan adalah penanganan karkas atau daging segar postmortem yang
secara relatif belum mengalami kerusakan microbial dengan cara penggantungan
atau penimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu diatas titik beku
karkas atau daging (-1,5oC).
conditioning.
Pelayuan bisa
rumah potong hewan secara umum akan menjamin daya simpan urat daging
tersebut selama bebebrapa hari pada temperatur kamar atau sekitar 6 minggu bila
daging disimpan persis di atas temperatur beku (-1,5oC). penyimpanan daging
yang tidak diproses di atas titik beku tanpa terjadinya pembusukan oleh bakteri,
disebut conditioning atau aging dan hal ini telah lama di ketahui erat
hubungannya dengan peningkatan keempukan dan flavour. Selama 24 36 jam
pertama pascamati, proses yang menjadi dominan adalah glikolisis pascamati,
bahkan sebelum pH akhir tercapai, perubahan degradasi yang lain telah terjadi.
Tingkat perubahan yang mempengaruhi sifat dan jumlah protein dan molekulmolekul kecil biasanya terbatas pada proses pemasakan dan konsumsi daging
(Lawrie, 2003).
D. Jenis Otot pada Sapi
Otot merupakan penyusun utama daging, termasuk jaringan ikat epitel dan
jaringan syaraf lain yang terdapat di dalam otot (Aberle et all., 2001). Otot dan
jaringan ikat serta keberadaan lemak di dalamnya merupakan penentu
karakteristik kualitatif daging (Soeparno, 2005) dalam (Sikapang, 2009).
Korelasi yang erat antara kandungan kolagen dengan kekerasan daging
yang dinilai dengan melakukan pemutusan paralel dengan arah serat daging,
koefisien korelasi (R) 0,82 antara kandungan kolagen dengan indeks kekerasan
daging yang diukur menggunakan Warner Bratzles shear force. Kopp dan Bonnet
(1982) memperlihatkan koefisien relasi antara daya putus daging dengan
kandungan kolagen yang terdapat pada daging mentah yang telah mengalami
maturasi sebesar +0,87. Beberapa penilitian menemukan korelasi antara daya
10
putus dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus
yang cukup rendah. Kandungan dan solubilitas kolagen hanya dapat menjelaskan
variasi keempukan sebesar 15 20% pada otot Longissimus dorsi dan
Semitendinosus dari ternak dengan genotip yang sama (Jermiah dan Martin, 1981)
dalam (Abustam, 2004).
Daging memiliki keempukan yang bervariasi diantara jenis otot, jumlah
jaringan ikat dalam otot yang lebih banyak digerakkan selama ternak masih hidup
seperti otot Pectoralis profundus memiliki tekstur yang lebih kasar, sedangkan
otot yang kurang digerakkan seperti otot Semitendinosus dan Longissimus dorsi
memiliki tekstur yang lebih halus. Otot yang teksturnya kasar akan kurang empuk
dibandingkan dengan otot yang teksturnya halus (Aberley et all, 2001).
Menurut hasil penelitian Tandioga (2007) dalam Sikapang (2009), bahwa
pada otot Longissimus dorsi cenderung menghasilkan residu pengunyahan yang
sedikit (empuk) dan memiliki sensasi jus yang tinggi dan juga flavor yang baik
sedangkan pada otot Pectoralis propundus memiliki residu pengunyahan yang
banyak (alot) dan juga sensasi yang kering.
E. Asap cair
Asap cair merupakan hasil pendinginan dan pencairan asap dari tempurung
kelapa yang dibakar dalam tabung tertutup. Asap yang semula merupakan partikel
padat didinginkan kemudian menjadi cair itu disebut nama asap cair atau liquid
smoke. Asap cair berfungsi sebagai pengawet bahan makanan mengingat bahwa
asap cair tidak saja mengandung formaldehid alami, tetapi juga dilengkapi dengan
komponen lain yang juga bersifat mengawetkan seperti fenolat dan asam. Asap
11
cair tempurung mengandung lebih dari 400 komponen dan memiliki fungsi
sebagai penghambat perkembangan bakteri dan cukup aman sebagai pengawet
alami.
makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil (Anonima, 2010).
Efektifitas formaldehid alami ini tidak sekuat formaldehid sintetik
(formalin), tapi dengan dukungan kandungan asamnya yang terdiri dari asam
asetat, asam butirat, iso valerat, valerat, maupun propionat yang pada pH 5 efektif
mematikan kapang dan bakteri. Asam ini juga memberikan lingkungan yang tidak
nyaman bagi mikrobial. Demikian juga dengan kandungan fenolatnya yang
didominasi siringol, eugenol, berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi
terhadap kerusakan akibat oksidasi pada lemak maupun protein pada bahan
pangan (Anonimb, 2010).
Senyawa karsinogen telah dikemukakan didalam asap kayu alami dalam
jumlah yang sangat rendah, sehingga bahaya karsinogenis dapat diabaikan.
Jumlah karsinogen tergantung ada temperatur pembentukan asap dan lignin.
Senyawa 3,4 benzipiren dan 1,2,5,6- fenantrasen yang bersifat karsinogenik telah
dikemukakan dan terbentuk dari pembakaran lignin pada teperatur diatas 35%.
Asap cair dapat disuplementasi dengan substansi fenolik tertentu untuk
meningkatkan atau menimbulkan bau dan flavor buah (Lawrie, 1985) dalam
(Soeparno, 2005). Lanjut Laphsin (1962) menyatakan bahwa untuk menghasilkan
asap cair yang bebas karsinogen yaitu dengan cara kondensasi, kemudian diikuti
dengan destilasi fraksional, fraksi yang dipilih dilarutkan dalam air dan benzipiren
tidak akan larut.
12
13
berbahaya bagi kesehatan, juga masih layak dikonsumsi hingga sebulan, sama
seperti ikan yang diasapkan dengan cara konvensional. Kelemahan asap cair ini,
kalau konsentrasinya cukup tinggi mengeluarkan bau asap yang sangat keras.
Tetapi bau asap itu bisa dihilangkan dengan cara tertentu namun dampaknya bagi
kesehatan jauh lebih aman dari formalin (Broken, 2010).
F.
Susut Masak
Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengistemasikan jumlah
jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai
kualitas yang tinggi. Susut masak adalah proses selama pemasakan daging yang
mengalami pengerutan dan pengurangan berat. Prodak daging olahan sebaiknya
mengalami susut masak sedikit karena susut masak mempunyai hubungan erat
dengan rasa/juiceness daging (Winarno, 1993).
Pada temperatur pemasakan 80oC daging yang mengalami pemenedekan
dingin . Pada pH normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak yang lebih besar
daripada susut masak daging regang dengan panjang serabut yang sama.
Pemasakan pada temperatur 90oC juga dapat menghasilakn susut masak otot
(misalnya ST steer) pendek dingin yang lebih besar daripada otot regang. Susut
masak menurun secara linear dengan bertambahnya umur tenak. Misalnya pada
sapi, susut masak otot SM yang dimasak pada temperatur 80oC selama 90 menit,
menurun
dengan
meningkatnya
umur
ternak.
Konsumsi
pakan
dapat
mempengaruhi besarnya susut masak. Misalnya susut otot LD domba yang diberi
pakan maintenans (imbangan energi nol) dan submaintenans (imbangan energi
14
negatif) adalah lebih kecil daripada otot LD domba yang diberi pakan dengan
imbangan energi positif (Harjono, 2008).
