Anda di halaman 1dari 2

Berawal Dari Kontak Mata

Kisah nyata seorang ayah yang membesarkan anak semata wayangnya


Yang AUTIS
Kontak mata pada anak balita adalah suatu proses yang alami dan wajar terjadi.Tanpa
melalui intervensi seperti terapi,seorang anak kecil pasti bias diajak untuk melakukan kontak
mata,baik itu dengan orang tuanya maupun orang-orang yang ada di dekatnya.
Namun,apa yang saya alami dengan anak saya,Dimas ternyata lain karena Dimas
didiagnosis autis pada umur 1,5 tahun. Dimas butuh terapi sekitar dua tahun lebih untuk bisa
kontak mata.
Tahun pertama,saya berikan terapi enam jam seminggu.Itu belum juga membuahkan
hasil.Jika dipanggil namanya dia belum mau menengok. Adapun untuk kontak mata belum
konsisten sama sekali, baru sekitar dua detik kontak mata, Dimas sudah memalingkan muka.
Saya benar-benar hamper putus asa, apalagi melihat perkembangan anak-anak
seusianya yang rata-rata sudah pintar bicara. Sudah hampir 2,5 tahun umur Dimas, tetapi kontak
mata saja belum bisa. Lalu, seorang saudara memberi tahu kalau melakukan terapi terusmenerus, setiap hari. Dengan demikian, anak akan selalu diingatkan kembali dengan latihanlatihan dalam terapi tersebut. Saudara saya yang juga seorang terapis mengatakn bahwa terapi
idealnya dilakukan 40 jam seminggu sehingga hasilnya akan kelihatan dengan cepat.
Setelah mendengar suara tersebut, saya hanya bisa berkata dalam hati,Cukup tidak
digaji saya untuk membayar uang terapi 40 jam seminggu? Bisa dibayangkan terapi 40 jam
seminngu perbulannya adalah 160 jam. Andai biaya perjam terapi Rp30.000, sudah terlihat
berapa banyak uang yang harus saya keluarkan, bukan?
Dengan gaji yang hanya sedikit diatas UMR, mana mungkin saya mampu
memberikan terapi ke Dimas 160 jam per bulan. Baru untuk bisa kontak mata sudah butuh
pengeluaran sebesar itu dan saya belum tahu kapan anaksaya akan bisa kontak mata. Oleh karena
itu, banyak-banyaklah bersyukur orang-orang yang dianugerahi anak-anak normal.
Akhirnya, saya berhasil menemukan tempat terapi yang menggunakan system paket.
Trapinya dari hari senin-jumat, pukul 08.00-12.00. Jadi , 4 jam perhari dan 20 jam perminggu.
Itu memang belum belum ideal seperti yang dikatakan saudara saya, yaitu 40 jam per minngu.
Namun, setidaknya biaya perbulan terapi itu cukup sesuai dengan penghasilan saya.

Setelah mengikuti terapi intensif selama lebih kurang satu tahun, Dimas bisa kontak
mata. Betapa senangnya perasaan saya waktu itu karena apa saya impi-impikan akhirnya
terwujud.
Setelah bisa kontak mata, perkembangan Dimas sangatlah bagus. Ketika dipanggil, dia sudah
mau menengok, sementara ketika diajak bercanda atau bahasa jawa-nya dililing, dia mulai bisa.
Dimas juga mulai bisa menirukan mimic wajah saat saya mengajarinya mengucapkan kata-kata.
Meskipun belum keluar kata-kata atau suara, mulutnya sudah mulai bisa menirukan kata yang
saya ajarkan.
Apabila dibandingkan deengan anak seusianya waktu itu, Dimas memang jauh
tertinggal. Rata-rata anak normal berumur empat tahun sudah lancer berbicara dan sudah
bisamenceritakan sesuatu kepada orang tuanya. Adapun Dimas pada saat berumur empat tahun
baru bisa kontak mata tapi saya merasa bersyukur atas kemampuannya itu.
Saat usia Dimas menginjak delapan tahun, banyak orang yang baru pertama kali
bertemu dengannya tidak percaya bahwa Dimas dahulu autis. Kemampuan menyusun kalimat
sudah lumayan dan penggunaan kata ganti aku-kamu-dia juga sudah tepat. Saya sangat
bersyukur atas kondisi Dimas tersebut.

Memang, semua berawal dari anak harus bisa kontak mata terlebih
dahulu. Setelah itu, pelajaran apa pun akan cepat diserap oleh anak special
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai