JOSEPH G. POIRIER
Independent Practice, Rockville, Maryland
Daftar isi
Sinopsis kasus
Pendahuluan
Kasus legal terkait
Pertimbangan etis dan moral praktis
Mengupayakan metode dan aplikasi berbasis empiris
Penilaian diagnostik
Penilaian risiko
Karakteristik pelaku pelecehan seksual berusia remaja sesuai bukti empiris
Poin-poin dasar yang perlu dipertimbangkan pada penilaian klinis/forensik
Menghindari kesalahan evaluasi dan konsultasi
Pertimbangan terapi
Menulis laporan forensik dan bertindak sebagai saksi ahli
Aplikasi baru dari bukti dan pengetahuan forensik
Sinopsis kasus
Pengadilan anak menemukan bahwa Peggy yang berusia 17 tahun terlibat dalam
tindakan pelecehan seksual pada anak. Peggy berkulit putih, dan tidak naik kelas saat
kelas satu SMA. Ia tinggal dengan keluarganya di perumahan kelas menengah ke atas
di tepi kota. Korbannya adalah seorang gadis hispanik 11 tahun bernama Maria yang
tinggal di area perumahan miskin dengan neneknya dari pihak ibu dan dua sepupu
yang lebih muda, yang dirawat oleh neneknya. Lingkungan sekitar mereka memang
memungkinkan untuk saling berinteraaksi. Peggy mengajak Maria berteman dan
keduanya semakin sering menghabiskan waktu bersama, biasanya di rumah Peggy
ketika tidak ada orang lain yang di rumah. Sesekali, nenek Maria akan memberi
Peggy beberapa dolar untuk mengasuh Maria. Pasca suatu presentasi di sekolah yang
dilakukan oleh petugas kepolisian tentang kekerasan pada anak, Maria mengaku pada
konselor sekolah tentang aktivitas seksual yang tidak layak dengan Peggy. Konselor
melaporkannya pada Layanan Perlindungan Anak dan dilakukan penyelidikan.
Karenanya status Peggy sebagai pengasuh Maria, ia dituntut dengan pelecehan
seksual pada anak. Tindakan pelecehan tersebut dimulai ketika Peggy dan Maria
bermain rumah-rumahan dan memainkan peran suami dan istri. Permainan peran ini
akhirnya mengarah pada membuka pakaian, kemudian kontak jari, oral, dan genital.
Menurut Maria, Peggy telah melakukan aktivitas mencumbu yang tidak layak
sepanjang waktu sambil terus meyakinan Maria bahwa tidak ada yang salah.
Pengadilan anak memerintahan evaluasi pada Peggy untuk menilai kemungkinan
pengulangan tindakan dan untuk memberikan rekomendasi disoposisi.
Pendahuluan
Bab ini berfokus pada masalah remaja yang melakukan kekerasan atau pelecehan
seksual. Upaya penanganan masalah pelanggaran seksual oleh remaja terus menjadi
masalah yang melelahkan dan mahal pada masyarakat kontemporer (Andrade,
Vincent, dan Saleh, 2006; Barbaree, Blanchard, dan Langton, 2003; Barbaree dan
Marshall, 2006; Broxholme dan Lindsay, 2003; Gerardin dan Thibaut, 2004; Murphy,
DiLillo, Haynes, dan Steere, 2001; Poirier, 1999b, 2005; Ryan, 1997a; Seager,
Jellicoe, dan Dhaliwal, 2004). Riset berkelanjutan telah semakin memperjelas bahwa
masalah ini kompleks dan akan membutuhkan upaya multimodal sehingga tiap kasus
dapat berlangsung lama (yaitu kira-kira 36 bulan) dan memakan biaya. Untuk
referensi komprehensif terkait masalah pelanggaran seksual oleh remaja, lihat Craig,
Smith, Hayler, dan Pardie (1999) dan Smith, Craig, Loose, Brodus, dan Kimmelman
(2002). Masalah pelanggaran seksual oleh remaja adalah hal yang berat seperti
dicerminkan dalam jumlah korban; data dijelaskan di bawah. Derajat masalah
dicerminkan pada totalitas trauma yang disebabkan oleh viktimisasi (Hunter, 2000;
Barbaree dan Marshall, 2006). Jumlah sebenarya dari pelaku pelecehan seksual usia
remaja (juvenile sex offender, JSO) tidak diketahui karena banyak sekali kriminalitas
tidak dilaporkan; data untuk kasus-kasus yang dilaporkan dijelaskan di bawah.
Istilah juvenile sex offender adalah konsep legal dan bukan merupakan suatu
terminologi klinis. Sejarah pengetahuan terkait parafilia seksual cenderung terdistorsi
karena masalah-masalah terkait definisi, tabu secara budaya, dan proses hukum.
Selama 20 tahun terakhir, pemeriksaan legal semakin meningkat baik untuk pelaku
pelecehan seksual berusia dewasa maupun remaja. Sistem hukum juga telah memberi
sanksi dan penalti legal yang semakin lama semakin berat untuk pelaku (Letourneau
dan Miner, 2005). Sejarah keterlibatan layanan kesehatan jiwa pada kasus hukum
terkait aturan predator seksual juga bersifat panjang dan kompleks (untuk kajian, lihat
American Psychiatric Association, 1999).
Pelecehan seksual pada anak oleh pelaku dari usia berapapun bersilangan dengan tabu
moral dan sosial yang bersifat nyaris universal. Tabu ini memberi dampak luas pada
pendekatan terhadap masalah pelecahan seksual anak oleh sistem hukum dan
kesehatan jiwa (Poirier, 1999c). Selama awal 1990an, pertemuan peradilan
pidana/kesehatan jiwa tidak menunjukkan banyak perkembangan dalam penanganan
populasi JSO. Namun, terdapat tuntutan dan harapan sosial untuk intervensi terapi
yang bermakna yang jauh melebihi pembaharuan yang dapat dicapai oleh riset (Davis
and Leitenberg, 1987).
Suatu studi baru dan meta-analisis yang penting oleh Hanson dan Morton-Bourgon
(2005) menjelaskan temuan-temuan terkait prediktor residivisme pelaku pelecehan
seksual dewasa. Temuan-temuan pada metaanalisis ini (dijelaskan pada bagian
Penilaian Risiko pada bab ini) mencerminkan sejumlah pembaharuan pada
pemahaman kita tentang faktor risiko yang relevan untuk terapi. Temuan-temuan ini
juga mengidentifikasi sejumlah pertimbangan terapi, yang secara historis dianggap
penting dalam terapi pelaku pelecehan seksual, tetapi tidak ditemukan efektif pada
meta-analisis. Studi ini juga membahas semua pertanyaan penting tentang apakah
prediktor residivisme seksual berbeda dari residivisme kriminal yang nonseksual.
Data dari agensi bantuan hukum dan fasilitas koreksional yang dikumpulkan oleh FBI
dan disimpan oleh Biro Kehakiman memberi informasi yang paling komprehensif
dan terbaru terkait kriminalitas, tetapi data ini tidak cukup banyak dan representatif
secara nasional karena tingginya kegagalan pelaporan dan juga perbedaan pada
berbagai definisi kriminal jurisdiksional dan perbedaan dalam metodologi pelaporan.
Dari sumber-sumber lain, Biro Kehakiman menggunakan data dari Uniform Crime
Reporting Program (UCR) untuk menyusun statistik kriminalitas. Secara historis,
UCR hanya melaporkan insiden pemerkosaan dan kekerasan seksual yang dipaksa
(FBI, 1997, 2005). UCR saat ini juga telah mencakup National Incident-Based
Reporting System (NIBRS), yang memiliki potensi untuk menghasilkan deskripsi
yang detail tentang kekerasan seksual yang dilaporkan oleh agensi perlindungan
hukum yang berpartisipasi (Snyder, 2000).
Terdapat sejumlah tumpang tindih data demografis, etiologis, dan klasifikasi antara
pelaku pelecehan seksual dewasa dan remaja, tetapi juga ada perbedaan-perbedaan
yang penting (Caldwell, 2002; Pithers, Becker, Kafka, Morenz, Schlank, dan
Leombruno, 1995). Sebagian besar korban pemerkosaan dan kriminalitas kekerasan
seksual adalah anak-anak dan remaja. Tabel 14.1 menyajikan poin-poin demografi
terbaru (menurut Biro Kehakiman) terkait pelanggaran seksual oleh pelaku dewasa
dan remaja (Greenfield, 1997). Data penegakan hukum terbaru terkait kekerasan
seksual dari karakteristik anak dan pelaku berusia muda dikompilasi oleh Biro
Kehakiman pada tahun 19911996 (Snyder, 2000). Data ini dikompilasi dari NIBRS.
