Anda di halaman 1dari 18

Bab I

PENDAHULUAN

Obat merupakan zat kimia yang sering diberikan oleh para dokter
dalam penatalaksanaan suatu penyakit. Di dalam tubuh, setiap zat
dimetabolisme agar dapat digunakan oleh tubuh sesuai dengan fungsinya.
Hati adalah organ utama dalam metabolisme berbagai zat.
Obat yang kita telan

akan mengalami beberapa kali proses kimia

sebelum akhirnya dapat digunakan oleh tubuh. Obat diabsorbsi terlebih


dahulu di saluran cerna, kemudian zat-zat yang terkandung dalam obat
tersebut akan didistribusikan melalui darah untuk dimetabolisme di hati,
baru kemudian diekskresikan baik melalui ginjal maupun melalui feses.
Karena berbagai macam proses tersebut dan melibatkan banyak zat,
obat dapat menyebabkan intoksikasi pada organorgan tubuh. Peningkatan
kadar dosis obat yang digunakan juga berpengaruh terhadap derajat
intoksikasi. Namun, pada beberapa obat, ketergantungan obat tersebut tidak
berlaku. Hati sebagai tempat metabolisme seluruh zat yang ada di tubuh
menjadi sangat rentan mengalami intoksikasi. Meskipun pada hati sendiri
memiliki sistem hepatoprotektor, tetapi adakalanya sistem tersebut tidak
dapat membendung banyaknya zat yang masuk di dalam tubuh, sehingga
zat tersebut mempengaruhi sel hepar secara langsung.
Lebih dari 900 obat, toksin, dan jamujamuan telah dilaporkan
menyebabkan kerusakan pada hati. 20-40 % kerusakan hati yang disebabkan
oleh obatobatan menyebabkan kerusakan hati berat. 75% reaksi obat
idiosinkratik

mengharuskan

penatalaksanaan

transplantasi

hati

atau

kematian. Di Amerika, dilaporkan 2000 kasus gagal hati akut, dan 50%
diantaranya disebabkan oleh penggunaan obat.(1)

TB Paru - hepatotoksis

Obat-obatan

anti

tuberculosis

menyebabkan drug-induced

adalah

liver injury.

obat

yang

paling

sering

Berdasarkan laporan, insiden

hepatotoksisitas yang disebabkan oleh obat anti-TB berkisar antara 2.5%3.49%.

Namun

hal

ini

seringkali

diikuti

sedikit

peningkatan

dari

transaminase, yang mana kerusakan serius pada hepar terjadi kurang dari
5% kasus, dan perubahan yang pasti pada obat-obatan anti-TB yang
dibutuhkan hanya 1-2%. Insiden hepatitis meningkat berdasarkan umur,
mulai dari dibawah 1% pada pasien dengan umur kurang dari 20 tahun, dan
meningkat sampai 5% pada pasien umur 60 tahun. Faktor resiko lain dari
hepatotoksisitas adalah riwayat mengkonsumsi alcohol atau alcoholic liver
disease, hepatitis B dan C, terpapar substansi lain yang menginduksi enzim
sitokrom P450, peningkatan transaminase atau bilirubin dan kemungkinan
ko-infeksi dari HIV. Akibat kematian yang disebabkan oleh obat-obatan antiTB paling banyak terjadi pada pasien lebih dari 50 tahun dengan faktor
resiko.
Dari obat lini pertama, Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid adalah
obat yang berpotensi hepatotoksik. Karena obat-obatan itu digunakan dalam
kombinasi,

maka

akan

sulit

untuk

menentukan

obat

mana

yang

menyebabkan reaksi hepatotoksisitas. Sering, seorang pasien dengan obat


yang sama setelah episode hepatotoksisitas tidak akan menyebabkan
kambuhnya gejala. Akibatnya, perkiraan mengenai pentingnya obat-obatan
sebagai penyebab hepatotoksisitas mungkin tidak begitu akurat. Pirazinamid
dengan insidens tertinggi menyebabkan hepatitis sekitar 0,5% per 1 bulan
therapy. Ketika diberi sendiri sebagai profilaksis selama 1 tahun, Isoniazid
menyebabkan peningkatan enzim hati sekitar 10% dan klinis hepatitis
sekitar 1% dimana insiden ini meningkat pada usia tua. Dalam pengobatan
TB aktif, ada bukti bahwa Isoniazid mungkin umumnya lebih terkait dengan
hepatitis

dibandingkan

menyebabkan
menyebabkan
2

hepatitis,

dengan

Rifampiain.

