Anda di halaman 1dari 4

Kepemimpinan

Kepemimpinan dapat dibandingkan dengan kemampuan atau kapasitas untuk memimpin:


memandu, mengelola, dan mengarahkan tindakan dan opini individu. Kepemimpinan adalah
proses dan dengannya individu(pemimpin) mempengaruhi anggota kelompok menuju ke
pencapaian tujuan kelompok. Perilaku pemimpin sering dideskripsikan pada dua dimensi.
Dimensi pertama mempresentasikan peforma, yakni tindakan yang terkait dengan tugas, seperti
menelaskan tujuan, mendistribusikan peran, menelaskan persyaratan, dan sebagainya. Dimensi
lainnya (pemeliharaan) adalah seperangkat dukungan psikologis yang diberikan oleh pemimpin
kepada bawahan. Deskripsi kepemimpinan ini mendapat dukungan di beberapa Negara, seperti
jepang, india, iran, dan rusia (Hul & Luk, 1997; Schmidt & Yeh, 1992; sventsitsky, 1998), dan
karakteristik ini tampaknya universal di setiap kultur. Riset psikologis menunjukan ada dua tipe
peran kepemimpinan untuk perilaku memecahkan masalahyang diberi istilah adaptor dan
Inovator tampak dibanyak Negara (Kirton 1976,1974). Misalnya, secara lintas Negara,
setidaknya sampel dari Negara eropa, Negara dengan gaya lebih adaptif (adaptor) lebih tertarik
dengan pekerjaan yang berhubungan dengan detail dan gaya kerja yang metodis dan rapi.
Sebaliknya, mereka yang bergaya inovatif (inovator) lebih suka pada pekerjaan dimana sistem
dan prosedur operasinya didefenisikan lebih longgar dan menekankan pada gambaran yang
lebih besar ketimbang pada detail (Tullett, 1997)
Hanya ada sedikit kesepakatan tentang apa yang menyebabkan pemimpin itu efektif.
Teori kontingensi mengatakan bahwa kesuksesan pemimpin ditentukan oleh sifat seseorang dan
berbagai macam situasi. Teori normative mengisyaratkan bahwa kesuksesan pemimpin
disebabkan oleh apakah ia mendapatkan dukungan dan partisipasi aktif dari bawahan dan
pengikutnya. Kepemimpinan partisipasi aktif yang mengizinkan partisipasi aktif bawahannya
dapat menjadi kepemimpinan yang sangat efektif dalam beberapa kondisi, terutama ketika
individu bawahannya terdidik dan bertanggung jawab atas tindakannya. Akan tetapi ia dapat
menjadi boomerang jika karyawannya tidak siap bertindak independen, entah karena kurangnya
pendidikan atau keterampilannya, atau karena ketidaksediaannya menerima tanggung jawab.
Misalnya, kebebasan demokratis yang diberikan kepada rakyat rusia pasca- 1991 tidak menaikan
partisipasi politik rakyat. Sebaliknya pesimisme, apati, dan ketidakpastian bermunculan. Salah

satu sebabnya ialah independen, tetapi lebih mengharapkan pemimpin yang kuat dan baik
untuk mengatasi problem Negara mereka (Glad & Shiraev, 1999).
Perhatian

khusus

psikologi

lintas

kultural

diberikan

kepada

kepemimpinan

transformasional, sering disebut kepemimipinan karismatik. Hanya ada sedikit kesepakatan


tentang bagaimana mendefenisikan fenomena ini. Namun para ahli sepakat bahwa kepribadian
pemimpin karismatik menjadi menarik dimata pengikutnya dan pemimpin ini mampu
mempersatukan orang untuk melakukan tugas sulit dengan semangat dan taat. Sejarah peradaban
manusia memberi banyak contoh pemimpin karismatik: Dr. Marthin Luther King, jr. di Amerika
Serikat, Napoleon di Perancis, Simon Bolivar di Amerika Selatan, Hitler di jerman, Indira Gandi
di India, Ayotollah Khoimeni di iran, dan lain-lain. Kondisi kultural dan tradisi akan menentukan
ciri-ciri apa yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin karismatik yang sukses.
Misalnya, sikap seksis yang dominan disejumlah orang penting dapat menghalangi
wanitawalau dia memiliki keterampilan kepemimpinan yang menonjoluntuk menjadi
pemimpin nasional (Starovoitova, 1998). Para ahli menunjukan bahwa peran kepemimpinan dari
ayah yang ramah dapat menarik di Iran (Ayman & Chamers, 1983), Jerman (Koenigsberg, 1992),
dan Rusia ( Gozman & Edkind, 1992). Orang yang bermoral adalah model karismatik yang baik
di Cina, dan manajer yang perhatian lebih cocok untuk kondisi di india (Hui & Luk, 1997)
ketimbang di Amerika Utara.
Secara tradisional, para psikolog mengenali tiga gaya kepemimpinan utama yang
dideskripsikan di hampir semua buku ajar psikologi diseluruh dunia. Dalam gaya
otoriter,pemimpin membuat semua keputusan. Orang ini sangat berkuasa, mengatur, dan
menuntut serta tak banyak memberi penjelasan tentang kegiatan kelompok. Dalam hal ini,
anggota tidak diperkenankan memilih strategi atau bertindak sendiri-sendiri. Peran ditetapkan
dengan ketat kepada anggota kelompok, dan setiap penyimpangan dari norma kelompok akan
kena hukuman. Sanksi negative biasanya lebih berat ketimbang sanksi positif. Dalam gaya
demokratis, pemimpin membuat keputusan setelah berkonsultasi dengan anggota kelompok.
Pemimpin sering mengizinkan anggota untuk memilih sendiri strategi implementasi setelah
keputusan dibuat. Pemimpin demokratis berusaha berbagi informasi (yang berkaitan dengan
aktivitas organisasi) sebanyak mungkin. Sanksi negative dan positif ditetapkan secara seimbang.
Dua gaya ini pertama kali dideskripsikan oleh Kurt Lewin, psikolog terkenal yang pindah ke

Amerika Serikat dari Nazi Jerman ( Lewin et al., 1939). Gaya ketiga disebut Laissez-faire.
Pemimpin tidak berusaha menguasai kelompok. Orang ini memberi saran dan instruksi umum
kepada para anggota. Anggota kelompok sering diharapkan bertindak sendiri, memilih metode
sendiri, dan strategi aksi sendiri.
Mana dari ketiga gaya itu yang paling efektif? Pada awalnya, Lewin dan rekan-rekannya
percaya bahwa gaya demokratis adalah yang terbaik dan paling efektif. Bahkan Label
demokratis dipilih karena alas an ideologis dalam rangka menekankan keunggulan demokratis.
Akan tetapi, meskipun ada beberapa keuggulan, gaya ini tak bias ditempatkan sebagai gaya ideal.
Misalnya, dalam situasi darurat, gaya otoriter mungkin lebih efektifketimbang gaya lainnya.
Lebih jauh, dalam masyarakat paternalistis pasca-otoriter, anggota kelompok mungkin tidak
menerima gaya demokratis. Mengapa? Sebab didalam situasi yang sulit, orang butuh panduan
dalam mengambil keputusan, karena mereka tidak punya cukup pengalaman untuk membuat
keputusan penting dalam hidup mereka. Kultur totalitarian dalam proses transisi adalah cocok
untuk situasi dengan problem yang sulit. Karena otoritas dalam rezim semacam itu membuat
banyak pilihan hidup untuk anggotanya dan menggunakan ancaman untuk mencegah aksi
independen, ketergantungan psikologiskemungkinan menjadi karakteristik dari kelompok
tersebut. Ketergantungan dikuatkan dan orang membutuhkan pemimpin yang kuat yang
menyediakan kebutuhan orang (Koenigsberg, 1992; Marlin, 1990).
Selama bertahun-tahun para psikolog social telah membuat setidaknya dua tipe
penjelasan untuk penyebab perilaku kepemimpinan. Pendapat pertama dinamakan pendekatan
sifat. Menurut pendapat ini, untuk menjadi pemimpin seseorang harus memiliki seperangkat
presdiposisi atau sifat. Sifat ini universal dan khas pada diri pemimpin disetiap kultur. Dengan
kata lain, orang bias mengatakan bahwa Sadam Hussein, Nelson Mandela, Presiden AS, Perdana
Menteri Turki, semuanya memiliki ciri kepribadian yang sedikit banyak serupa dengan
kepemimpinan. Diantara sifat yang sering disebut adalah kemampuan untuk mencapai tujuan
kelompok, memiliki keterampilan intelektual, motivasi kuat, dan kemampuan menghadapi
tekanan.
Akan tetapi, tidak semua orang yang memiliki ciri-ciri seperti itu berpeluangmenjadi
pemimpin. Menurut pendapat lain, kepemimpinan lebih bersifat situasional. Pemimpin muncul
ketika situasi membutuhkan kehadirannya. Menurut pendapat ini, dictator mungkin muncul

hanya dalam krisis nasional. Misalnya, ini terjadi di Kuba pada akhir 1950-an ketika Fidel Castro
naik ke tampuk kekuasaan. Jika kelompok tidak butuh pemimpin, seorang pemimpin tidak akan
pernah muncul. Secara sederhana, pemimpin besar muncul hanya ketika masyarakat
mengalami kesulitan serius. Jika semuanya baik-baik saja di dalam masyarakat, maka pemimpin
besar tidak akan muncul.mengapa? Sebab mereka tidak dibutuhkan. Tentu saja, dalam
kenyataanya, kepemimpinan mungkin merupakan fungsi dari sifat dan factor situasional.

Anda mungkin juga menyukai