Anda di halaman 1dari 4

Tes alergi dapat membantu Anda menentukan

penyebab alergi. Tetapi tes ini baru dapat


digunakan bila telah dilakukan wawancara
yang teliti mengenai timbulnya alergi pada
anak Anda. Berikut beberapa jenis tes untuk
mengetahui alergi.
Tes tusuk kulit (Skin Prick Test)
Gunanya: memeriksa alergi terhadap alergen
yang dihirup (debu, tungau, serbuk bunga) dan
alergen makanan (susu, udang, kepiting),
hingga 33 jenis alergen atau lebih.
Prosedur:

Untuk menjalani tes ini, usia anak


minimal 3 tahun dan dalam keadaan
sehat serta ia tidak baru meminum
obat yang mengandung antihistamin
(anti-alergi) dalam 37 hari
(tergantung jenis obatnya).
Tes dilakukan di kulit lengan bawah
sisi dalam. Kulit diberi alat khusus
disebut ekstrak alergen yang
diletakkan di atas kulit dengan cara
diteteskan. Ekstrak alergen berupa
bahan-bahan alami, misalnya berbagai
jenis makanan, bahkan tepung sari.
Tidak menggunakan jarum suntik
biasa tetapi menggunakan jarum
khusus, sehingga tidak mengeluarkan
darah atau luka, serta tidak
menyakitkan.
Hasil tes diketahui dalam 15 menit.
Bila positif alergi terhadap alergen
tertentu, akan timbul bentol merah
yang gatal di kulit.
Tes ini harus dilakukan oleh dokter
yang betul-betul ahli di bidang alergiimunologi karena tehnik dan
interpretasi (membaca hasil tes) lebih
sulit dibanding tes lain.

Tes tempel (Patch Test)


Gunanya: mengetahui alergi yang disebabkan
kontak terhadap bahan kimia, misalnya pada
kasus penyakit dermatitis atau eksim.
Prosedur:

Dilakukan pada anak usia minimal 3


tahun.
Dua hari sebelum tes, anak tidak boleh
melakukan aktivitas yang berkeringat
atau mandi. Punggungnya pun tidak

boleh terkena gesekan dan harus bebas


dari obat oles, krim atau salep.
Tes akan dilakukan di kulit punggung.
Caranya, dengan menempatkan bahanbahan kimia dalam tempat khusus
(finn chamber) lalu ditempelkan pada
punggung anak. Selama dilakukan tes
(48 jam), anak tidak boleh terlalu aktif
bergerak.
Hasil tes didapat setelah 48 jam. Bila
positif alergi terhadap bahan kimia
tertentu, di kulit punggung akan
timbul bercak kemerahan atau
melenting.

Tes RAST (Radio Allergo Sorbent Test)


Gunanya: mengetahui alergi terhadap alergen
hirup dan alergen makanan.
Prosedur:

Dapat dilakukan pada anak usia


berapa pun dan tidak menggunakan
obat-obatan.
Dalam tes ini, sampel serum darah
anak akan diambil sebanyak 2 cc, lalu
diproses dengan mesin komputerisasi
khusus. Hasilnya diketahui setelah 4
jam.

Tes kulit intrakutan


Gunanya: untuk mengetahui alergi terhadap
obat yang disuntikkan.
Prosedur:

Dilakukan pada anak usia minimal 3


tahun.
Tes dilakukan di kulit lengan bawah
dengan cara menyuntikkan obat yang
akan di tes di lapisan bawah kulit.
Hasil tes dapat dibaca setelah 15
menit. Bila positif, akan timbul bentol,
merah dan gatal.

Tes provokasi dan eliminasi makanan


Gunanya: mengetahui alergi terhadap
makanan tertentu.
Prosedur:

Dapat dilakukan pada anak usia


berapa pun.
Diagnosis alergi makanan dibuat
berdasarkan diagnosis klinis, yaitu
anamnesis atau riwayat penyakit anak
dan pemeriksaan yang cermat tentang

riwayat keluarga, riwayat pemberian


makanan dan tanda serta gejala alergi
makanan sejak kecil.
Selanjutnya, untuk memastikan
makanan penyebab alergi, digunakan
metode Provokasi Makanan Secara
Buta (Double Blind Placebo Control
Food Chalenge atau DBPCFC), yang
merupakan standar baku. Namun
karena cara DBPCFC ini rumit dan
butuh biaya serta waktu tidak sedikit,
beberapa pusat layanan alergi anak
melakukan modifikasi terhadap
metode ini. Salah satunya, dengan
melakukan Eliminasi Provokasi
Makanan Terbuka Sederhana.
Caranya: dalam diet sehari-hari anak,
dilakukan eliminasi (dihindari)
beberapa makanan penyebab alergi
selama 23 minggu. Setelah itu, bila
sudah tidak ada keluhan alergi, maka
dilanjutkan dengan provokasi
makanan yang dicurigai. Selanjutnya,
dilakukan diet provokasi 1 bahan
makanan dalam 1 minggu dan bila
timbul gejala dicatat. Disebut sebagai
penyebab alergi bila dalam 3 kali
provokasi menimbulkan gejala. Tak
perlu takut anak akan kekurangan gizi,
karena selain eliminasi diet ini bersifat
sementara, anak dapat diberi
pengganti makanan yang ditiadakan
yang memiliki kandungan nutrisi
setara.

Tes provokasi obat


Gunanya: mengetahui alergi terhadap obat
yang diminum.
Prosedur:

Dapat dilakukan pada anak usia


berapa pun.
Metode yang digunakan adalah DBPC
(Double Blind Placebo Control) atau
uji samar ganda. Caranya, pasien
minum obat dengan dosis dinaikkan
secara bertahap, lalu ditunggu
reaksinya dengan interval 1530
menit.
Dalam satu hari, hanya boleh satu
macam obat yang dites. Bila perlu
dilanjutkan dengan tes obat lain,
jaraknya minimal satu minggu,
bergantung dari jenis obatnya.

April 26, 2009


MEKANISME DAN TERAPI ALERGI

3 Comments

Mekanisme
Reaksi alergi melibatkan dua respon kekebalan
tubuh. Pertama, produksi immunoglobin E
(IgE), tipe protein yang dinamakan antibodi
beredar dalam darah. Kedua, sel mast, berada
pada semua jaringan tubuh terutama pada
daerah yang menimbulkan reaksi alergi,
seperti hidung, tenggorokan, paru-paru, kulit,
dan saluran pencernaan.
Kemampuan tubuh membentuk IgE melawan
sesuatu yang asing, tidak saja makanan tetapi
demam, asma atau gatal-gatal, umumnya
diturunkan. Seseorang yang memiliki dua
orangtua penyandang alergi, lebih besar
peluangnya terkena alergi dibanding dengan
satu orangtua yang alergi.
Sebelum alergi muncul, kekebalan tubuh
berkenalan lebih dulu. Pada saat makanan
dicerna, sel memproduksi IgE dalam jumlah
besar, lalu dilepaskan dan menempel pada
permukaan sel mast. Ketika yang bersangkutan
mengkonsumsi makanan yang sama, IgE pada
permukaan sel mast berinteraksi mengeluarkan
histamine.
Gejala alergi akan muncul tergantung pada
bagian mana jaringan mengeluarkan
histamine; pada telinga, hidung, tenggorokan,
gatal pada bagian dalam mulut atau kesulitan
bernafas dan menelan. Bisa juga pada saluran
pencernaan yang mengakibatkan diare dan
sakit perut. Kondisi paling parah jika alergi
terhadap seluruh proses pencernaan, dari mulai
mulut hingga usus besar dan pembuangan.
Terapi
Ada beberapa jenis terapi yang bisa dilakukan
oleh seseorang yang menderita alergi. Terapi
paling mudah adalah dengan menghindari
makanan penyebab. Untuk hal ini diperlukan
bantuan ahli gizi. Selain itu, juga diharuskan
untuk hati-hati membaca label makanan
karena bisa jadi ada kandungan yang dapat
menyebabkan alergi pada produk tersebut.
Penderita dan orangtua harus mengetahui dan
mempunyai daftar tulisan istilah yang
digunakan pada kemasan makanan tentang
jenis protein yang terkandung. Telor mungkin

