Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Periode

setelah

lahir

merupakan

awal

kehidupan

yang

tidak

menyenangkan bagi bayi. Hal itu disebabkan oleh lingkungan kehidupan


sebelumnya (intrauterus) dengan kehidupan sekarang (ekstrauterus) yang sangat
berbeda. Bayi yang dilahirkan prematur ataupun bayi yang dilahirkan dengan
penyulit/komplikasi, tentu proses adaptasi kehidupan tersebut menjadi lebih sulit
untuk dilaluinya. Bahkan sering kali menjadi pemicu timbulnya komplikasi lain
yang menyebabkan bayi tersebut tidak mampu melanjutkan kehidupan ke fase
berikutnya (meninggal). Bayi seperti ini yang disebut dengan istilah bayi resiko
tinggi.
Salah satu dari bayi resiko tinggi adalah bayi dengan sindroma gawat nafas
(SGN/RDS). Respiratory Distress Syndrome (RDS) didapatkan sekitar 5 -10%
pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram. Angka
kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan. RDS sering
ditemukan pada bayi premature. Insidens berbanding terbalik dengan usia
kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu semakin
tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya, semakin tua usia kehamilan
semakin rendah kejadian RDS.
Bayi dengan berat lahir rendah juga salah satu bayi yang memiliki risiko
tinggi. Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu bayi baru lahir yang berat
badannya 2500 gram atau lebih rendah tanpa memandang masa gestasi. Dalam
definisi ini tidak termasuk bayi-bayi dengan berat badan kurang daripada 1000
gram. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir.
Berdasarkan definisi dari WHO, bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum
usia kehamilan (gestasi) 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.

Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada


bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu; 15-30% pada bayi
antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi yang cukup bulan.
Insiden pada bayi prematur kulit putih lebih tinggi dari pada kulit hitam dan lebih
sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada perempuan. Selain itu kenaikan
frekuensi juga sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita
gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu menderita
penyakit diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum.
Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bayi resiko tinggi dapat hidup dengan baik tanpa mengalami cacat. Hal ini terjadi
jika ia dirawat di ruang perawatan intensif neonatus, dengan tenaga kesehatan
yang memiliki spesialisasi kealihan di bidang tersebut.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama

: Bayi Ny. N

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 1 hari

BBL

: 1200 gram

AS

: 1-3

Tanggal Lahir

: 24 September 2014 pukul 00.30 WITA

Identitas Orang tua

Identitas
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

Ibu

Ayah

Ny. N
Tn. B
23 tahun
31 tahun
SMA
S1
IRT
Swasta
Jalan Baru Otak Desa, Ampenan.

2.2 Alloanamnesis
2.1.1 Keluhan Utama :
Lahir tidak langsung menangis.
2.1.2 Riwayat Penyakit Sekarang :
Bayi lahir di ruang bersalin RSU Mataram dengan keluhan
tidak langsung menangis dan belum cukup bulan. Bayi masuk NICU
dengan keadaan umum lemah dan kurang aktif, merintih, napas tidak
adekuat, tampak retraksi dinding dada, ujung-ujung jari membiru tapi
tidak diserta dengan membiru pada bagian mulut.

2.1.3 Riwayat Kehamilan Ibu :


Ibu pasien masuk Ruang Bersalin RSUD Mataram pada tanggal
23 September 2014, dengan G3P1A1H1. Ibu

biasanya ANC di

polindes yang diperiksa oleh bidan. HPHT diakui oleh ibu pada
tanggal 02 Maret 2014. Sebelum melahirkan, ibu mengalami riwayat
keluar air yang banyak, jernih, dan tidak bau, disertai dengan perut
yang mules. Ibu memiliki riwayat demam tifoid. Sedangkan tekanan
darah tinggi dan asma disangkal.
2.1.3 Riwayat Persalinan :
Bayi lahir pada tanggal 24 september 2014, jam 00.30 Wita di
RSUD Kota Mataram. Cara persalinan spontan bracht dengan indikasi
ketuban pecah dini, berat bayi ketika lahir 1200 gram, panjang badan
37 cm, dan lingkar kepala 26 cm, anus (+), dan kelainan (-). Apgar
skor 1 3.

2.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

: Lemah, letargi

Kesadaran

: Waspada

Ballard score

: 19 (30-32 minggu)

Score Down

: 5 Gawat napas

Tanda Tanda Vital :

Suhu

: 36,0 oC

Denyut Jantung

: 134 x/menit

Pernapasan

: 60 x/menit

Menilai Pertumbuhan :

Berat Badan

: 1200 gram

Panjang Badan

: 37 cm

Lingkar Kepala

: 26 cm

Kepala

Bentuk kepala : Simetris, lonjong, ubun-ubun besar terpisah, teraba


datar, sutura normal, molding (-), dan cephal hematom (-).

Leher

Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).

Muka

Mata

: Simetris, skelera ikterik (-/-), konjungtive anemi (-/-)

Hidung

: Napas cuping hidung (-/-), rhinore (-/-)

Mulut

: Palatoschizis (-), sianosis (-)

Telinga

: Simetris, normotia, serumen (-/-)

Thoraks
Inspeksi

: Pulmo : bentuk simetris, pergerakan dada simetris,


dyspnea, retraksi intercostal, irama nafas tidak
regular, pernafasan abdominal-torakal.

Palpasi

: Gerakan simetris.

Perkusi

: -

Auskultasi

: Paru : Bronchovesicular +/+, (-) whezzing,


(-) ronchi, (-) slem.
Jantung : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: Distensi (-), kelainan congenital (-)

Auskultasi

: Bising usus Normal

Palpasi

: Massa (-), supel (+), hepar-lien tidak teraba.

Perkusi

: Timpani (+) diseluruh lapang abdomen

Ekstremitas

Akral hangat (+), Sianosis (+), Edema (-), CRT < 2 detik

Resume
Bayi N, jenis kelamin laki-laki, berusia 1 hari, lahir dari ibu
G3P1A1H1 dengan cara persalinan spontan bracht letak sungsang dengan
indikasi ketuban pecah dini, umur kehamilan ibu 30-32 minggu, berat badan
lahir 1200, panjang badan 37 cm, dan lingkar kepala 26 cm, anus (+), dan
kelainan (-). Saat lahir tidak langsung menangis, apgar score 1-3.
Pada pemeriksaan di dapatkan keadaan umum lemah dan kurang
aktif, merintih, napas tidak adekuat, tampak retraksi dinding dada, ujungujung jari sianosis tapi tidak disertai dengan sianosis pada bagian mulut.
Dilakukan pemeriksaan score down : 5 menunjukkan terjadinya gangguan
napas sedang dan tanda-tanda vital, suhu 36,0oC, denyut jantung 134 x/menit
dan pernapasan 60 x/menit.

3.3 Diagnosis Banding


Bayi kurang bulan, sesuai masa kehamilan, BBLSR, Asfiksia,
Hipotermia, Respiratory Distress Sindrome.
Aspirasi mekonium neonatal.
Pneumonia

3.4 Diagnosis Kerja


BBLSR (BKB-SMK), Asfiksia Berat, Hipotermia, Respiratory Distress
Sindrome (RDS).

3.5 Usulan Pemeriksaan

Darah rutin (RBC, Hb, Ht, WBC, diff.count, trombosit)

Glukosa darah

Foto toraks

Kultur darah

3.6 Penatalaksanaan

Pertahankan suhu bayi 36,50-37,50 C dengan incubator.

Berikan O2 nasal lembab 0.5 liter/menit.

Infuse D10% yaitu 80cc/KgBB = 4 tetes/menit

Ampisilin intravena 2 x 50mg (tiap 12 jam)

Gentamisin intravena 1 x 3,6mg

Puasa.

KIE keluarga pasien.

3.7 Follow Up
Hari/ tgl
XXI
14/10/2014

P
Inkubator

Mata sebelah kanan

TTV :

BBLSR,

tidak bisa menutup

T : 37.4 0C

Parese N VII ASI/PASI 10 x 30cc

dan mulut tertarik ke

HR : 124 x/menit ec Bells Palsy

arah sisi kanan,

RR : 40 x/menit

vitamin1x0,2cc

Keadaan umum :

BB : 1200

Konsul dr. Sp.KFR

Gerakan aktif,

Pembesaran

dilakukan :

menangis (+), Refleks KGB (-).


hisap (-), BAB (+),

per OGT

Retraksi (-),

Masase pada
wajah sebelah

BAK (+), Muntah (-), Sianosis (-).

kanan dan seluruh


tubuh
-

IV
27/09/2014

Stim One Oute

Gerakan lemah,

TTV :

BBLSR

Inkubator

letargi, merintih,

T : 35.9 0C

(BKB-SMK),

O2 nasal 0,5 lpm

Refleks hisap (-),

HR : 158 x/menit Hipotermia,

BAB (+), BAK (+),

RR : 54 x/menit

RDS,

Muntah (+),

BB : 1200

Hiperbilirubin

Inf. KA-EN 3B
7cc/jam
Aminofusin 36 cc/

Sklera ikterik (+)

hari jadi 9 cc/jam

(+), Retraksi (+),

selama 4jam.

apnea (+),

Aminofillin looding

sianosis (+)

12 mg dilarutkan

Ikterus Kr II - III

dengan Ns sampai
10cc bolus selama 1
jam.
Aminofillin
maintnance 2 x 2.4mg
(12 jam kemudian)
Ceftazidin 2 xmg
Fototerapi intensif
Puasa

VII
30/09/2014

Inkubator

Mata sebelah kanan

TTV :

BBLSR,

tidak bisa menutup

T : 36.8 0C

Parese N VII Fototerapi Stop

dan mulut tertarik ke

HR : 140 x/menit ec Bells Palsy

O2 aff

arah sisi kanan,

RR : 40 x/menit

ASI/PASI 5 x 7cc per

Keadaan umum :

BB : 1100

Gerakan lemah,

Sklera ikterik (-)

letargi, menangis (+), (+), Retraksi (-),


Refleks hisap (-),

sianosis (-),

BAB (+), BAK (+),

Pembesaran

Muntah (-),

KGB (+).

