Anda di halaman 1dari 6

Aceh Dengan Negara Asing

Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barangbarang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempahrempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul
disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting
pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari
Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan
mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran
internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar
akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja
bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke
Nusantara maupun luar negeri.
Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan
Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang
Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya
untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara
Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan disana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech
Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan
dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana.
Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali
dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan
Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak
ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih
tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai ( 3 km dari Banda
Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman
dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa
Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta
menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim
ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh.
Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika
Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah
satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di
Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin
kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan
menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh
Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh

merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah
menelan jutaan nyawa.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu
antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan
membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih
ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata
memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan
Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan
karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng
(Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit
banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.

Hubungan Aceh dengan Tiongkok


Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor
Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan
kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah
dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad
ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua
dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun
1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan
ke Tiongkok. Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan
Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Sumen-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut
timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci
mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang
dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur
sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang
dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau
Timur Tengah, India. Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan
Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling
terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barangbarang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng
Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409
(Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat
kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh
Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur
Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra Pasai ini banyak
tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja
Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh
sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran
internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya
menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan

Hubungan Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Inggris di masa lalu


Pada abad ke-16, Ratu Inggris yang paling berjaya Elizabeth I, mengirim utusannya bernama Sir
James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan Kepada Saudara Hamba,
Raja Aceh Darussalam, serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu
menerima maksud baik saudarinya di Inggeris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan
berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat
berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus
dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar Orang Kaya Putih. Hubungan yang misra antara
Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James
mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih
terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang
masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over
the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the
sunset.
terjemahan dari isi surat tersebut adalah: (Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah
angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah
yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan
Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut
hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James
Sultan Iskandar Muda juga pernah mengirim surat kepada Raja Inggris James I pada tahun 1615
silam. Surat yang disebut sebagai golden letter itu ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu
dengan aksara Arab Jawi. Disebut memiliki hiasan tertua dan terindah, terbesar bahkan paling
spektakuler. Sebab, selain panjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli itu
ditulis dengan tinta warna emas di atas kertas jenis oriental. Surat asli tersebut sat ini berada di
perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.
Surat ini tiga perempat isinya melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
beserta kekayaan dan keluasan wilayah kekuasaannya, berikut adalah petikan terjemahan
mukadimmah surat Sultan Islandar Muda untuk King James I :
" Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang
dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang
bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas,
yang beristana sayojana menentang "Surat Sultan Iskandar Muda ini menjadi salah satu bentuk rekaman romantisme hubungan Kerajaan
Aceh dan Inggris di masa lalu. Dan relasi seperti ini terjadi jauh-jauh hari sebelum Indonesia ataupun
kerajaan-kerajaan di Nusantara memiliki hubungan dengan negara-negara Eropa. Ada yang
membedakan antara hubungan antara Aceh dengan Inggris maupun negara Eropa lainnya dengan
kerajaan di luar Aceh. Hubungan yang dibagun oleh Kerajaan Aceh dengan Inggris dan Eropa

berbasiskan hubungan diplomatik yang egaliter, bukan dalam bentuk sebagai perwakilan daerah
koloni antara tuan dan pihak jajahan.
Surat ini menjadi salah satu bukti adanya hubungan diplomatik antara Kerajaan Aceh dan Inggris.
Tentu tak hanya sekadar hubungan diplomatik biasa, karena Aceh dan Inggris pernah menandatangani
Perjanjian Persahabatan Abadi (Perpetual Friendship Treaty) antara Inggris dan Aceh di abad ke 17
dan diperbaharui di tahun 1811. Isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa kedua negara berkewajiban
saling membantu dari serangan pihak lain. Akan tetapi Inggris telah mengkhianati perjanjian ini
ketika negara itu menandatangani Perjanjian Sumatra (Sumatran Treaty) dengan Belanda yang
mengakui upaya hegemoni Belanda atas Aceh.

