Anda di halaman 1dari 20

Banjir dapat dipastikan terjadi setiap tahun di Jakarta pada bulan Januari-Febuari.

Meskipun demikian, persoalan itu sangat rumit untuk diselesaikan. Mengapa?


Persoalannya ternyata tidak hanya berkaitan dengan kondisi alam, tetapi juga
menyangkut hubungan antar daerah yang makin diperumit oleh otonomi daerah.
Sikap masyarakat pun ternyata juga menjadi masalah tersendiri.
Banjir benar-benar telah melanda Jakarta. Bila kemaren Jumat 2 Febuari 2007
Jakarta dinyatakan Siaga III, maka pada hari Sabtu 3 Febuari 2007 telah dinyatakan
Siaga I dalam menghadapi masalah banjir. Banjir kali ini mengingatkan kita pada
banjir pada tahun 2002 yang lalu. Siklus banjir lima tahunan telah datang.Dengan
banjir ini, berbagai upaya mengatasi masalah banjir yang telah dilakukan dalam
kurun waktu 5 tahun (2002 2007) seakan tidak ada artinya. Berbagai pernyataan
yang muncul sebelumnya tentang kesiapan menghadapi banjir, telah terbukti hanya
isapan jempol belaka.
Persoalan banjir di Jakarta tidak mungkin diselesaikan oleh Jakarta sendiri. Samasama kita ketahui bahwa air yang datang melanda Jakarta datang dari Bogor.
Kenyataan ini adalah hal yang tidak mungkin di nafikan. Setiap musim hujan tiba,
volume air yang datang dari Bogor tidak sanggup ditampung oleh sistem aliran
sungai yang melintas di Jakarta. Keadaan ini terekspresikan dengan hadirnya Banjir.
Berbagai ide untuk menyelesaikan masalah banjir di jakarta ini sebenarnya telah
dikemukakan. Perlunya upaya yang terpadu untuk mengatasi masalah banjir di
Jakarta juga telah diungkapkan sejak lama oleh para ahli. Tetapi semua usulan yang
diajukan itu kandas.
Mengapa???
Mari kita simak artikel di bawah ini yang saya kutip dari Kompas Cyber Media,
Sabtu, 3 Febuari 2007.
******************

Banjir Jakarta Perlu Solusi Terintegrasi


(Pembuka artikel dihilangkan)
Pada tahun 2001, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merilis
foto satelit mengenai perubahan penggunaan lahan di Bogor, terutama di daerah
tangkapan air (catchment area) hulu Sungai Ciliwung, dari kawasan hijau yang diisi
vegetasi menjadi kawasan terbangun. Setahun kemudian, banjir besar melanda Jakarta
dan sekitarnya. Data LAPAN, kawasan terbangun di daerah itu, yang pada 1992 hanya
101.363 hektar, pada 2006 naik dua kali lipat menjadi 225.171 hektar. Sedangkan
kawasan tidak terbangun yang semula 665.035 hektar menyusut menjadi 541.227
hektar. Menurut Bambang S Tedjasukmana, Deputi Bidang Penginderaan Jauh
LAPAN, di Bogor, permukiman meluas di sepanjang daerah tangkapan air Sungai
Ciliwung. Limpahan penduduk dan aktivitas dari Jakarta menyebabkan perumahan,
kawasan jasa dan perdagangan, serta industri terus menyebar ke Citeureup, sampai ke
Depok. Di hulu, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah justru mengalir ke
sungai. Tidak ada lagi pepohonan yang menyimpan air di dalam tanah. Tidak ada lagi
tanah yang terbuka untuk menyimpan air. Kawasan yang semula diperuntukkan untuk