Terdapat dua basis data pada studi: yang pertama mencakup sekitar 61.000 korban,
dan yang kedua terdiri atas sekitar 58.000 pelaku. Data didasarkan pada laporan
kekerasan seksual anak-anak yang lebih muda ke sumber data penegakan hukum
seperti diberikan oleh 12 negara bagian dari 1991 hingga 1996. Data ini memberi
sejumlah besar informasi terkait karakteristik korban dan penyerangan yang akan
berguna bagi pembaca yang tertarik, tetapi yang kami fokuskan di sini adalah data
terkait pelaku.
Tabel 14.2 menunjukkan data yang khusus untuk pelaku pelecehan sesual usia
remaja.
Tabel 14.3 menyajikan kemungkinan sampel data profil korban/pelaku berdasarkan
data statistik NIBRS. Data ini digunakan peneliti untuk menentukan faktor-faktor
risiko yang berhubungan dengan kecenderungan pengulangan tindakan.
Hakim Agung Luis Perez adalah hakim di Pengadilan anak Worcester di Worcester,
Massachusetts. Hakim Perez baru-baru ini menunjuk bahwa pengadilan saja tidak
akan mampu memecahkan masalah sosial seperti kriminalitas remaja. Hakim Perez
membuat komentar yang menyadarkan banyak orang sebagai berikut:
Sejak 1984, tedapat peningkatan 68 persen pada catatan di pengadilan anak
secara nasional. Sejak 1987, remaja yang ditahan dan dimasukkan ke institusi
negara bagian telah meningkat dari sekitar 90.000 menjadi 400.000 pada tahun
2002. Sistem ini diperumit oleh meningkatnya kepadatan penduduk, dan
kurangnya staf di ruang sidang, program terapi, dan fasilitas detensi. Kegagalan
untuk berinvestasi pada anak sekarangdan pada titik paling dini yang
memungkinkan untuk intervensidapat menyebabkan tingginya biaya di masa
depan akibat peningkatan kriminalitas dan kemunduran sosial. Ini membuat tiap
negara bagian harus menghabiskan sekitar $6000 per tahun untuk mengedukasi
anak. Meskipun begitu, negara bagian akan menghabiskan lebih dari $30.000
per tahun untuk menahan anak di fasilitas residensial (termasuk penjara).
Tampaknya akan efektif biaya untuk berinvestasi pada intervensi dini untuk
mencegah anak-anak ditahan oleh negara bagian, jauh dari keluarganya. (Perez,
2003, p.5)
Pencapaian model etiologis terintegrasi dari pelaku kekerasan remaja terus menjadi
petualangan yang sulit dipahami (Bischof dan Rosen, 1997; Marshall, 1996;
Marshall, 2000; Marshall dan Marshall, 2000; Quinsey dan Harris, 1998; Ryan,
1997b). Berdasarkan berbagai penelitian pada pelaku pelanggaran seksual, Marshall
dan koleganya berhipotesis bahwa pelaku prospektif memiliki kualitas hubungan
yang buruk dengan figur pengasuh pada masa kanak-kanak (Barbaree, Marshall, dan
McCormick, 1998; Marshall, 2000). Penulis juga menyebutkan bahwa riwayat
pengasuhan yang buruk meningkatkan risiko viktimisasi seksual untuk anak. Korbankorban anak ini selanjutnya berisiko untuk menjadi pelaku potensial.
Selama masa remaja, latar belakang dinamika ini berkombinasi dengan fantasi
seksual yang umum terkait pubertas. Marshall telah mengamati bahwa riwayat
seksual JSO dicirikan oleh tingkat masturbasi yang tinggi sebagai cara koping dengan
stress. Peningkatan praktik masturbasi meningkatkan kecenderungan bahwa fantasi
seksual akan secara bertahap memasukkan elemen-elemen kekuatan dan kontrol.
Harga diri yang buruk adalah faktor yang berhubungan dengan riwayat JSO.
Dinamika ini menjadi latar untuk pola rangsangan seksual yang menyimpang pada
JSO (Hunter dan Becker, 1994; Kaermingk, Morales, Becker, dan Kaplan, 1995).
Menurut model etiologis Marshall, seiring waktu, fantasi pelaku menjadi semakin
menyimpang. Ketika sensasi nilai pelaku dan batasan sosial yang dimilikinya menjadi
terhambat karena alasan tertentu (misalnya tekanan sebaya, penyalahgunaan zat,
aktivitas geng, adanya korban oportunis, dll.), kecenderungan pelanggaran seksual
menjadi lebih mendesak. Paparan perkembangan awal pada keluarga yang abusif oleh
pelaku potensial akan menginduksi sindrom hendaya sosial (Barbaree et al., 1998).
Penulis menjelaskan faktor risiko komorbid untuk JSO mencakup kurangnya
kelekatan dengan orang dewasa yang sehat, harga diri yang rendah, dan partisipasi
pada berbagai perilaku antisosial. Karena ketidakmampuan untuk mengalami empati,
JSO prospektif memiliki kesulitan dalam memulai, dan kemudian mempertahankan
hubungan dekat yang dewasa (Curwen, 2003; Garlick, Marshall, dan Thornton,
1996).
Kasus legal terkait
Kasus legal terkait pelaku remaja secara umum bervariasi dan memotret pergumulan
upaya hukum untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan, misalnya, hak anak dan
kasus menjadi jauh lebih rumit (polisi, layanan perlindungan anak, pengadilan anak,
pengacara, hukum anak, petugas di kantor percobaan, klinisi yang terlibat secara
kolateral, dll.). Perhatian dan batasan etis dari klinisi yang bekerja dengan populasi
JSO cukup bermakna. Ini terutama penting jika JSO terlibat dalam tuntutan. Klinisi
harus memikirkan masalah-masalah budaya dan etis ketika bekerja dengan anak dan
keluarga (American Psychological Association, 2003; Hansen, Randazzo, Schwartz,
Marshall, Kalis, Frazier, Burke, Kershner-Rice, dan Norvirg, 2006; Smith,
Constantine, Dunn, Dinehart, dan Montoya, 2006). Masalah-masalah ini dapat
berhubungan dengan bagaimana JSO atau anggota keluarga menganggap sesuatu
sebagai layak dan tidak layak dalam hal perilaku seksual remaja. Dari persektif legal,
bagaimanapun, kebutuhan penegakan hukum inilah yang mendefinisikan apa yang
sah dan apa yang tidak sah.
Satu celah yang menonjol pada matriks dukungan untuk JSO adalah kekurangan
universal untuk sistem dukungan berbasis komunitas. Untuk hampir semua area
masalah yang dihadapi oleh anak dan remaja, terdapat layanan berbasis komunitas
untuk membahasnya. Sebaiknya, untuk JSO, masyarakat tampaknya cukup puas
dengan hanya memberi sedikit dana untuk program terapi JSO sebagai cara untuk
menjaga anak-anak tetap aman. Dilema etis dalam bekerja dengan anak dan
mungkin yang lebih penting dengan remaja umumnya terkait masalah seperti
kerahasiaan (etis) dan hak khusus (legal). Dalam bekerja dengan remaja yang usianya
lebih tua, utamanya, selalu ada masalah untuk menegakkan dan mempertahankan
aliansi terapetik dengan remaja sementara pada saat yang sama menghargai hak dari
orang tua/wali/anggota keluarga untuk memiliki akses pada informasi terkait anakanak mereka. Ini dapat sangat sulit pada kasus di mana komunikasi anak/orang tua
sudah buruk sebelumnya. Topik-topik seksualitas, viktimisasi anak, dan pelanggaran
seksual menyebabkan komunikasi orang tua ke anak/remaja menjadi lebih rentan dan
sensitif. Klinisi harus hati-hati untuk tidak membagi pengetahuan tentang seksualitas
atau nilai-nilai tentang seksualitas pada JSO yang hanya akan memperburuk masalah
yang ada. Yang terkait dengan hal ini adalah pertimbangan bahwa orang tua memiliki
tanggung jawab utama untuk mengajarkan seksualitas pada anaknya, dan klinisi harus
menjajaki masalah dengan hati-hati, dengan tetap menghargai tanggung jawab orang
tua ini.
Pada tiap upaya kolaborasi, klinisi harus hati-hati tentang informasi apa terkait pelaku
kekerasan seksual usia remaja yang tepat untuk diungkapkan, pada siapa, dan untuk
tujuan apa. Praktisi juga harus membuat upaya khusus untuk memastikan bahwa
pelaku dan wali yang bertanggung jawab tidak memiliki informed consent yang
ambigu tentang diseminasi apapun terkait informasi klinis, dan persetujuan ini perlu
dilakukan secara tertulis menggunakan formulir tertulis yang dapat diterima.