Daya Putus Daging (DPD)
Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan
kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup
rendah (Reagan dkk., 1976 ; Jeremiah dan Martin, 1981). Sorensen (1981)
mengemukakan bahwa kandungan dan solubilitas kolagen hanya dapat
menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 - 20 % pada otot Longissimus dorsi
dan Semitendinosus dari ternak dengan genotip dan umur yang sama. Abustam
(1987) memperlihatkan bahwa kandungan kolagen daging sapi bervariasi,
tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot
empuk dan ternak umur muda yang mana 48 - 66 % dapat menjelaskan variasi
keempukan daging. Semakin tinggi kadar kolagen maka semakin rendah suhu
awal kontraksi dan semakin penting tegangan maksimal (maximal tension) selama
pemanasan daging. Menurut Dransfield (1977) dalam Lawrie (2003)bahwa kadar
kolagen nampaknya merupakan penduga yang baik bagi kekerasan daging mentah
jika perbandingan dilakukan pada otot-otot yang berbeda dari umur yang sama.
Sebaliknya pengukuran kadar kolagen nampaknya kurang sensitif jika
perbandingan dilakukan pada otot yang sama dan berasal dari ternak yang
berbeda. Kadar kolagen bukanlah faktor tersendiri dalam menjelaskan variasi
kekerasan jaringan ikat.
15
16
METODE PENELITIAN
Teknologi
Hasil
Ternak
Fakultas
Peternakan
Universitas
A1 : Longissimus dorsi,
A2 : Semitendinosus,
A3 : Pectoralis profundus,
17
Prosedur Penelitian
Perolehan sampel dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) Tamangapa,
yaitu otot Longissimus dorsi, Semitendinosus, Pectoralis profundus yang
mewakili otot empuk, sedang dan kurang empuk.
memasuki fase pascarigor dibagi menjadi lima bagian masing-masing seberat 200
g, kemudian ditambahkan 5 level asap cair pada masing-masing sampel setelah
itu lalu disimpan di lemari pendingin (20C) selama 3 hari. Kemudian dilakukan
pengukuran daya putus daging (daging masak), susut masak dan uji organoleptik
daging masak (keempukan awal, kebasahan, sisa residu dan flavor).
Prosedur penelitian meliputi beberapa tahap yang disajikan secara
sederhana pada Gambar 1.
18
Analisis Sampel
1. Pengukuran Daya Putus Daging (DPD)
Pengukuran daya putus daging dilakukan dengan menggunakan alat CD Shear
Force (Creozut dan Dumont dalam Abustam, 1993) pengukuran dilakukan pada
daging segar dan daging masak. Semakin rendah nilai daya putus daging,
menunjukkan daging tersebut semakin empuk, sebaliknya semakin tinggi nilai
daya putus daging maka semakin alot. Prosedur pengukuran keempukan daging
adalah :
a. Sampel dipotong dengan panjang 1 cm,diameter 1,27 cm
b. sampel dimasukkan pada lubang CD Shear Force
c. Sampel dipotong tegak lurus dengan serat daging
d. Perhitungan daya putus daging sesuai pembacaan pada CD Shear Force
dengan menggunakan rumus :
A1
A
=
L
Keterangan :
A = daya putus daging (kg/cm2)
A1 = tenaga yang digunakan (kg)
L = luas penampang sampel
x 100%
Berat sebelum pengukusan
19
3. Kualitas Organoleptik
Penilaian organoleptik pada daging masak pascarigor meliputi rasa dan
residu pengunyahan, oleh sejumlah 10 orang panelis dengan menggunakan skor
penilaian 1 s/d 6 (Metode yang disesuaikan di Labolatorium THT), dimana
semakin tinggi skor maka semakin positif terhadap penilaian yang dimaksud.
Adapun deskpripsi penilaian produk yang di amati dapat dilihat di bawah ini :
a). Flavour
Berbau daging
6
sangat berbau asap
Keras, padat
(resistensinya kuat)
6
empuk, lembek
(resistensinya lemah)
Banyak residu
6
sedikit residu
d). Kebasahan
1
Kering
6
banyak jus
(humid)
20
Analisis Data
Semua data diolah dengan analysis of variance (ANOVA) dilanjutkan uji
BNT jika terdapat perbedaan nyata berdasarkan (Gaspersz, 1991) dengan
menggunakan bantuan program SPSS.
Yijk = + i + j + ()ij + ij
Yijk
= Pengaruh galat yang menerima perlakuan level asap cair i dan lama
penyimpanan ke j.
21
A.
menunjukkan
pemberian asap cair berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai susut masak
daging pascarigor yang dimasak pada suhu 800 C selama 30 menit. Uji BNT
menunjukkan nilai susut masak otot Longissimus dorsi terlihat sangat nyata
(P<0,01) lebih rendah dari pada jenis otot Semitendinosus dan otot Pectoralis
profundus, sedangkan susut masak otot Semitendinosus tidak berbeda nyata dari
otot Pectoralis profundus. Hal ini dikarenakan kemampuan mengikat air pada otot
Longissimus dorsi yang tinggi dibandingkan Semitendinosus dan Pectoralis
profundus. Adanya perbedaan kemampuan dari setiap jenis otot dalam mengikat
22
air dikarenakan adanya perbedaan solubilitas protein yang terdapat dalam setiap
jenis otot. Hal ini mendukung pendapat Lawrie (2003) bahwa kemampuan daging
dalam mengikat air dipengaruhi oleh protein yang ada dalam urat daging, faktor
diferensiasi intrinsik secara anatomis yaitu urat-urat daging yang dapat dibagi
menjadi urat daging merah dan putih atau yang kerjanya secara stabil. Protein
sarkoplasma merupakan protein larut air karena umumnya dapat diekstrak oleh air
dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan miosin, serta
sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini memiliki sifat larut
dalam larutan garam. Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein yang tidak
larut, terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin terjadi koagulasi dan
menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya.
Kemampuan air dalam mengikat air juga dipengaruhi oleh kandungan
lemak intramuskuler yang terdapat dalam otot, jika daya ikat air meningkat maka
susut masak akan menurun, susut masak yang rendah akan memberikan rendemen
tinggi yang dibutuhkan dalam pengolahan daging, dengan penambahan asap cair
maka senyawa fenol dalam asap cair akan memberikan peluang pada protein
dalam mengikat air sehingga menurunkan susut masak daging.
Hal ini
23
daging untuk mengikat air (Hamm, 1960). Kemampuan daging untuk menahan
air merupakan suatu sifat penting karena dengan daya ikat air yang tinggi, maka
daging mempunyai kualitas yang baik (Blakely dan Bade, 1980)
Susut masak juga dipengaruhi oleh pH daging, dimana kenaikan pH
daging akan menurunkan susut masak daging. Hal ini mendukung pendapat
Soeparno (2005) bahwa pada umumnya susut masak bervariasi antara 1,5 54,5%
dengan kisaran 15% - 40%.
merupakan merupakan indikasi dari sifat mekanik miofibril dan jaringan ikat
dengan bertambahnya umur ternak, terutama panjang sarkomer. Pada temperatur
pemasakan 800 C, daging yang mengalami pemendekan dingin pada pH normal
5,4 - 5,8 menghasilkan susut masak yang lebih besar dari pada susut masak daging
regang dengan panjang serabut yang sama.
Penelitian penambahan asap cair terhadap jenis otot Longissimus dorsi,
Semitendinosus dan Pectoralis profundus telah dilakukan oleh Abustam (2010)
dimana susut masak otot Longissimus dorsi lebih rendah (33,01%) dari pada
Semitendinosus (35,30%) dan Pectoralis profundus (33,89%).
B.
cair dengan level yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap susut
masak daging dari jenis otot Longissimus dorsi, Semitendinosus dan Pectoralis
profundus. Uji BNT (Lampiran 4) menunjukkan bahwa nilai susut masak daging
terjadi penurunan yang sangat nyata (P<0,01) antara level 0% dengan level 1%
dan 2%. Hal ini memperlihatkan bahwa rentang level asap cair 1% mampu
24
menurunkan nilai susut masak daging sedangkan penggunaan rentang level asap
cair 0,5% belum mampu menurunkan nilai susut masak. Penurunan susut masak
disebakan karena kandungan fenol yang terdapat dalam asap cair, dimana
senyawa fenol yang terdapat dalam asap cair mampu mengikat gugus aldehid,
keton asam, dan ester yang dapat mempengaruhi kemampuan mengikat air pada
daging, dalam hal ini fenol terdisosiasi sehingga menghasilkan H+ dan anion. Hal
ini mendukung pendapat Hamm (1986) bahwa perluasan jaringan protein atau
pengembangan protein miofibril (khususnya miosin) akibat pelemahan ikatanikatan hidrogen ataupun ikatan hidrofobik menyebabkan lebih banyak yang
termobilisasi antara miofibril sehingga terjadi peningkatan daya ikat air.
Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air.
Semakin tinggi daya ikat air, maka semakin rendah kadar air daging sapi. Hal ini
diikuti oleh turunnya persentase susut masak daging sapi.
susut masak daging yang diperoleh dari hasil penelitian ini seiring dengan
penurunan daya putus daging. Daging yang mempunyai angka susut masak
rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging
selama pemasakan juga rendah. Hal ini mendukung pendapat Soeparno (2005)
bahwa besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengistemasi jumlah jus
dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai
kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih
besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.
25
C.
Interaksi antara Jenis Otot dengan Level Asap Cair Terhadap Susut Masak
Daging Pascarigor
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa interaksi antara
jenis otot dengan pemberian level asap cair yang berbeda tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap susut masak daging. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan kepekaan respon jenis otot oleh level asap cair yang berbeda daging,
karena kedua perlakuan tersebut bekerja secara independen terhadap susut masak
daging, hal ini memperlihatkan bahwa pada penggunaan jenis otot dan level asap
cair, nilai susut masak daging semakin menurun seiring dengan peningkatan level
asap cair yang digunakan.
Daya Putus Daging Pascarigor
Hasil pengujian terhadap nilai DPD pada daging pascarigor dengan
penambahan asap cair dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Daya Putus Daging (kg/cm2) Berdasarkan Jenis
Otot dan Level Asap Cair (%) yang dimasak pada Suhu 800 C
Selama 30 Menit
Jenis otot
Level asap cair
RataLongissimus
Pectoralis
(%)
rata
Semetendinosus
dorsi
profundus
0
6.34a
5.64
6.11
7.26
0.5
5.93ab
5.25
5.71
6.84
1
5.68b
4.96
5.35
6.73
1.5
5.43bc
4.78
5.08
6.45
2
5.34bd
4.53
5.00
6.48
5.03a
5.45a
6.75b
Rata-rata
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama
pengaruh nyata (P < 0,01)
menunjukkan
26
A.
penambahan level asap cair berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai
DPD daging pascarigor. Uji BNT (Lampiran 7) menunjukkan nilai DPD untuk
otot Longissimus dorsi (5,03 kg/cm2) dan Semitendinosus (5,45 kg/cm2) lebih
rendah (P<0,01) dari pada jenis otot dan Pectoralis profundus (6,75 kg/cm2),
sedangkan otot Semitendinosus tidak berbeda nyata dengan otot Pectoralis
profundus. Hal ini dikarenakan otot Longissimus dorsi merupakan otot yang
paling empuk, ini dapat dilihat dari kandungan dan solubilitas kolagen
Longissimus dorsi yang memiliki variasi keempukan sebesar 15 20%,
Longissimus dorsi memiliki jumlah ikatan silang serabut kolagen yang sedikit
dibandingkan pada otot Semitendinosus dan Pectoralis profundus yang memiliki
kecendrungan jumlah ikatan serabut kolagen yang lebih banyak.
Hal ini
mendukung pendapat Lawrie (2003) bahwa persentase total kolagen tipe III dalam
perimisium dan endomisium secara berurutan yaitu pada Longissimus dorsi 24,5%
dan 53,3% sedangkan total kolagen pada otot Semitendinosus 41,7% dan 54,4%.
Hampir semua urat daging dari potongan yang dipilih, dari potongan perempat
belakang dan pingggang, kadar elastin umumnya lebih kecil pada 5% total
tenunan pengikatnya. Tapi dalam Semitendinosus kadarnya 40% dari total, dari
urat daging potongan perempat depan hanya Longissimus dorsi yang mempunyai
kadar elastin yang sebanding, dari kedua urat daging teersebut memperlihatkan
bahwa elastin mempunyai kontribusi terhadap liatnya daging yang dimasak pada
tingkat yang sama dengan terdenaturasinya kolagen.
27
Nilai rata-rata pengaruh pemberian level asap cair yang berbeda terhadap
daging (Lampiran 5) memperlihatkan nilai DPD yang berbeda dari jenis otot
Longissimus dorsi, Semitendinosus dan Pectoralis profundus, daging yang telah
mengalami conditioning pada temperatur 20 C selama 3 hari tersebut mengalami
peningkatan keempukan dibanding daging yang tidak mengalami proses
conditioning.
asap cair dengan level yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap
DPD daging. Uji BNT (Lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai DPD daging
28
terjadi penurunan yang sangat nyata dari level 0% (6,34 kg/cm2) ke level 1% (5,68
kg/cm2), tidak terjadi perbedaan nyata antara level 0% (6,34 kg/cm2) dengan 0,5%
(5,93 kg/cm2), demikian pula antara level 1% (5,68 kg/cm2) dengan 1,5% (5,43
kg/cm2)
peningkatan keempukan daging yang menandakan bahwa asap cair efektif dalam
meningkatkan keempukan daging karena adanya kandungan fenol, karbonil dan
asam dalam asap cair sebagai antioksidan yang menghambat terjadinya oksidasi
protein. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Lordbroken (2010), bahwa dalam
asap cair mengandung senyawa fenol yang bersifat sebagai antioksidan, sehingga
dapat menghambat kerusakan pangan dengan cara mendonorkan hidrogen
sehingga efektif dalam jumlah sangat kecil untuk menghambat autooksidasi
lemak, sehingga dapat mengurangi kerusakan pangan karena oksidasi lemak oleh
oksigen. Dan kandungan asam pada asap cair juga sangat efektif dalam
mematikan dan menghambat pertumbuhan mikroba pada produk makanan yaitu
dengan cara senyawa asam ini menembus dinding sel mikroorganisme yang
menyebabkan sel mikroorganisme menjadi lisis kemudian mati, dengan
menurunnya jumlah bakteri dalam produk makanan maka kerusakan pangan oleh
mikroorganisme dapat dihambat sehingga meningkatkan umur simpan produk
pangan.
29
C.
Interaksi antara Jenis Otot dengan Level Asap Cair Terhadap DPD Daging
Pascarigor
Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa interaksi antara
jenis otot dengan pemberian level asap cair yang berbeda tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap DPD daging. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
kepekaan respon jenis otot oleh level asap cair yang berbeda daging. Hal ini
menandakan bahwa baik pada penggunaan jenis otot maupun penambahan asap
cair, nilai DPD daging semakin menurun dengan meningkatnya level pemberian
asap cair.
Organoleptik
1. Keempukan
Keempukan merupakan uji panel cita rasa atau panel taste yang dilakukan oleh
10 orang panelis berdasarkan atas pemotongan daging oleh gigi diawal pengunyahan.
