Anda di halaman 1dari 14

A.

Patogenesis dan Patofisiologi


1. Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran
darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus
miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi
arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri
basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis (Angsar, 2010).
Pada hamil normal, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot
arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi arteri spiralis, yang akan
memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi
vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya
aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat,
sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan remodelling arteri spiralis (Angsar, 2010)..
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
a. Iskemia plasenta dan pembentukan radikal bebas
Karena kegagalan remodelling arteri spiralis akan berakibat plasenta
mengalami iskemia, yang akan merangsang pembentukan radikal
bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai toksin.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida
lemak juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel.

Gambar 1. Kerusakan Pembuluh Darah pada Preeklampsia


(Cunningham et al. 2005)

b. Disfungsi endotel
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi
endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel (Kartha, 2000).
Keadaan ini disebut disfungsi endotel, yang akan menyebabkan
terjadinya :
1) Gangguan metabolisme prostaglandin, yaitu menurunnya produksi
prostasiklin (PGE2), yang merupakan suatu vasodilator kuat.
2) Agregrasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2),
yaitu suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar
prostasiklin lebih banyak dari pada tromboksan. Sedangkan pada
preeklampsia kadar tromboksan lebih banyak dari prostasiklin,
sehingga menyebabkan vasokonstriksi yang akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah.
3) Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis).
4) Peningkatan permeabilitas kapiler
5) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar NO menurun, sedangkan endotelin meningkat (Farid et al.
2001).
6) Peningkatan faktor koagulasi.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan normal, respon imun tidak menolak adanya hasil
konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte
antigen protein G (HLA-G), yang dapat melindungi trofoblas janin dari
lisi oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga akan mempermudah
invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu (Angsar, 2010).
Pada plasenta ibu yang mengalami PE, terjadi penurunan ekspresi
HLA-G, yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke
dalam

desidua.

Kemungkinan

preeklampsia (Angsar, 2010).

terjadi Immune-Maladaptation pada

4. Teori adaptasi kardiovaskular


Pada kehamilan normal, pembuluh darah refrakter terhadap bahan
vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap ransangan
vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokonstriksi. Refkrakter ini terjadi akibat adanya
sintesis prostaglandin oleh sel endotel.
Pada PE terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan
vasopresor, sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan
vasopresor sehingga pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi dan
mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan. (Angsar, 2010; DeCherney).
5. Teori genetik
Wanita yang mengalami PE pada kehamilan pertama akan
meningkat mendapatkan PE pada kehamilan berikutnya. Odegard dkk di
Norwegia menemukan risiko 13,1% pada kehamilan kedua bila dengan
partner yang sama dan sebesar 11,8% jika berganti pasangan. Mostello
mengatakan kejadian PE akan meningkat pada kehamilan kedua bila ada
kehamilan dengan jarak anak yang terlalu jauh. Cincotta menemukan
bahwa bila dalam keluarga ada riwayat pernah PE maka kemungkinan
mendapat PE pada primigravida tersebut akan meningkat empat kali.
(Karkata 2006).
6. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Hal ini dibuktikan
oleh penelitian pemberian berbagai elemen seperti zinc, kalsium, dan
magnesium untuk mencegah preeklampsia. Pada populasi umum yang
melakukan diet tinggi buah-buahan dan sayuran yang memiliki aktivitas
antioksidan, seperti tomat, wortel, brokoli, apel, jeruk, alpukat, mengalami
penurunan tekanan darah. (Cunningham et al. 2005).
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak
asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan,

menghambat aktifasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh


darah (Angsar, 2010).
7. Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.
Pada kehamilan normal, pelepasan debris trofoblas masih dalam batas
wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas wajar. Berbeda
dengan proses apoptosis pada PE, dimana pada PE terjadi peningkatan
stres oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas
juga meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar
juga. Respon inflamasi akan mengaktivasi sel endotel dan sel
makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi
inflamasi sistemik yang menimbulkan gejala-gejala PE pada ibu (Angsar,
2010).

(Angsar, 2010)

B. Penatalaksanaan
Penanganan penderita PE/E yang definitif adalah segera melahirkan bayi
dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam penatalaksanaannya kita harus
mempertimbangkan keadaan ibu dan janinnya, antara lain umur kehamilan, proses
perjalanan

penyakit,

dan

seberapa

jauh

keterlibatan

organ.

Tujuan

penatalaksanaan PE/E adalah (Roeshadi 2007):


1.

Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di samping itu
mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.

2.

Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan


ibu hamil.

3.

Mencegah perdarahan intrakranial dan mencegah gangguan fungsi organ


vital.

