Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi
malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegaly. Dapat
berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun
mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.1

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus plasmodium
dari family plasmodidae.1
Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hepar dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh
nyamuk yaitu Anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang
menginfeksi binatang.1
Transmisi dan Epidemiologi
Daur Hidup Parasit Malaria

Infeksi parasit malaria pada umumnya mulai bila nyamuk Anopheles betina menggigit
manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana sebagian
besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hepar dan sebagian kecil sisanya akan mati di
darah. Di dalam sel parenkim hepar mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony
atau pre-erytrocites schyzogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk
Plasmodium falciparum dan 15 hari untuk Plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hepar
terinfeksi, terbentuk skizon hepar yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke
sirkulasi darah. Pada P. vivax dan ovale, sebagian parasit dalam sel hepar membentuk hipnozoit
yang akan bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya
relaps pada malaria.
2

Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen Duffy fya atau fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy negativ
tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P. falciparum diduga suatu glycophorins,
sedangkan pada P. malariae dan P. ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang dari 12 jam
parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P. falciparum menjadi bentuk stereo-headphones,
yang mengandung kromatin yang dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah
memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen yang disebut hemozoin
yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding
berubah lonjong, pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang disebut knob
yang nantinya penting dalam proses cytoadherence dan rosetting. Setelah 36 jam invasi ke dalam
eritrosit, parasit berubah menjadi skizon, dan bila skizon pecah akan mengeluarkan 6-36
merozoit dan siap menginfeksi eritrosit lain. Siklus aseksual ini pada P. falciparum, P. vivax dan
P. ovale ialah 48 jam dan pada P. malariae adalah 72 jam.1
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk .
setelah terjadi perkawinan akan berbentuk zigot dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet
yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk ookista yang akan menjadi
dewasa dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar air liur nyamuk dan siap
menginfeksi manusia.1
Tingginya side positive rate (SPR) menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis
penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi endemisitas dibagi menjadi:1

Hipoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 0-10%


Mesoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
Hiperendemik : bila parasit rate atau spleen rate 50-75%
Holoendemik : bila parasit rate atau spleen rate >75%

Parasite rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2-9 tahun.
Pada daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada daerah
hiperendemik dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia anak-anak (2-10
tahun), sedangkan pada daerah hipoendemik banyak dijumpai malaria serebral, malaria dengan
gangguan fungsi hepar atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.1

Tabel 1. Penyebaran geografik vektor malaria di Indonesia


Pulau

Irian Jaya

Jawa

Sumatera
3

Kalimantan

Sulawesi

1.

A. aitkenii

1.

A. umbrosus

1.

A. beazai

1.

A. letifer

1.

A. roperi

1.

A.barbirostris *

1.

A. vanus

1. A. bancrofti

1. A. sinensis

1. A. nigerrimus

1. A. kochi

1. A. tesselatus

1. A.leucoshyrus
1. A.balabacensis

1. A.punctulatus

1. A. farauti

1. A. koliensis

1. A. aconitus

1. A. minimus

1. A. flavirostris

1. A. sundaicus

1. A. annularis

1. A. maculatus

1. A. subpictus

Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropik dan subtropik, namun bisa juga
hidup di daerah beriklim sedang dan bahkan di daerah Antarika. Anopheles jarang ditemukan
pada ketinggian 2000 2500 m, sebagian Anopheles ditemukan di dataran rendah.
Semua vektor tersebut hidup sesuai dengan kondisi ekologi setempat, antara lain ada
nyamuk yang hidup di air payau pada tingkat salinitas tertentu (An. sundaicus, An. subpictus),
ada yang hidup di sawah (An. aconitus), air bersih di pegunungan (An. maculatus), genangan air
yang terkena sinar matahari (An. punctulatus, An. farauti). Kehidupan nyamuk sangat ditentukan
oleh keadaan lingkungan yang ada, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, dan sebagainya.
4

Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun 2007 dapat dipantau
dengan menggunakan indikator Annual Parasite Incidence (API). Hal ini sehubungan dengan
kebijakan Kementerian Kesehatan mengenai penggunaan satu indikator untuk mengukur angka
kejadian malaria, yaitu dengan API. Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di
Indonesia. Berdasarkan API, dilakukan stratifikasi wilayah dimana Indonesia bagian Timur
masuk dalam stratifikasi malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan,
Sulawesi dan Sumatera sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah, meskipun
masih terdapat desa/fokus malaria tinggi.2
Dari tahun 2006 2009 Kejadian Luar Biasa (KLB) selalu terjadi di pulau Kalimantan
walaupun kabupaten/kota yang terjangkit berbeda-beda tiap tahun. Pada tahun 2009 , KLB
dilaporkan terjadi di pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten), Kalimantan
(Kalimantan Selatan), Sulawesi (Sulawesi Barat), NAD dan Sumatera (Sumatera Barat,
Lampung) dengan total jumlah penderita adalah 1.869 orang dan meninggal sebanyak 11 orang.
KLB terbanyak di pulau Jawa yaitu sebanyak 6 kabupaten/kota . Sebaran KLB dari tahun 2006
2009 dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.2

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 1. Kejadian Luar Biasa (KLB) Tahun 2006 - 2009

Menurut data statistik rumah sakit, angka kematian (CFR) penderita yang disebabkan
malaria untuk semua kelompok umur menurun drastis dari tahun 2004 ke tahun 2006 (dari
10,61% menjadi 1,34%). Namun dari tahun 2006 sampai tahun 2009 CFR cenderung meningkat
hingga lebih dua kali lipat. Hal ini perlu menjadi perhatian dan dilakukan evaluasi agar dapat
diketahui penyebab meningkatnya angka kematian dan dilakukan upaya pencegahannya. 2

Sumber : Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI, 2009


Gambar 2. Gambar Pasien Rawat Inap Penyakit Malaria tahun 2004 2009
Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria
1. Faktor Agent ( penyebab infeksi)
Untuk kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi memerlukan 2 macam siklus, yaitu:
1) Siklus di luar sel darah merah (siklus preeritrositer)
Siklus ini berlangsung di dalam sel hati. Jumlah merosoit yang dikeluarkan skizon hati berbeda
untuk setiap spesies. P. falciparum menghasilkan 40.000 merosoit, P. vivax lebih dari 10.000, P. ovale
15.000 merosoit. Di dalam sel darah merah membelah, sampai sel darah merah tersebut pecah. Setiap
merosoit dapat menghasilakn 20.000 sporosoit. Pada P. vivax dan P. ovale ada yang ditemukan dalam
bentuk laten di dalam sel hati dan disebut hipnosoit sebagai suatu fase dari siklus hidup parasit yang dapat
menyebabkan penyakit kumat/kambuh (long term relapse). Bentuk hipnosoit dari P. vivax bisa hidup
sebagai dormant stage sampai beberapa tahun. Sejauh ini diketahui bahwa P. vivax dapat kambuh berkalikali sampai jangka waktu 34 tahun, sedangkan P.ovale sampai bertahun-tahun, bila pengobatan tidak
adekuat. P. falciparum dapat persisten selama 12 tahun dan P. malariae sampai 21 tahun.2
2) Siklus di dalam sel darah merah (eritrositer)
Siklus skizogoni eritrositer yang menimbulkan demam. Merosoit masuk kedalam darah kemudian
tumbuh dan berkembang menjadi 924 merosoit (tergantung spesies). Pertumbuhan ini membutuhkan
waktu 48 jam untuk malaria tertiana (P. falciparum, P.vivax dan P.ovale), serta 72 jam untuk malaria
quartana (P. malariae). Fase gametogoni yang menyebabkan seseorang menjadi sumber penular penyakit
bagi vektor malaria. Beberapa parasit tidak mengulangi siklus seksual, tetapi berkembang menjadi
gametosit jantan dan gametosit betina. Gametosit pada P.vivax dan P.ovale timbul 23 hari sesudah terjadi
parasitemia, P. falciparum 614 hari dan P.malariae beberapa bulan kemudian.2
6

2. Vektor Malaria
Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk hanya dari genus Anopheles. Di Indonesia sendiri telah
diidentifikasi ada 90 spesies dan 24 spesies diantaranya telah dikonfirmasi sebagai nyamuk penular
malaria. Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3
spesies Anopheles yang menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki habitat, mulai dari rawarawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain.
Hanya nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah yang diperlukan untuk pertumbuhan telur
nyamuk . Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria. 2
Secara umum nyamuk yang diidentifikasi sebagai penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan
istirahat yang bervariasi yaitu:
a) Zoofilik
b) Anthropofilik

: nyamuk yang menyukai darah binatang.


: nyamuk yang menyukai darah manusia.

c) Zooanthropofilik

: nyamuk yang menyukai darah binatang dan juga manusia.

d) Endofilik

: nyamuk yang suka tinggal di dalam rumah/bangunan.

e) Eksofilik

: nyamuk yang suka tinggal di luar rumah.

f) Endofagik

: nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah/bangunan.

g) Eksofagik

: nyamuk yang suka menggigit di luar rumah.

Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatera adalah A. sundaicus, A. maculatus, A. aconitus dan A.
balabacensis. Sedangkan di luar pulau tersebut, khususnya Indonesia wilayah tengah dan timur adalah
A.barbirostis, A. farauti, A. koliensis, A. punctulatus, A. subpictus dan A. balabacensis. Tempat tinggal
manusia dan ternak merupakan tempat yang paling disenangi oleh Anopheles. Ternak besar seperti sapi
dan kerbau dapat mengurangi gigitan nyamuk pada manusia (cattle barrier), apabila kandang hewan
tersebut diletakkan di luar rumah tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah.
Faktor Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Manusia menjadi sumber infeksi malaria bila
mengandung gametosit dalam jumlah yang besar dalam darahnya, kemudian nyamuk mengisap darah
manusia tersebut dan menularkan kepada orang lain. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis
kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada
gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal yang
diperoleh secara transplasental.2

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons imun yang lebih kuat
dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko malaria. Malaria pada wanita hamil
mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada manusia
7

dapat mempengaruhi terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah
respons immunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor.2
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, ada beberapa faktor lingkungan
yang sangat berperan yaitu :
1) Lingkungan fisik
Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi malaria di
Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda pada setiap spesies. Pada suhu 26,7C masa inkubasi ekstrinsik
adalah 10-12 hari untuk P.falciparum dan 8-11 hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk P.malariae dan
P.ovale.
a. Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara
20 30C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni)
dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.
b. Kelembaban
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada
parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidup nyamuk.
Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk jadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga
meningkatkan penularan malaria.
c. Hujan
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria.
Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan.
Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles.
d. Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan
jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang
merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah.
e. Ketinggian
Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini berhubungan
dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000 m diatas permukaan laut jarang ada
transmisi malaria, hal ini dapat mengalami perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino.
Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan malaria.
f. Sinar matahari
8

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. A. sundaicus lebih
suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan A.pinctulatus lebih menyukai tempat yang terbuka.
A.barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.
g. Arus air
A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir lambat, sedangkan
A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer menyukai air tergenang.2
2) Lingkungan biologik
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan
larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya.
Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain
akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat
mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh
jaraknya dari rumah.2
3) Lingkungan kimiawi
Kadar garam dari tempat perindukan mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, seperti A.
sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya
12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% keatas. Namun di Sumatera Utara
ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam air tawar.
4) Lingkungan sosial budaya
Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana vektor yang bersifat
eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas
malaria antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada
rumah dan menggunakan anti nyamuk.2