meskipun

hyperbilirubinaemia

TB Paru - hepatotoksis

lebih

Rifampisin

sering

terisolasi,

juga

isoniazid.
mungkin

dapat

Rifampisin
karena

penghambatan ekskresi bilirubin. Ethambutol dan Streptomisin jarang


menyebabkan kerusakan iiver.
Hepatotoksisitas dari isoniazid dianggap sebagai reaksi yang istimewa.
Hasil metabolisme Isoniazid di metabolit reaktif mengikat dan menyebabkan
kerusakan makromolekul sel hati. Sedikit peningkatan transaminase bersifat
asimptomatik, yang terlihat pada banyak pasien adalah hasil toksisitas
langsung dari metabolit hidrazin. Namun, pada beberapa pasien, ada lebih
banyak kerusakan hati serius, yang diperkirakan akibat pengalihan dari
metabolisme ke jalur yang berbeda melalui sistem sitokrom P450, bukti tidak
langsung menyatakan

bahwa acetylators lambat tampak lebih mudah

terjadi hepatotoksisitas yang serius yang disebabkan oleh Isoniazid. (2)

BAB II
ISI
I.

METABOLISME OBAT
3

TB Paru - hepatotoksis

Penyakit TB biasanya mempunyai fokal infeksi di paru-paru, kemudian


secara hematogen akan menyebar ke organ-organ lain seperti tulang, mata,
lien, ginjal dan lain-lain termasuk hepar. TB menyebar hingga ke hepar pada
2/3 penderita TB pulmonal. TB pulmonal dapat menyebar hingga ke hepar
pada 50-80% penderita dengan pertimbangan bahwa seperti halnya selsel
lain dalam tubuh, hepatosit bila mengalami trauma baik yang bersifat fisik
maupun kimiawi maka akan segera berupaya melakukan regenerasi.
Trauma pada tingkat sel akan mengakibatkan perubahan yang bersifat
irreversibel dalam waktu 2060 menit pertama. Perubahan irreversible yang
akan berakhir

pada

kematian sel meliputi

kerusakan membran

sel,

pembengkakan lisosom dan vakuolisasi mitokondria dengan penurunan


kapasitas pembentukan ATP. Deplesi ATP dan penurunan sintesis ATP
biasanya disebabkan oleh keadaan hipoksia dan trauma kimiawi (toksik). Bila
telah terjadi gangguan fungsi mitokondria dan membran sel, maka sel-sel
hepatosit akan mengeluarkan enzim-enzim transaminase. Peningkatan
enzim-enzim transaminase merupakan penanda dini hepatotoksik. 10
Hati memetabolisme setiap obat dan toksin yang masuk ke dalam
darah. Ada obat yang bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan hidrofilik (larut
dalam air). Obat yang bersifat lipofilik mudah diabsorpsi melalui membran
sel.

Sedangkan

obat

yang

bersifat

hidrofilik

mengalami proses biokimia di dalam sel hepatosit


untuk diinaktifkan dan mudah diekskresi melalui
urin.
Metabolisme obat ada 2 fase, fase pertama,
obat akan mengalami oksidasi atau hidroksilasi.
Pada fase ini yang berperan adalah enzim sitokrom
P-450 (CYP). CYP adalah suatu hemoprotein yang
terletak di retikulum endoplasma dari sel hepar.
Kurang lebih ada 50 jenis CYP yang penting untuk metabolisme obat. Setiap
enzim CYP dapat memetabolisme banyak obat. Pada fase kedua terjadi di
4