kawasan hijau telah berganti fungsi karena tuntutan perkembangan ekonomi kota.
Fungsi konservasi lingkungan tidak lagi diperhatikan.
Di hilir, daerah aliran sungai yang masuk ke Jakarta pun dipadati oleh rumah-rumah
penduduk dan bangunan lainnya. Bahkan, beberapa bagian badan sungai menyempit
karena banyaknya rumah yang didirikan di atas sungai. Pengamatan Kompas, Sungai
Ciliwung yang dulu lebarnya mencapai 40 meter, kini menyempit antara 13 meter
sampai 20 meter. Kedalaman sungai di beberapa lokasi juga tinggal dua meter.
Dengan kondisi itu, hujan dengan intensitas sedang di kawasan hulu atau bahkan
hujan di dalam Kota Jakarta pun akan membuat Sungai Ciliwung langsung meluap.
Banjir pun tidak terhindarkan di Jakarta.
Langkah terintegrasi
Menurut peneliti hidrologi dan rekayasa lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus
Ali, masalah banjir yang kompleks dari hulu sampai hilir membutuhkan penanganan
yang terintegrasi, dari hulu sampai hilir juga.
Menangani banjir di hilir tanpa memperbaiki kawasan hulu akan menjadi pekerjaan
sia-sia karena limpahan air banjir dari hulu akan selalu lebih besar dari daya tampung
sungai, ujarnya.
Pada kondisi normal, kata Firdaus, debit air yang masuk Sungai Ciliwung sampai di
Pintu Air Manggarai mencapai 28 meter kubik per detik. Sedangkan pada saat hujan
lebat dan banjir, debit air melonjak sampai 200 meter kubik per detik. Fluktuasi debit
air yang sangat tajam itu menandakan rendahnya daya serap air di hulu dan kecilnya
daya tampung di hilir. Menanggapi kondisi itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI
Jakarta Wisnu Subagyo Yusuf mengemukakan, perbaikan kawasan hulu dengan
reboisasi atau pembatasan pengalihan penggunaan lahan sulit dilakukan.
Otonomi daerah membuat pemerintah kabupaten dan kota di kawasan hulu lebih
memilih peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari pemberian izin untuk
perumahan atau kawasan komersial. Oleh karena itu, ujar Wisnu, Pemerintah Provinsi
(Pemprov) DKI Jakarta mengajukan dua usul pencegahan banjir di hulu. Kedua
usulan itu adalah sudetan Sungai Ciliwung yang dihubungkan ke Sungai Cisadane
dan membangun bendungan Ciawi di hulu Sungai Ciliwung. Kedua usulan itu
bertujuan untuk mengatur debit air yang akan masuk ke hilir Sungai Ciliwung.
Sudetan Sungai Ciliwung ke Sungai Cisadane dimaksudkan untuk mengalihkan debit
air banjir Ciliwung ke sungai yang mengalir ke Tangerang itu. Daerah resapan air
Cisadane yang relatif masih hijau dan badan sungai yang belum menyempit dinilai
sanggup menampung limpahan air banjir dari Sungai Ciliwung.
Sayangnya, proyek yang rencananya akan didanai oleh Jepang itu ditolak oleh para
pemuka masyarakat dan Pemerintah Kota Tangerang. Tanpa dilimpahi air dari
Ciliwung, Sungai Cisadane pun sering menimbulkan banjir di Tangerang.
Mengingat otonomi daerah, Pemprov Jakarta tidak dapat memaksakan kehendaknya
dan rencana itu batal. Rencana membangun bendungan Ciawi juga gagal. Pemprov
DKI Jakarta yang bersedia membayar Rp 200 miliar untuk pembebasan lahan seluas
200 hektar justru tidak dapat menggunakan dananya. Dana APBD tidak dapat
digunakan untuk pembangunan di luar wilayah administrasi, kecuali diberikan dalam

bentuk hibah ke Pemerintah Kabupaten Bogor. Namun, karena tidak ada jaminan dari
Pemerintah Kabupaten Bogor untuk menggunakan dana hibah guna membangun
bendungan Ciawi, rencana itu akhirnya tidak pernah terwujud.
Di sisi hilir, kata Wisnu, Jakarta sangat mengandalkan Banjir Kanal Timur. Saluran
yang saat ini sedang dalam masa pembebasan lahan diprediksikan dapat menampung
limpahan air dari lima sungai utama di Jakarta dan melindungi kawasan seluas 270
kilometer persegi. Banjir Kanal Timur akan melengkapi Banjir Kanal Barat untuk
menampung air dari 40 persen wilayah Jakarta yang lebih rendah dari permukaan laut.
Air itu akan dialirkan dengan cepat ke laut dengan menggunakan sistem polder dan
pompa.
Solusi
Direktur Tata Ruang dan Perumahan Bappenas Salysra Widya mengutarakan,
permasalahan egoisme wilayah dalam menyusun langkah mengatasi banjir dapat
dijembatani oleh pemerintah pusat. Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang dapat
duduk bersama dengan pemerintah pusat untuk merealisasikan ide rekayasa sungai
dan pembatasan peralihan penggunaan lahan di kawasan daerah resapan air. Namun,
Pemprov DKI Jakarta perlu memberikan kompensasi tertentu kepada pemerintahpemerintah daerah yang bersangkutan agar mereka tetap dapat memperoleh PAD jika
menjalankan rencana itu. Dengan demikian, semua daerah saling diuntungkan
meskipun Jakarta harus mengeluarkan dana besar untuk itu.
Solusi di hulu harus berkesinambungan, antara pembatasan penggunaan lahan,
reboisasi intensif, dan pembangunan bendungan. Jika hanya satu langkah yang
dilaksanakan, langkah lain akan menjadi kurang efektif. Di hilir, selain pembuatan
Banjir Kanal Timur, Firdaus mengusulkan pembuatan penampungan air bawah tanah
dalam skala besar atau deep tunnel reservoir. Penampungan air bawah tanah, seperti
yang diterapkan Chicago (Amerika Serikat) dan Singapura mampu menampung
sekitar 200 juta meter kubik air dan dapat bertahan 125 tahun. Ide penampungan air
bawah tanah adalah menampung semua limpahan air banjir dan limbah cair dari
sanitasi lingkungan ke dalam bendungan bawah tanah. Air tampungan itu dapat diolah
dan digunakan sebagai cadangan air baku bagi Jakarta.
Saat ini, kata Firdaus, Indonesia menghadapi perubahan iklim akibat pemanasan
global. Perubahan iklim tersebut menyebabkan musim hujan lebih pendek, tetapi
curah hujan lebih tinggi.Jika air tersebut tidak disimpan dalam penampungan yang
besar, Jakarta akan terancam kekeringan dan banjir dalam waktu yang bergantian
sepanjang tahun. Bencana yang akan semakin memiskinkan Indonesia. Biaya
pembuatan penampungan air bawah tanah itu, menurut Firdaus, diperkirakan hanya
memerlukan Rp 12 triliun. Jumlah tersebut masih terjangkau oleh APBD DKI Jakarta
2007 yang mencapai Rp 21,5 triliun. (Emilius Caesar Alexey)
******************
Sekarang, mari kita simak solusi yang diajukan itu. Apakah solusi membuat
penampungan air bawah tanah akan berhasil?

Rasanya perlu kita pelajari lebih jauh kemungkinannya. Masalah yang dihadapi dalam
pembuatan Banjir Kanal Timur mungkin dapat kita cermati.
Selain itu, kurangnya disiplin kita atau ketidak-mampuan kita dalam mengelola
sampah dapat menjadi masalah tersendiri bila penampungan itu nantinya dapat
terwujud.

Siswoko

BANJIR, MASALAH BANJIR DAN


UPAYA MENGATASINYA
Oleh: Ir. Siswoko, Dipl. HE, Dirjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan
Umum

1. Umum

Banjir di Jakarta Tahun 2007


Hampir seluruh negara di dunia mengalami masalah banjir, tidak terkecuali di negaranegara yang telah maju sekalipun. Masalah tersebut mulai muncul sejak manusia
bermukim dan melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa dataran banjir
(flood plain) suatu sungai. Kondisi lahan di kawasan ini pada umumnya subur serta
menyimpan berbagai potensi dan kemudahan sehingga mempunyai daya tarik yang
tinggi untuk dibudidayakan. Oleh karena itu, kota-kota besar serta pusat-pusat
perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya seperti kawasan industri,
pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya sebagian besar tumbuh dan
berkembang di kawasan ini. Sebagai contoh, di Jepang sebanyak 49% jumlah
penduduk dan 75% properti terletak di dataran banjir yang luasnya 10% luas daratan;

sedangkan sisanya 51% jumlah penduduk dan hanya 25% properti yang berada di luar
dataran banjir yang luasnya 90% luas daratan. Hampir seluruh kota-kota besar di
Indonesia juga berada di dataran banjir (Tabel 1).

Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, dataran banjir juga mengandung
potensi yang merugikan sehubungan dengan terdapatnya ancaman berupa genangan
banjir yang dapat menimbulkan kerusakan dan bencana. Seiring dengan laju
pertumbuhan pembangunan di dataran banjir maka potensi terjadinya kerusakan dan
bencana tersebut mengalami peningkatan pula dari waktu ke waktu. Indikasi
terjadinya peningkatan masalah yang disebabkan oleh banjir di Indonesia dapat
diketahui dari peningkatan luas kawasan yang mengalami masalah banjir sejak Pelita
I sampai sekarang.
Hampir seluruh kegiatan penanganan masalah banjir sampai saat ini dilakukan oleh
Pemerintah, lewat berbagai proyek dengan lebih mengandalkan pada upaya-upaya
yang bersifat struktur (structutal measures). Berbagai upaya tersebut pada umumnya
masih kurang memadai bila dibandingkan laju peningkatan masalah. Masyarakat baik
yang secara langsung menderita masalah maupun yang tidak langsung menyebabkan
terjadinya masalah masih kurang berperan baik dalam proses perencanaan,
pelaksanaan dan operasi serta pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana fisik
pengendali banjir, maupun terhadap upaya-upaya non struktur. Hal ini didukung oleh
kebijakan pembangunan selama ini yang cenderung sentralistis dan top down, serta
adanya berbagai kendala / keterbatasan yang ada di masyarakat sendiri antara lain
menyangkut kondisi sosial, budaya dan ekonomi.

Masalah banjir berdampak sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan


masyarakat. Oleh sebab itu upaya untuk mengatasinya harus merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kegiatan pembangunan yang menyeluruh dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan paradigma baru dalam
melaksanakan pembangunan yang dikaitkan dengan penyelenggaraan otonomi daerah,
terjadinya krisis ekonomi serta berbagai permasalahan yang ada, semakin
meningkatkan bobot dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Sehubungan
dengan itu diperlukan penyempurnaan terhadap kebijakan, strategi dan upaya
penanganan masalah banjir yang telah ada, baik yang menyangkut aspek-saspek
teknis maupun nonteknis.
Tulisan ini menguraikan tentang banjir, masalah banjir, dan upaya mengatasinya
secara umum dan belum menguraikan kebijakan, strategi, dan upaya mengatasi banjir
secara rinci. Beberapa hal yang dikemukakan antara lain menyangkut penggunaan
istilah dan pengertian, proses terjadinya masalah banjir, dan upaya mengatasi masalah
banjir secara umum; dengan tujuan untuk menyamakan pengertian dan pemahaman
bagi seluruh stakeholders.
Berbagai upaya pencegahan yang telah dilaksanakan masih perlu dikembangkan dan
disempurnakan baik menyangkut upaya fisik (stuktural) maupun nonfisik
(nonstruktral). Upaya fisik yang masih perlu disempurnakan antara lain dalam rangka
mengantisipasi kejadian banjir yang lebih besar dari debit banjir yang dikendalikan.

2. Pengertian yang Terkait dengan Masalah Banjir


Beberapa istilah, pengertian dan rumusan yang menyangkut banjir, masalah banjir dan
upaya untuk mengatasinya yang telah populer dan beredar luas di masyarakat maupun
di lingkungan aparatur pemerintah sampai saat ini masih banyak yang keliru.
Kekeliruan, ketidakseragaman dan keterbatasan pengertian masyarakat terhadap
masalah ini menimbulkan dampak negatif terhafap upaya mengatasi masalah banjir,
antara lain berupa kurangnya kepedulian dan peran masyarakat dalam mengatasi
masalah banjir serta kesalahan persepsi menyangkut upaya mengatasi banjir. Sebagian
besar masyarakat beranggapan bahwa upaya mengatasi banjir adalah merupakan
kewenangan dan tanggung jawab pemerintah sepenhnya. Demikian pula adanya
pemahaman yang keliru terhadap kinerja sistem pengendali banjir, dengan
menganggap bahwa begitu sistem pengendali banjir dibangun masalah banjir hilang.
Indikasi masih terbatasnya pemahaman masyarakat dan aparat menyangkut masalah
banjir dan upaya mengatasinya tercermin dari berbagai pernyataan dan pertanyaan
masyarakat yang sumbang yang sering muncul di berbagai media, antara lain:
1. Mengapa para insinyur tidak dapat mengatasi masalah banjir dengan tuntas?
2. Kapankah wilayah DKI Jakarta akan bebas banjir? Berapa miliar / triliun dana
yang masih diperlukan untuk itu?
3. Untuk membebaskan wilayah DKI Jakarta terhadap masalah banjir diperlukan
dana untuk proyek sekian triliun rupiah selama sekian tahun,
4. Berbagai proyek untuk mengatasi masalah banjir dengan biaya yang besar
telah dilaksanakan, akan tetapi mengapa masalah banjir tetap saja meningkat?
5. Bukankah masalah banjir iitu justru dipelihara oleh para tukang insinyur
agar pekerjaaannya tidak segera habis?

6. Pengendalian banjir dinyatakan untuk debit banjir periode ulang 25 tahunan,


akan tetapi mengapa proyek baru saja selesai dikerjakan telah terjadi banjir
lagi?
7. Bangunan yang dibuat oleh masyarakat d dataran banjir telah mengikuti IMB
dan berada di atas peil banjir yang resmi ditetapkan oleh pemerintah, tetapi
mengapa masih saja tergenang banjir?
8. Terjadinya banjir / genangan di DKI Jakarta adalah akibat banjir kiriman
dari Bogor / Jawa Barat. Terjadinya banjir di Riau adalah akibat banjir
kiriman dari Sumatera Barat. Terjadinya banjir di Bojonegoro adalah akibat
banjir kiriman dari Solo dan Madiun !
9. Pernyataan berbagai iklan real estat yang dibangun di dataran banjir, bahwa
dagangannya bebas banjir sampai tua. Pernyataan seperti ini dapat
menyesatkan masyarakat / konsumen.
Disamping pernyataan dan pertanyaan masyarakat yang kemungkinan memang masih
awam dan belum memahami banjir dan masalah banjir tersebut di atas, terdapat juga
pernyataan dari pakar banjir dari Amerika Serikat di salah satu majalah yang
bernadakan kebingungan dan frustasi, sebagai berikut: The flood that devastated the
Mississippi and Missouri river valleys in 1993 have created questions: Is our
approach to flood control correct? And where do we go from here?
Beberapa istilah dan pengertian teknis yang perlu dimengerti dan dipahami oleh
masyarakat secara benar antara lain tentang:
1. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu kesatuan wilayah tata air yang
terbentuk secara alamiah dimana air meresap dan / atau mengalir melalui
sungai dan anak-anak sungai yang bersangkutan (Gambar 1)
2. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai (Gambar 2).

3. Dataran banjir (flood plain) adalah lahan / dataran yang berada di kanan kiri
sungai yang sewaktu-waktu dapat tergenang banjir (Gambar 3). Berdasarkan
Peraturan Menteri PU No. 63 / 1993 tentang Garis Sempadan Sungai dan
Bekas Sungai, batas dataran banjir ditetapkan berdasarkan debit rencana
sekurang-kurangnya untuk periode ulang 50 tahunan. Contoh: kurang lebih 40

50 % wilayah DKI Jakarta berada di dataran banjir 13 sungai yang


melewatinya. Real estat, hotel mewah, pertokoan, perkantoran, dan perumahan
mewah di DKI Jakarta yang terendam banjir pada bulan Januari Pebruari
2002 semuanya berada di dataran banjir.

Gambar 3. Dataran Banjir (Flood Plain)


4. Bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai
dihitung dari tepi sungai sampai dengan tepi tanggul sebelah dalam. Fungsi
bantaran sungai adalah tempat mengalirnya sebagian debit sungai pada saat
banjir (high water channel). Sehubungan dengan itu maka pada bantaran
sungai dilarang membuang sampah dan mendirikan bangunan untuk hunian
(Gambar 4).