Hubungan kerajaan Aceh dengan Belanda


Pangeran Maurits pendiri dinasti Oranje juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta
bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan
rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam
kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara
besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena
orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara
agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang
diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan
Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Hubungan kerajaan Aceh dengan Perancis


Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut
semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun
dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin
tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan
Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan
satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya.
Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer.
Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di
dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan
gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh
hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar
Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Perjalanan sejarah persahabatan Aceh dengan Belanda


Dalam catatan sejarah terungkap bahwa ketika kerajaan Belanda memproklamirkan kemerdekaannya
dari penjajahan Spanyol ,hanya kerajaan Aceh sebagai negara pertama di dunia yang mengakui nya
dan segera menjalin hubungan diplomatik sehingga terjalin hubungan bilateral yang sangat baik
diantara ke dua negara yang sangat berjauhan letaknya itu.Meskipun kedua kerajaan tersebut berbeda
berbagai aspek sosial kemasyarakatnya,tetapi baik kerajaan Aceh maupun Belanda tetap menjalin
kerjasama dalam bidang perdagangan, sehingga mendukung pertumbuhan perekonomian kedua
kerajaan tersebut.Awalnya dari sepucuk surat Pangeran Maurit dari dinasti Oranye van Nassau

pemegang tampuk kerajaan Belanda hingga Ratu abetrix sekarang yang dikirim kepada Sultan
Aceh,Alauddin Riayat Syah.Surat dalam bahasa Spanyol yang berisi bujuk rayu tersebut dibawa oleh
Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy dengan ekpedisi empat buah kapal yang membawa
berbagai barang yang sangat berharga waktu itu sekitar 660.000 gulden nilainya.Keempat kapal
ekpedisi yang membawa barang-barang untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh,Sultan Alauddin
Riayat Syah itu,yaitu Zelandia,Middelborgh,Langhe Bracke dan De Sanne yang berangkat dari
pelabuhan Zeland pada tanggal 28 Januari 1601.Selain membawa bekal 450.000 real sebagai
perbekalan juga berbagai barang berharga untuk diserahkan kepada Sultan Aceh sebagai simbol
persahabatan diantara kedua kerajaan itu.Pange ran Maurit yang sedang menghimpun berbagai
potensi yang ada untuk membebaskan tanah airnya dari penjaja han Spanyol dan Portugis dibawah
Raja Manuel ,ingin memperluas hubungannya dengan berbagai negara termasuk Aceh dan melupakan
tragedi pahit kematian Cornelis de Houtman kena rencong orang Aceh konseku wensi ketidak
sopanannya tahun 1599 saat ia melakukan ekpedisinya di perairan kerajaan Aceh.
Pangeran Maurit menyadari bahwa dengan membuka hubungan diplomatik dengan kerajaan Aceh
yang menguasai jalur dagang teramai di dunia,Selat Malaka,serta menguasai teritorial sepanjang pulau
Sumatra hingga Pariaman di Sumatra Barat,serta Belanda dan Aceh bisa mengimbangi dominasi
Portugis di Malaka sejak tahun 1511.Selama ini Belanda senantiasa terjepit oleh Portugis dan Spanyol
yang bisa mengontrol jalur laut sejak dari Giblaltar(Jabal Thariq)dimulut Afrika dan Eropa pertemuan
laut Tengah-Samudrea Atlantik hingga Samudra Hindia,Laut Merah,Laut Arab,Teluk
Parsia,Goa,Malaka,Timor,Maluku dan Philipina.Oleh sebab itu hubungan diplomatik dengan kerajaan
Aceh amat penting bagi kerajaan Belanda yang sedang mempersiapkan diri untuk me lepaskan diri
dari imperialisme kerajaan Eropa selatan itu(Portugis dan Spanyol).Pelayaran yang dilakukan Belanda
ebelumnya selalu mendapat ancaman dari Portugis-Spanyol,dan jika tertangkap bisa dipastikan
hukumannya sangat berat karena dituduh membantu gerakan sepatisme Belanda pimpinan Pangeran
Maurit.Secara militer ,pasukan Portugis-Spanyol waktu titu sangat kuat tidak mungkin bagi Belanda
untuk menghadapinya sendirian.Karenanya Belanda sangat penting menjalin hubungan diplomatiknya
dengan kerajaan Aceh.Dalam pelayarannya ke Aceh,kapal kapal Belanda singgah dulu di Afrika
Timur untuk minta dukungan dari penguasa setempat yang juga sudah lama bersahabat dengan
Aceh,serta untuk mengelabui dari kejaran armada Portugis dan Spanyol serta Inggris yang merajai
lautan waktu itu.Setelah delapan bulan mengharungi samudera yang seringkali harus bersembunyi
dari armada Portugis-Spanyol kepesisir kepulauan sepanjang pelayarannya, maka pada tanggal 25
Agustus tahun 1601 rombingan kiriman pangeran Maurit tiba di Aceh,dan setelah membaca surat
tersebut dengan hati hati serta dicatat oleh sekretaris kerajaan - rombongan diterima dengan baik oleh
Sultan Aceh.Surat yang ditulis pangeran Maurit di Den Haag tertanggal 11 Desember 1600 berisi
antaranya ada lah:Kepada beta dikabarkan pula bahwa orang orang Portugis telah mengadakan
peperangan terhadp kera jaan Yang Mulia atas perintah Raja Spanyol,dengan tujuan untuk merampas
negeri itu dan menjadikan warganya sebagai hamba sahaya ,sebagaimana yang demikian telah
dilakukannya selama sudah lebih tigapuluh tahun dinegeri kami...Kerajaan Aceh yang sejak dulu
benci kepada Portugis ,sehingga sudah beberapa kali terlibat pertempuran dengannya,segera
menanggapinya dengan positif dan menjajaki kemungkinan bisa berhubungan dagang dan kenegaraan
dengan negeri Belanda. Sebagai realisasinya maka Sultan Aceh,Alauddin Ri ayat Syah mengirimkan
duta besarnya sebagai awal pembukaan diplomatik antara Aceh dan Belanda.Para diplomat Aceh ke
Belanda itu dipimpin Abdul Hamid bersama petinggi militer kerajaan Aceh,Laksamana Sri
Muhammad dan Mir Hasan sebagai anggota delegasi bersama rombongan Laurens Bicker.
Dalam pelayarannya di perairan Afrika dekat pulau St.Helena rombongan bertemu dengan kapal
perang Portu gis,San Yago dan pertempuran lautpun tidak terhindarkan lagi,akhirnya kapal Portugis

