Anda di halaman 1dari 11

Kerjasama Internasional

Dalam Pemberantasan Korupsi

Disusun oleh: 2B

Anisa Astuti

Ghea Asmarandhana

Dinna Lestari

Habibah Apriliani

Diska Nuraeni Hamdah

N Wini Apriliyani

Erni Suharni

Putri Yunda Maryta

Faringga Ismail Alhafez

Siti Maria Ulfah

Faturrachman Pangestu S

Yeni Nuraeni

Tingkat II B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BANDUNG


JURUSAN KEPERAWATAN BANDUNG
Jalan Dr. Otten No 32

Kata Pengantar

Puji dan syukur kita panjatkan ke khadirat Allah SWT atas berkah dan rahmatnya
saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dalam makalah ini
kami Membahas Mengenai Kerjasama Internasional Dalam Pemberantasan
Korupsi
Tidak lupa penyusun mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian mata kuliah ini terutama untuk Dosen Mata
Kuliah Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi yaitu Drs. Asep Taryana, Mkes
sebagai dosen pembimbing yang telah memberi petunjuk serta saran, sebab jika
tidak ada bimbingan dari beliau penyusun tidak dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya.
Penyusun berharap semoga penyusunan makalah ini dapat menjadi manfaat
untuk kita semua. Sebelumnya penyusun memohon maaf jika dari penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, karena
penyusun juga masih dalam tahap pembelajaran. Semoga yang membaca dan
dosen yang bersangkutan dapat memaklumi serta memberikan kritik dan saran
agar penyusun dapat memperbaiki pada tugas yang akan datang.
Bandung, Oktober 2014

Penyusun

Daftar Isi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi telah menjadi musuh semua Negara sehingga menarik perhatian
PBB untuk mengadakan bahan sendiri untuk mengatasi kasus-kasus korupsi
yang membelit banyak Negara. Setelah diratifikasinya Konvensi PBB
Melawan Anti Korupsi ( UN Convention Againts Corruption) oleh 94 negara
pada Desember 2003 maka kejahatan korupsi dapat dilaporkan ke United
Nations Ofiifce on Drugs and Crime (UNODC) badan PBB yang menangani
tindak criminal, termasuk kejahatan korupsi yang berkantor di Vienna.
Konvensi ini merupakan terobosan karena Negara yang meratifikasi
bersepakat untuk mengembalikan asset-aset yang dikorup, saling membantu,
membekukan rekening bank, melucuti property, dan mengekstradisi tersangka
pelaku.
Di Indonesia, korupsi telah merajalela dan banyak diantaranya para
koruptor yang melarikan diri dari Negara Kesatuan RI ini dengan sederet
kasus. Untuk menangkap para koruptor yang melarikan diri ke luar negeri
tersebut diperlukan kerjasama antar Negara atau kerjasama Internasional agar
mempermudah penangkapan para koruptor kembali kedalam negeri.
Pembentukan konvensi yang dibentuk oleh PBB merupakan langkah yang
baik dimana 94 Negara telah meratifikasinya. Mengingat masalah Korupsi di
UNCAC (United Nations Convention Against Coruption) Tahun 2003 telah
dirumuskan ke dalam bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi. Salah satu
bentuk perubahan yang dilakukan untuk mengharmonisasikannya, adalah
dengan adanya amandemen terhadap UU Korupsi Nomor 39 Tahun 1999 yang
telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Korupsi, dengan Rancangan Undang-Undang tersebut, yang
saat ini sudah sampai tahap pembahasan. Salah satu aturan yang diangkat
adalah tentang Korupsi bukan hanya terjadi oleh Pegawai Negeri saja, tapi
juga dilakukan oleh swasta, serta masalah kriminalisasi Gratifikasi.
Harmonisasi peraturan tersebut diperlukan agar penegakan hukum tindak

pidana korupsi bisa berjalan sempurna, yaitu dalam hal diperlukan upaya
ekstradisi, bantuan timbal balik, perampasan aset dan segala jenis kerja sama
internasional. Dengan mengacu kepada UNCAC maka negara lain akan
mudah mengerti tentang tindak pidana korupsi yang terjadi di dua negara
tersebut. Dengan acuan yang sama maka kerja sama internasional akan mudah
dilaksanakan, karena sesuai dengan perintah konvensi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kerjasama Internasional

dalam

pemberantasan korupsi?
2. Apa manfaat dari kerjasama Internasional dalam pemberantasan
korupsi?
3. Apa saja tindakan yang dilakukan dalam kerjama Internasional untuk
pemberantasan korupsi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kerjasama Internasional dalam
pemberantasan korupsi
2. Mengetahui manfaat kerjasama Internasional dalam pemberantasan
korupsi
3. Mengetahui tindakan apa saja yang dilakukan dalam kerjasama
Internasional untuk pemberantasan korupsi

BAB II

ISI

2.1. Korupsi Perspektif Konvensi PBB


Perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia
sebagaimana terdapat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi 2003 (disingkat KAK 2003), secara global dan repersentatif KAK 2003
memuat delapan Bab telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006 yang memuat beberapa substansi menarik dari aspek
filsufis, yuridis, dan sosiologis.
Aspek filsufis KAK 2003 memberikan justifikasi filasafati mengapa
tindak pidana korupsi harus ditentang, diberantas dan dilakukan penindakan.
Aspek sosiologis menentukan bagaimana suatau masyarakat harus dibangun
oleh pemerintahan yang bersih (clean governemnet) tanpa korupsi dengan
mengedepankan asas-asas dan ketentuan hukum positif yang berlaku dengan
tetap menjunjung tinggi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,. Kemudian
aspek yuridis merupakan justifikasi yang mengakui adanya dasar ketentuan
hukum dan perkembangan pembaharuan perundang-undangan Indonesia dan
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dikaji dari perspektif filsufis, KAK 2003 lebih menitikberatkan kepada
aliran filosofi utilitarian dengan memadukan antara keadilan distributive dan
keadilan kumulatif. Dimensi ini merupakan langkah maju filosofi pemberantasan
tindak pidana korupsi yang dilakukan di Indonesia dengan menganut filsafat
Kantian lewat pendekatan retributive dan mengacu pada kepentingan Negara.
Selain dimensi sebagaiman tersebut di atas, dari perspektif filsufis ini
Pragraf 1 Mukaddimah KAK 2003 dengan tegas menyatakan bahwa:
Concerned about the seriousness of problems and threats posed by
corruption to the stability and security of socites, undermining the institution an
d value of democracy, ethical bvalues and justice and jeopardizing subtainable
development and the role of the law.
Berikutnya dari perspektif sosiologis pemberantasan tindak pidana
korupsi dalam KAK 2003 mengarah kepada aspek bagaimana suatu masyarakat
harus dibangun. Tegasnya pembangun tersebut mengacu kepada pemerintah
yang bersih tanpa korupsi, mengedepankan asas-asas dan ketentuan hukum
positif dan tetap menjunjung tinggi keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dari
dimensi sosilogis ini perbuatan korupsi bukan lagi merupakan masalah lokal,
tetapi sudah merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi semua
masyarakat.

Kontek diatas menurut ketentuan Pragraf 4 KAK 2003 menyebutkan


sebagai berikut:
Convinced that corruption is no longer a local matter but a
transnasional phenomenon that affect all societies and economies, making
international cooperation to prevent and control it essential.
Kemuidan dalam Pragraf 4 ketentuan KAK 2003 menegaskan:
Concerned fither about cases of corruption that involpe vast quantities of
assets, which may constitute a substantial proportion of the resource of the
states, and that threaten the political stability and sustainable development of
thoses state.
Ada hubungan timbal balik dan korelasi erat antara pragraf tiga dan
pragraf empat dari KAK 2003. Konsekuensi logisnya karena masalah korupsi
tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena yang
mempengaruhi masyarakat dan ekonomi, sehingga perlunya kerja sama
internasional dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dari aspek ini,
melalui perspektif sosilologis perkara-perkara korupsi melibatakan aset
sedemikan besar dari sumber Negara, akan mengancam stabilitas politik dan
pembangun berkelanjutan dari Negara bersangkutan. Apabila hal ini sampai
terjadi, tugas dari Negara untuk memberikan kemakmuran, menyejahterakan
masyarakatnya serta memberikan keadilan realatif sulit terwiujud dan tercapai.
Kemudian dikaji dari perspektif yuridis, KAK 2003 meletaakkan
landasan yang kokoh dalam aspek pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila
dijabarakan, aspek pemberntasan korupsi dalam KAK 2003 berkorelasi dan
tidak terpisahkan dengan model sistem hukum suatu Negara. Secara global,
dalam kepustakaan ilmu hukum pidana dikenal beberapa model sistem hukum
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari keempat model tersebut, KAK
terbilang unik karena meramu, mengadopsi dan bertitik tolak kepada yang
terdapat dalam Civil Law System, Common Law System dan Mixed System Of
Law Model. Padal model KAK 2003 diakomodasi mengenai tindakan
pencegahan mengenai kebijakan, praktik, badan pencegahan anti korupsi
disektor publik beserta perilakunya dan tindakan berkaitan dengan penuntutan
serta peradilan dan keikutsertaan masyarakat. Kemudian adanya kriminalisasi
dan penegakan hukum beserta perlindungan para saksi beserta kerja sama
internasional, mekanisme pengembalian aset melalui mekanisme penyitaan
secara keperdataan (civil procedure) dan jalur kepidanaan (criminal procedure).
Apabila dicermati Pragraf 2 dan 5 KAK 220 menetapkan perbuatan
korupsi mempunyai keterkaitan dengan bentuk kejahatan lainnya, khususnya
terhadap kejahatan terorganisir, kejahatan ekonomi termasuk tindak pidana
pencucian uang.