Gambar 4. Bantaran Sungai, Garis Sempadan, Daerah Penguasaan Sungai


5. Garis sempadan (GS) adalah garis batas luar pengamanan sungai (Gambar 4).
6. Daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir , daerah retensi banjir,
bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan (Gambar 4).
7. Pengendalian banjir adalah upaya fisik atau struktur di sungai (on stream)
untuk mengatasi masalah banjir yang didasarkan pada debit banjir rencana
tertentu.
8. Debit banjir rencana dan periode ulang banjir. Debit / aliran air di sungai
selalu berubah dan tidak konstan, oleh karena iru besarnya debit di sungai
selain dinyatakan berdasarkan volume air yang mengalir per satuan waktu
(m3/dt) juga dinyatakan menurut periode ulangnya. CVotoh: Debit banjir
rencana sungai Citanduy untuk periode ulang 25 tahun sebesar 1.000 m3/dt, an
untuk periode ulang 100 tahun sebesar 2.500 m3/dt. Pernyataan atau bahasan
yang biasa digunakan oleh para pakar hdrologi tersebut seringkali
menyesatkan masuyarakat (misleading), dan masyarakat pada umumnya
beranggapan bahwa debit banjir seesar 1.000 m3/dt tersebut terjadi setiap 25
tahun sekali secara periodeik, demikian pula ddebit banjir sebesar 2.500 m3/dt
terjadi setiap 100 tahun seali. dengan anggapan tersebut maka bila tanggul
sungai Citanduy dibangun dengan debit banjir rencana 25 tahun an sebesar
1.000 m3/dt, maka selama 25 tahun ke dean masyarakat yang dilindungi
tanggil akan merasa aman dan tidak perlu khawatir terjadi banjir yang lebih
besar karena banjir dengan debit 2.500 m3/dt toh akan datang hanya setiap
100 tahun sekali !. Pemahaman tersbut salah dan yang benar adalah: untuk

setiaop tahun, kemungkinan terjadi debit banjir sama atau lebih besar dari
1.000 m3/dt di Sungai Citanduy aalah sebesar 100;25 = 4 (empat) persen, dan
untuk setiap tahun kemungkinan terjadi debit banjir sama atau lebih besar dari
2.500 m3/dt di Cinatnduy adalah sebesdar 100:100 = a (satu) persen. dengan
demikian maka untuk setiap tahun dbit banjir dengan besaran berapapun
kemungkina bisa terjadi, dan oleh sebab iru maka masyarakat yang
terlindungi prasarana pengendali banjir (yang direncanakan
berdasarkan debit banjir tertentu) harus tetap waspada karena selalu
terdapat kemungkinan kapasitas prasarana tersebut terlampaui oleh
debit banjir yang lebih besar. Debit banjir rencana untuk beberapa negara di
dunia dapat diperiksa pada Tabel 2.

Tabel 2. Debit Banjir Rencana Beberapa Negara


Istilah dan pengertian yang salah namun telah kaprah yang terlanjur beredar dan
berkembang di masyarakat antara lain tentang: banjir kiriman, kawasan bebas banjir,
pengamanan banjir, pengendalian banjir yang dirancukan dengan penanggulangan
banjir, dan sebagainya. Istilah-istilah yang salah tersebut seharusnya tidak digunakan
karena dapat menimbulkan salah pengertian / salah persepsi.

3. Proses Terjadinya Masalah Banjir


Berdasarkan kamus ICID, banjir (flood) didefinisikan sebagai: A relatively high
flow or stage in a river, markedly higher than usual; also the inundation of low land

which may result there from. A body of water, rising, sweeling, and overflowing land
not usually thus covered. Definisi banjir (flood) menurut kamus tersebut sama sekali
tidak mengandung pengertian adanya gangguan, kerusakan, kerugian maupun
bencana terhadap umat manusia, dan hanya menggambarkan suatu kejadian / gejala /
peristiwa. Kejadian tersebut tiidak selalu berakibat buruk terhadap kehidupan
manusia, sehingga perlu dibedakan antara banjir yang menimbulkan masalah
terhadap kehidupan manusia (masalah banjir) dan banjir yang tidak
menimbulkan masalah. Pada kondisi tertentu kejadian tersebut justru dapat
mendatangkan manfaat misalnya dengan terjadinya proses kolmatase di dataran banjir
yang berupa rawa-rawa. Luapan banjir juga membawa unsur hara yang dapat
menyuburkan tanah di dataran banjir. Genangan di dataran banjir akibat luapan sungai
menimbulkan masalah apabila dataran banjir yang bersangkutan telah dikembangan /
dibudidayakan.

Banjir dan Masalah Banjir


Genangan yang terjadi sehubungan dengan aliran di saluran drainase akibat hujan
setempat yang terhambat masuk ke saluran induk dan atau ke sungai, sering juga
disebut banjir. Untuk membedakan antara genangan akibat luapan sungai dengan
genangan akibat hujan setempat yang kurang lancar mengalir ke sungai, atau akibat
keduanya; seringkali mengalami kesulitan (Gambar 5).

Gambar 5. Masalah Genangan


Masalah banjir pada umumnya terjadi akibat adanya interaksi berbagai faktor
penyebab, baik yang bersifat alamiah maupoun beberapa faktor lain yang merupakan
akibat / pengaruh / dampak kegiatan manusia (Tabel 3).

Tabel 3. Faktor Penyebab Terjadinya Masalah Banjir


Berbagai faktor yang bersifat alamiah dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok.
Kelompok pertama menyangkut kondisi alam yang relatif statis antara lain: kondisi
fisiografi dan kondisi alur sungai (pembendungan / hambatan akibat meandering alur
sungai, bottle neck, ambal alam, kemiringan dasar sungai yang landai); dan kelompok
kedua menyangkut peristiwa / kejadian alam yang bersifat dinamis antara lain
berupa: curah hujan yang tinggi, pembendungan di muara sungai akibat pasang dari
laut, pembendungan dari sungai induk terhadap anak sungai, amblesan tanah (land
subsidence), dan sedimentasi (agradasi dasar sungai).
Pengaruh kegiatan manusia antara lain berupa: pengembangan / pembudidayaan dan
penataan ruang di dataran banjir yang tidak / kurang mempertimbangkan adanya
ancaman / risiko tergenang banjir, pembudidayaan dan penataan ruang DAS hulu
yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, pembudidayaan
bantaran sungai untuk permukiman, pembangunan sistem drainase di kawasan
permukiman / perkotaan yang tidak berwawasan konservasi sehingga memperbesar
debit banjir di sungai, bangunan silang (jembatan, gorong-gorong, sipon, pipa air,
dsb) yang menghambat aliran banjir, sampah padat yang dibuang di sungai sehingga
mengurangi kapasitas pengaliran sungai, pendangkalan sungai akibat erosi dan
sedimentasi yang berlebihan, amblesan permukaan tanah akibat penyedotan air tanah
yang berlebihan, keterbatasan pengertian masyarakat tentang fenomena alam berupa
banjir yang bersifat dinamis, keterbatasan biaya pembangunan prasarana pengendali

banjir dan biaya operasi dan pemeliharaannya, kemiskinan, terbatasnya upaya


pengaturan dan pengawasan, dan sebagainya.

4. Upaya Mengatasi Masalah Banjir Secara Umum


Untuk mengatasi masalah banjir dan genangan sampai saat ini masih mengandalkan
pada upaya yang bersifat represif dengan melaksanakan berbagai kegiatan fisik /
upaya struktur yaitu membangun sarana dan prasarana pengendali banjir dan atau
memodifikasi kondisi alamiah sungai sehingga membentuk suatu sistem pengendali
banjir (in-stream). Langkah tersebut diterapkan hampir di seluruh negara-negara di
dunia yang mengalami masalah banjir. Sedangkan upaya preventif yang pada
dasarnya merupakan kegiatan non struktur penerapannya masih terbatas. Di
beberapa negara upaya struktur telah dikombinasikan dengan upaya nonfisik /
nonstruktur (off-stream) sehingga membentuk sistem penanganan yang menyeluruh /
komprehensif dan terpadu seperti misalnya di Jepang . Ada juga negara yang mulai
meninggalkan upaya struktur dan lebih mengutamakan upaya nonstruktur. Kedua
jenis upaya ini berfungsi untuk menekan / memperkecil besarnya masalah banjir
(flood damage mitigation) dan tidak dapat menghilangkan / membebaskan
masalah secara mutlak (Tabel 4 dan Gambar 6).

Tabel 4. Upaya Mengatasi Masalah Banjir secara Menyeluruh


Berbagai jenis kegiatan fisik / struktur berikut manfaatnya antara lain:

1. Pembangunan tanggul banjir untuk mencegah meluapnya air banjir sampai


tingkat / besaran banjir tertentu. Dengan dibangun tanggul terbentuk
penampang sungai yang tersusun untuk mengalirkan debit banjir rencana
(Gambar 4)
2. Normalisasi alur sungai, penggalian sudetan, banjir kanal, dan interkoneksi
antar sungai untuk merendahkan elevasi muka air banjir sungai. Berbagai
kegiatan ini harus direncanakan dengan sangat hati-hati mengingat perubahan
apapun yang dilakukan terhadap sungai akan menimbulkan reaksi yang boleh
jadi berlawanan dengan yang diingini pengelola
3. Pembangunan waduk penampung dan atau retensi banjir, banjir kanal dan
interkoneksi untuk memperkecil debit banjir; serta
4. Pembangunan waduk /polder, pompa dan sistem drainase untuk mengurangi
luas dan tinggi genangan.
Masing-masing jenis prasarana fisik tersebut di atas dapat berdisiri sendiri atau
dikombinasikan satu dengan lainya sehingga membentuk satu kesatuan sistem
pengenali banjir. Kondisi dan permasalahan pada setiap sungai selalu berbeda atau
tidak ada yang sama, sehingga penetapan sistem pengendali banjir ang optimal pada
setiap sungai harus melewati suatu kajian yang menyeluruh dengan membandingkan
beberaoa alternatif / kombinasi. Sistem tersebut didisain berdasarklan besaran debit
banjir tertentu yang lazimnya didasarkan pada periode ulang banjir, misalnya debit
banjir 5 tahunan, 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan dan 100 tahunan sesuai dengan
tingat kelayakannya; dan bukan untuk debit banji yang terbesar. Oleh sebab iu upaya
struktur ini selalu mengandung keterbatasan, atau tidak dapat membebaskan lahan
dataran banjir terhadap kemungkinan tergenang banjir secara mutlak. Meskipun telah
dilaksanakan upaya struktur, pada lahan dataran banjir tetap berisikop tergenang
banjir. Sebagai ilustrasi dapat diperiksa pada Gambar 4 dan Gambar 6 yang
menunukan satu contoh pengendalian banjir dengan tanggul yang mempunyai
keterbatasan.