ditulis sebagai albumin atau lesitin, susu sapi


ditulis sebagai whey, kasein atau caseinete.
Label pada makanan kemasan yang dibeli
harus dilihat dengan teliti setiap hendak
membeli atau memngkonsumsi. Antigen
seperti kacang tanah mungkin ditemukan
dengan tak diduga di dalam minyak, tepung,
daging yang diproses, dan susu dan susu
cream. Makanan apapun termasuk makanan
yang banyak dijual dan dikonsumsi awam
dapat terkontaminasi silang baik secara tidak
langsung atau langsung dengan makanan yang
lain. Di restoran atau rumah makan, perlu
diketahui informasi dengan cermat kalau perlu
dari juru masaknya tentang semua resep yang
terkandung dalam makanan yang dipesan.
Bagi yang menderita asma, pastikan untuk
memeriksa apakah sulfit terdapat dalam
makanan anda. Periksa label makanan anda
apakah ada kata-kata sodium bisulfite,
potassium bisulfite, sodium sulfite, sulfur
dioxide dan potassium metabisulfite.
Terapi lainnya adalah dengan menggunakan
suntikan epinefrin pada saat serangan.
Penderita hasru selalu membawa epinefrin
injeksi (Ana-Kit or EpiPen) setiap waktu bila
hendak bepergian. Bila penderita sudah
terlanjur mengkonsumsi makanan yang
berpotensi mematikan dan timbul gejala
pemberian segera injeksi epinefrin sebelum
timbul gejala. Dianjurkan kepada penderita
alergi untuk menggunakan pertanda medis
seperti gelang atau kalung sebagai pertanda
apabila sedang mengalami kesulitan ketika
gejala alergi terjadi dan ketika itu tidak bisa
berkomunikasi.
(Nilna Rahmi Isna/PSIKM FK
UNAND/Berbagai sumber)

1. B. Mekanisme Alergi
Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi
jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah
antigen bergabung dengan antibodi yang
sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis
sistemik (misalnya setelah pemberian protein
heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya
alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al,
2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah
sebagai berikut:

1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang


dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik
(Fc-R) pada permukaan sel mast dan
basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang
diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel
mast melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi
respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang
dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik (Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme alergi, misalnya terhadap
makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut.
Secara imunologis, antigen protein utuh masuk
ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh.
Untuk mencegah respon imun terhadap semua
makanan yang dicerna, diperlukan respon yang
ditekan secara selektif yang disebut toleransi
atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk
melakukann toleransi oral ini memicu
produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik
terhadap epitop yang terdapat pada alergen.
Antibodi tersebut berikatan kuat dengan
reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga
berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada
makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan
trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat
dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut,
akan memicu IgE yang telah berikatan dengan
sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan
berbagai mediator (histamine, prostaglandin,
dan leukotrien) yang menyebabkan
vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot
polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai
bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast
yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai
sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe
lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).
Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I
disebabkan adanya substansi aktif (mediator)
yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel
basofil dan mastosit.
1. Mediator jenis pertama
Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.

histamin menyebabkan bentol dan warna


kemerahan pada kulit, perangsangan saraf
sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler,
dan kontraksi otot polos.
Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi
ECF-A (eosinophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCFA (neutrophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.
1. Mediator jenis kedua
Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik
dari molekul-molekul fosfolipid membrannya.
Asam arakidonik ialah substrat 2 macam
enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase.
Aktivasi enzim sikloksigenase akan
menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan
tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan
reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh
darah.
Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan
menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien
C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya
dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of
anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh
terhadap kontraksi otot polos dibandingkan
dengan histamin.
1. Mediator jenis ketiga
Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis
pertama, yang mencakup (1) heparin, (2)
kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001;
Wahab, et.al, 2002)

Anda mungkin juga menyukai