Pragaraf 2 KAK 2003 menegaskan sebagai berikut:


Concerned also about the links between corruption and other forms of
crime, in particular organized crime and economis crime, including money
laundering.
Konsekuensi Pragafraf 2 tersebut, Pragraf 5 KAK 2003 menyebutkan
harus adanya suatu pendekatan yang bersifat kompherensif dan multidisipliner
untuk mencegah dan memerangi korupsi secara efektif terhadap kejahatan
terorganisir, kejahatan ekonomi termasuk tindak pidana pencucian uang.
Tegasnya korupsi sudah merupakan dimensi kejahatan transnasional dan bukan
masalah lokal sehingga penanggulangannya memerlukan kerja sama
internasional.
Konsekuensi logis anasir konteks di atas, diperlukan strategi
transnasional dalam pemberantasan korupsi yang memilki keunikan tertentu dan
berbeda dengan strategi nasional pemberantasan korupsi. Pada dasarnya KAK
2003 dengan tolok ukuran aspek filsufis, sosiologi dan yuridis dibentuk untuk
menidaklanjuti pengaturan yang selaras dengan instrument multilateral.
Konkritnya, pembentukan KAK 2003 sebagai upaya kerjasama pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi serta upaya meneruskan dimensi
pemberantasan korupsi yang tertuang dalam:
1.
Economics And Social Council Resolution 2001/ 13 of 24 juli 2001
yang berjudul: sterengthening international cooperation in preventing and
combating the transfer of funds of illict origin, derived from act of corruption,
including the laundering of fund, and in returning such funds.
2.
Strategi Consensus yang diadopsi oleh Konfrensi Internasional
tentang pembiayaan untuk pembangunan yang diadakan di Monterrey, Mexico
dari tanggal 18 hingga 22 Maret 2002, kesepakatan tersebut menggarisbawahi
bahwa pemberantasan korupsi di segala tingkatan adalah suatu prioritas.
3.
Johannesburg Declaration Of Sustainable Development yang
diputuskan oleh pertemuan dunia mengenai pembangunan berkelanjutan yang
diadakan di Johanensburg, Afrika Selatan dari tangggal 26 Agustus hingga 4
September 2002 khususnya Pragraf 19 deklarasi dimaksud yang menyatakan
korupsi sebagai ancaman terhadap kelangsungan pembangunan bagi rakyat.
Perspektif KAK 2003 dari apek filsufis, sosiologis dan yuridis
mendeskripsikan bahwa KAK 2003 memepergunakan beberapa pendekatan
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila diperbandingkan dengan
ketentuan hukum positif Indonesia, pendekatan dalam KAK 2003 ternyata lebih
lengkap, detail dan menggunakan pendekatan preventif, represif, dan restorative
terhadap strategi pemberantasan tindak pidana korupsi. Strategi tersebut