Penjelasan perundang-undangan terkait pelanggaran seksual remaja dan hak korban
dan pelaku saat ini masih terus dikembangkan. Area-area sensitif terkait masalah
legal/etis, yang khusus untuk populasi pelaku pelanggaran berusia remaja, mencakup
perintah legal untuk melaporkan dugaan kekerasan dan penelantaran. Masalah-
masalah lain yang perlu diperhatikan saat bekerja dengan populasi JSO meliputi
sebagai berikut:
a. Kebutuhan untuk pengenalan masyarakat terhadap pelaku pelecehan seksual yang
diadili, termasuk JSO (Zevitz dan Farkas, 2000a, 2000b, 2000c)
b. Prosedur-prosedur evaluasi sebelum peradilan dan untuk terapi involunter
(Roberts, Doren, dan Thornton 2002)
c. Prosedur-prosedur untuk penggunaan teknik-teknik kognitif perilaku
d. Prosedur-prosedur untuk penggunaan berbagai intervensi psikofarmakologis (Galli,
Raute, McConville, dan McElroy, 1998; Hunter dan Lexier, 1998)
e. Panduan prosedural untuk penggunaan teknik-teknik phallometric dan poligraf
Suatu area riset dan praktik yang kontroversial pada JSO adalah penggunaan
substansi psikoaktif untuk menurunkan atau mengendalikan risiko JSO. Meskipun
penggunaan obat dengan JSO adalah area yang potensial menjanjikan, diperlukan
lebih banyak riset untuk mengidentifikasi obat mana dan dosis apa yang memiliki
efikasi dalam menurunkan risiko JSO untuk residivisme. Mungkin manfaat primer
dari psikotropika dengan JSO adalah untuk melemahkan bentuk-bentuk komorbid
dari psikopatologi yang dapat mengeksaserbasi risiko JSO.
Pendekatan berbasis biologi lain yang kontroversial dengan JSO adalah kastrasi
kimiawi dari pelaku sebagai syarat percobaan atau pembebasan bersyarat (Miller,
1998). Kastrasi kimiawi adalah alternatif sementara untuk kastrasi bedah.
Penggunaan teknik-teknik kastrasi pada pelaku kekerasan seksual usia dewasa
memiliki sejarah legal yang panjang dan rumit (untuk kajian, lihat Miller, 1998).
Telah dilakukan upaya-upaya kastrasi farmakologis juga dengan populasi JSO.
Penggunaan teknik-teknik phallometric (Hunter dan Becker, 1994) dan poligraf
(Emerick dan Dutton, 1993) dengan JSO secara etis dipertanyakan untuk sejumlah
alasan. Alasan ini mencakup kemampuan kognitif JSO untuk memahami implikasi
legal dari keadaan mereka dan masalah-masalah terkait informed consent (Ilgen dan
Bell, 2001). Teknik-teknik phallometric cenderung mahal dan invasif. Phallometry
membutuhkan penggunaan stimuli seksual eksplisit, menimbulkan kekhawatiran
tentang pembelajaran kesadaran stimulasi seksual, terutama pada pelaku yang lebih
muda. Meskipun begitu, telah dilakukan riset phallometric dengan remaja (Becker,
Kaplan, dan Tenke, 1992; Becker, Stein, Kaplan, dan Cunningham-Rathner, 1992;
Hunter, Becker, dan Kaplan, 1995; Hunter, Goodwin, dan Becker, 1994).
Phallometry telah terbukti dapat membedakan ketertarikan pedofilik khusus di antara
para pelaku kekerasan seksual usia remaja dibandingkan bukan pelaku (Seto,
Lalumire, dan Blanchard, 2000). Inferensinya adalah bahwa temuan-temuan
phallometric dapat berguna sebagai satu aspek dari upaya evaluasi komprehensif
(untuk kajian, lihat Marshall dan Fernandez, 2001). Bagaimanapun, terdapat
konsensus bahwa teknik-teknik phallometric saja tidak secara empiris cukup untuk
penentuan apakah pelaku telah melakukan atau tidak melakukan pelanggaran seksual,
sebagian karena respons phallometric dapat salah (Harris, Rice, Chaplin, dan
Quinsey, 1998). Phallometry terus menjadi alat yang dipertanyakan untuk penilaian
forensik, hampir sama dengan penggunaan poligraf.
Kesalahan penggunaan instrumen psikologis dan aktuarial adalah area lain yang
potensial menyulitkan secara etis (Edens, 2001). Saat ini tidak ada instrumen
psikologis yang memiliki validitas untuk memprediksi derajat risiko pengulangan
oleh JSO. Namun, terdapat sejumlah instrumen yang tampaknya menjanjikan.
Penggunaan apapun dari instrumen ini harus bijaksana, dan laporan forensik perlu
menggabungkan pernyataan-pernyataan yang teliti, yang mengenali keterbatasan
instrumen-instrumen ini. Terdapat sejumlah instrumen psikologis terstandarisasi yang
dapat dan perlu digunakan pada pelaku remaja terkait fungsi psikologis umum, juga
evaluasi untuk kemungkinan psikopatologi komorbid (Kafka dan Hennen, 2002;
Lalumire, Harris, Quinsey, dan Rice, 2005b; Poirier, 2002).
Semua penggunaan dan pengembangan instrumen psikologis untuk penilaian pelaku
pelanggaran seksual harus mematuhi standar yang diberikan oleh American
Educational Research Association (AERA) (1955, 1999), American Psychological
Association (APA), (1954, 1966, 1974, 1985, 2002), dan National Council on
Measurement in Education (1995). Luaran potensial baik untuk pelaku dan korban
secara sederhana bisa buruk jika instrumen tes disalahgunakan. Sebagian besar
disiplin kesehatan jiwa telah profesional telah menegakkan panduan etis untuk
praktisi. Misalnya, psikolog harus mematuhi standar etis American Psychological
Association (2002) dan psikolog forensik harus mematuhi standar Committee on
Ethical Guidelines for Forensic Psychologists (1991).
Mengupayakan metode dan aplikasi berbasis empiris
Identifikasi tipikal dari JSO biasanya terjadi ketika pelanggaran pertama terjadi. Pada
titik ini atau setelah titik inilah klinisi umumnya akan terlibat dengan JSO. Pada bab
ini, kami mengidentifikasi sejumlah faktor risiko statistik dan yang ditegakkan
melalui riset yang secara empiris, yang tampaknya berhubungan dengan pelanggaran
seksual remaja. Bagaimanapun, tidak ada dari karakteristik ini, baik secara tunggal
atau dalam kelompok atau pola yang ditentukan, telah terbukti benar-benar prediktif
untuk pelanggaran seksual oleh remaja. Kami akan meringkas uraian ini untuk
mengembangkan pendekatan aktuarial untuk menilai risiko JSO pada bagian
Penilaian Risiko.
Penilaian diagnostik
Berbagai pendekatan telah dijelaskan untuk penilaian JSO (Bonner, Marx, Th
ompson, dan Michaelson, 1998; Bourke dan Donahue, 1996; Quinsey dan Lalumire,
2001; Ross dan Loss, 1991; Stickrod, Gray, dan Wallace, 1992; Zussman, 1989).
Pendekatan ini meliputi sistem taksonomi (Butler dan Seto, 2002; Gray, Pithers,
Busconi, dan Houchens, 1997; OHalloran et al., 2002) dan klasifikasi kontinuum
(Johnson dan Feldmeth, 1993). Pendekatan-pendekatan ini juga mencakup klasifikasi
skema untuk penempatan JSO pada model terapi multidisipliner atau multifasilitas
(McGrath, Cumming, dan Holt, 2002). Sejumlah upaya dini telah dilakukan untuk
menegakkan pola atau jenis yang dapat dipahami di antara para pelaku pelecehan
seksual usia remaja (Gray et al., 1997; Johnson dan Feldmeth, 1993; Knight dan
Prentky, 1993; Simourd, Hoge, Andrews, dan Leschied, 1994). Terdapat pengajuan
skema klasifikasi (MacHovec dan Wieckowski, 1992; OBrien dan Bera, 1986).
Seiring waktu, upaya-upaya ini tidak dianggap terlalu membantu; JSO adalah
populasi yang terlalu heterogen untuk dapat dikategorikan secara sederhana. Studistudi lain mengaji profil retrospektif pemuda yang mungkin berisiko menjadi korban
JSO (Berliner dan Conte, 1990; Faller, 1989a; Green, Ramelli, dan Mizumoto, 2001;
Rice, Harris, dan Quinsey, 2002). Penerapan instrumen pemeriksaan psikologis
standar untuk membantu penilaian JSO telah tercatat dengan baik (Curnoe dan
Langevin, 2002; Dalton, Ruddy, dan Simon-Roper, 2003; Hunter et al., 1995; Hunter,
Becker, Kaplan, dan Goodwin, 1991; Hughes, DeVille, Chalhoub, dan Romboletti,
1992; Kraerner, Spielman, dan Salisbury, 1997; Losada Paisley, 1998). Namun, testes standar yang tersedia, tidak secara langsung membahas masalah-masalah dasar
dari status psikoseksualitas atau risiko residivisme.
Penilaian pelanggaran JSO harus mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual dan
situasional. Misalnya, konteks yang akan berarti satu hal untuk pelaku dewasa,
membujuk untuk melakukan hubungan dengan remaja di Internet, misalnya, dapat
memiliki makna yang sepenuhnya berbeda untuk remaja (Lalumire, Harris, Quinsey,
dan Rice, 2005a). Beberapa peneliti telah menekankan pentingnya berhati-hati
tentang masalah-masalah perkembangan pada penilaian dan terapi JSO (Harnett dan
Misch, 1993; Pithers et al., 1995; Prescott, 2004; Quinsey dan Rice, 1993).
Kemampuan kognitif, kematangan sosial-emosional, dan pemahaman moralitas dapat
memiliki variasi yang sangat bermakna pada tingkat perkembangan yang berbeda.
Selain itu, tingkat perkembangan menentukan kesiapan fisik dan kesadaran seksual
psikologis pada anak/remaja. Satu studi menemukan bahwa pelaku inses dewasa
dengan korban yang lebih muda (<6 tahun) umumnya lebih menunjukkan
psikopatologi dibandingkan mereka yang korbannya lebih tua (>12 tahun).
(Firestone, Dixon, Nunes, dan Bradford, 2005). Sejumlah penulis telah mencatat
pentingnya klinisi untuk tetap tahu informasi tentang evolusi yang terus terjadi terkait
standar-standar legal untuk masalah JSO (Doren, 2002; Winick dan La Fond, 2003;
Witt, DelRusso, dan Ferguson, 1996).
Lanyon (2001) mengajukan skema enam bagian yang ringkas dan berguna untuk
mengorganisir area-area pencarian klinis ketika menilai pelaku pelanggaran seksual.
Pertanyaan-pertanyaan untuk penilaian dapat diringkas sebagai berikut:
1. Lakukan identifikasi pada karakteristik psikologis umum dari pelaku dengan
penekanan pada psikopatologi komorbid apapun. Yang penting terhadap penilaian
apapun adalah basis data yang berisi informasi biografis komprehensif terkait pelaku
untuk mencakup data dari sumber daya kolateral. Lanyon juga menyarankan bahwa
tes-tes psikologis terstandarisasi seperti Minnesota Multiphasic Personality
Inventory, Millon personality instruments, dan yang lain, dapat berguna dalam
menilai psikopatologi komorbid pelaku. Ia mencatat bahwa data biografis membantu
dalam menguji validitas temuan-temuan pemeriksaan.
2. Penilaian untuk minat seksual menyimpang pada pelaku. Klinisi harus menentukan
seberapa kuat minat yang menyimpang tersebut, dan bagaimana jika dibandingkan
dengan pelaku dengan minat seksual yang tidak menyimpang. Sejumlah instrumen
sejarah pelaku sebelumnya dan tingkat fungsi JSO saat ini seperti dinilai oleh klinisi.
Pendekatan ini dapat rancu akibat bias klinisi dan interpretasi klinisi yang potensial
salah. Karena risiko yang berkelanjutan, pendekatan ini harus digunakan dengan
batasan yang sesuai dalam hal masalah forensik (Harris dan Rice, 2003; Quinsey, V.
L., Lalumire, M. L., Rice, M. E., dan Harris, G. T., 1995). Kropp, Hart, dan Belfrage
(2004) berkomentar tentang pendekatan pembuatan keputusan klinis tak terstruktur
seperti berikut: Rekomendasi untuk strategi-strategi perbaikan manajemenjika
memang adadapat lebih diarahkan pada preferensi pelatihan, dan bias dari penilai
dan bukannya pada (1) pertimbangan yang masuk akal dari faktor risiko dinamika
dan krimonogenik (misalnya relevansi terhadap kriminalitas), dan (2) strategi-strategi
intervensi yang valid secara empiris atau yang dapat diterima di lapangan. Klinisi
yang praktik berhadapan dengan kenyataan bahwa banyak area khusus penilaian
risiko untuk perilaku agresif atau kekerasan tidak memiliki instrumen penilaian yang
dikembangkan secara formal. Pada keadaan ini, klinisi secara esensial tidak memiliki
pilihan selain untuk menggunakan pembuatan keputusan klinis tak terstruktur sebagai
upaya untuk membantu penilaian risiko dan berkontribusi pada rencana manajemen.
Temuan-temuan penilaian tersebut, bagaimanapun, perlu menggambarkan dengan
jelas keterbatasan upaya klinis dan berhati-hati dalam mempertahankan temuantemuan.
Tujuan model penilaian aktuarial adalah untuk memberikan pendekatan yang
memperbaiki kurangnya reliabilitas dan validitas dari pendekatan klinis tak
terstruktur (Quinsey dan Harris, 2006b). Penilaian aktuarial membandingkan risiko
kekerasan pada individu dengan suatu kelompok referensi dari pelaku yang diketahui.
Faktor risiko pelaku ditotal dan kemudian dibandingkan untuk menegakkan normal
untuk kelompok referensi. Satu keterbatasan dari penilaian aktuarial adalah
temporalitasnya yang menetap. Faktor risiko yang diperkirakan berasal dari interval
waktu yang menetap dan karenanya memiliki nilai prediktif untuk interval yang
terbatas. Heilbrun (1997) mencatat penggunaan praktis model berorientasi
manajemen untuk penilaian risiko dibandingkan model prediksi. Model
manajemen untuk penilaian risiko berupaya untuk menyesuaikan kebutuhan pelaku
dengan sumber daya yang tersedia, berlawanan dengan untuk mencoba
memprediksi risiko pelaku dengan cara yang terkuantifikasi. Yang disebutkan
belakangan mungkin lebih sulit dipahami. Aspek yang mendefinisikan dari skala
risiko aktuarial adalah bahwa item-item mengalami pembobotan dan
dikombinasikan berdasarkan algoritma yang menetap dan eksplisit (Kropp, Hart, dan
Belfrage, 2004). Karenanya, dengan skala risiko aktuarial, tidak penting apakah isi
skala disusun secara empiris atau didasarkan pada intuisi klinis. Ketika menggunakan
pendekatan aktuarial, klinisi mempertimbangkan sekelompok faktor risiko menetap,
dan bukan parameter lainnya. Karakteristik yang disebutkan belakangan adalah
kekuatan pendekatan aktuarual, dan pada saat yang sama merupakan keterbatasan
yang utama.
Penilaian profesional terstruktur adalah suatu upaya untuk mengkombinasikan
kekuatan relatif dari penilaian klinis tak terstruktur dan penilaian aktuarial (Douglas
dan Kropp, 2002; Harris, Rice, dan Quinsey, 1998). Kropp et al. (2004) mencirikan
penilaian profesional terstruktur sebagai berikut:
Di sini, penilai harus melakukan penilaian berdasarkan panduan yang
mencerminkan pengetahuan teoretis, profesional, dan empiris tentang
kekerasan. Panduan tersebut menjelaskan kelompok minimum faktor risiko
yang harus dipertimbangkan pada tiap kasus. Panduan umumnya juga akan
mencakup rekomendasi untuk mengumpulkan informasi (misal penggunaan
sumber multipel dan metode multipel), mengkomunikasikan opini, dan
menerapkan strategi-strategi pencegahan kekerasan.
Pendekatan penilaian profesional terstruktur tidak mengeliminasi intuisi klinisi, tetapi
melengkapinya dengan pertimbangan dari data faktor risiko yang berasal dari
berbagai sumber, berbasis aktuarial. Menurut Douglas dan Kropp (2002), tujuan
utama dari penilaian profesional terstruktur adalah pencegahan kekerasan. Penilaian
profesional terstruktur berupaya mencegah kekerasan dengan identifikasi sistemik
dari faktor risiko statik dan dinamis (Kropp et al., 2004). Karena ketergantungannya
pada penilaian aktuarial, pendekatan ini dianggap cukup kuat secara empiris.
Permintaan penilaian psikologis JSO dapat terjadi pada berbagai poin pada proses
peradilan remaja (Prentky, Harris, Frizell, dan Righthand, 2000). Pada sebagian besar
keadaan, petugas hukum akan lebih tertarik dengan estimasi risiko dibandingkan
penilaian klinis yang lebih konvensional. Penilaian risiko dipasangkan dengan
strategi-strategi yang dirancang untuk mencegah residivisme adalah area-area yang
telah menerima perhatian cukup signifikan dari peneliti (McCarthy, 2001; Pecker,
Harris, dan Sales, 1993; Smith dan Monastersky, 1986; Vizard, Monck, dan Minsch,
1995; West, 2001). Penilaian risiko perlu bersifat komprehensif, terdokumentasi baik,
dan mempertimbangkan masalah-masalah manajemen risiko. Studi-studi penilaian
risiko telah mencakup kombinasi metode-metode aktuarial dan klinis tradisional.
Beech, Fisher, dan Thornton (2002) meringkas empat kategori faktor risiko luas yang
telah teridentifikasi pada literatur penilaian risiko untuk pelaku pelanggaran seksual.
Keempat kategori tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor disposisional, termasuk gambaran gangguan kepribadian psikopatik,
antisosial, atau lainnya yang menonjol.
b. Faktor historis, termasuk trauma pada masa perkembangan, riwayat terdahulu
untuk aktivitas kriminal atau kekerasan, riwayat psikiatri sebelumnya, dan riwayat
terkait kepatuhan terhadap terapi.
c. Pendahulu kontekstual untuk kekerasan, termasuk faktor risiko untuk perilaku
kriminal, keterlibatan pada jejaring sosial yang menyimpang, dan kurangnya
dukungan sosial yang positif.
d. Faktor klinis, termasuk diagnosis psikiatri, tingkat fungsi yang buruk, dan
penyalahgunaan zat.
Kami mencatat bahwa contoh-contoh untuk sebagian besar faktor ini teridentifikasi
pada data yang dicakup pada Tabel 14.1 hingga 14.3. Terdapat debat yang cukup
bermakna dalam evolusi riset penilaian risiko tentang kebutuhan untuk melakukan
analisis di luar pertimbangan faktor risiko statis, yang secara esensial tidak berubah
seiring waktu, dan untuk menempatkan lebih banyak penekanan pada faktor risiko
dinamik (Craig, Browne, Stringer, dan Beech, 2005; Dvoskin dan Heilbrun, 2001;
Douglas dan Skeem, 2005; Quist dan Matshazi, 2000). Quinsy dan Lalumire (2001)
menyarankan bahwa selain faktor risiko statik dan dinamik, faktor risiko proksimal
(dari pelanggaran) juga penting. Skeem dan Mulvey (2002) menjelaskan keadaan
risiko sebagai konsep yang mencakup faktor risiko statik dan dinamis. Faktor risiko
dinamik (misalnya penyalahgunaan zat, baru-baru ini memiliki senjata, munculnya
korban yang rentan, dll.) adalah yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Faktorfaktor risiko dinamis karenanya lebih cenderung prediktif secara iminens untuk
kecenderungan perilaku kekerasan. Heilbrun (1997) berpendapat bahwa faktor-faktor
risiko dinamik paling berhubungan dengan upaya untuk mencapai penurunan
kekerasan (dan manajemen kekerasan), dan bukannya untuk prediksi kekerasan.
Beech et al. (2002) menjelaskan suatu bingkai kerja untuk mengintegrasikan
penilaian aktuarial dan berbasis klinis. Mereka menyarankan mengkombinasikan tiga
strategi penilaian utama: (1) analisis fungsional, (2) penilaian risiko aktuarial, dan (3)
peningkatan risiko dinamik. Tabel 14.6 menggarisbawahi komponen-komponen
penting dari ketiga strategi penilaian tersebut. Peneliti Kanada telah menjelaskan
sejumlah metode aktuarial untuk memprediksi risiko pelaku dewasa (Harris dan Rice,
2003).
Tabel 14.7 mengutip instrumen aktuarial pelaku seksual dewasa ini. Penggunaan
masing-masing instrumen ini terbatas oleh spesifisitas dari sampel validasinya
(misalnya pelaku dewasa yang ada di tahanan, residivis kontak versus nonkontak,
pelaku pelanggaran seksual yang menggunakan kekerasan versus non kekerasan,
dsb.). Kami menekankan bahwa penggunaan instrumen aktuarial dewasa yang
dicakup pada Tabel 14.7 dengan JSO dapat sesuai karena, hingga kini, tidak ada
studi-studi validasi silang yang mendukung penerapan tersebut.
Hanson dan Morton-Bourgon (2005) baru-baru ini memperbaharui meta analisis
Hanson dan Bussire (1998) untuk studi-studi residivisme pelaku seksual. Penulis
mencatat bahwa studi 1998 didasarkan pada faktor risiko statis (misalnya historis).
Studi yang lebih baru menambahkan faktor risiko dinamik. Berdasarkan 82 studi
residivisme (1.620 temuan dari 29.450 pelaku pelanggaran seksual) penulis
mengidentifikasi preferensi seksual yang menyimpang dan orientasi antisosial
sebagai prediktor utama dari residivisme baik untuk pelaku pelanggaran seksual
dewasa dan remaja. Prediktor risiko utama untuk residivisme kekerasan adalah
orientasi antisosial. Ini juga merupakan prediktor utama untuk residivisme (apapun)
secara umum. Penulis mengidentifikasi faktor risiko dinamik yang yang memiliki
potensi menjadi target terapi yang berguna. Ini mencakup preokupasi seksual dan
masalah pengaturan diri secara umum. Sebaliknya, sejumlah variabel yang umumnya
dibahas pada program terapi JSO tidak memiliki hubungan dengan residivisme
kekerasan seksual. Ini mencakup kesulitan psikologis, penyangkalan kriminalitas
seksual, empati korban, dan motivasi yang dinyatakan untuk terapi.
Pengukuran-pengukuran aktuarial didasarkan pada tingkat perilaku kekerasan dan
rasio pemilihan atau keduanya. Tingkat dasar pada intinya mencerminkan prevalensi
jenis kekerasan, dan rasio pemilihan adalah proporsi orang yang diprediksi
menunjukkan kekerasan (Rice dan Harris, 1995; Quinsey, Harris, Rice, dan Cormier,
1998). Masalah muncul ketika instrumen menghasilkan estimasi negatif palsu dan
positif palsu.
Pembaharuan terbaru pada prediksi kekerasan adalah pada penerapan pengukuran
yang berasal dari receiver operating characteristics (ROC) (Beech et al., 2002; Harris
dan Rice, 2003; Hilton, Rice, dan Harris, 2006). Konsep ROC awalnya
dikembangkan untuk membantu deteksi sinyal (radar) bertahun-tahun lalu. ROC
adalah indeks terbaik dari akurasi prediktif dari suatu metode penilaian. ROC juga
dapat membandingkan kinerja prediktif dari berbagai instrumen (Rice dan Harris,
1995). Instrumen Ini memiliki kelebihan karena tidak adanya distorsi oleh variasivariasi pada tingkat dasar residivisme. Secara umum, dapat diinterpretasikan bahwa
residivis yang dipilih secara acak akan memiliki skor yang lebih menyimpang
dibandingkan nonresidivis yang dipilih secara acak. Ini bervariasi dari 0,5 (tidak ada
akurasi prediktif) hingga 1,0 (akurasi prediktif sempurna) (Beech et al., 2002).
Riset telah menunjukkan bahwa frekuensi kriminalitas dengan kekerasan termasuk
kriminalitas seksual menurun seiring usia (Barbaree et al., 2003). Wollert (2006)
mengamati bahwa kurva ROC untuk tes aktuarial untuk residivisme seksual tidak
mempertimbangkan efek dari magnitudo tingkat dasar (misalnya tingkat dasar yang
berbeda untuk kelompok usia yang berbeda) pada kinerja instrumen. Sebagai hasil,
informasi yang diberikan oleh instrumen residivisme kekerasan seksual tidak
mencukupi jika merujuk pada efisiensi instrumen untuk rentang tes kritis spesifik.
Berdasarkan MacArthur Study of Mental Disorder and Violence (Monahan,
Steadman, Silver, Applebaum, Robbins, Mulvey, Roth, Grisso, dan Banks, 2001),
kumpulan berbagai faktor risiko dapat relevan untuk kelompok usia yang berbeda.