Pemberian nilai skor keempukan antara 1 sampai dengan 6 (1= sangat alot dan 6=
sangat empuk) semakin berat yang dilakukan oleh gigi dalam memotong daging
menandakan daging tersebut alot maka diberi skor yang paling rendah. Sebaliknya
semakin mudah mudah yang dilakukan oleh gigi dalam memotong daging menandakan
daging tersebut sangat empuk maka diberi skor yang lebih tinggi (Abustam, 2010).
Hasil pengujian terhadap nilai skor keempukan pada daging pascarigor
dengan penambahan asap cair dapat dilihat pada Tabel 3.
30
Tabel 3.
Level asap
cair (%)
0
0.5
1
1.5
2
Rata-rata
Keterangan : - Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan
pengaruh nyata (P< 0,01)
- Skor penilaian panelis 1 s/d 6 (1= sangat alot, 6= sangat empuk )
Semitendinosus.
31
kategori protein dalam urat daging dari tenunan pengikat (kolagen, elastis, retikulin
mukopolisakarida dan matriks), miofibril (aktin, myosin dan tropomiosin) dan
sarkoplasma (protein-protein sarkoplasma dan sarkoplasmik retikulum). Pentingnya
kontribusi relatif tergantung dari beberapa kondisi seperti kontraksi miofibril tipe urat
daging dan suhu pemasakan. Hal ini mendukung penelitian Abustam (1987) yang
memperlihatkan perbedaa nilai kadar kolagen berbeda diantara jenis otot, yaitu
Longissimus dorsi kadar kolagennya 6,18 mg/gr lebih rendah dari Semitendinosus
dengan kadar kolagen 11,09 mg/gr dan kolagen dari otot Pectoralis profundus 12,11
mg/gr.
Keempukan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mutu
Hal ini
Jadi
perbedaan otot dan pengaruh metode pemasakan terhadap komponen otot akan
32
menentukan apakah suatu otot akan menjadi lebih empuk sedangkan otot lainnya
menjadi kurang empuk
Penelitian penambahan asap cair terhadap jenis otot Longissimus dorsi,
Semitendinosus dan Pectoralis profundus telah dilakukan oleh Abustam (2010)
dimana keempukan otot Longissimus dorsi lebih tinggi (4,60) dari pada
Semitendinosus (4,06) dan Pectoralis profundus (3,24).
B. Pengaruh Level Asap Cair Terhadap Skor Keempukan Daging Pascarigor
Analisis ragam (Lampiran 10) memperlihatkan jenis otot dan level
penambahan asap cair berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap skor keempukan
awal berdasarkan penilaian penelis. Antara level asap cair 1% dengan 1,5% sedangkan
penambahan level asap cair tidak pengaruh nyata pada level 0%, 0,5% dan 1%,
demikian pula tidak berpengaruh nyata antara level asap cair 1,5% dengan 2%. Hal ini
menandakan dengan penggunaan rentang asap cair 1% mampu meningkatkan
keempukan pada daging. Hal ini sejalan dengan hasil pengukuran DPD dan susut
masak (Tabel 1 dan Tabel 2) memperlihatkan bahwa dengan penggunaan rentang asap
cair 1% akan memperbaiki keempukan daging.
Penelitian perbaikan keempukan pada produk bakso dengan penambahan level
asap cair telah dilakukan oleh Sikapang (2009) dimana penggunaan asap cair pada level
0,75% terjadi peningkatan keempukan bakso sebesar 5,28%. Perbaikan keempukan
awal dengan bertambahnya level asap cair kemungkinan dikarenakan kemampuan asap
cair dalam mendegradasi protein daging. Terbukti dalam penelitian Kompudu (2008)
mengenai pengaruh antioksidan catechins tea eugenol ekstrak kayu manis dan asap cair
terhadap terjadinya perubahan kualitas daging dada ayam dimana hasil penelitian
33
menunjukkan bahwa ketiga entioksidan tersebut mampu menurunkan nilai DPD dada
ayam pedaging karena merupakan antioksidan alami dan dua diantaranya berasal dari
tanaman yang mengandung enzim proteinase.
Skor keempukan juga dapat dipengaruhi oleh pH, kesan jus daging atau
juiciness mempunyai hubungan yang erat dengan susut masak. Kadar jus yang rendah
dapat diseyebabkan oleh susut masak tinggi, kadar jus daging pada daging dengan pH
normal (5,4 5,8) dapat diestimasikan dari susut masak.
diperoleh ini sejalan dengan pengukuran pH yang dilakukan pada saat pengamatan, pH
daging yang diberi asap cair pada level 1% dan 2% berturut-turut 5,78 dan 5,92. Hal
ini menandakan bahwa dengan penambahan level asap cair maka keempukan daging
dapat meningkat. Hal mendukung pendapat Soeparno (2005), bahwa daging yang
pHnya tinggi maka keempukan daging lebih tinggi daripada daging yang memiliki pH
rendah. Kealotan dan keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 6,0 lebih banyak
ditentukan oleh status kontraksi serabut otot, jadi pada peningkatan pH ultimate daging
pada umumnya meningkatkan keempukan dan biasanya juga meningkatkan daya ikat
air atau jus daging.
C.
Interaksi antara Jenis Otot dengan Level Asap Cair Terhadap Skor
Keempukan Daging Pascarigor.
Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 10) menunjukkan inteeraksi jenis
otot dan level asap cair terhadap keempukan daging pascarigor berpengaruh
sangat nyata (P<0,01). Interaksi antara jenis otot dan level asap cair terhadap
keempukan terlihat pada gambar 2.
34
Skor Keempukan
6.00
5.00
4.00
3.00
LD
2.00
ST
PP
1.00
0.00
0
Gambar 2.
0.5
1
1.5
Level asap cair (%)
Grafik hubungan antara level asap cair (%) dengan nilai Skor
Keempukan berdasarkan jenis otot.
Pada Gambar 2 menunjukkan terjadi interaksi antara jenis otot dan level asap
cair terhadap skor keempukan daging pascarigor.
35
2. Kebasahan
Hasil pengujian terhadap nilai skor kebasahan pada daging pascarigor
dengan penambahan asap cair dapat dilihat pada Tabel 4
Tabel 4.
Level asap
cair (%)
0
0.5
1
1.5
2
Rata-rata
Keterangan : - Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan
pengaruh nyata (P < 0,01)
- Skor penilaian panelis 1 s/d 6 (1= sangat kering, 6= sangat basah )
A.
penambahan level asap cair berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap skor
kebasahan daging. Skor kebasahan otot Longissimus dorsi berbeda sangat nyata
(P<0,01) dengan otot Pectoralis profundus dan Semitendinosus. Meningkatnya skor
kebasahan pada ketiga jenis otot seiring dengan nilai susut masak (Tabel 1)
memperlihatkan
36
diberi skor tinggi, sebaliknya bila selama pengunyahan jus yang dikeluarkan oleh
daging sedikit diberi skor paling rendah. Kapasitas daging memegang air merupakan
suatu sifat yang sangat penting dalam penilaian juiciness (Abustam, 2010)
B.
maka makin meningkat pula skor kebasahan daging yang diperoleh, terlihat perbedaan
yang sangat nyata (P<0,01) antara level 1% dan 2%, pemberian skor kebasahan
tertinggi oleh panelis pada level 1,5%. Skor kebasahan ini seiring dengan peningkatan
keempukan daging yang rendah dengan penambahan asap cair (Tabel 2 dan Tabel 3),
yaitu lemak intramuskuler dalam daging.
