Anda di halaman 1dari 11

KASUS KARTIKA

PLAZA
Kelompok

4
Kasus posisi
Semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu milik
PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad).

Pada 1968, Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, dan
melahirkan Amco Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika
Plaza dengan modal US$ 4 juta. Kemudian kedua pihak membuat perjanjian
pembagian keuntungan dan kontrak manajemen Kartika Plaza. Amco Indonesia
akan mengelola hotel itu, dan menyetorkan separuh keuntungan kepada
Wisma Kartika.

Tapi kerja sama itu, yang mestinya berakhir pada 1999, retak di tengah jalan.
Kedua pihak bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor.
Puncaknya, pada Maret 1980, Wisma Kartika mengambil alih pengelolaan
Kartika Plaza. Amco Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika telah "salah
urus" dan melakukan kecurangan keuangan.

Amco Indonesia tak bisa menerima "kudeta" itu. Perusahaan tersebut mengaku
sudah menanam dana untuk Kartika Plaza hampir US$ 5 juta. Kecuali itu,
Amco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969, telah
menyetorkan keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400
juta. Begitu pula pembagian keuntungan untuk Wisma Kartika pada
1979, sebesar Rp 35 juta, sudah dibayarkan.
lanjutan
Pada Juli 1980 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha Amco
Indonesia karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan. Perusahaan itu,
yang seharusnya menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor sekitar US$
1,4 juta.
Pada 15 Januari 1981, Amco Indonesia ternyata menggelar perkara itu di lembaga arbitrase
ICSID. Mereka menuntut pemerintah RI membayar ganti rugi US$ 12 juta berdasarkan
kurs masa itu sekitar Rp 15 milyar. Penggugatan terhadap pemerintah RI sesuai dengan
Undang-undang No 5 tahun 1968, tentang penanaman modal asing, yang meratifikasi
Konvensi Washington. Setelah hampir tiga tahun di persidangan, dewan arbiter akhirnya
menghukum Indonesia untuk membayar ganti rugi US$ 3,2 juta pada 19 November
1984.
Pemerintah Indonesia, melalui Pengacara Prof. Sudargo Gautama dan Kantor Pengacara White
& Case di Washington, menyatakan banding atas keputusan dewan arbiter tersebut.
Pada 16 Mei 1986 keputusan membayar ganti rugi kepada Amco Indonesia itu dibatalkan
pengadilan. Kendati demikian, pemerintah RI dalam hal ini diwakili Departemen Keuangan
konon sudah telanjur mengeluarkan biaya sekitar US$ 4 juta untuk meladeni arbitrase itu.
Uang tersebut antara lain untuk ongkos arbiter, para saksi, dan biaya persidangannya, yang
berpindah-pindah dari Washington, Paris, Kopenhagen, dan Wina.
Merasa dirugikan oleh keputusan itu, Amco Indonesia kembali menggelar gugatan di ICSID.
Pada 31 Mei 1990, majelis arbiter yang dipimpin Higgins, guru besar pada London School
of Economics menghukum Indonesia untuk membanyar ganti rugi US$ 2,6 juta plus
bunga 6% per tahun terhitung sejak keputusann dewan arbiter diucapkan. Angka ganti
rugi itu, menurut majelis arbiter, merupakan keuntungan yang bisa diperoleh Amco
Indonesia sampai 15% seandainya mereka tak didepak.
Flash back

Buntut dari pengambilalihan pengelolaan Kartika Plaza itu akhirnya dimajukan ke


meja hijau. Wisma Kartika menggugat Amco Indonesia di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Sampai tingkat kasasi (30 April 1985), Amco Indonesia masih
tetap kalah, dan diharuskan membayar ganti rugi hampir Rp 800 juta.
Pelaksanaan ganti rugi tersebut dikabarkan belum sampai dilaksanakan, karena
Amco Indonesia, waktu itu, disebut-sebut sudah bubar.

Di Jakarta, sampai pekan lalu, Direktur Utama Wisma Kartika BrigJen. Suratman
Hadi mengaku belum mengetahui keputusan itu. Kuasa hukum Wisma Kartika,
Anis Idham, menambahkan bahwa pihaknya sama sekali tak ada kaitan lagi
dengan Amco Indonesia dalam sengketa arbitrase itu. Menurut Anis, justru
yang menjadi masalah sekarang tak kunjung bisa dieksekusinya
kemenangan Wisma Kartika di pengadilan kita, karena Amco Indonesia
sudah tak ada lagi. Sementara itu, Kepala Bidang Hukum dan Humas
Departemen Keuangan Bacelius Ruru menyatakan bahwa instansinya kini masih
mengkaji keputusan dewa arbiter tersebut. Soalnya bukan murah tidaknya ganti
rugi itu. Tapi, apakah keputusan itu wajar? Dan, yang penting, bagaimana
menjaga kehormatan pemerintah RI..
Pembahasan
Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza
Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang
putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan
melakukan pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional
maupun hukum Indonesia sendiri, dimana Pemerintah Indonesia yang diwakili
oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan
pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para
investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan
PT. Amco Indonesia.

Dalam tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat
dari permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment)
tingkat pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar
serta sesuai dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi
atau izin penanaman modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti
kerugian atas putusan tingkat pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap
diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi ganti kerugian atas
perbuatannya main hakim sendiri (illegal selfhelp) terhadap penanaman
modal asing.
lanjutan

Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa


Indonesia tetap dikenakan kewajiban pembayaran terhadap
kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan lisensi atau izin
penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US
$ 3.200.000 pada tingkat pertama.

Ketiga badan hukum (AMCO Asia Corporation, Pan America


Development dan PT. Amco Indonesia), telah mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Arbitrase ICSID bahwa Pemerintah
Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan
secara tidak wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman
modal asing di Indonesia. Pemerintah Indonesia c.q BKPM
telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal
asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih
dahulu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.
Dalam kasus ini yang perlu diperhatikan oleh kita ialah:

Perjanjian PMA yang dibuat antara investor dengan pihak penerima modal tunduk
pada aturan-aturan internasional yang mengikat negara kita sebagai
anggota masyarakat dunia dan dalam kedudukan kita sebagai suatu bangsa
yang beradab (most favoured nation).
Ketentuan asas hukum dalam Hukum Internasional dan Hukum Perdata
Internasional yang sudah sangat populer adalah: [a] Asas Pacta Sunt
Servanda yaitu bahwa setiap perjanjian yang dibuat harus dilaksanakan. [b]
Asas Bonafide yaitu bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat hendaknya
dijalankan dengan itikad baik (good faith/te goeder trouw).
Dari ketentuan asas hukum tersebut kita melihat bahwa kedua belah pihak
masing-masing punya kewajiban untuk menjalankan dengan itikad baik apa
yang telah mereka perjanjikan. Pada prinsipnya suatu perjanjian dibuat
atas dasar kesepakatan bersama berdasarkan Asas Kebebasan Berkontrak
(principle of freedom of contract) sehingga tidaklah dapat begitu saja
dibatalkan secara sepihak (bersifat irrevocable).
Di dalam Hukum Internasional dan juga Hukum Perdata Internasional dikenal
alasan-alasan batalnya suatu perjanjian seperti salah satu pihak
melakukan wanprestasi/ingkar janji (default/breach of contract],
lenyapnya salah satu pihak dalam perjanjian karena negaranya berada
dalam kekuasaan negara lain; pecah perang antara kedua pihak; tidak
mungkin dilaksanannya perjanjian tersebut karena hapusnya atau rusaknya
secara permanen suatu tujuan yang sangat diperlukan untuk melaksanakan
perjanjian tersebut.
LANJUTAN

Dalam hal suatu perjanjian dibatalkan atau izin dicabut di luar alasan-alasan
yang sah menurut hukum maka pihak yang dirugikan dapat menuntut
ganti rugi (right to pursue comprensation).

Dalam hal Lembaga Aribitrase ICSID


Arbitrase ini dibentuk dengan dasar hukum yaitu Konvensi Washington 1965
(perjanjian internasional yang diikuti oleh negara-negara anggota PBB) yang
disebut Convention on the Settlement of Investment Disputes between
States and Nationals of Other States (Konvensi tentang Penyelesaian
Sengketa Investasi antara Negara dan Warga Negara Asing).

Pihak investor yang merasa dirugikan investasinya oleh suatu negara


misalnya penundaan, pembatalan investasi atau ingkar janji
(wanprestasi) oleh negara tempat investasi dapat mengajukan permohonan
(request) arbitrase ke ICSID.

Putusan yang dibuat oleh lembaga ICSID bersifat final dan mengikat
(final and binding). Ini berarti tertutup kemungkinan untuk melakukan upaya
hukum (banding kasasi dan peninjauan kembali).
Kesimpulan
Dengan melihat penyelesaian kasus sengketa penanaman modal asing antara
Pemerintah Indonesia c.q BKPM dengan PT AMCO Limited melalui “legal
dispute” pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing oleh
Pemerintah Indonesia c.q BKPM maka yang perlu mendapat perhatian
bagaimana proses beracara melalui arbitrase yang menurut teori dapat
dilalui dengan cepat dan hasilnya memuaskan kedua belah pihak, namun
dalam praktik seperti pada contoh kasus ini menghabiskan waktu sekitar 9
tahun lamanya.

Namun dalam putusan tingkat ketiga Dewan Arbitrase ICSID dapat diambil
suatu pelajaran yang sangat bermanfaat bilamana berhadapan dengan
pihak penanaman modal asing bahwa lisensi atau izin yang telah diberikan
sedapat mungkin dihindari pencabutannya. Kemudian bilamana terjadi
sengketa antara partner lokal dengan pihak penanam modal asing, pihak
pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dan mengambil tindakan –
tindakan yang mengarah kepada pencabutan lisensi atau izin penanaman
modal asing itu.

Untuk menghilangkan kesan yang buruk terhadap setiap tindakan yang


diambil dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa penanaman
modal asing sebaiknya kita terus meningkatkan pemahaman serta
memperluas wawasan tentang hukum yang berkaitan dengan
penyelesaian sengketa penanaman modal, baik hukum nasional maupun
aturan – aturan yang dipakai secara internasional
Lanjutan

PEMERINTAH RI juga para konglomerat di sini, agaknya kini harus benar-benar memberi
perlindungan yang cukup baik kepada para penanam modal asing. Kalau tidak,
bisa-bisa harus menanggung ganti rugi. Buktinya: badan arbitrase International Centre
for Settlement of Investment Dispute (ICSID) di Washington, 31 Mei 1990 ,
mengharuskan Pemerintah RI membayar ganti rugi US$ 2,6 juta kepada perusahaan
modal asing, PT Amco Indonesia, anak perusahaan joint venture Amco Asia Corp. (Hong
Kong) dan Pan American Development Ltd. (USA).

Secara luas harus didasarkan atas prinsip “pacta sunt servanda” yang dianggap sebagai
prinsip yang dianut oleh semua sistem hukum, baik hukum nasional maupun hukum
internasional. Di samping itu juga setiap Konvensi untuk mengadakan arbitrase harus
ditafsirkan dan dilaksanakan dengan itikad baik (good faith). Ini berarti bahwa
semua konsekuensi dan komitmen para pihak yang dianggap secara layak harus
diperhatikan dan diperhitungkan terlebih dahulu.

Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan
arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan
putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar
ketertiban umum. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur,
dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk
arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa
berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari
pengadilan negeri.
“TANTANGAN TERBESAR KITA BUKAN HANYA MELAKUKAN
PERUBAHAN,
MELAINKAN MELAKUKAN TRANSFORMASI INDONESIA”

Susilo Bambang Yudhoyono

Anda mungkin juga menyukai