Sebagai koreksi, Wollert merekomendasikan penerapan teorema Baye yang
memperluas rentang analisis ROC. Ketika diterapkan pada residivisme seksual,
teorema Baye memungkinkan penilai untuk menentukan average estimate (E) dari
tingkat dengan mana suatu kelas pelaku dengan skor aktuarialterutama, mereka
yang diklasifikasikan sebagai kemungkinan residivisakan kembali melakukan
pelanggaran. Penulis mengatakan bahwa teorema Baye sederhana untuk dihitung. Ini
membutuhkan tiga bagian informasi. Yang pertama adalah P (yaitu tingkat dasar)
atau Q (yaitu tingkat nonresidivisme menurut sampel, yang sama dengan 1 minus P)
pada populasi induk yang mencakup interval usia (A) tempat pelaku berada.
Informasi lainnya adalah T (yaitu, proporsi residivis yang diidentifikasi oleh tes) dan
F (yaitu proporsi nonresidivis) untuk skor yang dicakup oleh C (yaitu nilai pada
rentang kritis). Suatu formula statistik diaplikasikan pada nilai-nilai ini. Umumnya
instrumen-instrumen residivisme cukup akurat pada kelompok usia yang lebih muda
karena mereka memiliki tingkat dasar yang paling besar. Metode Bayesian membantu
memperluas akurasi ini pada kelompok usia yang lebih tua. Pengukuran aktuarial
menjanjikan untuk menegakkan hubungan antara faktor risiko dan pola pelanggaran
(Macpherson, 2003; Doren, 2004).
Beban tanggung jawab untuk menunjukkan kompetensi adalah pada klinisi. Dengan
JSO, terutama, klinisi harus memiliki keahlian dalam penilaian remaja dan
keluarganya. Keluarga juga perlu memiliki pelatihan dan pengalaman terkait
penilaian dan manajemen agresi seksual.
2. Ketika melakukan kerja forensik, sangat penting bagi klinisi untuk mengetahui
peran pastinya dan membuat upaya yang terorganisir untuk mempertahankan batas
peran tersebut. Klinisi juga harus berkomunikasi semenyeluruh mungkin, dan
sesering kebutuhan, tentang peran penilaian pada pelaku remaja dan orang tuanya.
Ketika melakukan kerja forensik, terdapat banyak sekali poin kepentingan dan
pemain yang berkompetisi sehingga klinisi dapat dengan mudah tergoda untuk
mengkompromikan masalah peran atau batas. Misalnya, seorang klinisi dapat
menyelesaikan penilaian yang diperintahkan pengadilan pada pelaku remaja. Semua
pihak yang berhubungan dapat dibuat senang dengan kerja klinisi. Belakangan,
sebagai bagian dari disposisi, terdapat undangan bagi penilai forensik untuk terlibat
dalam peran menterapi pada pelaku. Ini tidak tepat secara profesional dan etis karena
klinisi sebelumnya telah berada pada peran yang objektif, penilai netral, dan batas
dari peran tersebut tidak seharusnya dihilangkan karena adanya peran yang baru.
Kekhawatiran yang mendasar adalah bahwa perubahan pada peran klinisi dapat
membingungkan JSO dan keluarganya sehingga mengurangi efektivitas terapi.
3. Sebagai tindak lanjut dari poin di atas, jika klinisi melakukan evaluasi yang
diperintahkan pengadilan terhadap JSO, klinisi harus secara eksplisit menunjukkan
bahwa mereka tidak melayani dalam kapasitas terapi; klinisi bukan, dan tidak akan,
menjadi terapis pelaku remaja.
4. Kami telah menekankan di sepanjang bab bahwa penilaian yang tepat dari tertuduh
pelaku pelecehan seksual usia remaja harus mengakses sebanyak mungkin domain
fungsi yang mungkin. Selain informasi klinis dan perkembangan yang umum,
penilaian JSO perlu mencakup kajian domain riwayat kesehatan fisik, riwayat
psikoseksual, keluarga, intrapersonal, dan interpersonal.
5. Pengumpulan data dengan JSO juga harus mencakup data dari sebanyak mungkin
sumber penilaian sejauh yang dianggap relevan. Secara minimum, ini akan mencakup
wawancara klinis, tes dan instrumen psikologis, observasi perilaku (pada berbagai
latar jika memungkinkan), dan kajian menyeluruh dari semua informasi rujukan
termasuk laporan terdahulu dan catatan kasus.
6. Dapatkan informasi dari sebanyak mungkin sumber kolateral yang dianggap
relevan. Ini akan meliputi, tetapi tidak terbatas pada pelaku, keluarga pelaku, polisi,
petugas pembinaan remaja, petugas masa percobaan, pekerja kasus kesejahteraan
anak, dan tenaga profesional lain yang terlibat secara kolateral. Akhirnya, kami akan
menekankan nilai-nilai mewawancara korban dan anggota keluarganya. Sayangnya,
ini tidak selalu mungkin dilakukan karena berbagai alasan, di antaranya pengacara
korban keberatan terhadap praktik tersebut. Satu dari pendekatan terbaik adalah untuk
mencoba mengedukasi hakim anak tentang pentingnya memiliki akses pada korban
secara klinis/forensik. Jika kebutuhan sudah dipahami, pada situasi yang tepat, hakim
dapat bertanya pada korban jika mereka mau menjadi bagian dari evaluasi. Korban
dapat memberi tilikan yang sangat bermakna pada upaya penilaian risiko.
7. Klinisi perlu tetap up to date dengan riset estimasi risiko yang sedang berlangsung
dengan JSO. Penulis mencatat bahwa, saat ini sebagian besar riset estimasi risiko
terus dilakukan dengan pelaku pelecehan seksual dewasa. Klinisi perlu memahami
riset ini juga, tetapi tetap hati-hati tentang aplikasinya pada JSO.
8. Penting untuk sadar tentang koefisen reliabilitas dan validitas pada instrumen
penilaian risiko juga dengan riset longitudinal yang aplikatif. Pada saat ini, data
terkait JSO tidak banyak, dan keadaan ini perlu disebutkan pada laporan tertulis dan
kesaksian ahli.
9. Satu bagian dari tiap penilaian risiko adalah pertimbangan data dari instrumen
risiko aktuarial yang tervalidasi.
10. Klinisi perlu menyadari bahwa instrumen penilaian risiko, terutama yang
menggunakan faktor-faktor dinamis akan terbatas waktu terkait dengan periode
aplikasi.
Penilaian risiko manapun dapat menjadi kadaluarsa dibandingkan perubahan pada
faktor risiko; instrumen lain atau faktor risiko lain dapat lebih kuat.
Menghindari kesalahan evaluasi dan konsultasi
Sebagian besar pertimbangan ini terkandung pada diskusi yang terus berlanjut terkait
poin-poin dasar. Masalah yang penting di sini adalah untuk menghindari kesalahan
yang akan menurunkan atau menyangkal temuan dan opini klinisi. Seperti yang sudah
kami coba ilustrasikan, ini agak mudah untuk dicapai dengan pemikiran ke depan dan
pendekatan yang hati-hati. Bagian dari tiap pelatihan pengacara adalah belajar
bagaimana untuk menghadapi saksi ahli. Strategi studi primer dari banyak pengacara
adalah untuk menantang kesaksian ahli sebagai upaya untuk meminimalisir
dampaknya pada trier fakta. Selanjutnya, penggunaan saksi ahli telah menjadi salah
satu upaya utama, seacar nasional, finansial. Untuk sebagian besar klinisi,
bagaimanapun, keterlibatan pada proses pengadilan terkait JSO relatif lebih banyak
dilakukan.
Titik awal dari praktik profesional dalah untuk berpraktik dalam area kompetensinya.
Area-area kompetensi profesional yang terbatas harus dikenali segera. Ini adalah
strategi yang memungkinkan pegacara untuk menyudutkan dokter ketika berada di
bilik saksi. Jika ini terjadi, pengacara akan memposisikan ahli sebagai orang yang
berupaya menyembunyikan masalah-masalah dan karenanya menunjukkan keperluan
konsultasi tambahan sedini mungkin pada pemain-pemain utama dalam kasus.
Kecuali pada kasus yang banyak diekspos, rekomendasi tersebut biasanya akan
dilewatkan karena biaya, tetapi klinisi dapat selalu menunjukkan agar keterbatasan
tidak menjadi masalah, dan membuat rekomendasi remedial selama tahap awal upaya
penilaian.
Basis data klinisi harus komprehensif dan dapat dipahami dengan baik. Seringkali
basis data ideal tidak bisa didapat karena biaya atau ketidakmampuan individu kunci.