TB Paru - hepatotoksis

luar sel hepatosit, obat akan mengalami konjugasi dengan zat-zat yang akan
mempermudah kelarutan obat dalam tubuh (seperti asam amino, asetat,
sulfat, glutation, dan asam glukuronat).
Selanjutnya dimetabolisme, obat akan
diekskresikan sesuai dengan sifatnya. Obat
yang bersifat hidrofilik dan memiliki berat
molekul

yang

rendah, akan diekskresikan

melalui urin. Sedangkan pada obat yang


bersifat lipofilik dan memiliki berat molekul
yang tinggi, obat akan diekskresikan melalui
feses.4
Rifampisin 85-90% di metabolisme di
hati dan dan metabolit aktifnya diekskresikan melalui urine dan saluran
cerna, bekerja secara sinergis dengan INH. Pada penderita dengan kelainan
hepar akan ditemukan kadar Rifampisin serum yang lebih tinggi. Rifampisin
akan menginduksi sistem enzim sitokrom P-450 yang akan terus berlangsung
hingga 714 hari setelah obat dihentikan. Efek hepatotoksik dipengaruhi oleh
dosis yang digunakan, dan proses metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor
umur, jenis kelamin, lingkungan dalam lambung dan penyakit hepar. 9
Rifampisin dapat menghambat pengambilan bilirubin sehingga pada
pemeriksaan laboratorium akan ditemukan adanya peningkatan bilirubin
serum. Pada penelitian dilaporkan bahwa terjadi peningkatan bilirubin
sampai 7,4 mg/dl. Biasanya hepatitis akut yang disebabkan oleh Rifampisin
menggambarkan fungsi hati yang normal.

Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi


melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan
oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku
sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen).

TB Paru - hepatotoksis

Reaksi

obat

diklasifikasikan

sebagai

reaksi

yang

dapat

diduga

(intrinsic) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik


terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah
tertentu.

Reaksi

idiosinkratik

tergantung

pada

idiosinkrasi

pejamu

(terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan


kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).12

II.

KLASIFIKASI
Menurut WHO, hepatotoksik diklasifikasikan menjadi 4 grade:

Grade I ditandai dengan peningkatan SGPT 1,25 2,5 kali dari nilai normal.
Grade II, peningkatan SGPT 2,6 5 kali dari nilai normal.
Grade III, peningkatan SGPT 5,1 10 kali dari nilai normal.
Grade IV, peningkatan SGPT, >10 kali dari nilai normal. 3
Grade
Alkali

0
DBN

1
>BAN-2,5

fosfatase

DBN

Bilirubin

Normal

Bilirubin
berkaitan
dengan
graft-versushost disease
(GVHD)
untuk studi
transplantas
i,
sumsum
tulang, jika
disebutkan
khusus
dalam
protokol
GGT

2
>2,5-5 x BAN

3
>5-20 x BAN

4
>20 x BAN

BAN

>1,5-3 x BAN

> 3-10 x BAN

>10 x BAN

1-1,5 x BAN

>3-6

>

>15

>2-<3

mg/100ml

mg/100ml

100ml

>2,5-5 x BAN

>5-20 x BAN

>20 x BAN

Ada

6-15

mg

mg/100ml

DBN
Tidak ada
>BAN-2,5

BAN
-

Hepatomega

li
Catatan : Derajat hepatomegali hanya untuk efek samping berat berkaitan dengan
pengobatan termasuk penyakit oklusi vena
Hipoalbumin
DBN
< BBN 3 g/dl

>2-<3 g/dl

<2 g/dl

emia

Asterixis

Ensefalopati/k
oma

Normal

Disfungsi
6

/
TB Paru - hepatotoksis

gagal
hati
(klinis)
Aliran vena
Porta
SGOT (AST)

Normal

DBN

>BAN-2,5

DBN

BAN

Tidak ada

>BAN-2,5

x
x

Menurun

Retrograd

>2,5-5 x BAN

>5-20 x BAN

>2,5-5 x BAN

>5-20 x BAN

Sedang

berat

>20 x BAN
>20x BAN
Mengancam
nyawa/cacat

BAN

SGPT (ALT)

Ringan

Problem
hepatik
lainnya

Selain disebabkan drug induced hepatitis (DIH) akibat OAT, gangguan


hepar pada penderita TB yang ditandai oleh kadar SGOT & SGPT yang
meningkat dapat disebabkan oleh TB hepatobiliar. Tuberkulosis hepatobilier
merupakan penyebaran dari fokal infeksi TB di paru-paru, diperkirakan
terjadi hingga 80% penderita TB paru. Tuberkulosis hepatobilier biasanya
ditandai oleh kadar SGOT & SGPT yang meningkat sebelum diberikan
pengobatan tanpa disertai gejala-gejala klinis hepatitis.8

III.

OBAT

ANTI

TUBERKULOSIS

YANG

BERSIFAT

HEPATOTOKSIK
Obat anti tuberkulosis terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid,
Ethambutol dan Streptomisin. Yang memiliki efek hepatotoksik adalah INH,
Rifampisin dan Pirazinamid. Pasien dengan Hepatitis C dan HIV memiliki
resiko hepatotoksik 4-5 kali lebih besar. Sedangkan pada pasien dengan
karier HbsAg positif dan HbeAg inaktif dapat diberikan obat standar jangka
pendek dengan syarat pengawasan tes fungsi hati setiap bulan. Pasien TB
yang mendapat INH 10% mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase
dalam minggu pertama. Hanya 1% yang akan berkembang menjadi hepatitis
serupa hepatitis virus.6

TB Paru - hepatotoksis

Isoniazid (INH)

Sekitar 10-20% dari pasien selama 4 - 6 bulan pertama terapi, memiliki


gangguan fungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan SGOT, SGPT
dan konsentrasi bilirubin. Tetapi dalam beberapa kasus misalnya pada pasien
hepatitis, sub nekrosis hati serta kolestasis, jika diberikan Isoniazid
kerusakannya dapat menjadi progresif dan parah, terutama pada usia tua
dan pada individu yang mempunyai asetilisasi cepat. Asetil hidrazin, adalah
suatu metabolit dari Isoniazid bertanggung jawab atas kerusakan hati.
Isoniazid harus dihentikan apabila AST meningkat
menjadi lebih dari 5 kali nilai normal.

Rifampisin

Rifampisin 85% sampai 90% dimetabolisme di hati. Sebagian besar


dikeluarkan melalui saluran empedu, sekitar 10% penderita yang diberi
Rifampisin

memperlihatkan

peninggian

serum

transaminase,

bilirubin.

Rifampisin juga dapat menyebabkan peningkatan asimptomatik serum


transaminase pada sebagian penderita selain itu memperlihatkan efek
kolestatik. Rifampisin bekerja sinergis dengan Isoniazid pada hati dan dapat
menimbulkan ikterus serta peningkatan
asimptomatik kadar enzim aspartat dan amino transaminase.
-

Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat asam nikotinik, yang digunakan pada


pengobatan

tuberkulosis

jangka

pendek.

Pirazinamid

memiliki

efek

bakterisidal . Efek samping yang paling sering dijumpai pada pemberian


Pirazinamid

adalah

hepatotoksik

dan

juga

hiperurisemia.

Pirazinamid

merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen anti

TB Paru - hepatotoksis

tuberkulosa ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan


untuk 2 bulan pertama pengobatan.14

IV.

GEJALA DAN TANDA


Ada variasi yang besar dalam manifestasi drug-induced hepatotoxicity,

mulai dari peningkatan transaminase yang asimtomatik sampai kegagalan


hati fulminant. Gejala dapat terjadi hanya beberapa hari sebelum kerusakan
hati yang serius dan gagal hati. Yang termasuk gejala tersebut adalah gejala
kelelahan, kehilangan nafsu makan, malaise, mual, muntah, demam, myalgia
dan arthralgia. Peradangan hepar dapat bermanifestasi sebagai nyeri perut
atau rasa tidak nyaman dan nyeri di kuadran kanan atas, kadang-kadang
hepatomegali, tapi jarang asites. Gejala dari gagal hati termasuk penyakit
kuning, urin berwarna gelap, tinja pucat, kecenderungan perdarahan,
pruritus, dan sampai ke koma. Jaundice mungkin ditemukan terlambat dan
biasanya tidak terdeteksi secara klinis sampai kadar bilirubin serum paling
sedikit 51 mol / L (3,0 mg / dL), lebih dari dua kali batas atas normal.
Perubahan warna kuning mata lebih sensitif dibandingkan warna kulit,
terutama pada pasien berkulit gelap.2

V.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Hal ini penting untuk menentukan apakah obat anti-TB adalah

penyebab kerusakan hati atau apakah ada penyebab lain seperti hepatitis
virus. Diferensial diagnosa untuk anti-TB-drug induced liver adalah termasuk
penyebab infeksi seperti hepatitis virus A, B dan C, virus demam kuning,
virus

Epstein-Barr

dan

Sitomegalovirus,

penyakit

kuning

juga

bisa

disebabkan oleh infeksi bakteri, termasuk Pneumococci dan Leptospira, dan


infeksi parasit seperti Malaria, Schistosomiasis dan sejumlah parasit lainnya,
seperti Ascaris-lumbricoides, yang dapat menghambat duktus empedu.
Bahkan TBC itu sendiri dapat mempengaruhi hati. penyebab non-infeksi yang
perlu

dipertimbangkan

adalah

penyalahgunaan

alkohol

hepatotoksik lainnya seperti jamur dan klorinisasi hidrokarbon.


9

TB Paru - hepatotoksis

dan
2

zat-zat

VI.

DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosa suatu kelainan hepar akibat obat, yang harus


dinilai oleh seorang dokter adalah dari riwayat penggunaan obat dahulu,
reaksi yang timbul selama terapi diberikan dan setelah terapi dihentikan,
pengetahuan

akan

obat,

respon

terhadap

antidotum

obat,

hasil

uji

laboratorium, pengkajian obat dan penyakit.


Berdasarkan

International

Consensus

Criteria,

diagnosis

hepatotoksisitas imbas obat didasarkan atas :


1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awal
reaksi (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari
lima hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih
dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoselular dan tidak
lebih dari 30 hari untuk reaksi kolestatik).
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif
(penurunan enzim paling tidak 50% dari konsentrasi di atas normal
dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan konsentrasi enzim paling tidak
50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoselular dan 180 hari untuk
reaksi kolestatik).
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan
teliti, termasuk biopsi hati pada tiap kasus.
4. Dijumpai respon positif pada pemaparan ulang dengan obat yang
sama paling tidak kenaikan 2 kali lipat enzim hati.
Dikatakan adanya reaksi antar obat, jika semua tiga kriteria pertama
terpenuhi atau dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons
positif pada pemaparan ulang obat tersebut.7

VII. PEMERIKSAAN LANJUTAN

10

TB Paru - hepatotoksis

Penyelidikan harus diarahkan untuk menentukan penyebab dan sejauh


mana kerusakan itu telah terjadi. Penyelidikan yang dilakukan akan
tergantung pada sumber daya yang tersedia. Dalam banyak pengaturan
pada prevalensi TB yang tinggi, pasien dikelola berdasarkan tanda klinis
tanpa ketergantungan pada tes darah atau investigasi lainnya. Dalam
pengaturan yang lebih maju, orang akan melakukan sejumlah tes darah dan
studi pencitraan. Serum transaminase (AST, ALT) penting untuk menentukan
derajat dari kerusakan hati. Umumnya, kurang dari tiga kali lipat ketinggian
transaminase

menunjukkan

bahwa

obat

anti-TB

dapat

dilanjutkan,

sementara lebih dari tiga kali lipat ketinggian harus mengarah kepada
penghentian obat karena berpotensi hepatotoksik.
Tes serologis untuk hepatitis virus dapat dilakukan. Dalam satu waktu
prothrombin meningkat secara signifikan, diukur dengan international
normalized ratio (INR), dapat menunjukkan kerusakan hati yang parah,
terutama jika tidak berespon terhadap vitamin K, dan harus mengarah pada
konsultasi dengan hepatologis berkaitan dengan evaluasi untuk transplantasi
hati, jika tersedia.
Diagnosis diferensial berupa hemokromatosis harus dipikirkan karena
adanya

peningkatan

elemen

dari

feritin

dan

saturasi

besi.