OGT
Cek Residu
Inf. KA-EN 3B
8cc/jam.
Aminofusin 48 cc/
hari jadi 12 cc/jam
selama 4jam.
Aminofillin looding
12 mg dilarutkan
dengan Ns sampai
10cc bolus selama 1
jam.
Aminofillin
maintnance 2 x 2.4mg
(12 jam kemudian)

Ceftazidin
2 x50mg
IX
2/10/2014

Inkubator

Mata sebelah kanan

TTV :

BBLSR,

tidak bisa menutup

T : 36.5 0C

Parese N VII Inf. KA-EN 3B

dan mulut tertarik ke

HR : 138 x/menit ec Bells Palsy

arah sisi kanan,

RR : 42 x/menit

Keadaan umum :

BB : 1100

hari jadi 12 cc/jam

Gerakan aktif,

Sekret mata (+),

selama 4 jam.

menangis (+),

Sekret hidung(+)

Refleks hisap (-),

Pembesaran

BAB (+), BAK (+),

KGB (-).

Muntah (-),

Retraksi (-),

8cc/jam.
Aminofusin 48 cc/

ASI/PASI 5 x 12cc
per OGT
Ceftazidin
2 x50mg
Dexamethason 3x0.2

Sianosis (-).

mg
KIE keluarga untuk
MRI
XIV
7/10/2014

Inkubator

Mata sebelah kanan

TTV :

BBLSR,

tidak bisa menutup

T : 37.4 0C

Parese N VII Inf. KA-EN 3B

dan mulut tertarik ke

HR : 124 x/menit ec Bells Palsy

arah sisi kanan,

RR : 40 x/menit

Aminofusin stop

Keadaan umum :

BB : 1200

ASI/PASI 8 x 25cc

Gerakan aktif,

Sekret mata (-),

6cc/jam.

per OGT

menangis (+), Refleks Sekret hidung(-)

Ceftazidin 2x50mg

hisap (-), BAB (+),

Dexamethason stop

Pembesaran

vitamin1x0,2cc

BAK (+), Muntah (-), KGB (-).


Retraksi (-),
Sianosis (-).
XXI
14/10/2014

Inkubator

Mata sebelah kanan

TTV :

BBLSR,

tidak bisa menutup

T : 37.4 0C

Parese N VII ASI/PASI 10 x 30cc

dan mulut tertarik ke

HR : 124 x/menit ec Bells Palsy

per OGT

arah sisi kanan,

RR : 40 x/menit

vitamin1x0,2cc

Keadaan umum :

BB : 1200

Konsul dr. Sp.KFR

Gerakan aktif,

Pembesaran

menangis (+), Refleks KGB (-).


hisap (-), BAB (+),

dilakukan :
-

Retraksi (-),

Masase pada
wajah sebelah

BAK (+), Muntah (-), Sianosis (-).

kanan dan seluruh


tubuh
-

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

Stim One Oute

1. Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah
berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir. BBLR dapat
terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan
(intrauterine growth restriction/IUGR).

2. Klasifikasi
BBLR dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Prematuritas murni
Adalah masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat
badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa
disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan.
Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit dan
komplikasi akibat kurang matangnya organ karena masa gestasi yang
kurang.
2. Dismaturitas
Adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa gestasi itu. Berarti bayi mengalami retardasi
pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang kecil untuk masa
kehamilannya.
Hal ini disebabkan oleh terganggunya sirkulasi dan efisiensi
plasenta, kurang baiknya keadaan umum ibu atau gizi ibu, atau
hambatan pertumbuhan dari bayinya sendiri.

Klasifikasi BBLR berdasarkan masa gestasi atau umur kehamilan:


1. Bayi Kurang Bulan (BKB) adalah bayi yang dilahirkan dengan masa
gestasi < 37 minggu (<259 hari).
2. Bayi Cukup Bulan (BCB) adalah bayi yang dilahirkan dengan masa
gestasi antara 37-42 minggu (259-293 hari).

3. Bayi Lebih Bulan (BLB) adalah bayi yang dilahirkan dengan masa
gestasi > 42 minggu (294 hari).

Klasifikasi BBLR berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya,


dibedakan dalam:
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), beratlahir 1500-2499 gram.
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR), berat lahir < 1500 gram.
3. Bayi Berat Lahir Ekstrim rendah (BBLER), berat lahir < 1000 gram.

Klasifikasi bayi menurut berat lahir/umur kehamilan:


1. Sesuai Masa Kehamilan (SMK) yaitu bayi dilahirkan dengan berat
lahir yang terletak antara persentil ke-10 dan persentil ke-90.
2. Kecil Masa Kehamilan (KMK) yaitu bayi dilahirkan dengan berat lahir
< 10 persentil menurut grafik Lubhenco.
3. Besar Masa Kehamilan (BMK) yaitu bayi dilahirkan dengan berat lahir
> 90 persentil menurut grafik Lubhenco.

3. Epidemiologi
Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah di seluruh dunia,
karena merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada masa neonatal.
Prevalensi BBLR masih cukup tinggi terutama di negara-negara dengan
sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR
didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih
tinggi dibandingkan pada bayi dengan berat lahir > 2500 gram. Angka
kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah
lain, yaitu berkisar antara 9-30%. Secara nasional berdasarkan analisa
lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target
BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju
Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%.
Kejadian BBLR yang tinggi menunjukkan bahwa kualitas
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat itu masih rendah. Untuk itu

diperlukan upaya untuk menurunkan angka kejadian BBLR agar kualitas


kesehatan dan kesejahteraan menjadi meningkat. Kejadian BBLR ini bisa
dicegah bila kita mengetahui faktor-faktor penyebabnya.

4. Etiologi
Penyebab terbanyak terjaidnya BBLR adalah kelahiran prematur.
Faktor ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta
seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga
merupakan penyebab terjadinya BBLR.
(1) Faktor ibu
a. Penyakit : Seperti malaria, anemia, sipilis, infeksi TORCH, dan
lain-lain
b. Komplikasi pada kehamilan : Komplikasi yang tejadi pada
kehamilan ibu seperti perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat,
eklamsia, dan kelahiran preterm.
c. Usia Ibu dan paritas : Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan
pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia (< 20 tahun
atau >40 tahun)
d. Faktor kebiasaan ibu : Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh
seperti ibu perokok, ibu pecandu alkohol dan ibu pengguna
narkotika.
(2) Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan
kromosom.

(3) Faktor Lingkungan


Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi,
radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat-zat racun.

5. Komplikasi

Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara
lain :
-

Hipotermia

Hipoglikemia

Gangguan cairan dan elektrolit

Hiperbilirubinemia

Sindroma gawat nafas

Paten duktus arteriosus

Infeksi

Perdarahan intraventrikuler

Apnea of Prematurity

Anemia

Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan


berat lahir rendah (BBLR) antara lain :
-

Gangguan perkembangan

Gangguan pertumbuhan

Gangguan penglihatan (Retinopati)

Gangguan pendengaran

Penyakit paru kronis

Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit

Kenaikan frekuensi kelainan bawaan

6. Diagnosis
Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir
bayi dalam jangka waktu kurang lebih dapat diketahui dengan dilakukan
anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk
menegakkan mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya BBLR :
-

Umur ibu

Riwayat hari pertama haid terakir

Riwayat persalinan sebelumnya

Paritas, jarak kelahiran sebelumnya

Kenaikan berat badan selama hamil

Aktivitas

Penyakit yang diderita selama hamil

Obat-obatan yang diminum selama hamil

2. Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara
lain :
-

Berat badan <2500 gr

Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)


Tulang rawan telinga belum terbentuk.
Masih terdapat lanugo.
Refleks masih lemah.
Alat kelamin luar; perempuan: labium mayus belum
menutup labium minus; laki-laki: belum terjadi penurunan
testis & kulit testis rata.
-

Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk
masa kehamilan).
Tidak dijumpai tanda prematuritas.
Kulit keriput.
Kuku lebih panjang

3. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain
- Pemeriksaan skor ballard
- Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan

- Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas


diperiksa kadar elektrolit dan analisa gas darah.
- Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir
dengan umur kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau
didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.
- USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan kurang
lebih

7. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pemberian vitamin K1 :
-

Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau

Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat


lahir, umur 3-10 hari, dan umur 4-6 minggu)

2. Diatetik
Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui
karena refleks menghisapnya masih lemah. Untuk bayi demikian
sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperas dan diberikan
pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan memegang kepala
dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap
sementara ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan pipet
atau selang kecil yang menempel pada puting. ASI merupakan pilihan
utama :
-

Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah


yang cukup dengan cara apapun, perhatikan cara pemberian
ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang
sehari sekali.

Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan


beratnya naik 20 g/hari selama 3 hari berturut-turut, timbang
bayi 2 kali seminggu.

Pemberian minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan
lahir dan keadaan bayi adalah sebagai berikut :
a. Berat lahir 1750 2500 gram
Bayi Sehat
-

Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih
mudah merasa letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering
(contoh; setiap 2 jam) bila perlu.

Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai


efektifitas menyusui. Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan
ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian
minum.

Bayi Sakit
-

Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV,
berikan minum seperti pada bayi sehat.

Apabila bayi memerlukan cairan intravena:

Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama

Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi
stabil. Anjurkan pemberian ASI apabila ibu ada dan bayi menunjukkan
tanda-tanda siap untuk menyusu.

Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh;


gangguan nafas, kejang), berikan ASI peras melalui pipa lambung :

Berikan cairan IV dan ASI menurut umur

Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali).


Apabila bayi telah mendapat minum 160 ml/kgBB per hari tetapi
masih tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali minum.
Biarkan bayi menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi
menunjukkan keinginan untuk menyusu dan dapat menyusu tanpa
terbatuk atau tersedak.

b. Berat lahir 1500-1749 gram


Bayi Sehat

Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan


tidak dapat diberikan menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi
aspirasi ke dalam paru (batuk atau tersedak), berikan minum dengan pipa
lambung. Lanjutkan dengan pemberian menggunakan cangkir/ sendok
apabila bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak (ini dapat
berlangsung setela 1-2 hari namun ada kalanya memakan waktu lebih dari
1 minggu)

Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi
telah mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar,
beri tambahan ASI setiap kali minum.

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/


sendok, coba untuk menyusui langsung.

Bayi Sakit
-

Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama

Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah
cairan IV secara perlahan.

Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi
telah mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar,
beri tambahan ASI setiap kali minum.

Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok apabila


kondisi bayi sudah stabil dan bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/


sendok, coba untuk menyusui langsung.

c. Berat lahir 1250-1499 gram


Bayi Sehat
-

Beri ASI peras melalui pipa lambung

Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri
tambahan ASI setiap kali minum

Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/


sendok, coba untuk menyusui langsung.

Bayi Sakit
-

Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama.

Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah
cairan intravena secara perlahan.

Beri minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri
tambahan ASI setiap kali minum

Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/


sendok, coba untuk menyusui langsung.

d. Berat lahir < 1250 gram (tidak tergantung kondisi)


-

Berikan cairan intravena hanya selama 48 jam pertama

Berikan ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi
pemberian cairan intravena secara perlahan.

Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri
tambahan ASI setiap kali minum

Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/


sendok, coba untuk menyusui langsung.

Suportif
Hal utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal :

Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh


bayi, seperti kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas,
inkubator atau ruangan hangat yang tersedia di tempat fasilitas kesehatan
setempat sesuai petunjuk.

Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin

Ukur suhu tubuh dengan berkala

Yang juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah :

Jaga dan pantau patensi jalan nafas

Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit

Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia,


kejang, gangguan nafas, hiperbilirubinemia)

Berikan dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya

Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ibu
berkunjung setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui.

Pemantauan (Monitoring)
1). Pemantauan saat dirawat
a. Terapi
-

Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan

Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu

b. Tumbuh kembang
-

Pantau berat badan bayi secara periodik

Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai
10% untuk bayi dengan berat lahir 1500 gram dan 15% untuk bayi
dengan berat lahir <1500.

Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori
berat lahir) dan telah berusia lebih dari 7 hari :

Tingkatkan jumlah ASI dengan 20 ml/kg/hari sampai tercapai


jumlah 180 ml/kg/hari

Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan


bayi agar jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari

Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah


pemberian ASI hingga 200 ml/kg/hari

Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala
setiap minggu.

2). Pemantauan setelah pulang


Diperlukan pemantauan setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi
dan mencegah/mengurangi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi setelah
pulang sebagai berikut :
-

Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.

Hitung umur koreksi.

Pertumbuhan; berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.

Tes perkembangan, Denver development screening test (DDST).

Awasi adanya kelainan bawaan.

8.

Prognosis BBLR
Kematian perinatal pada bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi normal.

Prognosis akan lebih buruk bila BB makin rendah, angka kematian sering
disebabkan karena komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi, pneumonia,
perdarahan intrakranial, hipoglikemia. Bila hidup akan dijumpai kerusakan saraf,
gangguan bicara, IQ rendah.

9.

Pencegahan
Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/preventif adalah

langkah yang penting. Hal-hal yang dapat dilakukan :


-

Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali


selama kurun kehamilan dan dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu
hamil yang diduga berisiko, terutama faktor risiko yang mengarah
melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan dirujuk pada
institusi pelayanan kesehatan yang lebih mampu.

Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin


dalam rahim, tanda tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan diri
selama kehamilan agar mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin
yang dikandung dengan baik.

Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur


reproduksi sehat (20-34 tahun).

Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam
meningkatkan pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka
dapat meningkatkan akses terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan
status gizi ibu selama hamil.
Tanda kecukupan pemberian ASI:
-

BAK minimal 6 kali/ 24 jam.

Bayi tidur lelap setelah pemberian ASI.

BB naik pada 7 hari pertama sebanyak 20 gram/hari.

Cek saat menyusui, apabila satu payudara dihisap ASI akan


menetes dari payudara yg lain.

Indikasi bayi BBLR pulang:

Suhu bayi stabil.

Toleransi minum oral baik terutama ASI.

Ibu sanggup merawat BBLR di rumah.

Cara menghangatkan bayi

Cara
Kontak kulit

Petunjuk penggunaan

Untuk semua bayi

Untuk menghangatkan bayi dalam waktu singkat atau


menghangatkan bayi hipotermi (32-36,4 oC) apabila cara lain
tidak mungkin dilakukan.

KMC

Untuk menstabilkan bayi dgn berat badan <2.500 g, terutama


direkomendasikan untuk perawatan berkelanjutan bayi
dengan berat badan <1.800 g.

Tidak untuk bayi sakit berat (sepsis, gangguan napas berat)

Tidak untuk ibu yang menderita penyakit berat yang tidak


dapat merawat bayinya.

Pemancar

Untuk bayi sakit atau bayi dengan berat 1.500 g atau lebih.

panas

Untuk pemeriksaan awal bayi, selama dilakukan tindakan,


atau menghangatkan kembali bayi hipotermi.

Inkubator

Penghangatan berkelanjutan bayi dengan berat <1.500 g yang


tidak dapat dilakukan KMC.

Ruangan

hangat

memerlukan tindakan diagnostik atau prosedur pengobatan.

Untuk merawat bayi dengan berat <2.500 g yang tidak

Tidak untuk bayi sakit berat.

Jumlah cairan yang dibutuhkan bayi (ml/Kg)

Berat (g)

Umur (hari)
1

5+

>1500

60

80

100

120

150

<1500

80

100

120

140

150

Jumlah ASI untuk bayi sehat berat 1250-1499

Umur (hari)

Pemberian
Jumlah ASI tiap 3 jam (ml/kali)

10

15

18

22

26

28

30

Kebutuhan cairan elektrolit bayi (ml/kg)


<1000

1000 - <1500

1500 2500

>2500

Hari I

120 cc D5%

100 cc D7,5%

80 cc D10%

80 cc D10%

Hari II

140 cc D5%

120 cc D7,5%

100 cc D10%

90 cc D10%

Hari III

170 cc D5%

130 cc D7,5%

110 cc D10%

100 cc D10%

Hari >IV

200 cc

140-150 cc

130-150 cc

120-150 cc

Berat badan
(g)

Pembuatan cairan D7,5% = 93 cc (D5%) + 7 cc (D40%) = 100 cc D7,5%.

3.2

ASFIKSIA
1. Definisi
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :
a. Ikatan Dokter Anak Indonesia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang
ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.
b. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir.
c. ACOG dan AAP
Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi
kondisi sebagai berikut:

Nilai Apgar menit kelima 0-3

Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)

Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)

Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan


kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau
sistem renal).

2. Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di
seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati
yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan
bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak
8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria,
sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. Diperkirakan 1 juta anak yang
bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas
jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar.
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian
perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%).

3. Etiologi dan Faktor Resiko


Asfiksia neonatorum terjadi karena adanya gangguan pertukaran gas
serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan
O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat disebabkan secara
menahun dalam kehamilan dan mendadak dalam persalinan. Gangguan menahun
dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk dan penyakit menahun seperti
anemia, hipertensi, jantung.
Towel (1996), menggolongkan penyebab kegagalan pernafasan pada
bayi terdiri dari :
1. Faktor Ibu
-

Hipoksia ibu, dapat terjadi karena hipoventilisasi akibat pemberian


obat analgetik atau anastesia dalam sehingga akan menimbulkan
hipoksia janin dengan segala akibatnya.

Gangguan aliran darah uterus, berkurangnya aliran darah pada uterus


akan menyebabkan kekurangan pengaliran O2 ke plasenta dan janin.
Misalnya : gangguan kontraksi uterus (hipotermi, tetani uterus akibat
penyakit/obat), hipotensi mendadak pada ibu akibat perdarahan,
hipertensi akibat penyakit eklampsi.

2. Faktor Placenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
placenta. Asfiksia janin terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta misalnya : solusi placenta, perdarahan placenta dan placenta
previa.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam
pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan
janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat
menumbung, tali pusat melilit, kompresi tali pusat antara janin dan jalan
lahir.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena :
-

Pemakaian obat anastesi/analgetik yang berlebihan pada ibu secara


langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.

Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial


kelainan kongenital pada bayi misalnya : hernia diafragma atresia,
hipoplasia paru.

5. Faktor Persalinan
-

Partus lama

Partus dengan tindakan (SC, Vakum Ekstraksi).

3. Klasifikasi
Pembagian klasifikasi asfiksia dibuat berdasarkan nilai apgar
score yaitu :
1. Asfiksia berat

Apgar score 0-3, bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan
pemberian O2 terkendali.
2. Asfiksia sedang
Apgar score 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian O2 sampai
bayi dapat bernafas normal kembali.
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai apgar 7-10).
Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan
istimewa.

Tabel 1. Penilaian Apgar Score


Score

Tanda
Apperance
(warna kulit)
Pulse
(Denyut nadi)
Grimace
(refleks)
Activity
(tonus otot)
Respiratory
(usaha bernafas)

Tubuh kemerahan,

Tubuh dan ekstremitas

ekstremitas biru

kemerahan

Tidak ada

100 x/i

100 x/i

Tidak ada

Gerakan sedikit

Lumpuh

Gerakan lemah

Gerakan aktif

Tidak ada

Lambat

Teratur, menangis kuat

Biru pucat

Gerakan kuat dan


menagis

4. Diagnosis
Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan
ditemukannya tanda-tanda gawat janin antara lain :
1. Denyut jantung janin
Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 x/i, selama his frekuensi ini biasa
turun, tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan
kecepatan denyut jantung umumnya tidak besar artinya, akan tetapi apabila

frekuensi sampai di bawah 100 x/menit diluar his dan lebih-lebih jika tidak
teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2. Mekonium dalam air ketuban
Pada presentase kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan
terus menimbulkan kewaspadaan. Adanya meokinum air ketuban pada
presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan,
biasanya hal ini dapat dilakukan dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat
sayatan kecil pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Adanya
asidosis menyebabkan turunnya pH. Contoh darah janin. Adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun di bawah 7,2 hal ini
dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.

5. Patogenesis
1. Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbullah
rangsangan terhadap nesovagus sehingga jantung janin menjadi
lambat. Bila kekurangan O2 itu terus berlangsung, maka nesovagus
tidak

dapat

dipengaruhi

lagi.

Timbullah

rangsangan

dari

nesosimpatikus. Denyut jantung janin menjadi lebih cepat akhirnya


irregular dan menghilang.
2. Kekurangan O2 juga merangsang usus, sehingga mekonium keluar
sebagai tanda janin dalam hipoksia :
-

Jika DJJ normal dan ada mekonium, maka janin mulai hipoksia.

Jika DJJ >100 x/i dan ada mekonium, maka janin sedang hipoksia.

Jika DJJ <100 x/i dan ada mekonium, maka janin dalam keadaan
gawat.
Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita

periksa, kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam


paru, bronkus tersumbat.

6. Penanganan
1. Jangan biarkan bayi kedinginan (balut dengan kain) bersihkan mulut
dan jalan nafas.
2. Lakukan resusitas dengan alat yang dimasukkan ke dalam mulut untuk
mengalirkan O2 dengan tekanan 12 mmHg dan dapat juga dilakukan
pernafasan dari mulut ke mulut, masase jantung.
3. Gejala perdarahan otak biasanya timbul pada beberapa hari post
partum, jadi kepala dapat direndahkan, supaya lendir yang menyumbat
pernafasan dapat keluar.
4. Kalau ada dugaan perdarahan otak berikan injeksi vit K 1-2 mg.
Tujuan Penanganan
1. Untuk mengurangi angka mortalitas dan angka morbiditas
2. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi
3. Untuk membatasi gejala lain setelah mengalami asfiksia.

7. Komplikasi
Komplikasi pada bayi baru lahir akibat asfiksia meliputi :
1. Cerebral palsy
2. Retardasi mental
3. Gangguan belajar
Apabila

asfiksia

ini

tidak

ditangani

dengan

baik,

maka

akan

mengakibatkan kematian.

3.3

Hipotermia
1. Definisi Hipotermi pada Bayi Baru Lahir

Hipotermi pada bayi baru lahir adalah suatu keadaan dimana bayi baru
lahir memiliki suhu tubuh dibawah 36,50C (97,70F) pada pengukuran di aksila,
dengan klasifikasi yakni hipotermi ringan 36-36.50C (96,8-97,70F), hipotermi
sedang 32-360C (89,6-96,80F), dan hipotermi berat dibawah 320C (89,60F).
Bayi yang lahir preterm memiliki predisposisi untuk terjadinya
kehilangan panas karena mereka memiliki lemak subkutan yang lebih sedikit,

tingginya rasio permukaan tubuh terhadap berat badan dan kurangnya glikogen
serta lemak coklat yang tersimpan. Namun, secara fisiologis, bayi memiliki postur
hipotonik (seperti katak) yang menyebabkan proporsi kulit terpapar area dingin
lebih berkurang.

2. Epidemiologi
Hipotermi pada bayi baru lahir terjadi di seluruh duniadan terjadi lebih
sering daripada yang diperkirakan. Hipotermi terjadi lebih sering pada musim
dingin di daerah-daerah yang memiliki perbedaan suhu yang tinggi antara siang
dan malam. Akan tetapi, suhu lingkungan yang rendahbukan merupakan faktor
terpenting dalam terjadinya hipotermi. Insidenyang tinggidilaporkan pada daerah
dengan suhu rata-rata 26 30 C.
Suatu penelitian di sebuah rumah sakit di Ethiopia, menunjukkan bahwa
67 % bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah dan berisiko tinggi, dirawat
di unit intensif karena hipotermi. Di Nepal, suatu penelitian yang dilaksanakan
pada bulan-bulan di musim dingin, ditemukan lebih dari 80 % bayi yang lahir di
rumah sakit maternitas di Kathmandu mengalami hipotermi setelah lahir dan 50 %
tetap hipotermi setelah 24 jam. Data ini mencakup bayi baru lahir sehat dengan
berat lahir cukup dan bayi sakit dengan berat lahir rendah.
Suatu penelitian besar di beberapa provinsi di Cina memperoleh insiden
sklerema sebesar 6,7 per 1000 bayi yang banyak diderita bayi prematur dan berat
lahir rendah dengan penyebab dasarnya adalah hipotermi. Perlu ditekankan bahwa
hipotermi merupakan masalah yang dapat terjadi pada area tropis maupun area
pegunungan dengan iklim dingin.
Risiko hipotermi lebih tinggi pada bayi yang lahir di rumah daripada di
rumah sakit. Hipotermi ini menjadi salah satu faktor mortalitas pada bayi muda
usia 0-2 bulan, sehingga WHO merekomendasikan suatu perlindungan termal
pada bayi baru lahir yang adekuat. Akan tetapi hal ini lebih sulit dicapai pada
negara-negara Asia Selatan dan Sub-Sahara Afrika.
Hipotermi sering terjadi pada lebih dari 50 % bayi yang waktu
menyusuinya ditunda 24 jam dan 75 % pada bayi yang umbilikusnya tidak

dipotong langsung saat lahir. Selain itu, faktor berat badan bayi baru lahir juga
berpengaruh. Suatu penelitian menunjukkan bahwa risiko hipotermi akan
meningkat sekitar 7,4 % pada bayi dengan penurunan berat badan 100 gr pada
rentang berat badan 2500-3000 gr, dan akan lebih tinggi pada bayi dengan rentang
berat badan 2000-2500 gr dan < 2000 gr. Faktor jenis kelamin belum dapat
dibuktikan berperan secara signifikan dalam insiden hipotermi ini, sama halnya
dengan faktor sosial ekonomi.

3. Mekanisme Hipotermi pada Bayi Baru Lahir


Suhu di dalam rahim ibu adalah sekitar 38C. Saat lahir, bayi baru lahir
akan berada pada lingkungan yang lebih dingin sehingga dapat mengalami
kehilangan panas secara tiba-tiba. Penurunan suhu tubuh bayi terjadi pada menitmenit pertama setelah lahir. Dalam 10-20 menit, bayi baru lahir yang tidak
terlindungi, dapat mengalami penurunan suhu tubuh sekitar 2 - 4C, bahkan bisa
lebih bila tidak diberikan perawatan yang memadai. Hal inilah yang nantinya akan
memicu terjadinya hipotermi.
Hipotermi dapat disebabkan oleh karena terpapar dengan lingkungan
yang dingin (suhu lingkungan rendah, permukaan yang dingin atau basah) atau
bayi dalam keadaan basah atau tidak berpakaian. Selain itu, bayi baru lahir
memiliki fungsi termoregulasi yang sangat terbatas untuk menyesuaikan suhu
tubuhnya dengan lingkungan di luar rahim ibu. Kegagalan termoregulasi akan
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya hipotermi.
Mekanisme-mekanisme

yang

menyebabkan

terjadinya

hipotermi

diuraikan sebagai berikut :


1. Penurunan produksi panas
Selain yang telah dijelaskan sebelumnya dalam aspek pengaturan
termoregulasi pada bayi baru lahir, dimana keseimbangan produksi panas dan
kehilangan panas berada pada titik ekuilibrium untuk mencapai suhu tubuh
fisiologis, berikut diuraikan faktor tambahan yang dapat menurunkan produksi
panas.

Produksi panas tubuh merupakan hasil tambahan utama dari


metabolisme. Secara umum laju produksi panas tubuh dipengaruhi oleh laju
metabolisme basal dari semua sel tubuh, laju cadangan metabolisme yang
disebabkan oleh aktivitas otot, metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
pengaruh hormon tiroksin, hormon pertumbuhan, testosteron, epinefrin,
norepinefrin, dan perangsangan saraf simpatis terhadap sel serta peningkatan
aktivitas kimiawi di dalam sel sendiri.
Pusat pengaturan suhu tubuh berada pada hipotalamus, tepatnya di
area preoptik yang mengandung sejumlah besar neuron yang sensitif terhadap
panas dan diyakini berperan penting sebagai sensor suhu untuk mengontrol
suhu tubuh. Hipotalamus juga berperan penting dalam mengontrol kinerja
kelenjar lain, seperti kelenjar pituitari yang nantinya akan mensekresikan
hormon-hormon pemicu sekresi kelenjar tiroid dan adrenal. Sebagai
lanjutannya, tiroid dan adrenal berperan penting dalam menghasilkan hormonhormon yang berhubungan erat dengan peningkatan metabolisme sebagai
salah satu sarana produksi panas tubuh sehingga dapat dimengerti bahwa bila
terjadi kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan metabolisme
basal tubuh, akan diikuti dengan penurunan produksi panas, misalnya pada
keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitaria.
Sebagai contoh, pada bayi baru lahir dengan disfungsi kelenjar tiroid
atau yang lebih dikenal sebagai hipotiroid kongenital akan mengalami salah
satu gejala klinis berupa suhu rektal yang rendah, yakni < 35,5C dalam 0 45
jam pasca lahir. Hal ini disebabkan karena tidak berfungsi dengan baiknya
kelenjar tiroid yang mensistesis hormon-hormon tiroid, yakni triiodotironin
(T3) dan tetraiodotironin (T4 = tiroksin). Hormon ini akan merangsang
metabolisme jaringan yang meliputi konsumsi oksigen, produksi panas tubuh,
fungsi syaraf, metabolisme protein, karbohidrat, lemak dan vitamin serta kerja
daripada hormon-hormon lain.
Pada bayi baru lahir yang sakit berat, misalnya mengalami asfiksia
dan hipoksia serta adanya riwayat pemakaian sedatif pada ibu seperti
diazepam, produksi panasnya akan terganggu, termasuk juga bayi prematur

dengan cadangan lemak coklat yang sedikit. Berikut disajikan faktor-faktor


yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan produksi panas pada bayi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi panas bayi


Peningkatan Produksi Panas

Penurunan Produksi Panas

Bayi bangun

Bayi yang tertidur dalam

Bayi aktif

Bayi sakit, pasca asfiksia atau dengan


hipoksia

Setelah ingesti makanan

Bayi yang kelaparan

Pada pertumbuhan cepat

Malnutrisi

Tirotoksikosis neonatal

Bayi dengan hipotiroid

Bayi dengan gagal jantung, dimana Bayi dengan penyakit jantung bawaan
terjadi shunt dari kiri ke kanan

sianotik

Setelah pemberian obat-obat tertentu, Setelah


misalnya teofilin

pemberian

obat-obatan

tertentu, seperti klorpromazin

2. Peningkatan panas yang hilang


Luas permukaan tubuh bayi baru lahir kira-kira tiga kali luas permukaan
tubuh orang dewasa dengan lapisan lemak di bawah kulit yang lebih tipis,
terutama pada bayi dengan berat badan lahir rendah. Bayi baru lahir diduga 4 kali
lebih cepat kehilangan panas daripada orang dewasa. Suhu kulit bayi baru lahir
akan menurun 0,3C melalui pengukuran di aksila atau 0,1Cvia pengukuran di
rektal ketika bayi baru lahir berada di ruangan bersalin dengan suhu 20 25C.
Penurunan suhu tubuh bayi baru lahir sekitar 2 3C, akan setara dengan
kehilangan kalori sebesar 200 kalori/kgBB.
Secara struktural, perbedaan antara kulit bayi baru lahir dan dewasa dapat
dijelaskan dalam tabel berikut.

Perbedaan struktur kulit bayi baru lahir prematur, bayi cukup bulan,
dan dewasa.

Struktur Kulit
Epidermis

Bayi Prematur

Bayi Cukup Bulan

Dewasa

Sel-sel lebih tipis,

Stratum korneum

Epidermis normal

lapisan stratum

lebih rapat, kadar

dengan tahanan

korneum sedikit,

melanin sedikit

terhadap

dengan produksi

penetrasi yang

melanin yang

baik dan

rendah

konsentrasi
melanin normal

Dermo-epidermal

Kohesi antara

Kohesi antara

Kohesi antara

junction

dermis dan

dermis dan

dermis dan

epidermis sedikit

epidermis sedikit

epidermis baik

Serat elastis

Serat elastis

Serat elastis

sedikit, lebih tipis

sedikit, lebih tipis

penuh

Duktus paten, sel-

Distribusi kelenjar

Distribusi kurang

sel sekret belum

keringat lebih

rapat, mampu

berdiferensiasi,

rapat, tetapi

berkeringat

kemampuan

kemampuan

dengan baik

berkeringat rendah

berkeringat masih

Dermis

Kelenjar keringat

rendah
Rambut

Lanugo

Rambut pendek

Rambut pendek

dan halus

halus dan rambut


dewasa

Kelenjar sebasea

Besar dan aktif

Besar dan aktif

Sistem saraf dan

Belum sepenuhnya

Nervus kecil, tidak Struktur dewasa

vaskuler

terorganisir, nervus termielinisasi,


tidak

berkembang penuh

termielinisasi,

pada usia 3 bulan

seperti struktur

Besar dan aktif

janin
Permeabilitas

Sangat permeabel

Meskipun

Ketahanan

terhadap zat yang

ketahanan

terhadap

larut lemak dan

terhadap penetrasi

penetrasi baik

absorpsinya akan

sudah baik, tetapi

meningkat seiring

permeabilitas

dengan rasio

terhadap zat larut

permukaan kulit

lemak dan

dibanding berat

absorpsinya masih

badan

meningkat seiring
dengan rasio
permukaan kulit
dibanding berat
badan

Dari tabel diatas, dapat kita lihat bahwa adanya perbedaan struktur kulit
antara bayi baru lahir dengan dewasa akan meningkatkan risiko hilangnya panas
pada bayi. Mekanisme kehilangan panas ini dapat diuraikan sebagai berikut :

Gambar. Mekanisme kehilangan panas pada bayi baru lahir.

Konduksi
Yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedaan suhu antara
kedua obyek. Kehilangan panas terjadi saat kontak langsung antara kulit bayi baru
lahir dengan permukaan yanglebih dingin. Sumber kehilangan panas terjadi pada
bayi baru lahir yang berada pada permukaan atau alas dingin, seperti pada waktu
proses penimbangan. Konduksi ini juga dapat terjadi bila bayi baru lahir memakai
selimut yang dingin atau pakaian yang basah. Akan tetapi, jumlah panas yang
hilang pada bayi baru lahir akibat konduksi ini cenderung sedikit dan dapat
diabaikan.

Konveksi
Konveksi merupakan transfer panas yang terjadi secara sederhana dari
selisih suhu antara permukaan kulit bayi dan aliran udara yang dingin di
permukaan tubuh bayi sehingga sangat ditentukan oleh perbedaan suhu antara
udara dan bayi. Kehilangan panas secara konveksi ini juga bergantung pada
kecepatan udara sekitar. Semakin cepat udara yang melewati permukaan tubuh
bayi, maka penyekat antara bayi dan udara akan hilang sehingga kehilangan panas
akan meningkat. Sumber kehilangan panas disini dapat berupa inkubator dengan
jendela yang terbuka, ruangan perawatan yang dingin dan pada waktu proses
transportasi bayi baru lahir ke rumah sakit.

Radiasi
Radiasi adalah proses perpindahan panas dari suatu objek panas ke objek
dingin yang ada di sekitar, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat dikelilingi
suhu lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu
lingkungan yang dingin atau suhu inkubator yang dingin atau bayi yang telanjang
dalam kamar bersalin saat baru lahir dan langsung terpapar ruangan dingin.

Evaporasi
Saat air menguap dari tubuh bayi, panas juga ikut terbuang. Setiap ml air
yang menguap akan membawa 560 kalori panas. Dalam kondisi normal, evaporasi

pada bayi aterm terjadi sebanyak seperempat bagian dari keseluruhan produksi
panas saat istirahat. Evaporasi ini mencakup yang keluar melalui saluran nafas
dan difusi pasif air melalui epidermis (transepidermal water loss/TEWL). Bayi
prematur memiliki TEWL yang lebih besar daripada bayi aterm, sekitar 6 kali per
unit area permukaan kulit pada bayi preterm usia 26 minggu. Hal ini terjadi
karena kulit bayi preterm yang tipis dan resistensi yang kurang, seperti dijelaskan
dalam tabel 2 di atas.
Evaporasi juga dapat meningkat melalui alat pemanas dan fototerapi
secara tidak langsung, melalui peningkatan suhu permukaan, kecepatan aliran
udara dan kelembaban lokal yang rendah, sehingga pemakaian alat pemanas dan
fototerapi ini perlu dibarengi dengan pencegahan tertentu misalnya dengan
pemakaian selimut plastik atau lembaran plastik bening yang akan mengurangi
TEWL hingga 75 % .

3. Kegagalan termoregulasi
Kegagalan

termoregulasi

secara

umum

disebabkan

kegagalan

hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab.


Keadaan hipoksia intrauterin /saat persalinan/postpartum, defek neurologik
dan paparan obat prenatal (analgesik/anestesi) dapat menekan respon
neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan
mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau
hipertermi.

4. Faktor Risiko Hipotermi


Suatu penelitian di rumah sakit rujukan di Iran menunjukkan bahwa
bayi baru lahir dengan berat badan rendah, skor Apgar rendah, riwayat
kehamilan multipel dan telah mendapatkan resusitasi kardiopulmoner
memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena hipotermi. Seperti telah
diungkapkan sebelumnya, jenis kelamin tidak mempengaruhi insiden
hipotermi ini. Faktor lain mencakup transportasi bayi baru lahir yang
inadekuat, temperatur lingkungan, pakaian yang tidak sesuai, hingga

rendahnya temperatur ruangan bersalin, dan faktor sosioekonomi ibu,


meskipun tidak dijelaskan lebih rinci pada penelitian tersebut tentang aspekaspek sosioekonominya.

5. Dampak Hipotermi
Saat adanya penurunan produksi panas dapat muncul kompensasi
pengumpulan produksi panas melalui peningkatan laju metabolik yang
meliputi ketidakcukupan suplai oksigen akibat peningkatan konsumsi oksigen,
hipoglikemi sekunder akibat deplesi penyimpanan glikogen, asidosis
metabolik karena hipoksia dan vasokonstriksi perifer, hambatan pertumbuhan,
apneu dan hipertensi pulmonal sebagai akibat asidosis dan hipoksia.
Ketika kompensasi terhadap hilangnya panas tubuh yang berlebihan
terlewati maka akan terjadilah hipotermi. Gangguan pembekuan seperti
disseminated intravascular coagulation dan perdarahan pulmonal dapat terjadi
pada hipotermi berat dan syok sebagai hasil dari pengurangan tekanan arteri
sistemik, volume plasma, curah jantung, perdarahan intraventrikel dansinus
bradikardi berat.

4. Diagnosis dan Klasifikasi Hipotermi


Hipotermi ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum, kurang
aktif, kutis marmorata, pucat, takipneu dan takikardia. Hipotermi yang
berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen,
respiratory distress, gangguan keseimbangan asam basa, hipoglikemi, defek
koagulasi, sirkulasi fetal persisten, gagal ginjal akut, enterokolitis nekrotikan dan
pada keadaan yang berat akan menyebabkan kematian.
Diagnosis hipotermi ditegakkan dengan pengukuran suhu baik suhu
tubuh atau kulit bayi. Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu
petunjuk penting untuk deteksi awal adanya suatu penyakit. Pengukurannya dapat
dilakukan melalui aksila,rektal atau kulit.
Pengukuran suhu melalui aksila merupakan prosedur pengukuran suhu
bayi yang dianjurkan karena mudah, sederhana dan aman. Pengukuran melalui

rektal hanya dilakukan satu kali saja, yaitu waktu bayi baru lahir, karena sekaligus
bermanfaat sebagai tes skrining untuk mengetahui adanya anus imperforatus.
Pengukuran suhu rektal tidak dilakukan sebagi prosedur pemeriksaan yang rutin
kecuali pada bayi-bayi sakit.
Kesempatan untuk bertahan hidup pada bayi baru lahir ditandai dengan
keberhasilan usahanya dalam mencegah hilangnya panas dari tubuh. Untuk itu,
bayi baru lahir haruslah dirawat dalam lingkungan suhu netral (Neutral Thermal
Environment/NTE).
Untuk menentukan apakah hipotermi yang terjadi pada bayi baru lahir
ini disebabkan oleh paparan lingkungan sekitarnya, maka perlu ditanyakan
melalui alloanamnesis kepada ibu bayi atau kepada siapapun yang membawa bayi
untuk dirawat. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan berupa :
1. Apakah bayi dikeringkan setelah lahir dan dijaga kehangatannya ?
2. Apakah bayi dipakaikan pakaian yang sesuai dengan cuaca saat itu?
3. Apakah bayi dipisahkan dari ibunya saat tidur ?
4. Apakah bayi terkena sinar matahari ?
Bila bayi telah dirawat sebelumnya dengan pemanas atau inkubator
sebelumnya, maka mesti

diketahui temperatur ruangan tempat bayi dirawat,

temperatur pemanas atau inkubator dan frekuensi monitoring bayi tersebut.

Klasifikasi Hipotermi.
Anamnesis

Bayi terpapar

Pemeriksaan

suhu lingkungan

Hipotermi sedang

36,4C

yang rendah

Gangguan nafas

Waktu

Denyut jantung <

timbulnya

Suhu tubuh 32-

Klasifikasi

100 kali /menit

kurang dari 2

Malas minum

hari

Letargi

Bayi terpapar

Suhu tubuh <

Hipotermi berat

suhu lingkungan
yang rendah.

32C

Waktu

Tanda hipotermia
sedang

timbulnya

Kulit teraba keras

kurang dari 2

Nafas pelan dan

hari
Tidak terpapar dengan

dalam

Suhu tubuh

dingin atau panas yang

berfluktuasi 36-

berlebihan

39C meskipun

Suhu tidak stabil

berada di suhu
lingkungan yang
stabil

Fluktuasi terjadi
setelah periode
suhu stabil

5. Tatalaksana Hipotermi
Berdasarkan klasifikasinya, tatalaksana hipotermi secara rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut :
A. Hipotermi berat
1. Segera hangatkan bayi dibawah pemancar panas yang telah dinyalakan
sebelumnya, bila mungkin. Gunakan inkubator atau ruangan hangat, bila
perlu
2. Ganti baju yang dingin dan basah bila perlu. Beri pakaian yang hangat,
pakai topi dan selimut dengan selimut hangat.
3. Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi sering diubah.
4. Bila bayi dengan gangguan nafas (frekuensi nafas lebih dari 60 atau
kurang dari30 kali/menit, tarikan dinding dada, merintih saat ekspirasi ),
lakukan manajemen gangguan nafas.
5. Pasang jalur IV dan beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan infus
tetap terpasang dibawah pemancar panas, untuk menghangatkan cairan

6. Periksa kadar glukosa darah, bila kadar glukosa darah kurang dari 45
mg/dl, tangani hipoglikemi.
7. Nilai tanda kegawatan bayi (misalnya gangguan nafas, kejang atau tidak
sadar) setiap jam dan nilai juga kemampuan minum setiap 4 jam sampai
suhu tubuh kembali dalam batas normal.
8. Ambil sampel darah dan beri antibiotik sesuai dengan yang disebutkan
dalam penanganan kemungkinan besar sepsis.
9. Anjurkan ibu menyusui segera setelah bayi siap :
Bila bayi tidak dapat menyusu, beri ASI peras dengan menggunakan
salah satu alternatif cara pemberian minum
Bila bayi tidak dapat menyusu sama sekali, pasang pipa lambung dan
beri ASI peras begitu suhu bayi mencapai 35C.
10. Periksa suhu tubuh bayi setiap jam. Bila suhu naik paling tidak
0,5C/jam, berarti upaya menghangatkan berhasil, kemudian lanjutkan
dengan memeriksa suhu bayi setiap 2 jam.
11. Periksa juga suhu alat yang dipakai untuk menghangatkan dan suhu
ruangan setiap jam.
12. Setelah suhu bayi normal :

Lakukan perawatan lanjutan untuk bayi

Pantau bayi selama 12 jam kemudian dan ukur suhunya setiap 3 jam.

13. Pantau bayi selama 24 jam setelah penghentian antibiotika. Bila suhu bayi
tetap dalam batas normal dan bayi minum dengan baik dan tidak ada
masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan dan nasehati ibu bagaimana cara menjaga agar bayi tetap
hangat selama di rumah.

B. Hipotermi sedang
1. Ganti pakaian yang dingin atau basah dengan pakaian yang hangat,
memkai topi dan selimuti dengan selimut hangat.

2. Bila ada ibu / pengganti ibu, anjurkan menghangatkan bayi dengan


melakukan kontak kulit dengan kulit atau perawatan bayi lekat (Kangaroo
Mother Care)
3. Bila ibu tidak ada :

Hangatkan kembali bayi dengan menggunakan alat pemancar panas,


gunakan inkubator dan ruangan hangat, bila perlu

Periksa suhu alat dan suhu ruangan, beri ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum dan
sesuaikan pengatur suhu.

Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi lebih sering
diubah.

4. Anjurkan ibu untuk menyusui lebih sering. Bila bayi tidak dapat menyusu,
berikan ASI peras menggunakan salah satu alternatif cara pemberian
minum.
5. Mintalah ibu untuk mengamati tanda kegawatan (misalnya gangguan
nafas, kejang, tidak sadar) dan segera mencari pertolongan bila terjadi hal
tersebut.
6. Periksa kadar glukosa darah, bila <45 mg/dl, tangani hipoglikemia.
7. Nilai tanda kegawatan, misalnya gangguan nafas, bila ada tangani
gangguan nafasnya
8. Periksa suhu tubuh bayi setiap jam, bila suhu naik minimal 0,5C/jam,
berarti usaha mengahangatkan berhasil, lanjutkan memeriksa suhu tiap 2
jam.
9. Bila suhu tidak naik, atau naik terlalu pelan, kurang 0,5c/jam, cari tanda
sepsis.
10. Setelah suhu tubuh normal :
Lakukan perawatan lanjutan
Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu tiap 3 jam.
11. Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat minum dengan baik
serta tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit,
bayi dapat dipulangkan. Nasihati ibu cara menghangatkan bayi di rumah.

TERAPI DENGAN INKUBATOR


Inkubator biasanya digunakan pada bayi dengan berat badan lahir kurang
dari 1800 gram. Inkubator tertutup akan memberikan panas secara konveksi. Oleh
karena itu, inkubator ini tidak mencegah kehilangan panas secara radiasi kecuali
bila inkubator ini dilengkapi dengan dua lapis dinding. Demikian pula, kehilangan
panas secara evaporasi dapat dikompensasi jika kelembapan ditambahkan ke
dalam inkubator. Kelemahan inkubator tertutup ini adalah sulitnya memantau bayi
yang sakit dan sulit dalam melaksanakan beberapa prosedur. Perubahan suhu
tubuh yang dihubungkan dengan sepsis dapat diatasi melalui sistem kontrol
otomatis dari inkubator tertutup. Seorang bayi dapat dilepaskan dari inkubator bila
suhu tubuhnya dapat dijaga pada suhu lingkungan < 30,0C (biasanya bila berat
badannya mencapai 1600-1800 gram). Inkubator tertutup dapat mengatur suhu
lingkungan netral dengan menggunakan satu dari perlengkapan dibawah ini :
a. Servocontrolled skin probe yang mencapai bagian perut bayi. Jika suhu
tubuh turun, maka panas akan ditambahkan. Jika target suhu kulit telah
tercapai, maka unit pengangat akan mati secara otomatis. Kelemahan
dari alat ini adalah, dapat terjadi panas yang berebihan bila sensor
rusak.
b. Perlengkapan kontrol suhu udara. Dengan alat ini, suhu udara di dalam
inkubator dapat naik atau turun bergantung pada hasil pengukuran
suhu bayi. Penggunaan cara ini membutuhkan perhatian yang cukup
dan biasanya digunakan pada bayi yang sudah tua.
c. Probe suhu udara. Probe ini tergantung di dalam inkubator di dekat
bayi dan mengatur suhu udara agar tetap konstan.