bisa ditenggelamkan sehingga rombongan bisa melanjutkan lagi pelayarannya,dan tiba di Zeeland pad
tanggal 20 Juli tahun 1602.Te tapi baru 20 hari tiba di Belanda,Abdul Hamid jatuh sakit kemungkinan
karena usianya yang sudah lanjut disertai udara Belanda yang sangat dingin sehingga diplomat
veteran Aceh itu meninggal dunia pada tanggal 10 Agustus 1602 dalam usia 71 tahun ,serta
dimakamkan di Middleborhg dengan upacara kenegaran sebelum sempat bertemu dengan pangeran
Maurit yang sedang bertempur melawan pasukan Portugis-Spanyol jauh dipedalaman yang bermarkas
di Desa Grave.Selanjutnya,pada tanggal1 September 1602 Laksamana Sri Muham mad dan Mir
Hasan menemui pangeran Maurit dan menyerahkan surat-surat persahabatan sekaligus dokumentasi
lainnya seperti layaknya zaman modern sekarang jika utusan sebuah negara bertemu dengan kepala
pemerintahan tentunya menyerahkan suarat-surat kepercayaannya mewakili negarany masingmasing.Dengan itu maka secara resmi kerajaan Aceh baik secara de facto maupun secara de jure telah
mengakui kemerdekaan negeri Belanda dibawah pimpinan Pangeran Maurit dari dinasti Oranye van
Nassau.Oleh sebab itu kerajaan Acehlah sebagai negara pertama yang mengakui secara defacto dan
secara de jure kemerdekaan negeri Belanda yang berdiri sendiri hingga sekarang ini.Belanda akhirnya
diizinkan membangun kantor dagangnya di Darussalam, ibukota kerajaan Aceh,serta atas
rekomendasinya Belanda juga bisa berhubungan baik dengan negeri-negeri dipesisir India seperti
Gujarad,Calikut,Benggali dan Sri Langka

Sumber :
Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Penerbit Waspada, 1980. (Google
Play Books)
Shaffer, Marjorie, Pepper : A History Of The Worlds Most Influential Spice, 2013
(terjemahan online Google Play Books)
Sukma, Rizal, Islam in Indonesian Foreign Policy: Domestic Weakness and the
Dilemma Of Dual Identity, 2004 (terjemahan online Google Play Books)
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
(Google Play Books)
http://id.wikipedia.org/wiki/kesultanan_aceh

Anda mungkin juga menyukai