Serum

seruloplasmin dapat diuji untuk meng-exclude degenerasi hepatolentikular


herediter, penyakit Wilson, yang paling sering bermanifestasi pada usia
dewasa muda dari remaja akhir ke awal dua puluhan. Ultrasonografi hati
tidak harus dilakukan kecuali dicurigai obstruksi empedu, misalnya jika ada
peningkatan alkalin fosfatase yang relatif tinggi dibandingkan transaminase.
Biopsi hati biasanya tidak dianjurkan.

VIII. MANAJEMEN
Pada

pasien

yang

sedang

mengkonsumsi

obat

anti-TB

yang

memperlihatkan tanda-tanda kerusakan hati, kita harus selalu mencurigai


hal itu disebabkan oleh obat anti-TB, kecuali ditemukan bukti yang
11

TB Paru - hepatotoksis

meyakinkan dari penjelasan lain, dan obat-obatan yang berkaitan dengan hal
tersebut harus dihentikan.
Ethambutol dan Streptomisin dianggap aman untuk pasien karena
memang Ethambutol jarang menyebabkan hepatitis dan Streptomisin tidak
menyebabkan hepatitis. Di antara obat lini kedua, Ethionamide, Asam ParaAmmosalicylic (PAS), dan Fluoroquinolones lebih jarang dapat menyebabkan
hepatitis. Kerusakan hati yang parah dapat mendahului gejala lain dengan
hanya beberapa hari, penting bahwa hepatotoksisitas berat diketahui
sesegera mungkin karena keterlambatan menghentikan OAT meningkatkan
risiko kematian. Ada beberapa cara untuk pengulangan kembali pengobatan,
baik berkaitan dengan waktu dan pemilihan obat. Sekali OAT telah
dihentikan, upaya-upaya harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
lain dari hepatitis termasuk alkohol dan hepatitis virus.2
Penatalaksanaan drug induced hepatitis :
-

Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop

Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop

Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 OAT Stop

SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop

SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ).
Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis
penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh ,
bila klinik dan laboratorium normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis
penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES. Pirazinamid tidak boleh
diberikan lagi. Bila diperlukan, dosis rifampisin 600 mg dapat diberikan kepada penderita TB
tanpa memandang berat badan dan tanpa perlu mengkhawatirkan hepatotoksik.11

12

TB Paru - hepatotoksis

IX.

WAKTU REINTRODUKSI OAT

Jika tes darah untuk menilai fungsi hati tersedia, reintroduksi OAT
dapat dimulai segera setelah tes fungsi hati telah normal. Namun, dalam
keadaan beban yang

tinggi, pengujian laboratorium

dan tes fungsi hati

mungkin tidak dapat dilakukan. Dalam situasi ini, pengobatan sesuai gejala.
Biasanya, penyakit kuning dan gejala lain akan berkurang dalam 1-2 minggu.
WHO merekomendasikan bahwa reintroduksi OAT dilakukan 2 minggu
setelah penyakit kuning hilang.

X.

REGIMEN SEMENTARA SEBELUM REINTRODUKSI OAT


Jika pasien sakit parah, pasien mungkin mati jika dibiarkan tanpa

pengobatan sampai penyakit hepatitisnya selesai. Pada pasien tersebut,


pengobatan harus diberikan dengan dua atau tiga obat antihepatotoksik,
antara lain Streptomisin, Ethambutol dan Ofloxacin. 5 Regimen ini sementara
akan cukup untuk mengendalikan infeksi, pada saat yang sama punya faktor
resiko rendah dari Basil TB yang resisten. Jika pasien tidak memiliki penyakit
kuning, tetapi hanya malaise dan mual, Rifampisin dapat dilanjutkan.

XI.

PEMILIHAN OAT SETELAH PENYAKIT KUNING /


HEPATITIS

Prinsip umum adalah, once the drug-induced hepatitis has resolved, to


introduce the same anti-TB drugs one at a time. Seringnya adalah
memberikan

semua pengobatan tanpa melihat kekambuhan

hepatitis.

Sementara Rifampisin mungkin menyebabkan hepatitis, biasanya dimulai


dengan pemberian Isoniazid. Salah satu alasan untuk hal ini adalah bahwa
Rifampisin sering menyebabkan penyakit kuning asimptomatik, yang, jika itu
terjadi ditafsirkan sebagai kekambuhan hepatitis dan dengan demikian akan
menunda

pengenalan

efektif

kemoterapi

dengan

Isoniazid.

Ketika

pengulangan kembali Isonoazid, diberikan dosis awal 50mg per hari. Jika
tidak ada gejala kambuh atau tanda tanda kerusakan, dosis dapat
dinaikkan menjadi 100mg per hari selama 4 hari, lalu dinaikkan kembali
13

TB Paru - hepatotoksis

menjadi 200mg pada hari ketujuh, dan diberikan dosis penuh dari hari ke14.5
Pasien harus dimonitor selama 1 minggu, dan, jika obat tersebut dapat
ditoleransi,

selanjutnya

dapat

dipertimbangkan

kembali

pemakaian

Rifampisin. Jika Isoniazid dan Rifampisin ditoleransi dengan baik selama


beberapa

minggu,

Pirazinamid.

Namun,

boleh
jika

mempertimbangkan
ada

hepatitis

menyarankan menghindari pemberian

dengan

kembali
sakit

pemakaian

kuning,

WHO

Pirazinamid. Jika Pirazinamid telah

diberikan selama 2 bulan sebelumnya, tidak perlu untuk mengulang obat ini,
karena tidak digunakan untuk pengobatan fase selanjutnya. Penyakit kuning yang
asimptomatik sering karena pemakaian Rifampisin. Jika Pirazinamid dan Rifampisin
perlu dihindari, maka digunakan 2SHE/10HE.

XII.
1.

KOMPLIKASI

Peningkatan tekanan di vena porta


Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta.
Jika ada kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan
sirkulasi darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada
vena porta.

2.

Pelebaran vena
Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir
kembali ke perut, esophagus dan traktus intestinal bagian bawah.

3.

Jaundice
Terjadi jika ada peningkatan bilirubin.

4.

Sirosis
Adalah kondisi hati yang serius dan irreversible.13
Di antara pasien yang mengalami peningkatan transaminase yang

tinggi , sekitar sepersepuluh dapat berlanjut ke hepatotoksisitas berat dan


14

TB Paru - hepatotoksis

kerusakan hati

jika obat yang merusak tidak dihentikan. Lagi pula,

sepersepuluh pasien dengan kerusakan hati

akan meninggal jika

tidak

dilakukan transplantasi.

XIII. PENCEGAHAN
Pemantauan klinis setidaknya dilakukan setiap bulan. Dilakukan
pemeriksaaan darah transaminase untuk pasien dengan faktor resiko
hepatotoksik

yang

tinggi

untuk

mengetahui

kerusakan

hepar

awal,

perkembangan virus hepatitis atau infeksi HIV; ibu hamil atau postpartum (3
bulan pertama); dan bagi orang yang mengkonsumsi alkohol secara teratur.
Umur (> 35tahun) bukan lagi indikasi bagi pemeriksaan transaminase. Hal
ini direkomendasikan kepada pasien penyakit hepar yang dipantau dengan
pemeriksaan darah sampai transaminase normal. Pada pasien yang tidak
dilakukan pemeriksaan darah, dikelola berdasarkan gejala- gejala klinis. Jika
pasien mederita hepatitis dan telah melakukan pengobatan, hal ini
seharusnya

dicatat

dalam

catatan

pasien

dan

pasien

seharusnya

menginformasi hal ini, dan seharusnya tidak diberikan pengobatan lagi.