Cara pemakaian :
a. Menggunakan servocontrol, dengan pengaturan suhu untuk kulit perut
36,0-36,5C.
b. Penggunaan inkubator dengan dua lapis dinding, bila memungkinkan.
c. Tutup kepala bayi dengan topi.

d. Jaga kelembapan pada level 40-50%. Kelembapan yang berlebihan


dan pakaian yang basah dapat memicu terjadinya kehilangan panas
yang berlebihan dan pengumpulan cairan yang dapat memungkinkan
terjadinya infeksi.
e. Jaga suhu ventilator pada suhu 34,0-35,0C.
f. Letakkan matras penghangat dibawah tubuh bayi yang memiliki suhu
bervariasi antara 35,0-38,0C. Untuk perlindungan, suhu dapat diatur
antara 35,0 dan 36,0C. Untuk menghangatkan bayi yang hipotermi,
suhu dapat diatur mencapai 37,0 dan 38,0C.
g. Bila temperatur sulit untuk diatur, tingkatkan level kelembapan atau
gunakan pancaran penghangat (di beberapa institusi)
Secara praktis, perawatan dalam inkubator dengan suhu diatur sesuai
dengan berat badan bayi baru lahir, yakni :

Penyesuaian inkubator dengan berat badan bayi baru lahir


Berat badan lahir

Suhu (C)

500

1000

35

1500

34

2000

33,5

2500

33,2

TERAPI DENGAN PEMANAS


Terapi dengan pemanas digunakan untuk bayi yang sangat tidak stabil atau
selama pelaksanaan suatu prosedur medis. Panas dihasilkan dari proses radiasi
sehingga tidak mencegah kehilangan panas secara konveksi dan evaporasi. Suhu
dapat diatur dalam sebuah servomode dan nonservomode( disebut juga tipe
manual). Bila digunakan pemanas tipe manual, bayi harus diamati secara lebih
hati-hati untuk menghindari panas yang berlebihan. Pemanas ini digunakan dalam
waktu yang terbatas seperti dalam ruang persalinan. Kehilangan air yang tak
disadari dapat terjadi ekstrim pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah

(mencapai 7 ml/kg/jam). Penutupan kulit dengan bahan semipermeabel dapat


membantu mengurangai kehilangan air transepidermal (TEWL) yang tak disadari.
Cara pengaturan pemanas
1. Pengaturan suhu pada bayi yang sehat ( berat badan > 2500 gram) :
a. Tempatkan bayi dibawah pancaran penghangat segera setelah
persalinan.
b. Keringkan bayi dengan segera untuk mencegah kehilangan panas
secara evaporasi
c. Tutup kepala bayi dengan penutup kepala atau topi.
d. Letakkan bayi dan tutup dengan selimut di tempat tidur bayi
2. Pengaturan suhu pada bayi yang sakit :
Sama dengan pengaturan suhu pada bayi yang sehat, kecuali letakkan bayi
dibawah pancaran penghangat dengan temperature servoregulation.
3. Pengaturan suhu pada bayi prematur (berat badan 1000-2500 gram)
a. Untuk bayi dengan berat badan 1800-2500 gram tanpa masalah medis,
penggunaan selimut, topi dan tempat penyimpanan biasanya cukup.
b. Untuk bayi dengan berat badan 1000-1800 gram dan sehat dapat
ditempatkan di inkubator dengan servokontrol. Sedangkan bayi yang
sakit dapat ditempatkan dibawah pancaran penghangat dengan
servokontrol.
4. Pengaturan suhu pada bayi dengan berat badan kurang dari 1000 gram.
Di dalam ruang persalinan, kehilangan panas secara evaporasi dapat terjadi
segera setelah persalinan. Karena itu pengeringan secara cepat pada bayi
merupakan hal yang sangat penting dalam tatalaksana pada bayi berat
badan lahir rendah. Pendekatan yang berbeda dan lebih efisien adalah
dengan ditemukannya selimut dari polietilen yang dapat dipakai menutupi
bahu sampai kaki tanpa pengeringan segera setelah proses persalinan. Di
tempat perawatan, dapat digunakan pemanas ataupun inkubator,
tergantung mana yang lebih disukai.

Dengan adanya keseluruhan terapi ini, sebaiknya dapat membantu kita


sebagai tenaga kesehatan untuk lebih sensitif dan tanggap dalam menangani
masalah hipotermi. Penanganan yang tepat pada bayi preterm maupun aterm
dengan hipotermi dapat mengurangi masalah pada bayi baru lahir dalam
perkembangan selanjutnya.

3.3

Respiratory Distress Syndrome (RDS)


1. Definisi
Hyaline Membrane Disease (HMD) disebut juga respiratory distress

syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas yaitu gawat napas pada bayi kurang
bulan atau premature yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir,
frekuensi angka kejadiannya dihubungkan dengan

bayi dari ibu diabetes,

persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multijanin, persalinan


seksio sesarea, persalinan cepat, asfiksia, stres dingin, dan adanya riwayat bahwa
bayi sebelumnya terkena. Insiden tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit
putih.
Respiratory distress sndrome ditandai adanya kesukaran bernafas,
(pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi
dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam
pertama kehidupan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli,
edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein
ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.

2. Epidemiologi
Respiratory Distress syndrome merupakan salah satu penyebab kematian
pada bayi baru lahir. Di Amerika Serikat diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi
baru lahir tiap tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kurang lebih 30 %
dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya.
RDS pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding
terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80%
pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi

kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. RDS lebih jarang
ditemukan di Negara berkembang dibanding lainnya, terutama karena sebagian
besar infant premature yang kecil untuk masa kehamilan mengalami stress
didalam rahim karena diinduksi oleh hipertensi. Tambahan, juga dikarenakan
padawilayah ini kebanyakan persalinan dilakukan didalam rumah, sehingga
pencatatatannya buruk
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia
kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan
operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi
terdahulu mengalami RDS. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein
surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga
disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang
menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau
adanya infeksi kongenital kronik.
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit
putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan
menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II.

3. Faktor Resiko
1. Bayi kurang bulan. Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara
biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang
melapisi rongga paru.
2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode
perinatal, aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan
resusitasi, dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang
membawa darah keluar dari paru.
3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes
terjadi keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress
respirasi

4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi
sesar,berapapun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya
absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of Newborn)
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini
dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis.

4. Etiologi
Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan
terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang
terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II.
Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga
udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu
terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32
34 minggu. Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20
minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Surfaktan tampak dalam cairan
amnion antara 28 dan 32 minggu. Kadar surfaktan yang matur baru muncul
setelah 35 minggu kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada
rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli
selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada
sistem pertahanan terhadap infeksi.
Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine
(lecithin) 80 %, phosphatidylglycerol 7 %, phosphatidylethanolamine 3 %,
apoprotein (surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya
usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel
alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan., fungsinya adalah
memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di
alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan.
Kegagalan

mengembangkan

functional

residual

capacity

dan

kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan


dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol,

phosphatydilinositol,

phosphatydilserin,

phosphatydilethanolamine

dan

sphingomyelin.
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi.
Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia,
hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang
melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan
efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.

5. Patofisiologi
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum
berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan
cairan paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja
seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya
permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke
rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada
neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang
masih lemah.
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan
edema interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang
lebih tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada
bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi
negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal
tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi
prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah
dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru
untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume
residu, cencerung mengalami atelektasis.
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit
respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan
atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh
ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal

volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha


bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri
pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale,
ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas
iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler
menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli.
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant,
otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan
keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia
arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan
asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran
darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan
duktus arteriosus memperburuk hipoksemia.
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena
berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari
peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena
akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada
rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan
compliance paru merupakan karakteristik RDS. Beberapa alveoli kolaps karena
defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan
FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang
ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang.

Faktor faktor yang Mempengaruhi Patogenesis penyakit membran hialin.

6. Patologi
Paru nampak merah keunguan dengan konsistensi menyerupai hati.
Secara mikroskopis, terdapat atelektasis luas disertai dengan pelebaran kapilerkapiler dan saluran linfe intraalveolar. Beberapa ductus alveolaris, alveoli dan
bronchiolus respiratorius dilapisi mebran kemerahan homogen atau granuler.
Debris amnion, perdarahan intra-alveolar, dan emfisema interstitial dapat
ditemukan bila penderita telah mendapat ventilasi dengan positive end expiratory
pressure. Karakteristik HMD jarang ditemukan pada penderita yang meninggal
kurang dari 6-8 hari sesudah lahir.

7. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda HMD biasanya tampak dalam beberapa menit setelah
kelahiran, walaupun tanda-tanda ini tidak dapat dikenali selama beberapa jam
sampai pernafasan menjadi cepat, dangkal bertambah sampai 60/menit.
Beberapa penderita membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum
atau distres pernafasan awal yang berat (bila berat badan lahir kurang dari 1000g).

Khasnya ditemukan takipnea, mendengkur jelas, retraksi interkostal dan


subkostal, pelebaran dan kehitaman pada cuping hidung. Sianosis yang
meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat
normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam
dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior.
Perjalanannya ditandai dengan perjelekan sianosis dan dispnea yang progresif.
Bila tidak mendapatkan terapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan
turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau
hilang seiring memburuknya penyakit. apnea dan pernafasan iregular mucul saat
bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera. Dapat juga ditemukan
gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia
sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat
dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus
berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari.
Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi
mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 33 minggu kehamilan, fungsi paru
akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia
kehamilan 26 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik.
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi
pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama,
biasanya terjadi pada hari ke 2 sampai ke 7, sehubungan dengan adanya
kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru
atau intraventrikular.
Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi
bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik
(HMD berat).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Berdasarkan

gambaran

rontgen,

paru-paru

dapat

memberikan gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik,


meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan

gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah


karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran
rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari.

Gambar. RDS klasik.


Thoraks berbentuk seperti lonceng karena aerasi tidak
adekuat ke seluruh bagian paru. Volume paru berkurang, parenkim
paru menunjukkan pola retikulogranular difus, serta adanya
gambaran air bronchogram sampai ke perifer.

Gambar 3. RDS sedang.


Gambaran retikulogranular lebih jelas dan terdistribusi
secara uniform. Paru mengalami hipoaerasi disertai peningkatan air
bronchogram.

Gambar. RDS berat.