Soeparno (2005), bahwa Juciennes
Interaksi antara Jenis Otot dengan Level Asap Cair Terhadap Skor
Kebasahan Daging Pascarigor.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis otot
dan level asap cair tidak berpengaruh nyata (Lampiran 14). Hal ini menunjukkan
bahwa jenis otot dan level asap cair tidak berpengaruh nyata (P>0,05) Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kepekaan respon jenis otot oleh level
asap cair yang berbeda daging. Hal ini menandakan bahwa baik pada penggunaan
37
jenis otot maupun penambahan asap cair, skor kebasahan daging semakin meningkat
dengan penambahan level asap cair.
3.
Residu Pengunyahan
Hasil pengujian terhadap nilai skor residu pengunyahan pada daging
A.
penambahan level asap cair berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap residu
pengunyahan. Skor residu pengunyahan otot Longissimus dorsi berbeda sangat
nyata (P<0,01) lebih sedikit residu pengunyahan dibanding otot Semitendinosus
dan Pectoralis profundus, demikian pula otot Semitendinosus berbeda sangat
nyata (P<0,01) lebih sedikit residu pengunyahan dibanding Pectoralis profundus.
Perbedaan skor residu pengunyahan yang diperoleh dikarenakan jumlah ikatan
silang yang terdapat pada setiap jenis otot.
38
39
C.
Interaksi antara Jenis Otot dengan Level Asap Cair Terhadap Skor Residu
Pengunyahan Daging Pascarigor.
Hasil analisis ragam (Lampiran 18) menunjukkan bahwa interaksi antara
jenis otot dengan level asap cair yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap residu pengunyahan daging.
perbedaan kepekaan respon jenis otot oleh level asap cair yang berbeda daging
4.
Intensitas Flavour
Flavour/ cita rasa merupakan hasil penilaian oleh panelis bedasarkan cita rasa
pada saat pengunyahan, melibatkan pencicipan lidah dan penciuman panelis dinyataka
dalam intensitas flavour. Makin tinggi intensitas flavour menandakan cita rasa daging
lebih menonjol, diberi skor tinggi. Sebaliknya semakin kurang cita rasa daging maka
dianggap intensitas flavour lemah, diberi skor paling rendah. Flavour erat kaitannya
dengan karkter organoleptik lainnya yakni keempukan, kebasahan dan residu
pengunyahan (Abustam, 2010). Hasil pengujian terhadap nilai skor flavour pada
daging pascarigor dengan penambahan asap cair dapat dilihat pada Tabel 6
Tabel 6. Nilai Rata-rata Skor Flavour Daging Pascarigor Berdasarkan
Jenis Otot Dan Level Asap Cair (%)
Jenis otot
Level asap cair
Longissimus
Pectoralis Rata-rata
(%)
Semetendinosus
dorsi
profundus
1.00
1.00
1.00
0
1.00a
4.00
3.00
4.03
0.5
3.68b
4.00
5.00
4.97
1
4.66c
6.00
5.93
5.80
1.5
5.91d
2
5.67
6.00
5.90
5.86de
4.13a
4.19ab
4.34c
Rata-rata
Keterangan : - Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan
pengaruh nyata (P < 0,01)
- Skor penilaian panelis 1 s/d 6 (1= sangat lemah, 6= sangat kuat)
40
A.
asap cair berpengaruh sangat nyata terhadap daging (P<0,01) terhadap flavour daging
pascarigor. Nilai rata-rata flavour daging dari otot Longissimus dorsi dan
Semitendinosus berbeda sangat nyata (P<0,01) dari otot Pectoralis profundus. Ini
menandakan penggunaan asap cair pada ketiga jenis otot akan memberikan perbaikan
terhadap kualitas daging dalam hal aroma daging.
B. Pengaruh Level Asap Cair Terhadap Skor Flavour Daging Pascarigor
Analisis ragam (Lampiran 24 ) semakin tinggi tingkat penambahan level asap
cair maka semakin kuat intensitas flavour daging. Perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) antara antara level asap cair, ini dapat dilihat pada daging tanpa penambahan
asap cair menghasilkan intensitas flavour lemah (1,00), sedangkan pada penambahan
level asap cair 1,5% dan 2% menghasilkan intensitas flavour yang sangat kuat (5,91
dan 5,86). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan senyawa fenol dan asam dalam
asap cair mempu meningkatkan flavour daging seiring dengan bertambahnya level asap
cair.
bertanggung jawab pada pembentukan flavour pada produk pengasapan dan juga
mempunyai aktivitas antioksidan yang mempengaruhi daya simpan makan.
Komponen senyawa fenol yang berperan dalam pembentukan flavor adalah
guaiakol, 4-metilguaiakol dan 2,6-dimetoksifenol. Guaiakol berperan memberi
rasa asap, sementara siringol memberi aroma asap. Nilai ambang fenol dari
41
kondensat asap adalah 0,147 ppm untuk rangsangan rasa dan 0,023 ppm untuk
rangsangan bau.
C. Interaksi antara Jenis Otot dengan Level Asap Cair Terhadap Skor Flavour
Daging Pascarigor.
7.00
Skor Flavour
6.00
5.00
4.00
LD
3.00
ST
2.00
PP
1.00
0.00
0
Gambar 3.
0.5
1
1.5
Level asap cair (%)
Grafik hubungan antara level asap cair (%) dengan nilai Skor
Flavour berdasarkan jenis otot.
42
Kesimpulan
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan
menggunakan level asap cair dengan rentan 1% dan 2% dengan perlakuan aging
selama 3 hari pada daging untuk meningkatkan sifat fisik dan fungsional daging,
43
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E.D., G.J. Forest, D.E. Gerrad and E.W. Milks. 2001. Principles of Meat
Science. Fourt Edition. Kendal/ Hunt Publishing Company. Lowa, USA
Abustam dan Ali. 2004. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Abustam, E. 2009. Konversi Otot Menjadi Daging. www//:http/konversi-ototmenjadi-daging.html Diakses tanggal 15 September 2010
. 2009. Hubungan Antara Struktur Otot dengan Kualitas Daging.
www://http/struktur-otot-dan-kualitas-daging.html. Diakses 26 September
2010
Abustam E. 1987. Contribution Al etude Des Caracterissafion Des Viances
Bovines Par les Proprietes Des Tissus Conjontift These Des Docteur
Enginius, Universite Blaise Pascala, France
Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar.
Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
Abustam, E. 2010. Kemampuan mengikat air (water holding capcity) dan daya
putus daging sapi Bali prarigor melalui tingkat penambahan asap cair.
Laporan Penelitian DIPA Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Adawyah, R., 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara, Jakarta
Anonima, 2010. Asap Cair (Liquid Smoke). www//:http.asapcair/(liquidsmoke)
_htm. Diakses tanggal 15 September 2010
Anonimb. 2010. Penjelasan Asap Cair. www//:http.asap cair/64847.htm. Diakses
tanggal 15 September 2010
Blakely dan Bade.
Jakarta.
1980.
Ilmu Peternakan.
Broken, L. 2010. Fungsi Destilasi dan Penyaringan Asap Cair dengan Zeolit
dan Karbon Sebagai Alternatif Pengganti Bahan Pengawet yang Aman
dan Efektif untuk Makanan. www//http.asapcairpengawetmakanan
critismoflordbroken.htm. Diakses tanggal 15 September 2010
44
Sikapang, F., 2009. Pengaruh jenis otot dengan penambahan level asap cair
yang berbeda terhadap karakteristik bakso daging sapi bali. Skripsi
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Hamm, R. 1986. Fungtional Properties of the myofibrillar system and their
measuremens in; muscle of foods (Ed: Bechtel, P.J) Academic Press, Inc
Orlando, Florida.
Harjono, M. 2008. Ilmu dan Teknologi Daging. www//:http./ilmu-dan-t
eknologi-daging.html.