Patogenesis dan Patologi


Setelah melalui jaringan hepar P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit.
Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa
terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa yang banyak diteliti adalah patogenesa yang
disebabkan oleh P. falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan penjamu (host) yang
termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit.
Sedangkan yang masuk ke dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat
9

tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit secara garis
besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam
II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erytrocite surgace
antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membrane EP
stadium matur akan mengalami penonjolan dan pembentukan knob dengan Histidin Richprotein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami
merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang
merangsang pelepasan TNF- dan interleukin-I (IL-1) dari makrofag.1
Sitoadherensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel vaskuler.
Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesive yang terletak dipermukaan knob EP melekat
dengan molekul-molekul adhesive yang terletak dipermukaan knob EP secara kolektif disebut
PfEMP-1, P. falciparum erythrocyte membrane protein-1. Molekul adhesive di permukaan sel
endotel vaskular adalah CD36, trombospondin, intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1),
vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM), endhotel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1)
dan glucosaminoglycan chondroitin sulfate A. PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil
ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang berada dipermukaan knob. Kelompok gen ini disebut
gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat besar.1
Sekuestrasi . sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.
Parasite dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang
mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada
plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada
organ-organ vital dan hamper semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak,
diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang
peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.1
Resetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang
non-parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga yang dapat melakukan
resetting. Resetting menyebabkan obstruksi aliran darah local atau dalam jaringan sehingga
mempermudah terjadinya sitoadheren.1
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari
malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-, interleukin-1, interleukin-6,
interleukin-3, limfosit dan interferon gamma. Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa
penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia
mempunyai kadar TNF- yang tinggi. Dengan demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar
TNF-, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak
konsisten karena juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal atau rendah
atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya
peran dari neurotransmitter yang lain sebagai free-radical dalam kaskade ini seperti nitrit-oksida
sebagai faktor yang penting dalam pathogenesis malaria berat.1
10

Nitrit oksida akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator NO baik dalam menumbuhkan
malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru memberikan efek
protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi molekuladesi.
Diduga produksi NO lokal di organ terutama di otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi
organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO yang tepat, memberi
perlindungan terhadap malaria berat.1
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah
daripada koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka
akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya
kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria
yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga
parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya
antibodi terhadap eritrosit.3
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah
pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari
eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hyperplasia
dari retikulosit diserta peningkatan makrofag.3
1. Demam
Akibat ruptur eritrosit merozoit dilepas ke sirkulasi
Pelepasan merozoit pada tempat dimana sirkulasi melambat mempermudah infasi sel
darah yang berdekatan, sehingga parasitemia falsiparum mungkin lebih besar daripada
parasitemia spesies lain, dimana robekan skizon terjadi pada sirkulasi yang aktif. Sedangkan
plasmodium falsifarum menginvasi semua eritrosit tanpa memandang umur, plasmodium vivax
menyerang terutama retikulosit, dan plasmodium malariae menginvasi sel darah merah matang,
sifat-sifat ini yang cenderung membatasi parasitemia dari dua bentuk terakhir diatas sampai
kurang dari 20.000 sel darah merah /mm 3. Infeksi falsifarum pada anak non imun dapat
mencapai kepadatan hingga 500.000 parasit/mm3. 4
2. Anemia
Akibat hemolisis, sekuestrasi eritrosit di limpa dan organ lain, dan depresi sumsum
tulang. Hemolisis sering menyebabkan kenaikan dalam billirubin serum, dan pada malaria
falsiparum ia dapat cukup kuat untuk mengakibatkan hemoglobinuria (blackwater fever).
Perubahan autoantigen yang dihasilkan dalam sel darah merah oleh parasit mungkin turut
menyebabkan hemolisis, perubahan-perubahan ini dan peningkatan fragilitas osmotic terjadi
pada semua eritrosit, apakah terinfeksi apa tidak. Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau
primakuin pada orang-orang dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase herediter.
11