Gambar 6. Keterbatasan Pengendalian Banjir dengan Tanggul


Perencanaan teknis sistem pengendalian banjir (secara fisik) yang selama ini
dikerjakan adalah didasarkan pada debit banjir tertentu tanpa mengantisipasi
terjadinya debit banjir yang lebih besar dari debit banjir rencana. Terjadinya
kerusakan dan bencana banjir yang relatif besar yang sering terjadi akhir-akhir ini
antara lain disebabkan oleh masalah ini. Terdapat berbagai upaya untuk mengatasi
masalah tersebut, yang disebut upaya non struktur. Masyarakat yang tinggal di lahan
yang berupa dataran banjir harus sadar dan memahami bahwa meskipun telah
dibangun prasarana fisik pengendali banjir, lahan tersebut sewaktu-waktu masih
dapat tergenang banjir. Mereka harus selalu siap dan waspada serta ikut berupaya
menekan besarnya kerugian / bencana, antara lain dengan membangun rumah
panggung dan berbagai upaya penyesuaian lainnya. Antisipasi lainnya misalnya
konstruksi bangunan pengendali banjir seperti misalnya tanggul untuk daerah
permukiman / perkotaan padat harus cukup aman dan stabil serta tidak jebol pada saat
terjadi limpasan banjir di atas tanggul.

Kegiatan nonstruktur / nonfisik bertujuan untuk menghindarkan dan juga menekan


besarnya masalah yang ditimbulkan oleh banjir, antara lain dengan cara mengatur
pembudidayaan lahan di dataran banjir dan di DAS sedemikian rupa sehingga selaras
dengan kondisi dan fenomena lingkungan / alam termasuk kemungkinan terjadinya
banjir. Untuk itu maka sebagai pelaku uatama dari kegiatan ini adalah masyarakat
baik secara langsung maupun tak langsung. Upaya-upaya non-struktur tersebut dapat
berupa:
1. Konservasi tanah dan air di DAS hulu untuk menekan besarnya aliran
permukaan dan mengendalikan besarnya debit puncak banjir serta
pengendalian erosi untuk mengurangi pendangkalan / sedimentasi di dasar
sungai. Kegiatan ini merupakan gabungan antara rekayasa teknik sipil dengan
teknik agro, yang bertujuan untuk mengendalkan aliran permukaan antara lain
dengan terasering, bangunan terjunan, check dam / dam penahan sedimen,
dam pengendali sedimen, kolam retensi, penghijauan, dan reboisasi serta
sumur resapan.
2. Pengelolaan dataran banjir (flood plain management) berupa penataan ruang
dan rekayasa di dataran banjir yang diatur dan menyesuaikan sedemikian rupa
sehingga risiko / kerugian / bencana yang timbul apabila tergenang banjir
sekecil mungkin (flood risk / flood damage management). Rekayasa yang
berupa bangunan antara lain berupa: rumah tipe panggung, rumah susun, jalan
layang, jalan dengan perkerasan beton, pengaturan penggunaan rumah /
gedung bertingkat, dan sebagainya. Sedangkan rekayasa di bidang pertanian
dapat berupa pemilihan varitas tanaman yang tahan genangan. Perangkat lunak

