Sumber: http://carpetmoss.wordpress.com/
Semua ambisi itu sah, kecuali yang dicapai dengan menyengsarakan dan menginjakinjak kepercayaan orang lain (Joseph Conrad)
Assalamualaikum Wr Wb
Surat ini kutulis dengan hati berbunga. Rasanya terlalu cepat kau menginjak dewasa.
Tampak matang kau ketika bersibuk mempersiapkan diri, cari tempat tinggal baru.
Waktu kadang seperti sebilah kilatan cahaya. Melesat meninggalkan ku bersama
guratan kenangan. Ingatan ku padamu nak, tak bisa dihapus usia: semasa kecil kau
sekolah TK. Ada rasa takut saat pertama ku antar kau kesana. Tapi guru TK itu
memberi uluran senyum, menyapa seakan beri percaya. Hingga ku yakin kau berada di
tangan pendidik yang selalu bahagia. Rekaman itu berulang-ulang ku saksikan diantara
foto-foto TK mu yang lucu. Olehmu, aku kau buat lupa sulitnya membesarkanmu
seorang diri.
Sejak SD kau sudah pintar menyebut nama. Ibu kota hingga lagu kebangsaan fasih kau
lagukan. Di SMP hapalannya sampai menyebut apa itu tugas MK. Di SMU lebih hebat
lagi: kau utarakan pendapat tentang keadaan. Hari itu ku lihat kau bukan lagi anak kecil
yang takut pada kenyataan. Sesekali aku kuatir dan cemas jika kau nanti dapat nilai
buruk. Tapi kenyataan telah paksa aku belajar bahwa hidup itu sandaranya adalah
sabar dan kekuatannya ada di rasa percaya. Tak terasa kini kau sudah mahasiswa.
Aku, dan kuyakin juga almarhum ayahmu, seperti melepas sebuah kereta. Nama kereta
itu adalah pengalaman dengan tujuan ke kota harapan.
Memang biayanya tak kecil nak. Aku berusaha apapun untuk mendapatkan tiket itu.
Biarlah peluh keringat itu bercampur dengan darah asalkan kau bisa kuliah. Bagi ku
kebanggaan itu tak ada harganya, dan pengetahuan itu tak ada kuitansinya. Tentu
kalau boleh jujur biaya masuk itu berat untuk ku: tapi mana ada kampus yang biayanya
murah, nak?!. Walau kadang aku bertanya dalam hati: mengapa biayanya sebesar itu
dan untuk keperluan apa saja sebenarnya? Tapi aku bingung kemana akan
menanyakan itu semua, apakah didengarkan, dan apakah akan ada jawabannya. Ah,
lebih baik aku percaya saja bahwa kampus memang akan melahirkan orang pintar,
karena itu harus dengan biaya besar.
Maka pesanku nak:
tumbuh: menjadi penyayang dan pemberani. Jangan takut melawan tapi takutlah kamu
pada sikap diam melihat penindasan.
Maka jika ada permasalahan, jangan lari dan sembunyi dalam galau. Hadapi dengan
berani. Keberanian bukan hadiah kehidupan, ia adalah upah dari kerja melawan
ketakutan. Tiap kau berjumpa persoalan kemanusiaan maka berusalah tegak di
hadapanya. Jangan kamu jadi pengecut dan lari menjauh dari persoalan. Jangan kau
jadi anak egois, tak peduli dan tak mau mengerti. Bahkan ketika kuliah mu terganggu
dan kau terancam, aku akan lebih bangga karena kau telah jujur pada keadaan. Besar
hatiku menyaksikan mu tumbuh dengan pengalaman berjuang melawan ketidak-adilan
dan mau berkorban untuk kepentingan kemanusiaan. Aku tak hanya mengantarkan kau
menjadi sarjana bertoga tapi ingin menjemputmu sebagai sarjana yang punya
pengalaman membela. Banggaku bukan pada nilai terbaikmu melainkan pengalaman
muda yang mengasah prinsip kemanusiaanmu.
Ku katakan ini semua bukan tanpa tujuan.
Aku sungguh takut kau jadi seperti mereka yang kini ada di penjara. Para mahasiswa
teladan yang hidupnya berhasil tapi berbuat nista. Seorang jaksa muda menerima suap
dari kliennya, atau seorang ketua partai yang masih berusia muda terbukti mencuri
uang negara. Dulunya mereka pintar dan punya prestasi sempurna. Malahan ada yang
jadi dosen teladan dengan ringan menerima suap dari perusahaan yang harusnya
diawasinya. Sakit hati orang tua melihat anaknya yang sarjana lalu berbuat nista pada
sesamanya. Walau tak sedikit juga orang tua yang senang anak sarjananya
membohongi dan memanfaatkan sesama demi menjadi kaya. Kita bukan dibesarkan
dari keluarga demikian, nak. Tiap hari aku berdoa semoga kau di masa mendatang
tidak terjerembab seperti mereka.
Karena itu nak jangan mudah terpesona tahta dan harta. Tahta itu posisi yang
menyanjung kau sebagai orang penting. Ketika kau anggap dirimu harus diperlakukan
istimewa, rindu untuk diberi sanjungan, dan merasa diri paling benar: itulah awal mula
keculasan. Demikian pula harta yang memberi kau kemudahan untuk memiliki apapun.
Tak ada dalam rencanaku ketika membesarkanmu untuk hanya jadi mahasiswa
yang doyan belanja. Nilaimu bukan pada baju yang kau pakai,merk motor yang kau
bawa atau jenis HP yang kau miliki. Nilai dirimu ada pada kesediaanmu untuk hidup
ada adanya, berkorban untuk kepentingan yang melebihi kepentinganmu sendiri, dan
mau membela siapa saja yang dilukai harkat kemanusiaanya. Ingat nak, nilai dirimu
bukan diletakkan pada apa yang kau miliki tapi apa yang sanggup kau lakukan untuk
dirimu sendiri, sesamamu, dan lingkunganmu!
Itu sebabnya nak pandai-pandailah menjaga diri. Jangan terlalu larut dengan kehidupan
kampus yang memuja penampilan. Juga jangan terlalu cemas melihat keadaan
sehingga kau kucilkan diri dan mengutuk semuanya. Terlibatlah dalam kehidupan
sebagai anak muda optimis, kritis dan memberi pengaruh positif. Jika perlu ajaklah
teman-temanmu untuk belajar tidak di kelas. Datangilah mereka yang dilanda
Sekarang, aku tak lagi bisa menemanimu seperti pada masa TK dulu. Aku tak sanggup
lagi menggenggam tanganmu untuk ku ajak melihat kegembiraan seperti waktu kecil
dulu. Kini saatnya kau genggam tangan kawan-kawanmu, rakyat kebanyakan yang
sedang mengalami kesulitan: buruh yang digaji kecil, petani yang disita tanahnya,
pedagang kecil yang digusur lapaknya, nelayan yang susah hidupnya, perempuan yang
jadi korban kekerasan di rumah dan di luar negeri, orang-orang yang entah kenapa tak
boleh beribada dengan tenang atas keyakinannya. Ada aku diantara mereka, nak.
Genggam tangan mereka dan berbagi kepercayaan bersama mereka. Sungguh bukan
buku kuliah, ruang kuliah atau IP yang akan membesarkan harapanku: tapi jiwa
mudamu yang mudah tersentuh dan peka pada penderitaan sesama.
Kelak aku bisa cerita pada yang lain kalau anakku bukan sekedar mahasiswa. Anakku
belajar jadi dewasa di perguruan tinggi: punya sikap dan tak ragu berkorban untuk
sesama. Anakku bukan duduk di kampus saja, tapi di belantara kehidupan rakyat yang
kini mengalami derita. Bukunya bukan hanya diktat kuliah, tapi pengalaman memahami
dan membela. Ajarannya tidak jadi hapalan dan dogma tapi perlawanan menentang
ketidakadilan. Kelak ketika dekan atau rektor hendak melantikmu jadi sarjana, biar
orang-orang kecil dan miskinlah yang pindahkan tali toganya.
Aku hanya titip pesan padamu nak, jangan sesekali kamu diperhamba oleh aturan, dan
jangan pula takluk oleh ancaman. Aku tak ingin kau jadi mahasiswa yang gampang
menyerah pada keadaan. Dan pelajaran kuliahmu tak satupun akan ajari kau budi
pekerti itu.
Kusudahi surat ini sambil menatap wajah kecilmu. Lucu, nekat dan penuh keberanian.
Tak ada cita-cita yang terlalu besar kukorbankan demi bersarkan kau untuk tunaikan
cita-citamu.
Tugasku hampir selesai. Sekarang ku lepas kau bukan pada guru yang penuh
perhatian, tempat yang padat aturan, tapi kehidupan mahasiswa yang sarat
petualangan. Tak sabar aku tunggu kabar petualangan darimu. Ku tunggu kisahmu
tegakkan keadilan dan ku nanti beritamu tentang perubahan. Aku tak akan bertanya
berapa nilai ujianmu atau kapan kau akan tamatkan kuliahmu. Sebab aku percaya
ketika ku antarkan kau ke kampus, kau akan belajar berterima kasih atas kursi kuliahmu
yang diatasnya ada darah dan perjuangan orang-orang yang pernah dan tak bisa
mendudukinya. Disana kau akan mengerti apa itu nilai, yang peluhnya adalah
pengorbanan dan cara meraihnya dengan keberanian. Ketika kau pahami itu, maka
tugasku akan selesai.
Nak, tak perlu berterima kasih, tapi sampaikan rasa terima kasihmu pada rakyat kecil
yang akan memberi mu pelajaran tentang kebenaran dan perjuangan. Juga minta
perlindungan dari Nya sehingga kau diberi kekuatan Iman, Harapan dan Keteguhan.
Tuhan akan selalu menyertai siapa saja anak muda yang teguh memegang kebenaran
dan berani memperjuangkannya.
*Eko Prasetyo adalah Badan Pekerja Social Movement Institute (SMI) di Yogyakarta,
dan Zely Ariane adalah anggota Politik Rakyat. Keduanya sedang berkolaborasi
menulis buku yang mudah-mudahan bisa cepat terbit.
1 Dari puisi To the Students of the Workers and Peasants Faculty, Bertolt Brecht.