Pigmen yang keluar kedalam sirkulasi pada penghancuran sel darah merah berakumulasi
dalam sel retikuloendotelial limfa, dimana folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang
nekrotik, dalam sel kupffer hati dan dalam sumsum tulang, otak, dan organ lain. Pengendapan
pigmen dan hemosiderin yang cukup mengakibatkan warna abu-abu kebiruan pada organ.
3. Kejadian immunopatologi
Aktivasi poliklonal hipergamaglobulinemia, pembentukan kompleks imun, depresi
immun, pelepasan sitokin seperti TNF
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas :
a) Imunitas alamiah non imunologis
Berupa kelainan-kelainan genetic polimorfisme yang dikaitkan dengan resistensi terhadap
malaria, misalnya: Hb S, Hb C, Hb E, thallasemin alfa-beta, defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase, golingan darah duffy negative kebal terhadap infeksi plasmodium vivax, individu
dengan HLA-Bw 53 lebih rentan terhadap malaria dan melindungi terhadap malaria berat.
b) Imunitas didapat non spesifik
Sporozoit yang masuk kedalam darah segera dihadapi oleh respon imun non spesifik
yang terutama dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang menghasilkan sitokin-sitokin seperti
TNF, IL1, IL2, IL4, IL6, IL8, dan IL10, secara langsung menghambat pertumbuhan parasit
(sitostatik), membunuh parasit (sitotoksik). 4
c) Imunitas didapat spesifik.
Merupakan tanggapan system imun terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies
spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik. 4
4. Anoxia jaringan
Parasit P. falciparum matur: timbul knob pada permukaan sel darah merah berparasit
yang memfasilitasi cytoadherence P. falciparum-parasitized red cells ke sel-sel endotel vaskular
otak, ginal, organ yang terkena lainnya obstruksi aliran darah & kerusakan kapiler protein dan
cairan vaskular, edema, serta anoksia jaringan otak, jantung, paru, usus, ginjal.

P. vivax dan P. ovale : menyerang eritrosit imatur

P. malariae: menyerang eritrosit matur

P. falciparum: menyerang eritrosit matur & imatur parasitemia lebih berat

Kerentanan bervariasi secara genetik, beberapa fenotip sel darah merah:


12

Hemoglobin S

Hemoglobin F

Thalassemia

Resisten (parsial) terhadap infeksi P. falciparum. 4

Manifestasi Klinis
Menurut berat-ringannya gejala malaria dapat dibagi menjadi 2 jenis:
A. Gejala malaria ringan (malaria tanpa komplikasi)
Meskipun disebut malaria ringan, sebenarnya gejala yang dirasakan penderitanya cukup
menyiksa (alias cukup berat). Gejala malaria yang utama yaitu: demam, dan menggigil, juga
dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot atau pegal-pegal. Gejala-gejala yang
timbul dapat bervariasi tergantung daya tahan tubuh penderita dan gejala spesifik dari mana
parasit berasal.
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai gejala
utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni
(pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl phosphatidylinositol) atau
terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya
pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran
karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali.

Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:


1.

Masa inkubasi

Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit (terpendek
untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan
sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga cara infeksi yang mungkin
disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya transfuse darah yang mengandung
stadium aseksual).
2.

Keluhan-keluhan prodromal

Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise,


lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia, perut tidak enak,
diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi
13

pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak
jelas.
3.

