Anda di halaman 1dari 15

PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Oleh
Dr. Woro Winandi, SH. MHum1
Indra Rukmana Lukito2

Abstrak
Skripsi ini menyajikan hasil penelitian tentang beberapa masalah mengenai penjatuhan
pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam UU no.35 tahun 2009 Ada
dua permasalahan pokok yang menjadi obyek penelitian, yaitu : pertama,
bagaimanakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika
menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam praktik peradilan pidana di
Indonesia, apakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika
melanggar hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945. Penjatuhan pidana mati
terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam praktik peradilan pidana di Indonesia
penerapannya terhadap pengimpor, pengedar narkotika golongan I jenis heroin,
kokain, dengan jumlah minimum barang bukti seberat 300 gram, serta memproduksi,
mengedarkan, mengimpor dan mengekspor.
Kata kunci: hukum pidana, pidana mati, Narkoba
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hukum dibuat untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda
antara pribadi, masyarakat, dan negara dapat dijamin dan diwujudkan tanpa merugikan
pihak yang lain.3 Adalah tugas dari hukum
pidana untuk memungkinkan
terselenggaranya kehidupan bersama antar manusia, tatkala persoalannya adalah
benturan kepentingan antara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan
masyarakat umum. Karena itu, karakter publik dari hukum pidana justru mengemuka
dalam fakta bahwa sifat dapat dipidananya suatu perbuatan tidak akan hilang dan tetap
ada, sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin atau dengan persetujuan orang
1

Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya


Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama
3
Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa
Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, h. 31.
2

terhadap siapa perbuatan tersebut ditujukan, dan juga dalam ketentuan bahwa proses
penuntutan berdiri sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian
akibat perbuatan itu. Kendati demikian, tidak berarti bahwa hukum pidana abai
terhadap kepentingan para pihak.
Berbagai teori dan praktek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini
adalah hukum pidana yang berasal dan berlaku juga di negeri Belanda. Di Indonesia
masih saja memberlakukan hukum pidana peninggalan kaum penjajah, yang teks
aslinya masih bertuliskan dalam bahasa Belanda. Sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, Indonesia sejak lama telah melakukan usaha-usaha untuk memperbaharui
hukumnya, termasuk usaha pembaharuan di dalam lingkup hukum pidana. Pada hukum
pidana, pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana
materiil (strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana
(strafvorderingsrecht) dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht). Ketiga
bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama diperbarui, sebab kalau hanya
salah satu bidang saja yang diperbaharui, dan yang lain tidak, maka akan timbul
kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka
mewujudkan suatu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional
(berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945) tersebut tidak akan tercapai
sepenuhnya. Dengan adanya arah kebijakan hukum yang jelas, maka diharapkan
tercipta suatu kondisi kehidupan masyarakat hukum yang selaras, serasi, dan
seimbang dengan adanya suatu peraturan hukum yang benar-benar mencerminkan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang terjadinya penjatuhan hukuman mati dalam tindak pidana
narkotika?
2. Apakah penjatuhan pidana mati pada undang-undang
tujuan pemidanaan?

Narkotika sesuai dengan

Metode Penelitian
Pendekatan Masalah
Penelitian
ini tergolong penelitian hukum normatif. Pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), azas-azas
hukum, teori-teori hukum, konsep-konsep hukum.
Pendekatan yuridis (juridical
approach) dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pendekatan masalah secara normatis
(normative approach) adalah pendekatan masalah yang menelaah hukum dalam UU
sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat logis, runtun dan sistematis.

Sumber Bahan Hukum


1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundangundangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya
disebut dengan KUHP) dan UU Narkotika.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, yang diperoleh melalui
bahan-bahan kepustakaan, berupa literatur-literatur seperti buku-buku teks (text
books) yang ditulis para pakar hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnaljurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi 4 dan
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Hukum (black law dictionary), ensiklopedia
dan lain-lain.
PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
1. Pengertian Narkotika.
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pengobatan, narkotika adalah zat
yang sangat dibutuhkan. Untuk itu penggunaannya secara legal dibawah pengawasan
dokter dan apoteker. Di Indonesia sejak adanya Undang-undang Narkotika,
penggunaan resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian
ilmiah, penggunaan narkotika tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Undang-undang
Narkotika yang bunyinya: Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Ikin
A.Ghani Istilah narkotika berasal dari kata narkon yang berasal dari bahasa Yunani,
yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah Narcose
atau Narcicis yang berarti membiuskan.5
Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika: Zat yang bisa
menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan
kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Surabaya, Oktober 2005, h. 296
4

Ikin A. Ghani dan Abu Charuf, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan


Penanggulangannya, Yayasan Bina Taruna, Jakarta, 1985, hal. 5
5

rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat


tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi
pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa
sakit dan lain-lain.
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat 1 :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Salah satu persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dan juga
bangsa-bangsa lainnya di dunia saat ini adalah seputar maraknya penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), yang semakin hari semakin
mengkhawatirkan. Saat ini, jutaan orang telah terjerumus ke dalam lembah hitam
narkoba, ribuan nyawa telah melayang karena jeratan lingkaran setan bernama
narkoba, telah banyak keluarga yang hancur karenanya dan tidak sedikit pula generasi
muda yang kehilangan masa depan karena perangkap makhluk yang disebut narkoba
ini. Kita tahu bahwa pondasi utama penyokong tegaknya bangsa ini dimulai dari
keluarga, ketika keluarga hancur, rapuh pula 6 bangunan bangsa di negeri ini.
Pada pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa pecandu
adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara
pasal 1 angka 13 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa ketergantungan
Narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus
menerus, toleransi dan gejala putus Narkotika apabila penggunaan dihentikan.
Sedangkan pasal 1 angka 14 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa
penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa sepengetahuan dan
pengawasan dokter. Sebagaimana yang diamanatkan dalam konsideran Undangundang Narkotika, bahwa ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun
di sisi lain mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada
apabila digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus
dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika.

Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bhakti,


Bandung, 1990, hal. 3
6

Memahami pengertian penyalahguna yang diatur dalam pasal 1 angka 14 Undangundang Narkotika, maka secara sistematis dapat diketahui tentang pengertian
penyalahgunaan Narkotika, yaitu pengunaan Narkotika tanpa sepengetahuan dan
pengawasan dokter. Pengertian tersebut, juga tersirat dari pendapat Dadang Hawari,
yang menyatakan bahwa ancaman dan bahaya pemakaian Narkotika secara terusmenerus dan tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pengobatan serta
pencegahan akan menimbulkan efek ketergantungan baik fisik maupun psikis yang
sangat kuat terhadap pemakaianya, atas dasar hal tersebut, secara sederhana dapat
disebutkan bahwa penyalahgunaan Narkotika adalah pola penggunaan Narkotika yang
patologik sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial. 7 Hambatan fungsi
sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi keluarga atas temantemannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi perasaan agresif yang tidak
wajar, dapat pula membawa akibat hukum karena kecelakaan lalu lintas akibat mabuk
atau tindak kriminal demi mendapatkan uang untuk membeli Narkotika. 8
B. PENJATUHAN SANKSI PIDANA MATI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35
TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
1. Subyek Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika (selanjutnya
disebut UU Narkotika 2009), pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana
(delict) penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang
berstatus sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika
(Pasal 112, 113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi
menjadi 2 (dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 116 dan
121) dan pengguna narkotika untuk dirinya sendiri (Pasal 127). Yang dimaksud dengan
penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh
seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita
kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara
medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan
Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 1991 h. 15-28 dalam Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, h. 19
7

Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung,


1983, h. 6,
8

diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan, pelaku tindak pidana


narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat),
yaitu : pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar
(Pasal 114 dan 119), dan pengedar (Pasal 129).
Yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara,
mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai dengan tanpa
hak dan melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang
memproduksi, mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan
narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan
secara terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai pembawa atau pengantar (kurir)
adalah orang yang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika
dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi.
Sedangkan, yang dimaksud pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor,
menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan
melawan hukum secara individual maupun secara terorganisasi. 9
2. Macam-Macam Sanksi Dalam Undang-Undang Narkotika.
a. Pengertian Sanksi Pidana.
Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada
seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis
pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara,
pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan pengumuman
putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi
pidana menurut Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan
mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan
tertentu membinasakan.10
b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana.

Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Bening, Jogjakarta, h.

82-97.
J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum),
Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987, h. 128, dalam Mahrus Ali, Kejahatan
Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan
Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008 h. 137.
10

Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP.


Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan.
Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun
pidana tambahan yaitu:
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana Tutupan
5. Pidana Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
2. Perampasan Barang Tertentu
3. Pengumuman Putusan Hakim
c. Teori Pemidanaan
Pemidanaan berasal dari kata pidana yang sering diartikan pula dengan
hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan hukuman. Kalau orang
mendengar kata hukuman.Sudarto, mengemukakan: 11 pidana tidak hanya enak
dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan
akibatnya yang berupa cap oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap
ini dalam ilmu pengetahuan disebut stigma. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan
kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.
d. Syarat-syarat pemidanaan.
Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh van Feuerbach, bahwa pada
hakikatnya ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki
orang itu tertib, berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak
bagi terpidana. Oleh karena itu, ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran
pemidanaan. Baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi

Sudarto, masalah-masalah hukum nomor 11, 1973 dikeluarkan oleh Fakultas


hukum Undip, Semarang, halaman 22-23.
11

orang atau si pelaku, pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang
dipakai asas kesalahan.12
Asas legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti
tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki ketentuan
atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan
menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat
dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan.
Dalam hal ini Sudarto, mengemukakan sebagai berikut: syarat pertama untuk
memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asa
legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang
pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang
dilarang atau apa yang diperintahkan. 13
e. Tujuan Pemidanaan.
Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan suatu
paradoxalitiet yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: pemerintah
Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak
disinggung dan tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara
menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia
tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarahkan.
Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia
terhadap serabgan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain pemerintah Negara
menyearang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu. 14
Biasanya teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen);
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak

12

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta, 1968,
halaman 28
13

14

Sudarto, Op.cit. hal. 24


Ultercht, hukum pidana I, penerbit Universitas Bandung, 1967, halaman 158-159.

yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan.15
b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen);
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mampunyai tujuan tertentu
yang bermafaat. Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang yang membuat kejahatan
(quia peccatum est) melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne
peccetur). Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana untuk melindungi
kepentingan masyarakat.16
c. Teori gabungan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat,
yaitu:
a) Bersifat menakut-nakuti (afschrikking).
b) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering).
c) Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).
f. Pengaturan Sanksi Pidana Mati Dalam Undang-Undang Narkotika.
Dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat sanksi
pidana mati pada pasal 113, 114, 118, 119, 121, 144 yang akan penulis sebutkan
sebagai berikut:
Pasal 113
Ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengeksor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram,
15

Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h. 10-11

16

Ibid. 12

pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidanapaling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 114
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 118
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan
Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi
5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana singkat 4 (empat) tahun dan


paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk
digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 144
Ayat 1: setiap orang yang jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak
pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal
114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal
121, pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1),
pasal 128 ayat (1), dan pasal 129, pidana maksimum ditambah dengan 1/3
(sepertiga)
Ayat 2: ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada pasal
ayat (1) tidal berlaku bagi pelaku tindak pidana yang di jatuhi dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jadi, yang melatar belakangi terjadinya penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana
narkotika adalah banyaknya peredaran gelap narkotika yang menjadi bahaya besar
bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang akhirnya melemahkan ketahanan
dan kemampuan nasional dan juga sangat berdampak bagi kehidupan sosial,
ekonomi, politik sehingga membahayakan diri sendiri, orang lain, bangsa dan
Negara.
2. Pelaku politik, masyarakat yang marah akan kejahatan, hukuman mati, dan hak
untuk hidup, haruslah memperoleh ruang bagi penataan ulang. Hukum adalah
produk politik, akan tetapi mekanisme dan perilaku politik itu sendiri mesti diberikan
pembatasan agar ia tidak menjadi kekuatan eksesif (excessive) yang dapat
merampas hak hidup. Perlindungan masyarakat dari berbagai kejahatan, tidaklah
tergantung pada berapa banyak pelaku kejahatan mampu dihukum mati. Hak untuk
hidup tidaklah dapat dikorbankan karena kekuasaan menghendakinya, ataupun
masyarakat memberikan dukungan untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku
kejahatan. Legitimasi masyarakat untuk mencabut hak hidup itu juga telah menjadi
alat mempertahankan kekuasaan, dan bahkan menjadi ancaman terhadap
keselamatan masyarakat itu sendiri, perubahan hukum nasional jelas adalah pintu
masuk bagi penghapusan hukuman mati. Kalau dalam konstitusi Negara telah
melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup tidak dapat dikurangi atas alasan
apapun, maka penghapusan penerapan hukuman adalah kewajiban konstitusional.
B. Saran
1. Sudah saatnya Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa beradab di dunia
untuk menghapuskan pidana mati dari sistem hukum yang berlaku. Penhapusan itu
akan memiliki makna yang sangat penting dari sisi upaya perlindungan hak asasi
manusia, yang tidak boleh dilanggar sekalipun atas nama hukum dan kekuasaan
Negara, karena hukum dan kekuasaan itu memang dimaksudkan untuk melindungi
dan memajukan hak asasi manusia. Oleh karena itu, otoritas politik sudah
sepantasnya segera menghapus seluruh ketentuan hukum yang mengatur tentang
hukuman mati. Mengingat seluruh aturan itu jelas-jelas bertentangan dengan
konstitusi yang telah mengakui dan menjamin hak hidup sebagai hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tidak ada aturan hukum yang lebih rendah,
dan tidak ada kekuasaan yang boleh menafikan hak hidup sebagai hak
konstitusional. Hak hidup sebagai non derogable rights tidak dapat dikurangi ataupun
dibatasi dalam keadaan apapun karena pengurangan dan pembatasan itu dengan

sendirinya bermakna sebagai penghilangan hak. Pada saat hak hidup sudah
dihilangkan maka keseluruhan hak asasi manusia tidak memiliki arti apapun.
2. Penghentian eksekusi mati terhadap terpidana hukuman mati serta mengubah
hukuman mereka menjadi pidana penjara dan rehabilitasi terutama bagi mereka yang
mengalami penundaan eksekusi mati lebih dari lima (5) tahun. Selain itu, mereka
juga menjadi korban pelanggaran hukum disebabkan mereka tidak divonis pidana
penjara namun meringkuk di dalam penjara menunggu eksekusi.
3. Presiden sebagai kepala Negara sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi memiliki
wewenang untuk memberikan amnesty, abolisi dan grasi. Dalam konteks moratorium
terhadap praktik hukuman mati, presiden dapat memberikan grasi terhadap setiap
permohonan dari terpidana mati sebagai cerminan penghormatan terhadap konstitusi
dan HAM. Presiden juga dapat memberikan grasi secara umum bagi seluruh
terpidana mati.

DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Team Imparsial, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta 2010
J.E. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, cetakan pertama, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana
Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, cetakan kedua, CV. Rajawali, Jakarta, 1982
C.S.T. Kansil, dan Engelien R. Palandeng, , Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam
Undang-Undang Nasional, Jala Permata Aksara, Bekasi, 2009
Sudarto, hukum pidana jilid 1A, dikeluarkan oleh Fakultas hukum Undip, Semarang,
1971
Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan
Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1985 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan
Zat Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991
Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, 1983

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta,
1968
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998
Tom Brooks, An Idealist Theory of Punishment. Social Sience Research Network.
Newcastle: Department of Politics and Newcastle Law School, 2006
J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum),
Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi
Kajian Relevansi Sanksi Tindakan
Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Grafindo Persada,
Jakarta, Februari 1996
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,
Jakarta, Oktober 1984

Universitas Indonesia - Press,

Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Surabaya,
Oktober 2005
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
Kusno Adi, kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh
anak, Umm Press, Malang, 2009
Dit narkoba korserse Polri, penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba yang
dilaksanakan oleh Polri, Mabes Polri, Jakarta, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika beserta penjelasannya,
cetakan ke-1, Bening, Jogjakarta, 2010
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, penerbit PT Inti buku Utama, Jakarta, 1993
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
Asa Mandiri, Jakarta, 2005

Sumber Lain

Kompas, 23 April 2007


www.liputan6sctv.com
www.wikipedia.com
www.google.com

Anda mungkin juga menyukai