berorientasi kepada aspek pencegahan, penindakan, kerja sama internasional


khususnya dalam pengambilan asset-aset dan serta menetapkan kedudukan
swasta dan keikutsertaan peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Ketiga pendekatan ini beserta strategi pemberantasan korupsi haruslah
dilakukan secara seimbang dan bersama antara sistem pencegahan dan
penindakan dengan sistem pengembaian aset hasil korupsi melalui sistem kerja
sama internasional dengan berlandaskan resiprositas antar negara. Ketiga
pendekatan beserta keempat strategi tersebut saling berinteraksi dan berkorelasi
hingga jikalau terjadi ketimpangan dalam sistem pemberantasan korupsi akan
berdampak pada ketiga sistem lainnya.
Konsekuesni logis aspek tersebut, strategi pemberantasan korupsi sesuai
dengan KAK 2003 di Indonesia merupakan gabungan anatara Civil Law System
dan Common Law System sebagaimana implisit terdapat dalam Bab 1 Pasal 1
tentang statement of porpose dimana tujuan dari KAK 2003 adalah:
1.
Meningkatkan dan memperkuat tindakan-tindakan untuk mencegah
dan memberantas korupsi secara lebih efektif dan efesien.
2.
Meningkatkan, memudahkan dan mendukung kerja sama
internasional dan bantuan tekhnik dalam pencegahan dan pemberantasan
korupsi, termasuk memperolah pengembalian aset.
3.
Meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan pengelolaan masalahmaalah dan kekayaaan public yang baik dan benar.
Pendekatan pereventif dalam KAK 2003 diartikan sebagai pencegahan
dengan titik berat kewajiban setiap Negara pihak untuk menerapkan ketentuan
dalam konvensi sesuai sistem hukum domestik. Selain itu, pemeliharaan
koordinasi yang efektif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi termasuk
memberdayakan keikutsertaan masyarakat yang lebih baik dan memelihara
integritas, transparansi dan akuntabilitas. Kemudian, pendekatan represif
diartikan sebagai tindakan berkaitan dengan aspek penindakan yang dilakukan
dalam tahap penuntutan maupun peradilan. Berikutnya, pendekatan restorative
dengan titik berat dalam pengembalian aset korupsi dari Negara ketempatan
(costudial state) kepada negara asal (country of origin) aset korupsi.
Selain itu, dalam KAK 2003 ada beberapa karaketristik tindak pidana
korupsi yang berkorelasi dengan peraturan korupsi dan mempunyai implikasi
terhadap perundang-undangan nasional Indonesia. Implikasi karakteristik dalam
KAK 2003 berkorelasi terhadap eksistemsi substansi konvensi pada Chapter II
tentang Preventive Measures, kemudian Chapter III tentang Criminalization And
Law Enforcement, Chapter IV tentang International Cooperation, berikutnya
Chapter V mengenai Asset Recovery dan terakhir terhadap Chapter VI tentang
Mechnism For Implemention.

Apabila dijabarkan secara substansial, adanya karakteristik maupun


implikasi KAK 2003 tersebut akan berorientasi terhadap tipe-tipe tindak pidana
korupsi dalam konvensi. Berdasarkan dimensi tersebut di atas, tipe-tipe tindak
pidana korupsi berdasarkan KAK 2003 pada hakikatnya terdiri dari 4 macam
yaitu tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik nasional, tindak
pidana korupsi penyuapan di sektor swasta, tindak pidana korupsi terhadap
perbuatan memperkaya secara tidak sah, tindak pidana korupsi terhadap
memperdagangkan pengaruh.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia sebagaimana
terdapat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003
(disingkat KAK 2003), secara global dan repersentatif KAK 2003 memuat
delapan Bab telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006 yang memuat beberapa substansi menarik dari aspek filsufis,
yuridis, dan sosiologis.
Perspektif KAK 2003 dari apek filsufis, sosiologis dan yuridis
mendeskripsikan bahwa KAK 2003 memepergunakan beberapa pendekatan
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila diperbandingkan dengan
ketentuan hukum positif Indonesia, pendekatan dalam KAK 2003 ternyata lebih
lengkap, detail dan menggunakan pendekatan preventif, represif, dan restorative
terhadap strategi pemberantasan tindak pidana korupsi. Strategi tersebut
berorientasi kepada aspek pencegahan, penindakan, kerja sama internasional
khususnya dalam pengambilan asset-aset dan serta menetapkan kedudukan
swasta dan keikutsertaan peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Ketiga pendekatan ini beserta strategi pemberantasan korupsi haruslah
dilakukan secara seimbang dan bersama antara sistem pencegahan dan
penindakan dengan sistem pengembaian aset hasil korupsi melalui sistem kerja
sama internasional dengan berlandaskan resiprositas antar negara. Ketiga
pendekatan beserta keempat strategi tersebut saling berinteraksi dan berkorelasi
hingga jikalau terjadi ketimpangan dalam sistem pemberantasan korupsi akan
berdampak pada ketiga sistem lainnya.
3.2. Saran
Dengan adanya Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dapat membuat
peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia dapat lebih baik lagi

Anda mungkin juga menyukai