Sekali lagi, kesadaran tentang keadaan ini dan batasan yang diberikan pada temuan-
temuan ahli perlu dipahami. Pembahasan kami pada bagian sebelumnya terkait
mengakses informasi secara langsung dari korban merupakan contoh bagus dari
sumber data yang tidak selalu dapat diakses. Meskipun begitu, klinisi harus mampu
menyatakan bahwa ini akan menjadi bagian yang diperlukan dari basis data, dan
memberikan alasan kenapa saat ini data tersebut tidak bisa didapat.
Penggunaan tes-tes dan istrumen psikologis harus bijaksana dan memiliki dasar yang
kuat, dan klinisi perlu hati-hati tentang bagaimana data ini digabungkan dalam
temuan dan rekomendasi dan keterbatasan apa yang ada. Harapan yang umum adalah
bahwa ahli forensik akan membantu juri untuk mencapai temuan yang bermakna
terkait keterlibatan JSO pada situasi saat kejadian, dan kemudian membantu
pertimbangan disposisional.
Rencana manajemen yang direkomendasikan cenderung realistik dalam hal
kebutuhan klinis JSO dan terkait sumber daya yang tersedia dan dapat diakses.
Dengan anak dan remaja, ini selalu berarti mempertimbangan kepentingankepentingan orang tua dan konstelasi keluarga. Seringkali pada situasi ini, persepsi
keluarga akan bervariasi dari yang diindikasikan secara klinis. Meskipun begitu,
sebagian besar keluarga akan menghargai upaya untuk setidaknya mengenali
keterlibatan mereka juga minat mereka atas nama JSO.
Penting juga untuk menyeimbangkan presentasi dari rencana disposisional yang
direkomendasikan dengan aset atau kekuatan apapun yang dapat dimiliki JSO.
Laporan tertulis/kesaksian ahli perlu menunjukkan sensitivitas pada fakta bahwa
pelaku adalah anak/remaja yang dapat melakukan tindakan serius berupa tingkah laku
seksual yang salah, tetapi bahwa pada masa muda pelaku, tetap ada harapan untuk
rehabilitasi dan masa depan yang menyeluruh.
Pertimbangan terapi
Seringkali sulit untuk melibatkan JSO dalam terapi terutama ketika korban jauh lebih
muda (Dolan dan Fullam, 2005; Efta-Breitbach dan Freeman, 2004b; Perry dan
Orchard, 1992b; Seager et al., 2004). Terdapat berbagai alasan untuk hal ini, tetapi
yang utama adalah dinamika tabu budaya yang berhubungan dengan pelanggaran
seksual pada anak yang berusia lebih muda. Beberapa klinisi dapat terganggu dengan
pikiran untuk menggunakan penetapan pengadilan untuk melibatkan pelaku dalam
terapi. Namun dengan JSO, ini biasanya merupakan taktik yang efektif dan
diperlukan, dan klinisi perlu menyambut bantuan kolateral dari pengadilan dengan
populasi ini.
Telah ada penelitian yang berupaya mengidentifikasi masalah-masalah yang
membuat kondusif bagi JSO untuk mengenali kompleksitas pelanggaran seksual,
tetapi sebagian besar JSO akan terlibat pada penyangkalan atau hanya sebagian yang
menyadari kesalahannya (Faller et al., 2001). Masalah terapi awal yang umum
dengan JSO adalah klaim amnesia tentang keadaan saat perbuatan terjadi. Intervensi
terapi untuk mengatasi masalah ini telah dijelaskan (Marshall, Serran, Marshall, dan
Fernandez, 2005; Serran dan Marshall, 2005). Tujuan terapi yang paling utama
dengan JSO adalah mencegah residivisme (Marshall dan Serran, 2000). Terapi JSO
dimulai dengan identifikasi yang tepat terkait pola rangsangan seksual yang
menyimpang dan diagnosis adanya psikopatologi komorbid pada JSO (Firestone,
Bradford, Greenberg, dan Serran, 2000).
Secara historis, berbagai pendekatan terapi telah dijelaskan untuk JSO (Becker,
Harris, dan Sales, 1993; Camp dan Thyer, 1993; Erti dan McNamara, 1997; Flora,
2001; Freeman-Longo, Bird, Stevenson, dan Fiske, 1995; Kaplan, Morales, dan
Becker, 1995; Morenz dan Becker, 1995; Pecker, 1990; Pithers dan Gray, 1998;
Schwartz, 2003; Seabloom et al., 2003; Weinrott, Riggan, dan Frothingham, 1997).
Pendekatan terapi untuk para korban kekerasan seksual juga telah dijelaskan (Pharris
dan Nafstad, 2002). Modalitas terapi yang awalnya diajukan untuk JSO adalah
adaptasi pendekatan terapi yang terkenal sejak bertahun-tahun lalu untuk masalahmasalah klinis yang dianggap menonjol untuk JSO, misalnya, pendekatan terapi
untuk adiksi dan perilaku agresif, juga menegakkan pendekatan terapi untuk pelaku
pelanggaran seksual dewasa. Modalitas populer lain yang diajukan adalah terapi
kelompok, kelompok pertemuan, kelompok keluarga multipel, terapi sendiri,
pengkondisian Pavlov, dan restrukturisasi kognitif. Saat ini, sebagian besar aplikasi
terapi ini tidak digunakan karena tidak efektif untuk populasi JSO.
Sebagian besar program terapi kontemporer untuk laporan JSO menggunakan
pendekatan kognitif perilaku (Kolko, Noel, Th omas, dan Torres, 2004; Winick dan
La Fond, 2003). Untuk kajian historis tentang pendekatan kognitif dan perilaku
seperti digunakan untuk pelaku pelanggaran seksual, lihat Laws dan Marshall (2003)
dan Marshall dan Laws (2003).
Pada tahun 1987, Davis dan Leitenberg menjelaskan tujuan terapi primer untuk
bekerja dengan JSO. Meskipun kadaluarsa pada beberapa hal, inti dari tujuan-tujuan
ini masih tetap relevan hingga kini, yang diringkas sebagai berikut:
a. Menurunkan penyangkalan dan meningkatkan penerimaan tanggung jawab untuk
pelanggaran seksual, termasuk penggunaan teknik-teknik konfrontasi kelompok
sebaya.
b. Meningkatkan pemahaman pemuda tentang dampak tindakannya pada korban.
c. Memberi tilikan untuk motif spesifik dan kejadian-kejadian yang sebelumnya yang
mempresipitasi pelanggaran seksual.
d. Jika diperlukan, fokus pada konseling tentang pengalaman viktimisasi seksual
pelaku remaja sendiri.
e. Pendidikan tentang seksualitas manusia, nilai-nilai seksual, dan peran jenis kelamin
f. Penggunaan teknik-teknik untuk mengeliminasi pola rangsangan dan fantasi
menyimpang, termasuk berbagai prosedur rekondisi masturbasi dan prosedur
pengkondisian aversif.
g. Restrukturisasi kognitif di sekitar dasar kepercayaan dan mitos destruktif yang
berhubungan dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual pada anak.
h. Pelatihan keterampilan interpersonal, berkencan, dan sosial. Pelatihan manajemen
kemarahan dan mengungkapkan pendapat.
j. Menggunakan terapi keluarga untuk mendukung perilaku pengasuhan yang positif
dan untuk reintegrasi pelaku dalam keluarga (mis. pada kasus inses)
Bunston (2000) menjelaskan bahwa banyak pelaku pelecehan seksual usia remaja
memiliki pengenalan terdistorsi yang mereka gunakan untuk membenarkan
perilakunya yang tidak layak. Distorsi ini mencakup sistem kepercayaan di mana
pelaku dapat secara magis menghubungakan perilaku mereka pada beberapa
kesalahan atau kecerobohan pada korban (Ward, Hudson, Johnston, dan Marshall,
1997). Satu metode untuk mengidentifikasi dan memantau distorsi ini adalah melacak
fantasi seksual JSO (Aylwin, Reddon, dan Burke, 2005). Strategi-strategi terapi harus
mencakup restrukturisasi distorsi ini.
Terapi juga perlu memfasilitasi kemampuan JSO untuk mengalami penyesalan dan
untuk mengalami empati pada masalah korban (Marshall, OSullivan, dan Fernandez,
1996). JSO biasanya membutuhkan banyak layanan kolateral selain terapi inti yang
khusus untuk pelanggaran seksual. Layanan ini dapat meliputi berbagai modalitas
psikoterapi, edukasional, dan rekreasional. Selain itu, terapi kolateral dapat meliputi
terapi penyalahgunaan zat, manajemen kemarahan, terapi keluarga, dan terapi
psikofarmakologi. Banyak JSO menunjukkan masalah dengan ekspresi kemarahan,
kontrol kemarahan, dan impuls sadistik dan akan membutuhkan terapi yang khusus
untuk masalah-masalah ini (Myers dan Monaco, 2000; Poirier, 1984, 1999a). Kerja
dengan populasi umumnya juga melibatkan upaya manajemen kasus yang kuat
dengan sumber daya kolateral yang tak terhitung. Selain itu, sumber daya kolaboratif
untuk klinisi dapat melibatkan petugas percobaan dan pembebasan bersyarat.