Kompudu, A. 2008. Pengaruh antioksidan catechins tea, eugenol ekstrak kayu
manis dan asap cair terhadap terjadinya perubahan kualitas daging dada
ayam pedaging. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Maarif, A., 2009. Pengaruh asap cair terhadap kualitas bakso daging sapi bali.
Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Tabrani, H. 2001. Pengaruh proses pelayuan terhadap Keempukan daging (Suatu
Tinjauan Filsafat sains). www:http//herman_htm. Diakses 15 September
2010.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Winarno. 1993. Pangan dan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Umum, Jakarta.
45
Lampiran 1.
Descriptive Statistics
Dependent Variable:SUSUT MASAK
JENIS
OTOT
LEVEL ASAP
CAIR
PP
0%
38.1567
1.82717
0.5%
36.5133
1.92043
1%
34.7400
1.97871
1.5%
33.6433
2.54292
2%
31.7300
1.03407
Total
34.9567
2.82203
15
0%
35.4100
.50388
0.5%
34.8000
2.42617
1%
31.0133
4.02967
1.5%
30.7633
2.29505
2%
27.3567
6.86580
Total
31.8687
4.47138
15
0%
37.4633
1.76115
0.5%
34.9400
1.47279
1%
34.9067
1.71027
1.5%
32.9633
1.20766
2%
30.9967
3.85293
Total
34.2540
2.92056
15
0%
37.0100
1.78987
0.5%
35.4178
1.90123
1%
33.5533
3.06657
1.5%
32.4567
2.23554
2%
30.0278
4.45843
Total
33.6931
3.66002
45
LD
ST
Total
Mean
Std. Deviation
46
Analisis Ragam Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda
Terhadap Nilai Susut Masak Daging
df
Mean Square
Sig.
353.889a
14
51085.158
JENIS
78.596
39.298
5.006
.013
LEVEL
260.633
65.158
8.300
.000
JENIS *
LEVEL
14.659
1.832
.233
.981
Error
235.523
30
7.851
Total
51674.570
45
589.412
44
Intercept
Corrected Total
25.278
3.220
.004
51085.158 6.507E3
.000
Mean
Difference
(I-J)
Sig.
3.0880*
1.02312
.005
.9985
5.1775
ST
.7027
LD
PP
-3.0880*
ST
-2.3853*
ST
PP
-.7027
LD
2.3853*
Based on observed means.
1.02312
1.02312
1.02312
1.02312
1.02312
.497
.005
.027
.497
.027
-1.3868
-5.1775
-4.4748
-2.7922
.2958
2.7922
-.9985
-.2958
1.3868
4.4748
PP
LD
47
Uji BNT Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda Terhadap
Nilai Susut Masak Daging.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Susut Masak
LSD
(I) LEVEL
ASAP
CAIR
0%
95% Confidence
Interval
(J) LEVEL
Mean
ASAP CAIR Difference (I-J)
0.5%
Std.
Error
Lower
Bound
Upper
Bound
.237 -1.1053
4.2897
.014
.7592
6.1542
1.32084
.002
1.8558
7.2508
2%
6.9822 1.32084
0.5%
0%
-1.5922 1.32084
1%
1.8644 1.32084
1.5%
2.9611* 1.32084
2%
5.3900* 1.32084
1%
0%
-3.4567* 1.32084
0.5%
-1.8644 1.32084
1.5%
1.0967 1.32084
2%
3.5256* 1.32084
1.5%
0%
-4.5533* 1.32084
0.5%
-2.9611* 1.32084
1%
-1.0967 1.32084
2%
2.4289 1.32084
2%
0%
-6.9822* 1.32084
0.5%
-5.3900* 1.32084
1%
-3.5256* 1.32084
1.5%
-2.4289 1.32084
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
.000
.237
.168
.033
.000
.014
.168
.413
.012
.002
.033
.413
.076
.000
.000
.012
.076
1%
1.5%
1.5922 1.32084
Sig.
3.4567* 1.32084
4.5533
*
*
4.2847 9.6797
-4.2897 1.1053
-.8331 4.5620
.2636 5.6586
2.6925 8.0875
-6.1542 -.7592
-4.5620
.8331
-1.6008 3.7942
.8280 6.2231
-7.2508 -1.8558
-5.6586 -.2636
-3.7942 1.6008
-.2686 5.1264
-9.6797 -4.2847
-8.0875 -2.6925
-6.2231 -.8280
-5.1264
.2686
48
Lampiran 2.
Dependent Variable:DPD
JENIS
OTOT
LEVEL
ASAP
CAIR
PP
0%
7.2567
.56083
0.5%
6.8367
.39068
1%
6.7333
.64609
1.5%
6.4467
.08083
2%
6.4833
.31880
Total
6.7513
.48317
15
0%
5.6433
1.13738
0.5%
5.2500
.11790
1%
4.9600
.21166
1.5%
4.7767
.16258
2%
4.5333
.49692
Total
5.0327
.62520
15
0%
6.1100
1.12641
0.5%
5.7067
.26274
1%
5.3467
.35921
1.5%
5.0800
.76217
2%
5.0033
.58287
Total
5.4493
.72312
15
0%
6.3367
1.11183
0.5%
5.9311
.74784
1%
5.6800
.89440
1.5%
5.4344
.86432
2%
5.3400
.97406
Total
5.7444
.95554
45
LD
ST
Total
Mean
Std. Deviation
49
Analisis Ragam Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda
Terhadap Nilai Daya Putus Daging
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:DPD
Type III
Sum of
Squares
Source
Corrected Model
df
Mean Square
Sig.
30.163a
14
2.154
6.456
.000
1484.939
1484.939
4.450E3
.000
JENIS
24.113
12.057
36.127
.000
LEVEL
5.845
1.461
4.378
.007
.205
.026
.077
1.000
Error
10.012
30
.334
Total
1525.113
45
40.175
44
Intercept
JENIS * LEVEL
Corrected Total
(J)
JENIS
OTOT
Mean
Difference
(I-J)
Std. Error
Lower
Bound
Upper
Bound
LD
1.7187
.21094
.000
1.2879
2.1495
ST
PP
ST
PP
LD
1.3020*
-1.7187*
-.4167
-1.3020*
.4167
.21094
.21094
.21094
.21094
.21094
.000
.000
.058
.000
.058
.8712
-2.1495
-.8475
-1.7328
-.0141
1.7328
-1.2879
.0141
-.8712
.8475
50
Uji BNT Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda Terhadap
Nilai Daya Putus Daging.
Multiple Comparisons
Dependent Variable:DPD
(I)
LEVEL
ASAP
CAIR
(J) LEVEL
Mean
ASAP
Difference
CAIR
(I-J)
Std. Error
0%
0.5%
95% Confidence
Interval
Sig.
Lower
Bound
Upper
Bound
.4056
.27233
.147
-.1506
.9617
1%
.6567*
.27233
.022
.1005
1.2128
1.5%
.9022*
.27233
.002
.3461
1.4584
2%
.9967
.27233
.001
.4405
1.5528
0%
-.4056
.27233
.147
-.9617
.1506
1%
.2511
.27233
.364
-.3051
.8073
1.5%
.4967
.27233
.078
-.0595
1.0528
2%
.5911*
.27233
.038
.0349
1.1473
0%
-.6567*
.27233
.022
-1.2128
-.1005
0.5%
-.2511
.27233
.364
-.8073
.3051
1.5%
.2456
.27233
.374
-.3106
.8017
2%
.3400
.27233
.222
-.2162
.8962
0%
-.9022*
.27233
.002
-1.4584
-.3461
0.5%
-.4967
.27233
.078
-1.0528
.0595
1%
-.2456
.27233
.374
-.8017
.3106
2%
.0944
.27233
.731
-.4617
.6506
0%
.27233
.001
-1.5528
-.4405
.27233
.038
-1.1473
-.0349
-.3400
.27233
.222
-.8962
.2162
1.5%
-.0944
.27233
.731
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level
-.6506
.4617
0.5%
1%
1.5%
2%
0.5%
1%
-.9967
-.5911
51
Lampiran 3.
LEVEL
ASAP
CAIR
PP
0%
2.3333
.57735
0.5%
2.0000
.00000
1%
3.0000
.00000
1.5%
4.0000
.00000
2%
5.0000
.00000
Total
3.2667
1.16292
15
0%
4.0000
.00000
0.5%
4.0000
.00000
1%
5.0000
.00000
1.5%
5.0333
.05774
2%
4.6667
.57735
Total
4.5400
.52345
15
0%
3.0000
.00000
0.5%
3.0000
.00000
1%
4.0000
.00000
1.5%
5.0000
.00000
2%
4.9667
.05774
Total
3.9933
.91844
15
0%
3.1111
.78174
0.5%
3.0000
.86603
1%
4.0000
.86603
1.5%
4.6778
.50936
2%
4.8778
.33082
Total
3.9333
1.03155
45
LD
ST
Total
Mean
Std. Deviation
52
Analisis Ragam Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda
Terhadap Skor Keempukan Awal Daging
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Keempukan Awal
Type III Sum
of Squares
Source
df
Mean Square
Corrected Model
45.473
14
3.248
Intercept
696.200
1
696.200
JENIS
12.241
2
6.121
LEVEL
26.980
4
6.745
JENIS * LEVEL
6.252
8
.782
Error
1.347
30
.045
Total
743.020
45
Corrected Total
46.820
44
a. R Squared = .971 (Adjusted R Squared = .958)
F
72.359
1.551E4
136.351
150.260
17.410
Sig.
.000
.000
.000
.000
.000
Mean
Difference
(I-J)
(I) JENIS
OTOT
(J) JENIS
OTOT
PP
LD
-1.2733*
.07736
.000
-1.4313
-1.1153
-.7267*
.07736
.000
-.8847
-.5687
LD
ST
PP
.07736
.000
1.1153
1.4313
.5467
.07736
.000
.3887
.7047
.7267*
.07736
.000
.5687
.8847
LD
-.5467* .07736
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .045.
.000
-.7047
-.3887
ST
ST
PP
Std.
Error
1.2733
Sig.
Lower
Bound
Upper
Bound
53
Uji BNT Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda Terhadap
Skor Keempukan Awal Daging.
Multiple Comparisons
Dependent Variable:KEEMPUKAN
AWAL
(I)
LEVEL
ASAP
CAIR
LSD 0%
(J) LEVEL
Mean
ASAP
Difference
CAIR
(I-J)
0.5%
.09988
.000
-1.0929
-.6849
-1.5667* .09988
.000
-1.7706
-1.3627
.09988
.000
-1.9706
-1.5627
0%
-.1111 .09988
.275
-.3151
.0929
1%
-1.0000* .09988
.000
-1.2040
-.7960
1.5%
2%
0%
0.5%
1.5%
.1111 .09988
Upper
Bound
.3151
2%
1.5%
Sig.
Lower
Bound
-.0929
1.5%
1%
Std.
Error
.275
1%
0.5%
95% Confidence
Interval
-.8889
-1.7667
.09988
.000
-1.8818
-1.4738
.09988
.000
-2.0818
-1.6738
.8889* .09988
.000
.6849
1.0929
-1.6778
-1.8778
.09988
.000
.7960
1.2040
.09988
.000
-.8818
-.4738
1.0000
-.6778
2%
-.8778
.09988
.000
-1.0818
-.6738
0%
1.5667* .09988
.000
1.3627
1.7706
0.5%
.09988
.000
1.4738
1.8818
1.6778
1%
.6778
.09988
.000
.4738
.8818
2%
-.2000 .09988
.054
-.4040
.0040
.09988
.000
1.5627
1.9706
.09988
.000
1.6738
2.0818
.8778* .09988
.000
.6738
1.0818
1.5%
.2000 .09988
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .045.
.054
-.0040
.4040
2%
0%
0.5%
1%
1.7667
1.8778
54
Lampiran 4.
Descriptive Statistics
Dependent Variable:KEBASAHAN
JENIS
OTOT
LEVEL
ASAP
CAIR
PP
0%
3.0000
.00000
0.5%
2.9667
.05774
1%
3.0000
.00000
1.5%
4.0000
.00000
2%
4.0000
.00000
Total
3.3933
.51335
15
0%
4.0000
.00000
0.5%
4.0000
.00000
1%
4.0000
.00000
1.5%
5.0000
.00000
2%
5.0000
.00000
Total
4.4000
.50709
15
0%
4.0000
.00000
0.5%
4.0000
.00000
1%
4.0000
.00000
1.5%
5.0000
.00000
2%
5.0000
.00000
Total
4.4000
.50709
15
0%
3.6667
.50000
0.5%
3.6556
.51747
1%
3.6667
.50000
1.5%
4.6667
.50000
2%
4.6667
.50000
Total
4.0644
.69123
45
LD
ST
Total
Mean
Std. Deviation
55
Analisis Ragam Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda
Terhadap Skor Kebasahan Daging
Source
df
Mean Square
21.016a
14
1.501
743.387
1
743.387
10.134
2
5.067
10.881
4
2.720
.002
8
.000
.007
30
.000
764.410
45
21.023
44
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Corrected Model
Intercept
JENIS
LEVEL
JENIS * LEVEL
Error
Total
Corrected Total
F
6.755E3
3.345E6
2.280E4
1.224E4
1.000
Sig.
.000
.000
.000
.000
.456
(J)
JENI
S
OTO
T
Std.
Error
Sig.
Lower
Bound
Upper
Bound
LD
-1.0067*
.00544
.000
-1.0178
-.9955
ST
-1.0067*
.00544
.000
-1.0178
-.9955
PP
.00544
.000
.9955
1.0178
ST
.0000
.00544
1.000
-.0111
.0111
PP
1.0067*
.00544
.000
.9955
1.0178
LD
.0000 .00544
1.000
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level
-.0111
.0111
LSD PP
LD
ST
1.0067
56
Uji BNT Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda Terhadap
Skor Kebasahan Daging
Multiple Comparisons
Dependent Variable:KEBASAHAN
95% Confidence
Interval
(J)
(I) LEVEL LEVEL
ASAP
ASAP
CAIR
CAIR
LSD 0%
Mean
Difference
(I-J)
Std.
Error
Sig.
Lower
Bound
Upper
Bound
0.5%
.0111
.00703
.124
-.0032
.0255
1%
.0000
.00703
1.000
-.0144
.0144
-1.0000
.00703
-1.0000
.00703
0%
-.0111
.00703
.124
-.0255
.0032
1%
-.0111
.00703
.124
-.0255
.0032
-1.0111
.00703
-1.0111
.00703
0%
.0000
.00703
1.000
-.0144
.0144
0.5%
.0111
.00703
.124
-.0032
.0255
1.5%
-1.0000
.00703
2%
-1.0000*
.00703
0%
1.0000
.00703
.000
.9856 1.0144
0.5%
1.0111
.00703
.000
.9968 1.0255
1%
1.0000*
.00703
.000
.9856 1.0144
2%
.0000
.00703
1.000
0%
1.0000
.00703
.000
.9856 1.0144
0.5%
1.0111
.00703
.000
.9968 1.0255
1%
1.0000*
.00703
.000
.9856 1.0144
1.5%
.0000 .00703
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .000.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
1.000
1.5%
2%
0.5%
1.5%
2%
1%
1.5%
2%
-.0144
-.0144
.0144
.0144
57
Lampiran 5.