yang diperlukan antara lain berupa flood plain zoning, flood risk map, dan
rambu-rambu atau papan peringatan yang dipasang di dataran banjir
3. Penataan ruang dan rekayasa di DAS hulu (yang dengan pertimbangan tertentu
kemungkinan ditetapkan menjadi kawasan budidaya) sedemikian rupa
sehingga pembudidyaan / pendayagunaan lahan tidak merusak kondisi
hidroorologi DAS dan tidak memperbesar debit dan masalah banjir.
4. Penanggulangan banjir (flood fighting) untuk menekan besarnya bencana dan
mengatasinya secara darurat. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan
satkorlak penanggulangan banjir, yang dilaksanakan sebelum kejadian banjir
(meliputi perondaan dan pemberian peringatan dini kepada masyarakat yang
tinggal di daerah rawan banjir / dataran banjir), pada saat kejadian banjir
berupa upaya penyelamatan, pengungsian penutupan tanggul yang bocor dan
atau limpas, maupun kegiatan pasca banjir tyang berupa penanganan darurat
perbaikan kerusakan akibat banjir.
5. Penerapan sistem prakiraan dan peringatan dini untuk menekan besarnya
bencana bila banjir benar-benar terjadi. Upaya ini untuk mendukung kegiatan
penanggulangan banjir.
6. Flood proofing yang dilaksanakan sendiri baik oleh perorangan, swasta
maupun oleh kelompok masyarakat untuk mengatasi masalah banjir secara
lokal, misalnya di kompleks perumahan / real estat, industri, antara lain,
dengan membangun tanggul keliling, polder dan pompa, serta rumah
panggung.
7. Peran msyarakat yang didukung penegakan hukum antara lain dalam menaati
ketentuan menyangkut tata ruang dan pola pembudidayaan dataran banjir dan
DAS hulu, menghindarkan terjadinya penyempitan dan pendangkalan alur
sungai akibat sampah padat maupun bangunan / hunian dan tanaman di daerah
sempadan sungai.
8. Penetapan sempadan sungai yang didukung dengan penegakan hukum. Dasar
hukum yang dapat dipakai sebagai acuan adalah Peraturan Menteri PU No. 63
Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah
Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. Pada setiap sungai harus ditetapkan
batas sempadannya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
9. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat lewat berbagai media menyangkut
berbagai aspek dalam rangka meningkatan pemahaman, kepedulian dan
perannya.
10. Penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation). Masyarakat miskin di
perkotaan banyak yang terpaksa menghuni daerah sempadan sungai yang
seharusnya bebas hunian karena sangat membahayakan keselamatan jiwanya;
demikian pula masyarakat petani lahan kering di DAS hulu pada umumnya
miskin sehingga kesulitan untuk melaksanakan pola bercocok tanam yang
menunjang upaya konservasi tanah dan air.
Belajar dari pengalaman yang selama ini dilaksanakan termasuk pengalaman dari
negara-negara lain dengan berbagai keberhasilan dan kekurangan yang ada, dapat
disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah banjir di Indonesia tidak cukup hanya
mengandalkan upaya yang bersifat fisik / struktur saja sebagaimana yang selama ini
dilaksanakan, dan harus merupakan gabungan antara upaya strukrur dengan
upaya nonstruktur. Terhada upaya struktur yang telah dilaksanaan masih perlu
disempurnakan dan dilengkapi dengan upaya nonstruktur.

5.BerbagaiPenyebab Mengapa Masalah banjir Cenderung Meningkat dan


Saran Pemecahannya
Upaya mengatasi masalah banjir di Indonesia tlah dilaksanakan sejak l;ama, namun
masalah banjir ridak kunjung berkurang, dan sebaliknyua justrui semakin meningkat.
beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain:
1. Konsep penanganan masalah yang kurang tepat dan kurang inovatif, hanya
mengandalkan upaya fisik / struktur
2. Belum adanya kesamaan pemahaman diantara para stakeholders (masyarakat,
swasta dan pemerintah) menyangkut banjir, masalah banjir dan upaya
mengatasinya yang ditunjang prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
3. Kegiatan pengaturan, pembinaan dan pengawasan oleh yang berwenang yang
tidak memadai.
4. Sumberdaya (terutama sumber daya manusia yang memahami dan ahli di
bidang ini sebagai perencana, pelaksanan dan pemelihara ) yang sangat
terbatas.
Untuk mengatasi masalah itu diperlukan kerjasama berbagai pihak terutama dalam
mengubah atau menyempurnakan kebijakan, strategi dan berbagai upaya yang telah
ada, yang bersifat lintas sektor dan melibatkan seluruh stakeholders.

Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.

Berbagai Peraturan Perundang-Undangan yang menyangkut Sungai dan Banjir


Jansen, Principles of River Engineering, Pitman, 1979.
Peterson, Margaret S., River Engineering, Prentice-Hall, 1986
Framji, KK., Manual of Flood Control Methodes and Practices, ICID, 1983
Framji, KK. and Garg, BC., Flood Control in The World, a Global Review,
ICID Vol I, 1976, Vol. II, 1977
6. Direktorat Sungai Dirjen Pengairan, Flood Control Manual, 1993.
7. Direktorat Sungai Dirjen Pengairan, Flood Plain Management Plan for Upper
Citarum Basin, Proyek PPS Citarum Hulu, 1993.
8. Siswoko, Ir. Dipl. HE, River Engineering, Lecture Notes untuk Pendidikan
Pasca Sarjana Teknik Pengairan, Bandung, 1986.
9. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pengendalian Banjir, Modul untuk kursus di
lingkungan Ditjen Pengairan, 1990
10. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pengaturan Alur Sungai, Modul untuk kursus di
lingkungan Ditjen Pengarian, 1990.
11. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Pembinaan Sungai. Modul untuk kursus di lingkungan
Ditjen Pengairan, 1991.
12. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Laporan Mengikuti Kongres ke 13 ICID, Den Haag,
September, 19913
13. Siswoko, Ir. Dipl. HE, Laporan Mengikuti Simposium Internasional tentang
Management of Rivers for the Future, Kuala Lumpur, November, 1993.
Sumber: Siswoko (2007). Banjir, Masalah banjir dan Upaya Mengatasinya.
Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Peringatan Hari Air Dunia ke
-15 Tahun 2007; Mengatasi Kelangkaan Air dan Menangani Banjir Secara
Terpadu.

Anda mungkin juga menyukai