Bagaimanapun, terdapat kontroversi tentang derajat partisipasi aktual yang bisa dan
sebaiknya dilakukan PO dalam modalitas terapi, misalnya pada sesi terapi kelompok
sebaya atau modalitas terapi lainnya (McGrath et al., 2002).
Yang penting untuk proses terapi dengan JSO adalah aliansi terapetik yang bermakna
antara pelaku dan terapis. Terapi yang efektif dengan JSO diperkuat oleh pertemuan
kolaboratif dari gaya terapis dan persepsi pelaku tentang terapis (Marshall et al.,
2003, 2005). Teknik-teknik kognitif perilaku efektif dalam menyasar masalahmaslaah distorsi kognitif JSO, memungkinkan JSO untuk mencapai rasa empati bagi
korban, dan meningkatkan motivasi pelaku untuk mengadopsi ekspresi seksualitas
yang matang (Serran, Fernandez, Marshall, dan Mann, 2003).
Marshall dan koleganya mengeksplorasi masalah kualitas terapis yang dianggap
efektif untuk terapi dengan JSO. Gambaran yang umum dari terapis seperti empati,
kehangatan, dan bersifat mengarahkan dianggap membawa perubahan yang
diinginkan (Serran et al., 2003). Meskipun konfrontasi agresif pernah dianggap
sebagai hal yang penting dalam bekerja dengan pelaku seksual dewasa, ini tidak
efektif dengan JSO (Marshall et al., 2003). Terapi keluarga adalah komponen penting
lain dari terapi JSO meskipun tidak selalu dari awal (Kolko et al., 2004). Satu
masalah adalah bahwa merupakan keharusan untuk membahas selama terapi keluarga
tentang riwayat keluarga antar generasi apapun untuk perilaku JSO (Faller, 1989b;
Janus dan Walbek, 2000). Kami akhirnya berkomentar bahwa terapi JSO pada latar
komunitas (dan bukannya dengan penempatan pada fasilitas koreksional dan
residensial) membawa harapan bahwa penjagaan keamanan publik akan diberlakukan
(Douglas dan Skeem, 2005; Tarasoff v. Regents of California, 1976).
memiliki potensi untuk implikasi nyata untuk bekerja dengan populasi ini. Terdapat
juga riset yang semakin banyak untuk neurobiologi perilaku agresif (de Almeida,
Ferrari, Parmigiani, dan Miczek, 2005; Gollan, Lee dan Coccaro, 2005; Goodman,
New, dan Siever, 2004; Turecki, 2005). Baumbach (2002) menunjukkan bahwa JSO
yang memiliki riwayat paparan alkohol prenatal dapat membutuhkan modifikasi
strategi terapi. Studi-studi neurobiologis di masa depan dengan JSO akan cenderung
memberi penjelasan lebih lanjut pad hipotesis Baumbach terutama terkait prevalensi
dan dampak dari paparan alkohol fetus dengan JSO. Penulis mengantisipasi bahwa
riset neuropsikologis di masa depan akan memiliki dampak signifikan pada strategi
penilaian dan intervensi dengan JSO.
Kami telah berkomentar pada masalah khusus berupa distorsi dan penipuan ketika
bekerja dengan upaya penilaian dengan JSO (Hall dan Poirier, 2001). Peneliti
psikologis telah mengalami efek-efek distorsi (baik disengaja maupun tidak
disengaja) ketika berupaya untuk menilai kepercayaan yang menstigma secara sosial
(misalnya chauvinisme, homofobia, rasisme, dan penyerangan seksual). Subjek
cenderung tidak memberi respons objektif pada riset yang membahas topik-topik
tersebut, sehingga menyebabkan distorsi temuan. Berbagai upaya untuk mengatasi
masalah ini, juga teknik-teknik untuk mengukur kepercayaan dengan sarana indirek
atau implisit telah banyak dikembangkan. Gray, Bravn, MacCulloch, Smith, dan
Snowden (2005) menjelaskan suatu upaya pendahuluan dengan penggunaan mode
implisit pada pedofil dewasa. Subjek melihat stimulus kata-kata yang bersifat kontrol
dan target. Kata stimulus disajikan sebagai pasangan yang berhubungan pada suatu
layar komputer, dan subjek diminta untuk mengklasifikasikan kata-kata tersebut
sebagai seks atau bukan seks secepat mungkin. Waktu reaksi dan kesalahan
dianalisis secara statistik. Temuan-temuan menunjukkan bahwa subjek pedofil
menunjukkan hubungan yang lebih tinggi antara anak dan seks dibandingkan dengan
pelaku nonpedofil yang menunjukkan hubungan antara dewasa dan seks. Pendekatan
ini dapat menjanjikan untuk diterapkan (yaitu pada konteks nonforensik) dengan JSO
pada suatu upaya untuk membahas masalah kecenderungan subjek untuk salah, yang
selalu menghambat upaya evaluasi dan terapi. Prescott (2004) mencatat pentingnya
bagi klinisi dan peneliti untuk mempertahankan fokus pada kelancaran perkembangan
remaja. Contoh yang penting dari hal ini adalah nonlinearitas pertumbuhan
neurobiologis. Di masa depan, riset neuropsikologis dapat memberi lebih banyak
keterangan pada idiosinkrasi perkembangan ini. Sementara ini, upaya untuk
memahami JSO dalam bingkai kerja kolektif dapat tidak mencerminkan kejadian
perkembangan aktual oleh JSO secara individual.
Penilaian risiko dengan populasi JSO sedang berada pada tahap yang paling awal dari
perkembangan. Kami berharap masa depan untuk membawa semakin banyak
pembaharuan seiring semakin dikembangkannya strategi-strategi riset. Misalnya,
instrumen penilaian risiko akan dikembangkan secara khusus utnuk kelompok usia
remaja yang berbeda. Instrumen-instrumen yang secara khusus dapat digunakan
untuk populasi JSO juga akan semakin dikembangkan. Dapat dipahami bahwa
instrumen yang ada saat ini untuk JSO pria akan dapat diterapkan, atau diadaptasi
untuk JSO perempuan; bisa saja diperlukan instrumen yang sepenuhnya baru.
Masalah ini ada sebagian karena menurut data yang ada, JSO laki-laki secara
signifikan melebihi JSO perempuan (Greenfield, 1997; Snyder, 2000; Stroud,
Martens, dan Baker, 2000). Selain itu, terdapat perbedaan antar jenis kelamin pada
ekspresi agresi (Archer, 2004). Faktor lain yang mungkin berperan adalah bahwa
sistem hukum secara umum masih enggan untuk memenjarakan pelaku perempuan
dari usia berapapun dibandingkan pelaku laki-laki. Kenyataan ini memiliki efek
menekan yang nyata pada jumlah JSO perempuan yang teridentifikasi (Schwartz and
Cellini, 1995). Kami juga mengantisipasi bahwa masa depan akan mengarah pada
pengembangan instrumen penilaian risiko untuk populasi khusus lainnya misalnya
JSO yang mengalami retardasi mental, kecatatan fisik, dan gangguan jiwa
(Broxholme dan Lindsay, 2003).
Tidak seperti bentuk lain dari pelanggaran oleh pelaku usia remaja, saat ini tidak ada
program dukungan berbasis komunitas untuk mengintegrasikan JSO kembali ke
hidup yang normal di masyarakat (Faller dan Henry, 2000; Poirier, 1998). Meskipun
situasi ini secara historis dan budaya dapat dipahami, hal ini merupakan hambatan
penting untuk JSO dan keluarganya yang mungkin berupaya mencari terapi. Masalah
ini bahkan lebih besar untuk pedofil dewasa yang harus puas dengan register
pelaporan pelaku dan daftar website. Karena dorongan vonis legal yang dilaksanakan
baru-baru ini, JSO tertentu juga akan berurusan dengan daftar register. Poin kami di
sini, tentunya, tidak untuk menyarankan bahwa komunitas untuk bersikap tenang
terkait pelecehan dewasa maupun remaja. Justru, kami mencoba untuk menyarankan
bahwa pada JSO, utamanya, sebagian solusi terletak pada tingkat komunitas, yang
merupakan asal masalah. Mungkin masa depan akan membawa penerimaan yang
beralasan dan bijak oleh masyarakat ketika hal ini sudah ditempatkan dengan tepat.