Gambaran opak retikulogranuler pada kedua paru. Air
bronchogram nyata, gambaran jantung sukar dinilai. Terdapat area
kistik di paru kanan, menunjukan alveoli yang berdilatasi atau awal
dari pulmonary interstitial emphysema (PIE).
b. Laboratorium
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan
gambaran darah tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur
darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah awalnya dapat
ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia
progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.
c. Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan
arah dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi
pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural
jantung.
d. Pemeriksaan darah untuk skrining sepsis : termasuk pemeriksaan
darah rutin, hitung jenis, apus darah tepi, C-reactive protein, kultur
darah, glukosa darah, dan elektrolit.

Pemeriksaan

Kegunaan

Kultur darah

Menunjukkan keadaan bakteriemia

Analisis gas darah

Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa

Glukosa darah

Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat


menyebabkan atau memperberat takipnea

Rontgen toraks

Mengetahui etiologi distress nafas

Darah rutin dan hitung Leukositosis menunjukkan adanya infeksi


jenis

Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri


Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis

Pulse oximetry

Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen

9. Diagnosis
Gambaran klinis seperti Peningkatan respirasi, peningkatan usaha
nafas, periodic breathing, apnea, sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian
oksigen, turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang
diikuti bradikardi, penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, foto thorax dan
analisa gas darah serta asam basa membantu menegakkan diagnosis. Derajat
beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor SilvermanAnderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan
untuk bayi prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD),
sedangkan skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan
dapat digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini
sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk menilai progresivitasnya.

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :


0
< 60x/menit

1
60-80 x/menit

2
>80x/menit

Retraksi

Tidak ada
retraksi

Retraksi ringan

Retraksi
berat

Sianosis

Tidak sianosis

Sianosis hilang dengan O2

Sianosis
menetap
walaupun
diberi O2

Air Entry

Udara masuk

Merintih

Tidak merintih

Penurunan ringan udara


masuk
Dapat didengar dengan
Dapat
stetoskop
didengar
tanpa alat
bantu

Frekuensi
Nafas

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe


Skor < 4

gangguan pernafasan ringan

Skor 4 5

gangguan pernafasan sedang

Skor > 6

gangguan pernafasan berat (pemeriksaan gas darah


harus dilakukan)

Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga


penilaian untuk memperkirakan penyebab dasar gangguan nafas untuk
penatalaksanaan selanjutnya. Pada bayi yang baru lahir dan mengalami
distress nafas, penilaian keadaan antepartum dan peripartum penting untuk
dilakukan. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu memperkirakan
penyebab distress nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko
antepartum atau tanda-tanda distress pada janin sebelum kelahiran, adanya
riwayat ketuban pecah dini, adanya mekoneum dalam cairan ketuban, dan
lain-lain.

10. Diagnosis Banding


a. Pneumonia neonatal
Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B
kurang bisa dibedakan dengan HMD. Pada pneumonia yang
muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan
HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung
atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk antigen
streptococcus positif, serta adanya netropenia.
b. Transient Tachypnea of The Newborn
Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya
pendek dan ringan.
c. Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang
dan kadang muncul sebagai respiratory distress syndrome (RDS)
yang berat dan mematikan.

11. Penatalaksanaan
Pengobatan suportif pada RDS pada umumnya sama:

Pemberian oksigen intranasal sampai nasofaring atau dengan head


box

IVFD dektrose 7 atau 10% + NaCl 15% 6 cc

Antibiotika:

Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis

Gentamisin 2 mg/kgBB/18 jam bila BB >2.000 gram

Gentamisin 2 mg/kgBB/24 jam bila BB <2.000 gram

Mencari penyebab RDS dengan melakukan foto thoraks cito

Pemberian makanan peroral ditunda sampai frekuensi pernapasan


<60 x/menit

Terapi khusus diberikan sesuai dengan penyebab RDS

BAB IV
PEMBAHASAN

Bayi N, jenis kelamin laki-laki, berusia 1 hari, lahir dari ibu G3P1A1H1
dengan cara persalinan spontan bracht letak sungsang dengan indikasi ketuban
pecah dini, umur kehamilan ibu 30-32 minggu, berat badan lahir 1200, panjang
badan 37 cm, dan lingkar kepala 26 cm, anus (+), dan kelainan (-). Saat lahir tidak
langsung menangis, apgar score 1-3.
Pada pemeriksaan di dapatkan keadaan umum lemah dan kurang aktif,
merintih, napas tidak adekuat, tampak retraksi dinding dada, ujung-ujung jari
membiru tapi tidak disertai dengan membiru pada bagian mulut. Dilakukan
pemeriksaan score down : 5 dan tanda-tanda vital, suhu 36,0 0C, denyut jantung
134 x/menit dan pernapasan 60 x/menit.
Pasien didiagnosis dengan BBLSR (BKB-SMK), asfiksia berat, hipotermia
dan respiratory distress syndrome. Diagnosis BBLSR ditegakan dengan melihat
berat badan lahir pasien < 1500gram disebabkan oleh kelahiran prematur. Hasil
Ballard Score pada pasien 19 yang sesuai dengan Usia kehamilan 30-32 minggu,
dimana dengan berat lahir 1200 gram pasien memiliki berat lahir yang sesuai
dengan umur kehamilan. Sehingga BBLSR pada pasien ini murni merupakan
prematuritas atau dalam istilah lain BKB-SMK (Bayi Kurang Bulan - Sesuai
Masa Kehamilan). Diagnosis asfiksia derajat berat di tegakkan dengan melihat
skor apgar masing-masing pada menit pertama dan kelima sebesar yaitu 1-3.
Kemungkinan asfiksia yang terjadi dikarenakan faktor bayi dengan lahir kurang
bulan dan berat badan lahir kurang mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang
belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Makin muda umur
kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosis juga
semakin buruk. Karena masih belum berfungsinya organ-organ tubuh secara
sempurna seperti sistem pernafasan sehingga menyebabkan asfiksia, disamping itu
bisa juga karena faktor persalinan, faktor plasenta dan faktor ibu.

Diagnosis respiratory distress syndrome ditegakan dengan penilaian Skor


Down 5 yang menunjukkan pada pasien ini mengalami gangguan napas sedang.
Penilaian Skor Down ini didapat dengan melihat klinis pasien dimana frekuensi
pernapasan 60x/menit, adanya retraksi ringan intercostal, tampak kebiruan pada
jari kaki dan tangan, pasien merintih yang terdangar dari stetoskop, dan udara
masuk. Dan hipotermi sedang ditegakan dengan melihat suhu pasien 36,0C. Bayi
hipotermi adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal. Adapun suhu normal
bayi adalah 36,5-37,5C.
Gangguan napas sedang dan Hipotermia sedang dapat merupakan
gangguan/kelaian yang menyertai kondisi BBLR. Hal ini dikarenakan pasien
BBLR, terutama yang premature, memiliki kemampuan adaptasi yang masih
belum adekuat untuk dapat hidup diluar kandungan. Gangguan napas sedang pada
BBLR premature dapat disebabkan karena pembentukan surfaktan yang masih
belum adekuat sehingga pengembangan paru setelah lahir menjadi tidak optimal.
Hipotermia dapat disebabkan ketidaksanggupan menahan panas atau
kurangnya produksi panas. Adapun ketidakmampuan menahan panas dapat
disebabkan permukaan tubuh yang relatif luas terpapar lingkungan dengan suhu
lebih rendah, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan
memfleksikan tubuh dan tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya
panas yang lebih besar pada BBLR. Kurangnya metabolism untuk menghasilkan
panas, seperti defisiensi brown-fat disebabkan bayi preterm. Selain itu juga dapat
disebabkan pusat pengaturan suhu di hypothalamus belum berkembang sempurna
terutama pada bayi premature. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, mudah
kehilangan panas tubuh (perbandingan luas permukaan dan berat badan lebih
besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air), sehingga
neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan.
Pada bayi baru lahir, akan memiliki mekanisme pengaturan suhu tubuh yang
belum efisien dan masih lemah, sehingga penting untuk mempertahankan suhu
tubuh agar tidak terjadi hipotermi.

Tindakan yang dilakukan pada pasien ini adalah melakukan usulan


pemeriksaan darah rutin untuk menilai adanya infeksi, sepsis atau infeksi bakteri.
Glukosa darah untuk menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat
menyebabkan atau memperberat takipnea. Kultur darah untuk menunjukkan
keadaan bakteriemia. Dan rontgen toraks untuk mengetahui penyebab dari distress
pernapasan.
Terapi yang dilakukan pada pasien ini adalah dengan mempertahankan
suhu bayi 36,50-37,50C dengan incubator dengan tujuan untuk mencegah
hipotermi. Berikan O2 nasal lembab 0.5 liter/menit untuk mencegah hipoksia
sehingga dapat mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50-70 mmHg.
Pemberian infuse D10% dengan kebutuhan cairan yaitu 80cc/KgBB x 1,2 Kg = 96
tetes/jam, sehingga dapat diberikan 4 tetes/menit. Diberikan antibiotic dengan
spectrum luas yaitu Ampisilin intravena 2 x 50mg (tiap 12 jam) dan Gentamisin
intravena 1x3,6mg untuk mencegah terjadinnya infeksi sekunder. Puasa dan KIE
keluarga pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Kliegman R.M. Gangguan Saluran Pernapasan. Dalam: Kliegman R, Behrman


R.E, Arvin A.M , penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15.
Jakarta: EGC; 2000.
Kosim MS. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto
A, Dewi Rizalya, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2010.
Pudjiadi, Antonius H., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Jilid 1. Jakarta: IDAI.
WHO. Assesment, Findings, and Management Abnormal Body Temperatur. Dalam :
Managing

Newborn

Problems,

Guides

for

Doctors,

Nurses,

and

Midwives.2003.

Herry Garna, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak edisi 3.
Fakultas Kedokteran UNPAD, RS. Dr. Hasan Sadikin. Bandung: 2005.

Anda mungkin juga menyukai