fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan proses suatu
penemuan (BNSP, 2007: 13). Secara singkat, pembelajaran IPA juga harus
diarahkan kepada proses inkuiri. Pertanyaan refelktifnya, apakah pembelajaran
berbasis proses penemuan sudah diterapkan dengan baik di sekolah.
Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang termasuk program adaptif di
SMK berdasarkan kurikulum KTSP. Di dalam pembelajaran, program adaptif
diberikan tidak hanya sebatas memahami dan menguasai apa dan bagaimana
suatu pekerjaan dilakukan tetapi juga memberi pemahaman dan penguasaan
tentang mengapa hal tersebut harus dilakukan. Dengan kata lain, siswa SMK
diharapkan dapat sepenuhnya menguasai konsep-konsep fisika yang kemudian
diaplikasikan ke dalam praktek.
Dari hasil TIMSS 2011 untuk Sains, Indonesia menempati urutan ke-40 dari
42 negara. Sedangkan hasil PIRLS untuk Sains, Indonesia menempati urutan ke42 dari 45 negara. Hasil ini menunjukkan Indonesia mengalami penurunan dari
tahun sebelumnya 2007 (Driana, 2012). Dengan kata lain, kemampuan siswasiswa di Indonesia pada bidang Sains masih tergolong rendah dan menurun untuk
saat ini.
Juniardi (2009) melakukan penelitian mengenai miskonsepsi siswa di kelas
XI IPA SMA Negeri 3 Pontianak tentang dinamika rotasi. Sebanyak 36 siswa
(100%) menganggap bahwa bentuk benda tidak berpengaruh terhadap nilai energi
kinetik rotasi. Sebanyak 36 siswa (100%) menganggap bahwa tidak ada pengaruh
terhadap laju rotasi ketika semua penduduk di Bumi pindah ke khatulistiwa.
Sebanyak 28 siswa (77,8%) menganggap bahwa letak gaya tidak mempengaruhi
percepatan sudut batang (Juniardi, 2009). Dari data tersebut, persentase
miskonsepsi tiap indikator masih cukup tinggi. Dengan kata lain, dalam
mempelajari materi dinamika rotasi siswa masih mengalami kesulitan memahami
konsep.
Hasil prariset yang dilakukan di SMKN 1 Mempawah Timur menemukan
siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep gerak rotasi dan siswa
mengalami miskonsepsi. Diantaranya, siswa menganggap bahwa semakin kecil
lengan momen pada lengan sepanar dengan gaya yang sama maka semakin mudah
membuka baut. Siswa mengangap bahwa silinder pejal dan bola pejal sama
mudahnya digelindingkan ke atas bidang miring karena memiliki massa dan jarijari yang sama. Siswa menganggap bahwa letak gaya tidak mempengaruhi
percepatan sudut batang yang berputar. Siswa menganggap bentuk benda tidak
mempengaruhi energi kinetik rotasi. Siswa menganggap momentum sudut dua
buah silinder (berbeda massa) dalam satu poros adalah sama karena memiliki
kecepatan sudut yang sama.
Menurut Suparno (2005: 52) metode mengajar dapat berperan dalam
menciptakan miskonsepsi apabila guru tidak kritis dalam memilih metode yang
tepat dalam pembelajaran. Hasil pengamatan di SMKN 1 Mempawah Timur
metode mengajar guru masih berisi ceramah dan menulis. Model pembelajaran
berbasis penemuan (inkuiri) belum pernah diterapkan di sekolah tersebut. Adapun
tahapan pembelajaran di kelas yang pertama, guru menjelaskan tiap-tiap konsep
sambil menggambar objek di papan tulis. Kedua, siswa ditanya sudah mengerti
atau tidak. Setelah dijawab mengerti, barulah diberikan contoh soal dan kemudian
latihan.
Penyebab miskonsepsi siswa dari hasil prariset adalah reasoning yang tidak
lengkap dan intuisi yang salah. Menurut Suparno (2005: 60) miskonsepsi siswa
disebabkan oleh reasoning yang tidak lengkap atau salah dikarenakan informasi
yang didapat siswa saat pembelajaran tidak lengkap atau salah.Suparno (2005: 38)
berpendapat bahwa intuisi yang salah dan perasaan siswa juga dapat
menyebabkan miskonsepsi.Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang,
yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagsannya tentang sesuatu
sebelum secara obyektif dan rasional diteliti.
Siswa yang mengalami miskonsepsi perlu diobati melalui kegiatan
remediasi dalam pembelajaran. Remediasi adalah kegiatan yang dilaksanakan
untuk membetulkan kekeliruan yang dilakukan oleh siswa (Sutrisno, Kresnadi,
dan Kartono, 2007: 22 unit 6). Salah satu yang dapat diterapkan yaitu dengan
model inkuiri terbimbing. Model inkuiri terbimbing sangat cocok diterapkan di
SMKN 1 Mempawah Timur karena belum terbiasanya siswa dengan proses
pembelajaran inkuiri. Sejalan dengan pendapat Suhaeti (2011: 19) bahwa inkuiri
terbimbing diterapkan bagi siswa-siswa yang belum berpengalaman belajar
dengan pendekatan inkuiri.
Menurut Agung (dalam Andriani, 2011: 133) pembelajaran inkuiri
terbimbing yaitu suatu model pembelajaran inkuiri yang pelaksanaanya guru
menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada siswa. Dalam proses
inkuirinya siswa dibimbing oleh guru dan petunjuk LKS. Intensitas bimbingan
guru akan dikurangi apabila siswa sudah terbiasa dengan proses inkuirinya.
Menurut David M. Hanson (dalam Sofiani, 2011: 17-18) tahapan
pembelajaran model inkuiri terbimbing adalah Orientasi, eksplorasi, pembentukan
konsep, aplikasi, dan penutup. Pada fase eksplorasi siswa melakukan observasi,
mengumpulkan data, dan menganalisis data dari percobaan. Pada tahap ini siswa
dihadapkan pada kenyataan konsep dan mulai diperbaiki miskonsepsinya. Setelah
melakukan percobaan siswa mengobservasi gejala fisika dan apabia tidak sesuai
dengan konsepsi awal maka akan terjadi konflik kognitif dipemikiran mereka.
Sehingga miskonsepsi siswa akan dirubah dan diobati secara perlahan-lahan.
Menurut Paul Suparno (2005: 81) kiat mengatasi miskonsepsi yang disebabkan
reasoning tidak lengkap dan intuisi yang salah adalah menghadapkan siswa pada
kenyataan, rasionalitas, dan anomali. Lebih lanjut untuk memperkuat reasoning
siswa, guru memberikan validasi terhadap kesimpulan siswa di fase penutup.
Model inkuiri terbimbing sudah pernah diteliti sebelumnya dan terbukti
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA. Erlina Sofiani
(2011: 56) melaporkan bahwa model inkuiri terbimbing berpengaruh terhadap
hasil belajar fisika siswa pada konsep listrik dinamis di SMP Negeri 1 Sukajaya.
Nely Andriani (2011: 136) melaporkan bahwa model inkuiri terbimbing efektif
diterapkan dalam mata pelajaran fisika pokok bahasan cahaya di SMPN 2 Muara
Padang. Narni Lestari Dewi (2013: 9) melaporkan hasil belajar siswa pada
pelajaran IPA dengan model inkuiri terbimbing lebih baik model konvensional di
SD Negeri kelurahan Kaliuntu.
60%
50,90%
No.
Soal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Total
A
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
2
B
C
D
p
Signifikan
6
5
4
0,0625
0,05
Tidak Signifikan
1
9
5
0,03125
0,05
Signifikan
1
7
6
0,0625
0,05
Tidak Signifikan
1
9
5
0,03125
0,05
Signifikan
4
8
3
0,125
0,05
Tidak Signifikan
2
5
7
0,03515
0,05
Signifikan
4
6
5
0,03125
0,05
Signifikan
0
8
7
0,0078125
0,05
Signifikan
1
9
5
0,03125
0,05
Signifikan
4
7
4
0,0625
0,05
Tidak Signifikan
1
9
5
0,03125
0,05
Signifikan
25
82
56
0,046519
0,05
Signifikan
kurang dari
Keterangan:
A = Jumlah siswa yang menjawab benar pada Pre-test, dan salah pada Post-test
B = Jumlah siswa yang menjawab benar pada Pre-test, dan benar pada Post-test
C = Jumlah siswa yang menjawab salah pada Pre-test, dan salah pada Post-test
D = Jumlah siswa yang menjawab salah pada Pre-test, dan benar pada Post-test
Berdasarkan uji Binomial pada Tabel 3 di atas diperoleh ratarata (0,046519) < (0,05)untuk
=
= 1/2
. Hal ini menunjukkan bahwa
6
secara umumterjadiperubahan konseptual siswa yang signifikan tentang gerak
rotasi antara sebelum dan sesudah diberikan remediasi menggunakan model
inkuiri terbimbing.
Dari perhitungan effect size diperoleh nilai Es = 1,6588 (tergolong
tinggi).Dengan demikian, model inkuiri terbimbing efektif dalam meremediasi
miskonsepsi siswa tentang gerak rotasidi SMKN 1 Mempawah Timur. Hal
tersebut sesuai dengan harga effect size, yaitu jika ES> 0,7 maka efektivitasnya
tergolong tinggi.
Pembahasan
Berdasarkan bentuk miskonsepsi yang ditemukan dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Menurut Suparno (2005: 29) secara garis besar penyebab
miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu: siswa, guru, buku teks,
konteks, dan metode mengajar.
Penyebab miskonsepsi yang diduga berasal dari siswa adalah reasoning
yang tidak lengkap (Suparno, 2005: 38). Alasan tidak lengkap dapat disebabkan
karena informasi yang diperoleh atau data yang didapatkan tidak lengkap saat
pembelajaran. Dari miskonsepsi yang ditemukan besar kemungkinan informasi
yang didapat siswa saat pembelajaran sebelumnya hanya sebatas cara berhitung.
Guru berpusat pada contoh soal yang melatih kemampuan berhitung, sehingga
ketika ditanya soal yang berhubungan dengan konsep siswa tidak mampu
menjawab. Akibatnya, siswa menarik kesimpulan secara salah dan menyebabkan
timbulnya miskonsepsi siswa.
Selain reasoning yang tidak lengkap intuisi siswa yang salah juga diduga
ikut menjadi penyebab miskonsepsi siswa. Menurut Paul Suparno (2005: 38)
intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang, yang secara spontan
mengungkapkan sikap atau gagsannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif
dan rasional diteliti. Intuisi siswa yang salah terhadap konsep gerak rotasi
dikarenakan dalam pembelajaran siswa tidak selalu dihadapkan pada fenomena
atau kenyataan alam yang terkait konsep fisika. Akibatnya,konsepsi-konsepsi
siswa yang terbentuk berdasarkan intuisi sendiri tidak sesuai dengan konsepsi
ilmuan dan mengalami miskonsepsi.
Cara mengajar juga dapat menyebabkan miskonsepsi siswa apabila guru
langsung menjelaskan ke dalam bentuk matematika (Suparno, 2005: 53).
Mungkin saat pembelajaran, siswa dapat menyelesaikan soal tentang konsep gerak
rotasi yang hanya memasukkan angka ke dalam rumus. Tetapi siswa tidak dapat
menjelaskan secara fisis dari jawaban akhir yang dikerjakannya. Hal ini
dikarenakan guru kurang menekankan penjelasan tentang konsep di awal
pembelajaran.
Berdasarkan penyebab miskonsepsi siswa yaitu, reasoning yang tidak
lengkap, intuisi siswa yang keliru, dan cara mengajar guru dapat diperbaiki
dengan memilih kiat-kiat yang tepat. Menurut Paul Suparno (2005: 81) penyebab
model reasoning yang tidak lengkap dan intuisi siswa yang keliru, kiat
mengatasinya dihadapkan pada kenyataan, anomali, dan rasionalitas. Cara
mengajar guru yang langsung masuk kebentuk matematika dapat diatasi memulai
pembelajaran dengan gejala nyata baru (Suparno, 2005:82).
7
Penyebab miskonsepsi siswa harus disesuaikan dengan tahapan
pembelajaran inkuiri terbimbing agar remediasi yang dilakukan tepat sasaran.
Menurut David M. Hanson (dalam Sofiani, 2011: 17) tahapan pembelajaran
inkuiri terbimbing, yaitu orientasi, eksplorasi, pembentukan konsep, aplikasi, dan
penutup.
Pada tahap pertama (orientasi), menggali pengetahuan awal siswa sehingga
siswa tertarik dan siap untuk mengikuti proses pembelajaran. Pada tahap ini
pengetahuan awal siswa sudah didapat berdasarkan pre-testdan saat pembelajaran
guru menyajikan masalah dalam bentuk gambar dari soal pre-test. Menurut Paul
Suparno (2005: 82) memberi kesempatan siswa mengungkapkan gagasan
merupakan kiat mengatasi miskonsepsi dari segi mengajar guru.
Pada tahap orientasi siswa tidak antusias untuk mengungkapkan hipotesis
mereka hanya beberapa siswa yang menunjuk tangan. Dari awal, sudah terlihat
bahwa keingintahuan sebagian besar siswa di kelas untuk mengetahui sesuatu
tidak terlalu kuat. Kemungkinan penyajian masalah dalam bentuk gambar kurang
dapat menunjukkan fenomena atau gejala fisika yang dianggap ganjil bagi siswa,
sehingga siswa lebih cenderung untuk tidak mengungkapkan ide-idenya. Hal
tersebut belum sesuai dengan pendapat C.V. Schwarz & Y.N. Gwekwerere (dalam
Nurtafita, 2011: 14) bahwa inkuiri terbimbing meminta siswa menyampaikan ideide mereka sebelum pembelajaran dengan menyelidiki sebuah gejala atau
fenomena yang mereka anggap ganjil.
Tahap kedua yaitu (eksplorasi), guru mengajak siswa untuk melakukan
observasi melalui kegiatan percobaan sederhana. Dalam tahap ini percobaan
setiap konsep menggunakan alat peraga yang bertujuan menghadapkan siswa pada
kenyataan. Karena dengan menghadapkan siswa kepada kenyataan dan
rasionalitas dapat mengobati miskonsepsi dari penyebab reasoning tidak lengkap
dan intuisi yang salah (Suparno, 2005: 82).
Dari observasinya, gejala fisika tidak diungkapkan secara bebas oleh siswa.
Percobaan yang dilakukan sudah dirumuskan gejala fisikanya di LKS oleh guru.
Jadi siswa hanya memilih gejala yang dialami saat percobaan yang telah
dirumuskan. Dalam hal ini, guru hanya membantu siswa yang kesulitan
memahami arahan LKS dan mengarahkan dalam merangkai alat, sehingga
memungkinkan terjadinya proses tebakan saat memilih gejala fisika yang
diobservasi siswa.
Waktu yang direncanakan pada tahap eksplorasi tidak sesuai dengan yang
sudah direncanakan lebih dari 45 menit. Hal ini dikarenakan, sulitnya mengajak
siswa untuk melakukan kegiatan observasi dalam percobaan. Siswa yang aktif
hanya beberapa orang dari tiap kelompok dan hanya mengandalkan teman.
Padahal guru sudah mengantisipasi meberikan LKS kepada setiap siswa sebagai
tanggung jawab masing-masing. Akibatnya siswa yang pasif hanya menyalin data
yang telah ditemukan oleh temannya. Sehingga kerja kelompok menjadi tidak
maksimal karena hanya sedikit siswa yang bekerja dan selesai lebih lama dari
waktu yang sudah direncanakan. Menurut Jerome Bruner (dalam Khasanah, 2011:
14) salah satu kelemahan model inkuiri adalah siswa yang terbiasa dengan
pembelajaran tradisional biasanya agak sulit memberi dorongan mengikuti
pembelajaran inkuiri.
Dari segi mengajar guru gaya model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat
mengatasi penyebab miskonsepsi. Model pembelajaran yang berangkat dari fakta
menuju teori (Trianto, 2007: 134). Pertama, siswa diajak melihat suatu gejala dan
pengaruhnya atau mempraktekkannya. Kedua, siswa membuat hubungan kualitatif
dari faktor-faktor yang mempengaruhi gejala tersebut. Ketiga, dijelaskan konsep
fisika apa yang terkait dari gejala tersebut dan menuliskan persamaan kuantitatif.
Dengan gaya pembelajaran seperti ini, akan meminimalisir cara mengajar guru
yang langsung kebentuk matematika.
Tahap ketiga (pembentukan konsep), dalam tahap ini siswa dengan masingmasing kelompoknya melakukan aktifitas diskusi. Setiap siswa dari masingmasing kelompok diberikan kesempatan untuk memaparkan hasil yang mereka
dapatkan. Pada tahap ini siswa menemukan hubungan kualitatif dari faktor-faktor
yang mempengaruhi suatu konsep (LKS lampiran A-7). Meskipun demikian, pada
tahap ini arahan dan bimbingan guru sangat dibutuhkan.
Bentuk bimbingan dan arahan guru adalah berupa pertanyaan-pertanyaan
pengarah agar siswa sampai pada kesimpulannya. Kesimpulan yang dibuat di LKS
hanya melengkapi kalimat dengan kata kunci. Jadi, pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan guru yaitu kembali menekan dari data yang diperoleh di tahap
eksplorasi.
Proses diskusi yang dilaksanakan dalam tahap ini yaituuntuk membuat
kesimpulan dari percobaan. Dari kesimpulan yang dipresentasikan semua
kelompok sudah sesuai dengan konsep. Tetapi saat proses diskusi guru tidak dapat
secara maksimal memantau kegiatan siswa. Ada kemungkinan siswa yang pasif
saat percobaan ketika berdiskusi hanya menyalin kesimpulan dari temannya.
Ditambah lagi kesimpulan yang dibuat hanya melengkapi kata kunci. Sehingga
tidak dapat dipastikan secara keseluruhan perubahan konseptual siswa
berdasarkan pengalaman atau kenyataan yang didapat saat percobaan.
Terkait perubahan konseptual siswa saat berdiskusi ada kemungkinan
konsepsi awal mereka dirubah total, tidak dibuang hanya menambahkan, atau
mengisi konsepsi mereka. Setelah diremediasi ada siswa yang mengalami proses
akomodasi, asimilasi, dan yang tidak tahu menjadi tahu.
Pada tahap keempat (aplikasi konsep) dalam tahap ini siswa mengerjakan
soal pre-test dan membuktikan hipotesis mereka. Soal yang dikerjakan adalah
konsep momen gaya (nomor 1 dan 2), resultan momen gaya (nomor 3 dan 4), dan
konsep percepatan sudut (nomor 9 dan 10). Pada tahap ini guru memberikan
pelajaran IPA dengan model inkuiri terbimbing lebih baik model konvensional di
SD Negeri kelurahan Kaliuntu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis data yang dilakukan maka simpulan dalam
penelitianini adalah remediasi menggunakan model inkuiri terbimbingefektif
untuk mengatasi miskonsepsi siswa di SMKN 1 Mempawah Timurtentang gerak
rotasi. Rata rata persentase jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi pada pretest sebesar 84,24% dan rata rata persentase jumlah siswa yang mengalami
miskonsepsi pada post-test sebesar 50,90%.Dengan demikian, terjadi penurunan
rata-rata persentase miskonsepsi siswa sebesar 33,34 %.Selain itu, terjadi
perubahan konseptual yang signifikan pada siswa sebelum dan sesudah dilakukan
remediasi menggunakan model inkuiri terbimbing, yaitu diperoleh
10
(0,046519) < (0,05)untuknilai
=
= 1/2
. Efektivitas penggunaan model
inkuiri terbimbingpada penelitian ini tergolong tinggi, yaitu Es = 1,6588.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan keterbatasan dalam
penelitian ini, peneliti memberikan saran sebagai berikut: (1) sebaiknyajika
memungkinkan percobaan dilaksanakan di luar kelas agar mendapatkan suasana
berbeda. (2) sebaiknya alat peraga yang digunakan adalah alat-alat praktek SMK
yang ada konsep gerak rotasinya.(3)untuk penelitian berikutnya di tempat yang
sama mengklasifikasikan siswa ditinjau dari minat belajar dan menghubungkan
terhadap perubahan konseptual siswa. (4) sebaiknyaperangkat pembelajaran
seperti RPP dan LKS divalidasi terlebih dahulu dan menggunakan Observer saat
remediasi. (5) sebaiknya LKS inkuiri terbimbing harus dirancang dengan
pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa pada suatu kesimpulan.
DAFTAR RUJUKAN
Andriani, Nely. (2011). Efektifitas Penerapan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
(Guided Inquiry) pada Mata Pelajaran Fisika Pokok Bahasan Cahaya di
Kelas VII SMP Negeri 2 Muara Padang. Jurnal Ilmu
Pendidikan.(Online).
(http://www.prosiding.papsi.org/index.php/SFN/article/viewFile/210/221,
12 Juni 2013 ).
BNSP. (2007). Standar Isi Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Depdiknas.
Dewi, Narni Lestari. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Terhadap Sikap Ilmiah dan Hasil Belajar IPA. Jurnal Ilmu
Pendidikan.(online).
(http://pasca.undiksha.ac.id/ejournal/index.php/jurnal_pendas/article/download/512/304, 12 Juni 2013).
Driana, Elin. (2012, 14 Desember, hal:1). Gawat Darurat Pendidikan.Kompas.
11
Inovatif
Pengembangan
Berorientasi
12