LEVEL
ASAP
CAIR
PP
0%
2.0000
.00000
0.5%
2.0000
.00000
1%
3.0000
.00000
1.5%
3.0000
.00000
2%
3.9333
.05774
Total
2.7867
.75296
15
0%
4.0000
.00000
0.5%
4.0000
.00000
1%
4.0000
.00000
1.5%
5.0000
.00000
2%
5.0000
.00000
Total
4.4000
.50709
15
0%
4.0000
.00000
0.5%
3.0000
.00000
1%
4.0000
.00000
1.5%
4.0000
.00000
2%
4.0000
.00000
Total
3.8000
.41404
15
0%
3.3333
1.00000
0.5%
3.0000
.86603
1%
3.6667
.50000
1.5%
4.0000
.86603
2%
4.3111
.51828
Total
3.6622
.87757
45
LD
ST
Total
Mean
Std. Deviation
58
Analisis Ragam Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda
Terhadap Skor Residu Pengunyahan Daging
Source
df
Mean Square
Corrected Model
33.879
14
2.420
Intercept
603.534
1
603.534
JENIS
19.948
2
9.974
LEVEL
9.737
4
2.434
JENIS * LEVEL
4.194
8
.524
Error
.007
30
.000
Total
637.420
45
Corrected Total
33.886
44
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F
1.089E4
2.716E6
4.488E4
1.095E4
2.359E3
Sig.
.000
.000
.000
.000
.000
(J)
JENI
S
OTO
T
Std.
Error
Sig.
Lower
Bound
Upper
Bound
LD
-1.6133*
.00544
.000
-1.6245
-1.6022
ST
-1.0133*
.00544
.000
-1.0245
-1.0022
PP
.00544
.000
1.6022
1.6245
ST
.6000
.00544
.000
.5889
.6111
PP
1.0133*
.00544
.000
1.0022
1.0245
LD
-.6000
.00544
.000
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
-.6111
-.5889
LSD PP
LD
ST
1.6133
59
Uji BNT Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda Terhadap
Skor Residu Pengunyahan
Multiple Comparisons
Dependent Variable:RESIDU PENGUNYAHAN
(I)
LEVEL
ASAP
CAIR
LSD 0%
(J) LEVEL
Mean
ASAP
Difference
CAIR
(I-J)
0.5%
1%
Lower
Bound
Upper
Bound
.3333* .00703
.000
.3190
.3477
-.3333* .00703
.000
-.3477
-.3190
.00703
.000
-.6810
-.6523
2%
-.9778
.00703
.000
-.9921
-.9634
0%
-.3333* .00703
.000
-.3477
-.3190
-.6667
.00703
.000
-.6810
-.6523
1.5%
-1.0000
.00703
.000
-1.0144
-.9856
2%
-1.3111* .00703
.000
-1.3255
-1.2968
0%
0.5%
1.5%
Sig.
-.6667
1%
1%
Std.
Error
1.5%
0.5%
95% Confidence
Interval
.3333
.00703
.000
.3190
.3477
.6667
.00703
.000
.6523
.6810
1.5%
-.3333
.00703
.000
-.3477
-.3190
2%
-.6444* .00703
.000
-.6588
-.6301
0%
0.5%
1%
.6667
.00703
.000
.6523
.6810
1.0000
.00703
.000
.9856
1.0144
.3333* .00703
.000
.3190
.3477
.00703
.000
-.3255
-.2968
.00703
.000
.9634
.9921
1.3111* .00703
.000
1.2968
1.3255
.000
.6301
.6588
1.5%
.3111 .00703
.000
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .000.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
.2968
.3255
2%
2%
0%
0.5%
1%
-.3111
.9778
.6444
*
*
.00703
60
Lampiran 6.
Descriptive Statistics
Dependent Variable:FLAVOUR
JENIS
OTOT
LEVEL
ASAP
CAIR
PP
0%
1.0000
.00000
0.5%
4.0333
.05774
1%
4.9667
.11547
1.5%
5.8000
.17321
2%
5.9000
.10000
Total
4.3400
1.86578
15
0%
1.0000
.00000
0.5%
4.0000
.00000
1%
4.0000
.00000
1.5%
6.0000
.00000
2%
5.6667
.57735
Total
4.1333
1.84649
15
0%
1.0000
.00000
0.5%
3.0000
.00000
1%
5.0000
.00000
1.5%
5.9333
.11547
2%
6.0000
.00000
Total
4.1867
1.99495
15
0%
1.0000
.00000
0.5%
3.6778
.50936
1%
4.6556
.49526
1.5%
5.9111
.13642
2%
5.8556
.32830
Total
4.2200
1.86189
45
LD
ST
Total
Mean
Std. Deviation
61
Analisis Ragam Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda
Terhadap Skor Flavour Daging
Source
df
Mean Square
Corrected Model
151.725
14
10.838
Intercept
801.378
1
801.378
JENIS
.345
2
.173
LEVEL
147.483
4
36.871
JENIS * LEVEL
3.897
8
.487
Error
.807
30
.027
Total
953.910
45
Corrected Total
152.532
44
a. R Squared = .995 (Adjusted R Squared = .992)
F
403.048
2.980E4
6.421
1.371E3
18.116
Sig.
.000
.000
.005
.000
.000
(J)
JENI
S
OTO
T
Std.
Error
Sig.
Lower
Bound
Upper
Bound
LD
.2067
.05988
.002
.0844
.3290
ST
.1533*
.05988
.016
.0310
.2756
PP
-.2067*
.05988
.002
-.3290
-.0844
ST
-.0533
.05988
.380
-.1756
.0690
PP
.05988
.016
-.2756
-.0310
LD
.0533 .05988
.380
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
-.0690
.1756
LSD PP
LD
ST
-.1533
62
Uji BNT Pengaruh Penambahan Asap Cair pada Level yang Berbeda Terhadap
Skor Flavour Daging.
Multiple Comparisons
Dependent Variable:FLAVOUR
(I)
(J)
LEVE LEVE
L
L
Mean
ASAP ASAP Difference
CAIR CAIR
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower
Bound
Upper
Bound
.07730
.000
-2.8356
-2.5199
1%
-3.6556
.07730
.000
-3.8134
-3.4977
1.5%
-4.9111*
.07730
.000
-5.0690
-4.7532
.07730
.000
-5.0134
-4.6977
2.6778
.07730
.000
2.5199
2.8356
-.9778*
.07730
.000
-1.1356
-.8199
.07730
.000
-2.3912
-2.0755
.07730
.000
-2.3356
-2.0199
.07730
.000
3.4977
3.8134
0.5%
.9778*
.07730
.000
.8199
1.1356
1.5%
.07730
.000
-1.4134
-1.0977
.07730
.000
-1.3579
-1.0421
4.9111*
.07730
.000
4.7532
5.0690
.07730
.000
2.0755
2.3912
.07730
.000
1.0977
1.4134
2%
.0556
.07730
.478
-.1023
.2134
0%
4.8556*
.07730
.000
4.6977
5.0134
.07730
.000
2.0199
2.3356
.07730
.000
1.0421
1.3579
1.5%
-.0556
.07730 .478
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
-.2134
.1023
LSD 0%
0.5%
2%
0.5% 0%
1%
1.5%
2%
1%
0%
2%
1.5% 0%
0.5%
1%
2%
0.5%
1%
-2.6778
-4.8556
-2.2333
-2.1778
3.6556
-1.2556
-1.2000
2.2333
1.2556
2.1778
1.2000