Gejala-gejala umum

Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara
berurutan yang disebut trias malaria, yaitu :
1. Stadium dingin (cold stage)
Stadium ini berlangsung + 15 menit sampai dengan 1 jam. Dimulai dengan menggigil dan
perasaan sangat dingin, gigi gemeretak, nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat kebirubiruan (sianotik), kulit kering dan terkadang disertai muntah.
2. Stadium demam (hot stage)
Stadium ini berlangsung + 2 4 jam. Penderita merasa kepanasan. Muka merah, kulit
kering, sakit kepala dan sering kali muntah. Nadi menjadi kuat kembali, merasa sangat haus dan
suhu tubuh dapat meningkat hingga 41oC atau lebih. Pada anak-anak, suhu tubuh yang sangat
tinggi dapat menimbulkan kejang-kejang.
3. Stadium berkeringat (sweating stage)
Stadium ini berlangsung + 2 4 jam. Penderita berkeringat sangat banyak. Suhu tubuh
kembali turun, kadang-kadang sampai di bawah normal. Setelah itu biasanya penderita
beristirahat hingga tertidur. Setelah bangun tidur penderita merasa lemah tetapi tidak ada gejala
lain sehingga dapat kembali melakukan kegiatan sehari-hari.
Gejala klasik (trias malaria) berlangsung selama 6 10 jam, biasanya dialami oleh
penderita yang berasal dari daerah non endemis malaria, penderita yang belum mempunyai
kekebalan (immunitas) terhadap malaria atau penderita yang baru pertama kali menderita
malaria.
Di daerah endemik malaria dimana penderita telah mempunyai kekebalan (imunitas)
terhadap malaria, gejala klasik timbul tidak berurutan, bahkan tidak selalu ada, dan seringkali
bervariasi tergantung spesies parasit dan imunitas penderita. Di daerah yang mempunyai tingkat
penularan sangat tinggi (hiperendemik) seringkali penderita tidak mengalami demam, tetapi
dapat muncul gejala lain, misalnya: diare dan pegal-pegal. Hal ini disebut sebagai gejala malaria
yang bersifat lokal spesifik.
Gejala klasik (trias malaria) lebih sering dialami penderita malaria vivax, sedangkan pada
malaria falciparum, gejala menggigil dapat berlangsung berat atau malah tidak ada. Diantara 2
periode demam terdapat periode tidak demam yang berlangsung selama 12 jam pada malaria
falciparum, 36 jam pada malaria vivax dan ovale, dan 60 jam pada malaria malariae. Perbedaan
14

kurva suhu tubuh penderita malaria fasciparum, malaria vivax, dan malaria malariae dapat dilihat
pada grafik di bawah ini.

Grafik 1. Kurva temperatur pada penderita malaria falciparum.

Grafik 2. Kurva temperatur pada penderita malaria vivax.

Grafik 3. Kurva temperatur pada penderita malaria malariae.


B. Gejala malaria berat (malaria dengan komplikasi)
Penderita dikatakan menderita malaria berat bila di dalam darahnya ditemukan parasit
malaria melalui pemeriksaan laboratorium Sediaan Darah Tepi atau Rapid Diagnostic Test
(RDT) dan disertai memiliki satu atau beberapa gejala atau komplikasi berikut ini:

15

1)

Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat (mulai dari koma sampai penurunan
kesadaran lebih ringan dengan manifestasi seperti: mengigau, bicara salah, tidur terus,
diam saja, tingkah laku berubah) 1

2)

Keadaan umum yang sangat lemah (tidak bisa duduk/berdiri)

3)

Kejang

4)

Demam sangat tinggi

5)

Mata atau tubuh ikterik

6)

Tanda-tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering,
produksi air seni berkurang)

7)

Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan

8)

Nafas cepat atau sesak nafas

9)

Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum

10)

Warna urin seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman

11)

Jumlah urin kurang sampai tidak ada urin

12)

Telapak tangan sangat pucat (anemia dengan kadar Hb kurang dari 5 g%)

Penderita malaria berat harus segera dibawa atau dirujuk ke fasilitas kesehatan untuk
mendapatkan penanganan semestinya.1

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Harijanto PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006; Hal: 2813-9.
2. Departemen Kesehatan RI. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan. Jakarta, 2011; Hal:8-10
3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Jakarta, 2006; Hal:1-12, 15-23, 67-68.
4. Gunawan S. Epidemiologi Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000; Hal: 1-15.

17

18

Anda mungkin juga menyukai