Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Berdasarkan hasil survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2011, bahwa saat ini
terdapat 285 juta orang menderita gangguan penglihatan, 39 juta diantaranya mengalami
kebutaan. Sembilan puluh persen penderitanya berada di Negara berkembang. 1 Prevalensi
nasional glaukoma adalah 0,5%. Sebanyak 9 provinsi mempunyai prevalensi glaukoma di atas
prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah dan
Gorontalo (Riset Kesehatan Dasar, 2007). Berdasarkan Survei Departemen Kesehatan Indonesia
tahun 1996, dari 0,2% kebutaan akibat glaukoma, terdapat 0,16% kebutaan pada kedua mata dan
0,04% kebutaan pada satu mata (Ilyas, 2011). Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, prevalensi
kebutaan akibat glaukoma mencapai 0,094% (Asnita, 2004 dalam Herman, 2009).
Glaukoma adalah penyakit saraf optik jangka panjang yang ditandai oleh adanya
kerusakan struktur diskus optikus atau serabut saraf retina, kelainan lapangan pandang dan
biasanya disertai peningkatan tekanan intraokular (Salmon, 2008). Hampir 60 juta orang terkena
glaukoma. Diperkirakan 3 juta penduduk Indonesia terkena glaukoma dan menjadikan penyakit
ini sebagai penyebab utama kebutaan yang dapat dicegah. Glaukoma tidak hanya dapat
disebabkan tanpa disertai dengan penyakit lainnya tetapi juga dapat disebabkan oleh penyakit
lokal pada mata dan penyakit sistemik. Secara khusus, beberapa studi epidemiologi
menunjukkan bahwa tekanan darah sistemik yang tinggi dikaitkan dengan adanya sedikit
peninggian TIO (Costa, Arcieri & Harris, 2009). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
sebanyak 90% kasus glaukoma di Negara berkembang tidak terdeteksi.
Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi akan pentingnya pemeriksaan terhadap mata untuk
menurunkan kebutaan dan gangguan penglihatan lainnya. Kebutaan akibat glaukoma dapat
dicegah dengan deteksi dini yang dapat dilakukan di rumah sakit, PUSKESMAS, dan Balai
Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) dengan menggunakan alat tonometer.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi Orbita
II.2. Histologi Orbita
II.3. Fisiologi Aqueous Humor
II.4. Glaukoma
II.4.1. Definisi
II.4.2. Epidemiologi
II.4.3. Etiologi
II.4.4. Klasifikasi
II.4.5. Patofisiologi
II.4.6. Gambaran Klinis
II.4.7. Pemeriksaan Klinis
II.4.8. Penatalaksanaan
II.4.9. Prognosis

BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
III.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai