PENDAHULUAN
Sedangkan pada musim hujan luasnya mencapai 28.000- 43.000 ha dengan rata-rata TMA
pada kisaran 6,09,0 m dpl.
Bendung Gerak Tempe dibangun di sungai Cenranae yang merupakan outlet
Danau Tempe dan bertujuan untuk meningkatkan rata-rata TMA danau hingga mencapai
elevasi + 5,0 m dpl pada musim kemarau sehingga kedalaman air danau dapat
dipertahankan pada kisaran 2,0 3,0 m. Pada elevasi TMA dan kisaran kedalaman danau
tersebut, maka luas rata-rata genangan air pada Danau Tempe adalah 132,90 km2 atau
13.290 ha.
Sungai yang menuju ke Danau Tempe terdiri atas 23 sungai dan membentuk dua
sistem sungai dan catchment area, yaitu Sungai Bila yang mengalir dari arah utara
dengan luas catchment area1.368 km2 dan Sungai Walanae yang mengalir ke dalam
sungai Cenranae dari arah selatan dengan luas catchment area 3.190 km2. Sedangkan
Danau Tempe sendiri mempunyai luas catchment area 1.580 km2. Sungai Cenranae
selain mengalirkan air Sungai Walanae ke dalam Danau Tempe pada musim hujan, sungai
ini juga merupakan outlet danau ke arah timur sampai Teluk Bone sepanjang 70 km.
Curah hujan di daerah danau sebesar 1.400-1.800 mm/tahun dan di catchment area Bila
dan Walanae sebesar 1.400-4.000 mm/tahun.
Di samping Danau Tempe, terdapat pula Danau Sidenreng dan Danau Buaya.
Pada mulanya ketiga danau ini merupakan satu kesatuan yang dikenal sebagai sistem
Danau Tempe, tetapi karena sedimentasi yang berlangsung secara terus menerus dan
terjadi pendangkalan, maka ketiganya terpisah dan masing-masing mempunyai nama
tersendiri.
Danau Tempe memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup besar, terdiri dari
lingkungan fisik dan hayati. Lingkungan fisik yang menjadi daya tarik adalah hamparan
danau yang luas menghubungkan tiga kabupaten dan sumberdaya air untuk irigasi serta
air baku untuk PDAM. Di Danau Tempe hidup 17 jenis ikan termasuk udang air tawar yang
bernilai ekonomis penting, salah satu di antaranya oleh masyarakat di sekitar danau
dianggap sebagai spesies endemik yaitu ikan bloso (Glossogobius faureus) atau disebut
ikan bungoyang populasinya sudah mulai terancam sebagai dampak penangkapan dan
kerusakan habitat.
19. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air;
20. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah;
21. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
22. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;
23. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya
Ikan;
24. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional;
25. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya
Air;
26. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2010 tentang Bendungan;
27. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai;
28. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik;
29. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;
30. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS; dan
31. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2013 tentang Rawa.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penyusunan
grand design penyelamatan ekosistem danau adalah Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 4
undang-undang tersebut mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut: a) perencanaan; b)
pemanfaatan; c) pengendalian; d) pemeliharaan; e) pengawasan; dan f)
penegakan hukum.
sumberdaya
alam
danau)
dilakukan
berdasarkan
Rencana
Permasalahan Danau Tempe cukup rumit dan terdapat berbagai faktor yang
saling terkait, baik yang terjadi di dalam perairan danau maupun permasalahan ekosistem
di luar kawasan danau, dan memberi konstribusi yang sangat besar terhadap kerusakan
lingkungan abiotik dan biotik pada Danau Tempe saat ini. Di samping permsalahan
lingkungan, pemanfaatan lahan danau untuk kegiatan penangkapan ikan, pertanian,
rumah apung dan okupasi lahan sempadan dapat menjadi sumber munculnya konflik
sosial. Banyak kajian yang telah dilakukan oleh berbagai instansi, namun karena bersifat
parsial dan sesaat sehingga kajian tersebut belum mampu memberikan solusi terbaik
terhadap permasalahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang dialami Danau Tempe.
Berangkat dari pengalaman aplikasi berbagai program, kajian dan penelitian yang
telah dilakukan selama ini, ternyata degradasi lingkungan danau berlangsung terus sejalan
dengan waktu dan akhirnya berdampak pada pencemaran dan menurunnya status mutu
air serta krisis biotik ekosistem Danau Tempe. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat
perlu dikembangkan grand design penyelamatan danau yang mampu mengatasi akar
permasalahan(root problem) kerusakan ekosistem danau dan jaminan atas keberlanjutan
program yang telah dituangkan dalam rencana aksi.
Berdasarkan identifikasi permasalahan, maka root problem kerusakan ekosistem
DanauTempe dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu; 1) Kerusakan pada
ekosistem DAS dan DTA yang memicu terjadinya erosi; 2) Pendangkalan danau sebagai
akibat sedimentasi;
4)
Pencemaran air yang merubah status mutu dan status trofik air danau; 5) Penutupan
tanaman air (eceng gondok) yang sudah melebihi batas kelayakan; dan 6) Permasalahan
sosial ekonomi yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal terutama terkait
pemanfaatan kawasan danau.
Evaluasi dan road map identifikasi permasalahan Danau Tempe lebih detil
dijelaskan pada Bab II.
A. Tujuan
Penyusunan program penyelamatan DanauTempe bertujuan untuk memberikan
arah kebijakan, rencana dan pelaksanaan penyelamatan dan pengelolaan yang sehat
agar fungsi dan manfaat danau dapat berkelanjutan tanpa batas. Adapun tujuan
khusus adalah:
1. Meningkatan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi para penentu kebijakan di pusat
maupun provinsi dengan kabupaten/kota