XIV. PROGNOSIS
Kebanyakan pasien dengan gejala hepatitis akut akibat obat dapat
sembuh secara sempurna setelah pemberian terapi simtomatik dan juga
penghentian obat yang menginduksi. Selain itu, pasien dengan gejala ringan
yang mungkin tidak dikenal (asimtomatik) juga diharapkan pulih tanpa sisa
gejala klinis, laboratorium, radiologi, atau bukti histologis penyakit hati.
Mayoritas pasien dengan kerusakan hati yang signifikan secara klinis seperti
penyakit kuning juga memiliki prognosis umumnya baik untuk sembuh
kembali. Sebagai contoh, 712 dari 784 (90,8%) pasien dengan penyakit
kuning pulih, dan hanya 72 (9,2%) meninggal atau menjalani operasi
transplantasi hati. Sebaliknya, prognosis pasien dengan hepatotoksik berat
yang berkembang menjadi kegagalan hati akut (ALF) dibarengi dengan

15

TB Paru - hepatotoksis

koagulopati (yaitu, rasio normal internasional [INR]> 1,5) dan ensefalopati


biasanya buruk.

(3)

Bab III
KESIMPULAN
Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E),
Streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik)
2. Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut, pasien
wanita, status nutrisi buruk, alkohol, punya penyakit dasar hati, karier
HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut,
pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan
Faktor Genetik
3. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang
memakai OAT adalah 4-5 x lipat.
4. Pada pasien TBC dengan karier HBsAg (+) dan HBeAg (-) yang inaktif
dapat diberikan obat standar jangka pendek (R, H, E dan/atau Z)
dengan syarat pengawasan tes fungsi hati dilakukan tiap bulan
5. Sekitar 10% pasien TBC yang mendapat (H) mengalami kenaikan
aminotransferase dalam minggu pertama terapi menunjukkan respon
adaptif terhadap metabolit toksik obat. (H) dilanjutkan atau tidak tetap
akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas
16

TB Paru - hepatotoksis

normal dalam beberapa minggu. Hanya 1% berkembang menjadi


hepatitis virus; 50% kasus terjadi pada bulan pertama dan sisanya
muncul dalam beberapa bulan kemudian.

Daftar Pustaka
1. Mehta, Nilesh MD, Lisa Ozick, MD and Emmanuel Gbadehan, MD. DrugInduced
Hepatotoxicity.
http://emedicine.medscape.com/article/169814-overview.
november
2009
2. Simon, Schaaf H Prof, Zumla Alimuddin I. Tuberculosis A
Comprehensive Clinical Reference 2009
3. Prihatni, Delita, Ida Parwati, Idaningroem Sjahid, Coriejati Rita. Efek
Hepatotoksik

Anti

Tuberkulosis

terhadap

Kadar

Aspartate

Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase Serum Penderita


Tuberkulosis Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory, vol 12, No.1, Nov 2005 ; 1-5
4. Herbert L. Bonkovsky, Dean P. Jones, Douglas R. LaBrecque and Steven
I. Shedlofsky. Drug-Induced Liver Injury. Zakim and Boyers Hepatology.
A Textbook of Liver Disease Fifth Edition. Canada: Saunders. 2006.
5. Stephen Krahenbuhl and Jurg Reichen. Drug Hepatotoxicity. Liver
Disease

Diagnosis

and

Management.

Philadelphia

Churcill

Livingstone. 2000. 294-309.


6. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI. 2006. 471-474

17

TB Paru - hepatotoksis

7. Russmann, Stefan, Gerd A Kullack-Ublick and Ignazio Grattagliano.


Current Concepts of Mechanisms in Drug-Induced Hepatotoxicity.
Current Medical Chemical. 2009 August; 16 (23): 3041-3053
8. Weisiger, R.A., 2002, Isoniazid Hepatotoxicity. Emedicine March 19.
9. Vernon, A.A., 2004, Rifamycin Antibiotics, with a Focus on Newer
Agents. Dalam Rom, N.W., Garay, M.S. (penyunting). Tuberculosis, Edisi
ke 2. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, hlm 759-71.
10.
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., 2005., Cellular Adaptations,
Cell Injury, and Cell death. Dalam Pathologic Basis of Disease, Edisi ke
7. Philadelphia: WB Saunders Company, hlm 1-46.
11.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002, Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
12.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC
13.
Risk Factors of Hepatotoxicity During Anti-tuberculosis Treatment.
MJAFI 2006; 62 : 45-49
14.
Drug
induced

hepatitis

with

anti-tubercular

chemotherapy:Challenges and difficulties in treatment. Kathmandu


University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2

18

TB Paru - hepatotoksis

Anda mungkin juga menyukai