Anda di halaman 1dari 8

Hati Nurani

Hati nurani adalah kemampuan manusia untuk melihat ke dalam dirinya, dan membedakan apa
yang baik dan apa yang buruk.Lepas dari segala kekurangan dan cacatnya, manusia adalah
mahluk yang mampu menentukan apa yang harus, yang baik, dilakukan, dan membuat keputusan
berdasarkan pertimbangannya tersebut.
Bonaventura berpendapat hati nurani manusia terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah
bagian dari hati nurani yang secara alamiah bisa sampai pada kebenaran-kebenaran dasar dalam
hidup manusia, seperti kebenaran yang terkandung pada perintah-perintah moral dasar; hormati
orang tuamu, dan jangan menyakiti mahluk hidup lain.
Bagian kedua dari hati nurani adalah kemampuannya untuk menerapkan perintah-perintah moral
di atas di dalam konteks kehidupan sehari-hari manusia. Bagian kedua ini juga merupakan
bagian yang alamiah dari hati nurani manusia, walaupun bisa mengalami kesalahan, karena
berbagai hal, seperti kurangnya informasi, ataupun kesalahan penarikan kesimpulan di dalam
berpikir. Dua hal inilah yang menurut Bonaventura menjadi awal dari kejahatan.
Thomas Aquinas, memiliki pandangan tentang hati nurani yang lebih bersifat rasional. Baginya
hati nurani adalah penerapan dari pengetahuan rasional manusia ke dalam tindakan.
Pengetahuan ini diperoleh manusia dari kodrat alamiah manusia yang selalu mengarahkannya
pada kebenaran dan kebaikan. Pengetahuan ini lalu diterapkan dalam pelbagai konteks
kehidupan manusia.

Hati Nurani sebagai Fenomena Moral


1. Hati Nurani sebagai Fenomena Moral
Contoh
Seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting. Malam
sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu menawarkan sejumlah uang,
bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya. Hakim yakin bahwa terdakwa itu bersalah.
Bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang
begitu banyak, sehingga tidak bisa lain daripada menerima penawaran itu. Ia telah memutuskan
terdakwa tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian ini sangat
menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan
membeli rumah yang sudah lama diidam-idamkan oleh istrinya. Namun demikian, ia tidak
bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah malu terhadap dirinya sendiri.
Bukan karena ia takut kejadian itu akan diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga
terdekat tidak ada yang tahu. Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu
tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Namun kepastian ini tidak bisa menghilangkan
kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai sekarang ia
selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang luhur ini. Mengapa kali ini ia
sampai terjatuh ? Ia merasa marah dan mual terhadap dirinya sendiri.
Thomas Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15
tahun ia bekerja dalam usaha pengembangan dan pembangunan generator neutron. Sedemikian
besar semangatnya, sehingga ia hampir-hampir lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya
itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya
mulai merasa terganggu, khususnya setelah ia membaca dalam karya sejarahwan tersohor,
Arnold Toynbee, berjudul A Study of History, kalimat berikut ini: Bila orang mempersiapkan
perang, sudah ada perang. Baru pada saat itu ia menyadari, ia sedang memberikan bantuannya
kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan sebagian besar permukaan bumi.
Padahal, seluruh kepribadiannya memberontak terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu.
Ia membicarakan kegelisahan batinnya dengan istri. Ia mempertimbangkan konsekuensikonsekuensi finansial, bila ia berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Tentu ia
menyadari juga, bila ia keluar, tempatnya akan diisi oleh orang lain yang akan melanjutkan

pekerjaannya, sehingga tindakan protesnya tidak efektif sama sekali. Bagaimanapun Grissom
memutuskan ia tidak bisa bekerja lagi untuk industri persenjataan nuklir. Ia menjadi dosen pada
Evergreen State College di Olympia, Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh dari 75.000
dolar yang diperolehnya di Laboratorium Nasional.
a. Kesadaran dan Hati Nurani
Hanya manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia
untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya.
Untuk menunjukkan kesadaran, dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa yang diturunkan
daripadanya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan
awalan con- (bersama dengan, turut). saja Dengan demikian conscientia sebenarnya berarti
turut mengetahui dan mengingatkan kita pada gejala penggandaan yang disebut tadi: bukan
saya melihat pohon itu, tapi saya juga turut mengetahui bahwa sayalah yang melihat pohon itu.
Sambil melihat, saya sadar akan diri sendiri sebagai subyek yang melihat. Nah, kata conscientia
yang sama dalam bahasa Latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga
untuk menunjukkan hati nurani. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang
sejenis. Bukan saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau
buruk), tapi ada juga yang turut mengetahui tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam
diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita
lakukan. Hati nurani merupakan semacam saksi tentang perbuatan-perbuatan moral kita.
Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui kata Latin conscientia.
b. Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai
perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Contoh pada awal bab ini menyangkut hati nurani
retrospektif. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencelah, bila perbuatannya jelek,
dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati
nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah
berlangsung.
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan
datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali
lebih banyak terjadi mengatakan jangan dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di sini pun

rupanya aspek negatif lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung
semacam ramalan.
Simpulan bahwa hati nurani terutama berbicara dalam perbuatan itu sendiri pada saat dilakukan.
Tapi bisa terjadi suatu orientasi ke masa lampau atau suatu orientasi ke masa depan: ke
perbuatan yang sudah berlangsung atau ke perbuatan yang akan berlangsung lagi.
c. Hati Nurani Bersifat Personal dan Andipersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya, selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Normanorma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada
pribadi saya, akan tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nurani saya.
Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan
perkembangan seluruh kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang sudah banyak
pengalaman hidup tentu hati nurani saya bercorak lain daripada ketika masih remaja. Ada alasan
lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya berbicara
atas nama saya.
Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah
suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Ungkapan seperti itu dapat
dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia
mengambil keputusan atas dasar hati nurani, artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia
harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya, maka ia
akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan.
Seperti akan dijelaskan lagi, hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap
kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif. Tidak dapat
dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang
mempunyai hati nurani karena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk
mencapai persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampaui segala perbedaan
mengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dll.
d. Hati nurani sebagai norma moral yang subyektif
Terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus
harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani
memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan: ini baik dan harus

dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas merupakan
suatu fungsi dari rasio.
Dapat disimpulkan bahwa tidak pernah kita boleh bertindak bertentangan dengan hati nurani.
Hati nurani selalu harus diikuti, juga kalau-secara obyektif-ia sesat. Akan tetapi, manusia wajib
juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan
seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari
hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang
baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara obyektif. Karena itu perlu kita pelajari
lagi cara bagaimana keadaaan ideal itu bisa dicapai.

2. Hati nurani dan Superego

1. Pandangan Freud tentang struktur kepribadian


Instansi ini masing-masing adalah Id, Ego, Superego. Superego itu berhubungan erat dengan apa
yang kita sebut dalam etika dengan nama hati nurani.
a. Id
Freud memakai istilah id untuk menunjukkan ketaksadaran. Tentang Id berlaku: bukan aku
(=subyek) yang melakukan dalam diri aku. Bagi Freud, adanya Id telah terbukti terutama dengan
tiga cara, yaitu:
-

Faktor Psikis, yang paling jelas membuktikan adanya Id adalah: mimpi. Bukunya yang pertama
di bidang psikoanalisis justru membahas mimpi (Penafsiran mimpi, 1900). Tentang mimpi berlaku
bahwa bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang bermimpi dalam diri saya. Bila bermimpi,
si pemimpi seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya oleh
ketaksadaran.

Adanya Id terbukti juga, jika kita pelajari perbuatan-perbuatan yang pada pandangan pertama
rupanya remeh saja dan tidak punya arti, seperti perbuatan keliru, salah ucap, keseleo Lidah,
lupa, dsb. Menurut pendapat Freud, perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tapi berasal
dari kegiatan psikis yang tak sadar.

Id terdiri dari naluri-naluri bawaan, pada mulanya Id sama sekali tidak terpengaruh oleh kontrol
pihak subyek. Id harusnya melakukan apa yang disukai. Kata Freud: Id dipimpin oleh prinsip
kesenangan (the pleasure principle). Id sama sekali tidak mengenal waktu (timeless).
Namun perlu ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran merupakan suatu kenyataan psikologis
yang normal dan universal. Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.

b. Ego
Aktivitas Ego bisa sadar, prasadar, maupun tak sadar. Contoh aktivitas sadar boleh disebut:
persepsi lahiriah (saya melihat pohon di situ), persepsi batiniah (saya merasa sedih) dan prosesproses intelektual.
Contoh tentang aktivitas prasadar, dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat kembali
nama yang tadinya saya lupa).

Dan aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego melalui mekanisme-mekanisme pertahanan (defence
mechanisms),

contoh: orang yang dalam hati kecilnya sangat takut pada kenyataannya berlagak

gagah berani. Ego dikuasai oleh prinsip realitas kata freud, sebagaimana tampak dalam
pemikiran yang obyektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang bersifat rasional dan
mengungkapkan diri melalui bahasa.
Tugas Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan
menjamin penyesuaian dengan alam sekitar, lagi pula untuk memecahkan konflik-konflik dengan
realitas dan konflik-konflik dengan yang tidak cocok satu sama lain.
c. Superego
Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari Ego dalam bentuk observasi-diri, kritik-diri,
larangan dan tindakan refleksi lainnya, pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri. Superego
dibentuk selama masa anak melalui jalan internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif
yang dialami subyek sepanjang perkembangannya. Faktor-faktor yang pernah tampil sebagai
asing bagi si subyek, kemudian diterima olehnya dan dianggap sebagai sesuatu yang berasal
dari dirinya sendiri. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita, dsb yang berasal dari luar (para
pengasuh, khususnya orang tua), diterima sepenuhnya oleh si subyek, sehingga akhirnya
terpancar dari dalam. Engkau tidak boleh mencuri (larangan dari orang tua) akhirnya menjadi
Aku tidak boleh mencuri. Engkau harus mengembalikan barang milik orang lain (perintah
dari orang tua) akhirnya menjadi Aku harus mengembalikan barang milik orang lain. Anak
putri tidak boleh memanjat pohon (teguran dari kakak) menjadi Saya tidak boleh memanjat
pohon, karena hal itu tidak patut untuk anak perempuan.
2. Hubungan hati nurani dengan Superego
Tentang hubungan antara hati nurani dan Superego dapat dikatakan sebagai berikut. Sebaiknya
Superego dimengerti sebagai dasar psikologis bagi fenomena etis yang kita sebut hati nurani
atau lebih tepat kita katakan, sebagai dasar psikologis antara lain bagi fungsi seperti hati nurani
yang etis. Sebab, menurut pandangan Freud, Superego bersifat lebih luas daripada hati nurani
saja.
Ia mengatakan bahwa selain hati nurani Superego meliputi juga fungsi-fungsi observasi-diri dan
ideal dari aku (gambaran yang dipakai subyek untuk mengukur dirinya dan sebagai standar
yang harus dikejar). Tidak ada keberatan juga untuk menerima penjelasan Freud tentang asalusul Superego. Bisa saja Superego terbentuk karena internalisasi dari perintah-perintah dan

larangan-larangan orangtua. Harus disetujui dengan Freud bahwa fungsi-fungsi psikas manusia
pada permulaan hidupnya praktis sama dengan nol dan dari situ mengalami suatu perkembangan
berbelit-belit sampai akhirnya mencapai taraf kedewasaan.

Anda mungkin juga menyukai