Anda di halaman 1dari 6

Krueng atau Sungai Teunom di Aceh Jaya kini tak lagi sehat dan aman

secara ekologis maupun hidrologis. Ribuan ekor ikan ditemukan mati


mengapung di sungai itu, terutama ikan kerling. Bahkan beberapa orang
dilaporkan tumbang setelah mengonsumsi ikan langka yang dagingnya
lezat itu dari aliran Krueng Teunom.
Tim Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, sebagaimana
diberitakan Serambi Indonesia kemarin, menduga ikan yang mati massal
itu disebabkan air Krueng Teunom tercemar logam berat. Adalah Kepala
DKP Aceh, Dr Raihanah yang menyatakan air sungai itu tercemar logam
berat karena gejala klinis dari ikan-ikan yang mati itu mengindikasikan
demikian. Cirinya, antara lain, insangnya memerah, matanya memutih,
sisiknya mengalami pendarahan. Ciri lainnya yang sangat khas adalah
tingkat kematian ikan semakin tinggi pada saat air sungai menyusut. Ini
implikasi logis dari adanya zat polutan berupa logam berat di sungai
atau di danau dan laut. Tatkala massa airnya berkurang, maka
toksifikasi (zat racun) yang ditimbulkan setiap logam berat kian tinggi
dan semakin mematikan.
Terus terang, hati kita miris mendengar kabar ini. Terlebih karena
bahaya pencemaran sungai oleh logam berat di wilayah Aceh Jaya
seperti disengaja dan dibiarkan terjadi. Hampir semua kita tahu bahwa
dalam tujuh tahun terakhir seribuan orang terlibat setiap hari dalam
aktivitas penambangan emas secara ilegal di Gunong Ujeuen, Aceh
Jaya.
Di sentra-sentra pengelohan yang dinamakan gelondongan itulah para
pengrajin menggunakan merkuri atau air raksa untuk memisahkan
butiran emas dari batu dan tanah. Setelah itu, sisa batuan dan tanah
yang bercampur residu air raksa tersebut mereka buang ke tanah.

Ketika hujan mengguyur, residu merkuri tersebut pun terdorong ke


sungai, ke sawah, tambak, bahkan meresap ke sumur penduduk.
Peristiwa ini terus berulang hari demi hari, bahkan sudah berbilang
tahun. Tanpa mereka sadari, praktik yang penuh risiko inilah yang
diyakini telah mencemari Krueng Teunom dan akhirnya ikan-ikan di
sungai itu pun terkontaminasi zat merkuri sehingga mati massal. Tak
heran pula ketika ikan yang tercemar merkuri itu dikonsumsi warga
setempat, mereka pun bertumbangan.
Harian Serambi Indonesia empat bulan lalu sengaja menjadikan bisnis
ilegal merkuri dan pencemaran merkuri di Aceh Jaya sebagai liputan
eksklusif. Serambi mengungkap secara gamblang bagaimana mata
rantai merkuri masuk Aceh dari Jakarta melalui jalur ilegal. Tapi
kepolisian di Aceh, khususnya Polres Aceh Jaya dan Pidie, bagai tak
bersemangat sedikit pun menggulung sindikat penjualan merkuri ilegal
untuk penambangan emas ilegal ini. Sekarang, akibat sikap pembiaran
dari aparat keamanan itu, dampak yang lebih parah dari pencemaran
logam berat di sungai pun, mulai kita rasakan. Ikan tercemar, warga
keracunan.
Nah, masihkah aparat keamanan kita berdiam diri lagi? Mestinya para
pencemar sungai itu segera ditindak tegas, sebelum dampak yang lebih
parah, seperti yang ditimbulkan oleh tragedi Minamata di Jepang dan
kasus Buyat di Sulawesi, terulang dalam skala massif di Aceh. Mari
mencegah dan bertindak, sebelum semuanya terlambat. Dan
keberanian itu sedianya muncul dari dulu.

Uji laboratorium yang dilakukan terpisah oleh tiga lembaga berbeda terhadap
sampel air dari Krueng Teunom, Aceh Jaya, menunjukkan bahwa sungai yang
banyak dihuni ikan kerling itu positif mengandung racun berbahaya. Bukan cuma
satu jenis, melainkan tiga jenis sekaligus. Terdiri atas sulfida (belerang), merkuri
(air raksa), dan fosfat (bahan asam fosfor yang dipakai untuk membuat pupuk
kimia).
Hasil uji lab itu diperoleh, Jumat (8/8) siang dari Wakil Kepala DPR Aceh, H
Sulaiman Abda MSi, karena hasil tes tersebut ikut ditembuskan pihak penguji
kepada DPRA.
Dari dokumen yang ada terlihat tiga lembaga yang melakukan uji lab tersebut
adalah Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Syiah Kuala (FMIPA Unsyiah), Unit Pelaksana Tugas Daerah (UPTD) Balai
Laboratorium Kesehatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, serta Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan (BPPL) Bapedal Aceh.
Kini terjawab sudah apa yang selama ini menjadi misteri mengapa banyak ikan di
aliran Krueng Teunom mati. Unsur racunnya ternyata banyak, kata Sulaiman
Abda.
Untuk mengetahui faktor penyebab kematian ikan kerling di Krueng Teunom, kata
Sulaiman Abda, pihak Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh
bersama Dinas Kesehatan (Dinkes), serta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
Aceh pekan lalu berkunjung ke lokasi tempat matinya banyak ikan kerling di
Kecamatan Pasie Raya, Aceh Jaya.
Ketiga instansi pemerintah itu mengambil sampel air maupun ikan kerling yang
mati untuk diuji di lab. Untuk menguji ada tidaknya logam berat di dalam air
Krueng Teunom, Bapedal mengirim tiga sampel air sungai itu ke Lab FMIPA
Unsyiah.
Berdasarkan hasil uji lab di FMIPA Unsyiah yang diteken oleh Kepala Unit Analisis
dan Kajian Kimia, Jurusan Kimia FMIPA Unsyiah, Dr Saiful MSi tanggal 6 Agustus
2014 ternyata, tiga sampel air Krueng Teunom yang diperiksa dengan metode AAS,
mengandung unsur merkuri (Hg).
Pada sampel air titik 1, kandungan merkurinya 0,0001019 mg/l, sampel air titik 2,
merkurinya 0,0000999 mg/l, dan sampel air titik 3 kandungan merkurinya
0,0001079 mg/l. Kandungan merkurinya memang masih di bawah ambang batas
baku mutu yang ditetapkan Permenkes Nomor: 492/Menkes/Per/IV/2010 sebesar
0,001 mg/l.

Meski kandungan merkuri di dalam Krueng Teunom itu masih di bawah ambang
batas, tapi ia tetap merupakan sumber racun di sungai itu, kata sarjana biologi
jebolan FKIP Unsyiah ini.
Hasil pengujian Lab MIPA Unsyiah ini, ulas Sulaiman Abda, justru menguatkan hasil
uji patologi pembedahan bangkai ikan kerling di Krueng Teunom yang dilakukan
Lab Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unsyiah. Yakni, organ bagian dalam ikan
yang mati itu terindikasi keracunan unsur logam berat yang saat itu belum
diketahui apa jenisnya. Bukti penunjangnya: hati, pangkreas, usus, ginjal, dan
anus ikan itu membengkak. Sirip dan jaringan bawah kulitnya mengalami
pendarahan (haemoragi), sedangkan matanya masuk ke dalam.
Kondisi ikan yang mati demikian, menurut para ahli perikanan, mengindikasikan
ikan tersebut telah keracunan unsur logam berat. Analisis dan dugaan yang sama
dikatakan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Dr Raihanah MSi kepada
Serambi.
Di sisi lain, UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Dinkes Aceh melakukan pengujian
atas sampel Krueng Teunom. Unsur yang ingin mereka teliti adalah sianida, CoD,
dan sulfida. Untuk sianida, pada sampel I, kadar yang ditemukan 0,009 mg/l,
sampel II sama 0,009 mg/l, dan sampel III 0,010 mg/l. Artinya, unsur sianida
memang ada, tapi masih di bawah baku mutu 0,02 mg/l. Begitu juga unsur CoDnya, masih di bawah baku mutu. Ditemukan 20-40 mg/l, sedangkan baku mutunya
50 mg/l.
Tapi untuk unsur sulfida kandungannya justru melebihi baku mutu. Dalam PP
Nomor 82 Tahun 2001 baku mutunya disebutkan 0,02 mg/l, tapi hasil uji air
Krueng Teunom menunjukkan kadar sulfidanya mencapai 0,022 mg/l.
Adapun uji sampel Krueng Teunom ketiga dilakukan di Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan (BPPL) Bapedal Aceh. Unsur yang ingin mereka cari di
dalam air itu adalah fosfat (P04), clorida (Cl), dan nitrit.
Kadar fosfat yang ditemukan mencapai 0,48 mg/l. Artinya, di atas baku mutu PP
Nomor 82 Tahun 2001 yang toleransinya hanya 0,02 mg/l. Adapun unsur Cl-nya di
bawah baku mutu, hanya 1,98 mg/l, sedangkan baku mutunya 600 mh/l.
Kandungan nitritnya juga di bawah baku mutu. Kadar yang ditemukan 0,0039 mg/l,
baku mutu 0,06 mg.
Untuk penelitian sampel air Krueng Teunom pada titik lainnya juga seperti sampel
pada lokasi pertama. Unsur fosfatnya melampui baku mutu, mencapai 0,34 mg/l,
sedangkan baku mutunya 0,02 mg/l. Hanya unsur Cl dan nitritnya yang di bawah
ambang batas. Unsur Cl-nya 2,47 mg/l, baku mutunya 600 mg/l, sedangkan

nitritnya hanya 0,0036 mg/l, sementara baku mutunya 0,06 mg/l.


Setelah tahu tidak sedikit jenis bahan beracun dan berbahaya (B3) yang kini
terkandung di Krueng Teunom, Aceh Jaya, Sulaiman Abda merekomendasikan
langkah penanggulangan. Menurutnya, Pemkab Aceh Jaya bersama Pemerintah
Aceh perlu segera membuat program rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab rekons)
fasilitas air minum yang dibutuhkan masyarakat di DAS Krueng Teunom secara
permanen.
Selain itu, pihak Dinkes Aceh maupun Kabupaten Aceh Jaya harus terus membuat
program pemantauan kondisi kesehatan masyarakat di DAS Krueng Teunom secara
berkelanjutan.
Alasannya, air sungai yang tercemar zat berbahaya seperti fosfat dan sulfida yang
sudah di atas ambang batas, berbagai jenis logam berat lainnya, meski masih di
bawah baku mutu, seperti merkuri, clorida, dan nitrit, tapi tetap saja menjadi
ancaman laten bagi organisme dan ekosistem di Aceh Jaya dan sekitarnya. Ini
perlu menjadi perhatian serius Dinas Kesehatan Aceh dan Kabupaten Aceh Jaya,
sebelum semua kita menyesal nantinya, kata Sulaiman Abda.
Putra Pidie ini juga menghendaki agar komitmen Gubernur Zaini Abdullah untuk
menutup izin pertambangan emas ilegal di atas Krueng Teunom maupun di Tangse,
Pidie, harus diwujudkan segera. Korban pencemarannya sudah ada, jangan tunggu
lebih banyak lagi, Sulaiman Abda mewanti-wanti.

Ratusan warga mendatangi pos kesehatan yang didirikan di Desa Sarah Raya dan Alue Jang,
Teunom untuk memperoleh pelayanan para medis yang didatangkan dari Banda Aceh.
Pos kesehatan Pemerintah Provinsi Aceh dengan mengerahkan sejumlah dokter umum dan
spesialis didirikan di dua lokasi yang merupakan desa daerah aliran Sungai Teunom.
"Mata kami perih dan gatal-gatal setelah mandi di sungai. Kami meyakini sungai tercemar sejak
pekan lalu," kata Nurhayati, warga Sarah Raya, Sabtu 9 Agustus 2014.
Sementara itu, pihak kepolisian telah mengimbau masyarakat tidak menggunakan dan
mengonsumsi air dari Sungai Teunom, sambil menunggu hasil pengujian dari pemerintah.
Ramli (33), warga Sarah Raya, menduga pencemaran yang berdampak matinya ikan di Krueng
Teunom itu terjadi pada 30 Juli 2014.

"Saat itu, saya mencari ikan jenis Kerlieng di sungai dan merasa heran karena ketika
mengangkat jaring, ikannya cukup banyak, tidak seperti biasanya," kata dia.
Ketika itu ikan hasil tangkapan dalam jumlah banyak tersebut dibawa pulang, dan terlihat
sebagiannya dalam kondisi mengeluarkan darah dari sisik, dan matanya agak putih.
"Saya tidak merasakan apa-apa, dan sebagian saya masak dan sebagian lainnya sudah
direncanakan untuk dijual esok harinya," kata Ramli.
Akan tetapi, kata dia, saat ikan itu akan dijual, timbul kecurigaan dari kondisi fisiknya.
"Akhirnya saya memutuskan untuk membuang ikan itu. Saat itu juga saya merasakan pusingpusing dan mengantuk setelah mengonsumsi ikan itu," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Taqwallah menyatakan pemerintah bertanggung
jawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
"Akan tetapi, terkait dengan apakah masyarakat Teunom itu sakit akibat pencemaran sungai
atau tidak, itu saya tidak bisa komentar. Nanti setelah ada hasil dari para medis baru bisa saya
sampaikan ke media. Saya tidak ngomong, tetapi berbuat" kata Taqwallah.(ant)

Anda mungkin juga menyukai