A. PREEKLAMPSIA RINGAN
1) Penatalaksanaan rawat jalan (Saifuddin et al. 2002, Prawirohardjo, 2010)
a. Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan kondisi
janin.
b. Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya
preeklampsia dan eklampsia.
c. Lebih banyak istirahat, tidur miring agar menghilangkan tekanan
pada vena cava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan
menambah curah jantung.
d. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, garam secukupnya.
e. Tidak perlu diberi obat-obatan.
f. Kunjungan ulang setiap 1 minggu.
g. Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin, hematokrit, trombosit, urine
lengkap, asam urat darah, fungsi hati, fungsi ginjal.
2) Penatalaksanaan rawat inap berdasarkan kriteria (Prawirohardjo, 2010):
a. Setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan adanya
perbaikan dari gejala-gejala pre eklampsia.
b. Kenaikan berat badan ibu 1 kg atau lebih per minggu selama 2 kali
berturut-turut (2 minggu).

c. Timbul salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda pre eklampsia
berat
d. Bila setelah 1 minggu perawatan di atas tidak ada perbaikan maka pre
eklampsia ringan dianggap sebagai pre eklampsia berat.
e. Bila dalam perawatan di rumah sakit sudah ada perbaikan sebelum 1
minggu dan kehamilan masih preterm maka penderita tetap dirawat
selama 2 hari lagi baru dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan
dengan perawatan rawat jalan.
3)

Perawatan

obstetrik

yaitu

sikap

terhadap

kehamilannya

(Prawirohardjo, 2010) :
a. Kehamilan preterm (kurang 37 minggu)
i. Bila desakan darah mencapai normotensif selama perawatan,
persalinan ditunggu sampai aterm.
ii. Bila desakan darah turun tetapi belum mencapai normotensif
selama perawatan maka kehamilannya dapat diakhiri pada
umur kehamilan 37 minggu atau lebih.
b. Kehamilan aterm (37 minggu atau lebih)
Persalinan

ditunggu

sampai

terjadi

onset

persalinan

atau

dipertimbangkan untuk melakukan persalinan pada taksiran tanggal


persalinan.
c. Cara persalinan
Persalinan

dapat

dilakukan

secara

spontan.

Bila

perlu

memperpendek kala
B. PREEKLAMPSIA BERAT
a. Perawatan Aktif
Sambil memberi pengobatan, kehamilan diakhiri. Sedapat mungkin
sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan
fetal assesment (NST & USG) (Prawirohardjo, 2010; Fields, 1990;
Abadi, 1994) :
a. Indikasi (salah satu atau lebih)
1) Ibu
a) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih

b) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia


c) Kegagalan terapi konservatif yaitu keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
d) diduga terjadi solusio plasenta
e? Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
2) Janin
a) Ada tanda-tanda fetal distres.
b) Adanya tanda IUGR
c) NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
d) terjadinya oligohidramnion
3) Laboratorium
a) Adanya HELLP syndrome (hemolisis dan peningkatan
fungsi hepar, trombositopenia).
b. Pengobatan Medisinal
Sikap tehadap penyakit: pengobatan medikamentosa (Angsar, 2010;
Saifuddin et al. 2002) :

a. Tirah baring miring ke satu sisi (kiri).


b. Pengelolaan cairan, monitoring input dan output cairan.
c. Pemberian obat antikejang.
i. Obat anti kejang yang digunakan MgSO4, diazepam, fenitoin.
Pemberian MgSO4sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin. Obat antikejang yang banyak dipakai di Indonesia
adalah magnesium sulfat.
ii. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk
mencegah dan mengurangi terjadinya kejang (Suparman &
Sembiring 2004). Di samping itu juga untuk mengurangi
komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Cara kerja
magnesium sulfat sampai saat ini tidak seluruhnya diketahui,
diduga ia bekerja sebagai N-methyl D Aspartate (NDMA)
reseptor inhibitor, untuk menghambat masuknya kalsium ke
dalam neuron pada sambungan neuro muskuler (neuro
musculer junction) ataupun pada susunan syaraf pusat. Dengan
menurunnya kalsium yang masuk maka penghantaran impuls

akan menurun dan kontraksi otot yang berupa kejang dapat


dicegah (Roeshadi 2007).

iii. Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah


dan mengatasi kejang pada PE berat dan eklampsia. Cara
pemberian magnesium sulfat dapat dilihat pada lampiran 3.
iv. Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan
risiko tterjadinya depresi pernapasan neonatal.
d. Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema
paru-paru, payah jantung. Diuretikum yang dipakai adalah
furosemid.
e. Pemberian antihipertensi
Masih banyak perdebatan tentang penetuan batas (cut off) tekanan
darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmHg dan
MAP 126 mmHg. Di RSU Soetomo Surabaya batas tekanan
darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik 180
mmHg dan/atau tekanan diastolik 110 mmHg.
i. Antihipertensi lini pertama
Nifedipin; 10 20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit;
maksimum 120 mg dalam 24 jam.
ii. Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside; 0,25 g i.v./kg/menit, infus; ditingkatkan
0,25 g i.v./kg/5 menit.
f. Pemberian glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak
merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32 34 minggu, 2 x 24
jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.
Pemberian Magnesium Sulfat (Prawirohardjo, 2010; Bhalla, 1994).
Cara pemberian magnesium sulfat :
1) Dosis awal sekitar 4 gram MgSO4 IV (20 % dalam 20 cc) selama
1 gr/menit kemasan 20% dalam 25 cc larutan MgSO4 (dalam 3-5
menit). Diikuti segera 4 gr di bokong kiri dan 4 gram di bokong
kanan (40 % dalam 10 cc) dengan jarum no 21 panjang 3,7 cm.

Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain 2% yang


tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.
2) Dosis ulangan : diberikan 4 gram intramuskuler 40% setelah 6
jam pemberian dosis awal lalu dosis ulangan diberikan 4 gram IM
setiap 6 jam dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.
3) Syarat-syarat pemberian MgSO4
a) Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1
gram (10% dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.
b) Refleks patella positif kuat
c) Frekuensi pernapasan lebih 16 kali per menit.
d) Produksi urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5
cc/kgBB/jam).
4) MgSO4 dihentikan bila
a) Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi,
refleks fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP,
kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena
kelumpuhan otot-otot pernapasan karena ada serum 10 U
magnesium pada dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks
fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15
mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan dan lebih 15
mEq/liter terjadi kematian jantung.
b) Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat
1) Hentikan pemberian magnesium sulfat
2) Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc)
secara IV dalam waktu 3 menit.
3) Berikan oksigen.
4) Lakukan pernapasan buatan.
c) Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca
persalinan sudah terjadi perbaikan (normotensif).
Pengelolaan Obstetrik
Cara Terminasi Kehamilan yang Belum Inpartu

1) Induksi persalinan : tetesan oksitosin dengan syarat nilai Bishop 5


atau lebih dan dengan fetal heart monitoring.
2) Seksio sesaria bila :
a) Fetal assesment jelek
b) Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai Bishop kurang
dari atau adanya kontraindikasi tetesan oksitosin.
c) 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase
aktif. Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan
terminasi dengan seksio sesaria.
Cara Terminasi Kehamilan yang Sudah Inpartu
Kala I
1) Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio
sesaria.
2) Fase aktif :
a) Amniotomi saja
b) Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan
lengkap maka dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan
tetesan oksitosin).
Kala II
Pada persalinan per vaginam maka kala II diselesaikan dengan partus
buatan. Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan sekurangkurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan medisinal. Pada
kehamilan 32 minggu atau kurang; bila keadaan memungkinkan,
terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan kortikosteroid.
c. Perawatan Konservatif (POGI, 1994; Prawirohardjo, 2010).
1) Indikasi : Bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai
tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
2) Pengobatan medisinal : Sama dengan perawatan medisinal pada
pengelolaan aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan
intravenous, cukup intramuskuler saja dimana 4 gram pada bokong
kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
3) Pengobatan obstetri :

a) Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama


seperti perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
b) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre
eklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
c) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap
pengobatan medisinal gagal dan harus diterminasi.
d) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi
lebih dahulu MgSO4 20% 2 gram intravenous.
4) Penderita dipulangkan bila :
a) Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia
ringan dan telah dirawat selama 3 hari.
b) Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia
ringan penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai pre
eklampsia ringan (diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A, Sukaputra B. Waspodo D, Djuarsa E, Gumilar E, Uktolsea F, et al.


1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo. Laboratorium /
UPF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo
Surabaya.
Angsar, MD. 2009. Hipertensi dalam kehamilan dalam Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirodrdjo, edk 4, eds. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Bakri, S. 1997. Hipertensi pada Wanita Hamil. Dibacakan pada Simposium
Penanganan Pre Eklampsia dan Eklampsia, Ujung Pandang.
Bhalla, AK, Dhall, Dhall K. 1994. A Safer and More Effective Treatment
Regimen for Eclampsia. Aust NZ J Obstet Gynecol. 34 : 144-148.
Cunningham, FG, Leveno, KJ, Bloom, SL, Hauth, JC, Gilstrap, L & Wenstrom,
KD. 2005. Williams Obstetrics, 22th edn, McGraw-Hill, New York.
DeCherney, AH & Pernoll, ML. 2006. Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment, 10th edn, McGraw-Hill, New York.
Fields, DH. Gestationally Induced Hypertention. 1990. In : Barber HRK, Fields
DH, Kaufman SA, eds. Quick Deference to Obgyn Procedure.
Philadelphia : AB Lippincoti Company. 166-173.
Handaya. 1993. Penanganan Pre Eklampsia Berat / Eklampsia. Dibacakan pada
seminar dan lokakarya Penanganan Pre Eklampsia dan Eklampsia Berat.
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta
Karkata, MK. 2006. Faktor resiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology. 30 (1) : 55-57.
Kartha, IBM, Sudira, N & Gunung, K. 2000. Hubungan kadar trigliserida serum
pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu dengan risiko terjadinya
preeklampsia pada primigravida. Indonesian Journal of Obstetrics and
Gynecology. 24: 88 92.
POGI. 1994. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi Bag. 1. Cet. ke-2.
Jakarta : Gaya baru. 1-8.
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka

Roeshadi, RH. 2007. Upaya menurunkan angka kesakitan dan angka kematian ibu
pada penderita preeklampsia dan eklampsia. Indonesian Journal of
Obstetrics and Gynecology. 31 (3) : 123-133.
Saifuddin, AB, Wiknjosastro, GH, Affandi, B & Waspodo, D. 2002. Buku
panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta :
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai