Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidur merupakan kebutuhan setiap individu guna menyeimbangkan
fungsi fisiologis tubuh. Tidur memiliki definisi sebagai suatu keadaan teratur,
kambuhan, dan mudah reversibel yang ditandai dengan keadaan relatif diam
dan peningkatan ambang respon terhadap rangsang luar relatif dari keadaan
terjaga yang terkait dengan keadaan perilaku dan biologis. Waktu tidur setiap
orang berbeda-beda tergantung pada kebutuhan istirahat tubuh dan aktivitas
masing-masing individu (Hoffman dan Rosenlicth, 1997).
Perbedaan waktu tidur masing-masing individu

tersebut

dapat

dikategorikan sebagai waktu tidur normal, kurang, hingga berlebih. Pada


pembahasan referat kali ini, kelompok kami mengangkat bahasan mengenai
gangguan terkait jumlah waktu tidur berlebih yang dikenal secara medis
sebagai hipersomnia. Penyakit hipersomnia ini dahulu dikenal sebagai
gangguan somnolensi berlebih (Hoffman dan Rosenlicth, 1997).
Sebuah laporan dari Dauvilliers dan Mignot, secara

terpisah

menyebutkan angka prevalensi 0,013%-0,067% di Inggris, Perancis, dan


Hong Kong sementara untuk wilayah Indonesia belum didapatkan data pasti
mengenai prevalensi penyakit ini (Dauvilliers et al, 2010). Hasil yang hampir
sama didapatkan pada angka prevalensi kejadian penduduk di US yang
mencapai 1% hingga 2% dengan gangguan sosial dan kerja yang bervariasi.
Untuk sia yang rentan terhadap penyakit hipersomnia ini berada pada rentang
usia 10 21 tahun dengan jumlah penderita pria lebih banyak daripada
jumlah penderita wanita. Penyakit ini dapat sembuh sendiri pada perjalanan
usia hingga usia 40 tahun (Hoffman, Rosenlicth, 1997).
Beberapa gejala yang perlu diwaspadai terkait penyakit ini diantaranya
mengantuk disiang hari secara berlebihan, hiperfagia, apatis, iritabilitas,
keadaan bingung, kehilangan inhibisi seksual, dan penarikan diri dari
lingkungan sosial. Oleh sebab itu penyakit ini kami bahas melalui referat ini
agar nantinya masyarakat dan pembaca yang masih masuk kriteria usia
produktif yang mengetahui atau mengalami gejala hipersomnia ini, dapat
melakukan tindakan pengobatan dini. Dengan demikian kami harapkan

nantinya gangguan tidur ini tidak berlangsung terus-menerus sehingga


produktivitas individu tersebut dapat kembali normal (Hoffman dan
Rosenlicth, 1997).
B. Tujuan
1. Mengetahui defisini dan etiologi penyakit gangguan tidur hipersomnia
2. Mengetahui tandan dan gejala hipersomnia sebagain bahan penegakkan
diagnosis
3. Mengetahui tata laksana dari penyakit hipersomnia
4. Mengetahui prognosis penyakit hipersomnia

II. ISI
A. Definisi
Kata Hipersomnia (hypersomnia) berasal dari kata Yunani hyper, yang
artinya lebih atau lebih dari normal, dan dari bahasa Latin somnus,
artinya tidur. Hioersomnia disebut juga dengan oversleeping. Hipersomnia
adalah gejala kelebihan tidur atau bertambahnya waktu tidur sampai 25% dari
pola tidur yang biasa. Karena kelebihan, hipersomnia juga tidak baik untuk
kesehatan tubuh. Maka dari itu para pakar menganjurkan untuk tidur sesuai
kebutuhan.
Hipersomnia terbagi menjadi dua macam yaitu hipersomnia primer dan
hipersomnia sekunder. Hipersomnia primer merupakan rasa kantuk yang
berlebihan sepanjang hari yang berlangsung sampai sebulan atau lebih. Rasa
kantuk yang berlebihan (terkadang disebut sebagai mabuk tidur) dapat
berbentuk kesulitan untuk bangun setelah periode tidur yang panjang
(biasanya 8 sampai 12 jam tidur), atau mungkin ada pola episode tidur siang ,
muncul setiap hari, dalam bentuk tidur siang yang diharapkan atau tidak
diharpkan. Hipersomnia sekunder adalah bentuk pola tidur berlebih yang
berlangsung selama beberapa hari (Depkes,1993).
B. Epidemiologi
Hipersomnia mempengaruhi sekitar 5% dari populasi umum, "dengan
prevalensi yang lebih tinggi untuk laki-laki karena sindrom apnea tidur
(Dauvilliers, 2006)
Beberapa penelitian di klinik pada gangguan tidur telah menemukan
frekuensi yang berbeda dari hipersomnia idiopatik. Roth 1975 pada 642
pasien termasuk di dalamnya 274 didiagnosis dengan hipersomnia non narkolepsi, diantaranya 174 pembawa dignosis dari mono atau poli
simtomatik hipersomnia idiopatik . Jumlah nacoleptic adalah 226, dan rasio
hipersomnia idiopatik narkolepsi adalah 0,77. Pada tahun 1987 Matsunaga
melaporkan hipersomnia idiopatik hanya tujuh dari 500 pasien berturut-turut
dari pusat gangguan tidur. Bassetti dan Alderich mengelompokan lebih dari

4000 pasien dengan gangguan tidur pada 1997 : 42 ( 1 % ) didiagnosis


dengan

hipersomnia

idiopatik

dan

258

pasien

dengan

narkolepsi,

menunjukkan rasio hanya 0,16. Sampel dilaporkan oleh biliard pada tahun
2001 menunjukkan rasio hipersomnia idiopatik narkolepsi sekitar 0,10.
Penurunan frekuensi dari hipersomnia idiopatik dibandingkan dengan
diagnosis lain terkait tidur dan lebih khusus lagi, narkolepsi selama 30 tahun
terakhir mencerminkan kemajuan dalam deteksi penyebab yang mendasari
hypersomnolen . Secara keseluruhan, berdasarkan prevalensi narkolepsi 20
sampai 50 per 100000 orang, estimasi prevalensi hipersomnia idiopatik
tampaknya 2-5 per 100000 orang. Antara Bassetti dan Aldrich 42 pasien,
diagnosis tampaknya lebih umum di antara kaukasian dari Afrika Amerika,
dan lebih sering terjadi pada wanita daripada pria ( 1,8 : 1 ) (Culebras, 2007).
National Institute of Health 2011 menyimpulkan bahwa remaja adalah
kelompok beresiko tinggi mengalami gangguan tidur.Prevalensi gangguan
tidur pada remaja dari berbagai penelitian menunjukan hasil yang bervariasi.
Liu dkk mendapatkan 21,2% anak usia 2 sampai 12 tahun di Beijing
mengalami gangguan tidur.3 Penelitian Ohida dkk terhadap siswa SMP dan
SMU menunjukkkan prevalensi gangguan tidur bervariasi mulai 15,3%
hingga 39,2% bergantung pada jenis gangguan tidur yang dialami.
Di indonesia belum ada data penelitian gangguan tidur
C. Psikopatologi
Pada dasarnya hipersomnia sudah merupakan patopsikologi dari sebuah
diagnosis gangguan jiwa, namun hipersomnia baik recurent maupun idiopatik
biasanya disertai patpsikologi lain seperti rasa ingin makan terus menerus
(hiperfagi), hasrat sexualitas yang meningkat (hipersexualitas), dan diserta
dengan gangguan psikis lain yang berasal dari hipotalamus dan limbic.
Hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas dan pasti mengenai
patologi hipersomnia (AASM, 2001).
Mekanisme terjadinya hypersomnia sendiri masih belum bisa dipastikan
namun beberapa teori dapat menjelaskan terjadi adanya hypersomnia atau
Excessive Daytime Sleepiness (Preda, 2013):
1. EDS ditemukan pada pasien yang terinfeksi virus Guillan Barre
Syndrome, hepatitis, mononucleosis, atypical viral pneumonia, selain itu
4

beberapa kasus yang bersifat genetik, EDS berhubungan dengan genotype


HLA-cw-2 dan HLA-DR11, namun pada mayoritas pasien ditemukan
dengan riwayat infeksi virus pada keluarga atau riwayat penyakit dahulu
pasien sendiri.
2. Pada penelitian yang dilakukan pada hewan, kerusakan neuron nonadrenergik pada rostral ketiga dari locus cerleus complex menyebabkan
EDS. Trauma disebutkan memiliki hubungan pada EDS, metabolit
neurotransmitter pada pasen post traumatik EDS tidak berbeda dengan
pasien yang mengidap EDS dengan narkolepsi atau pasien EDS lainnya.
Kerusakan pada neuron adrenergik pada bundle istmus berhubungan
dengan peningkatan yang berarti pada tidur NREM maupun REM.
3. Penelitan menunjukkan pahwa disfungsi sistem dopamine

dapat

terjadi pada pasien narcolepsy yang menyebabkan EDS, selain itu malfung
si dari system norepeinefrin dapat menyebabkan primary hypersomnia
(EDS). Selain itu penurunan histamin pada CSF telah dilaporkan pada
hypersomnia primer dan narcolepsy namun tidak pada non CNS
hypersomnia, hal ini mengindikasikan histamine dapat dijadikan indikator
pembeda hypersomnia yang berasal dari CNS atau perifer.
4. Pada penelitian pada hewa coba, ditemukan gen yang berperan
pada patologi dari hypocretin/ ligand orexin dan reseptorya. Konsentrasi
hypocretin 1 dan hypocretin-2 pada HLA DQB*0602 pada CSF juga
ditemukan pada hypersomnia primer dan akan mengganggu pada transmisi
HCRT-2 dan hal ini akan menimbulkan gangguan, karena hypocretin
peptide mengeksitasi system histaminergic melalui reseptor hipokretin 2,
deficiency hypocretin dapat menyebabkan EDS via penurunan fungsi
histaminergik.
5. Pasien dengan hipersomnia idiopatik atau narkolepsi jika dibandingkan
dengan orang normal memiliki kadar dopamine dan asam indoleaktik yang
rendah di cairan serebrospinal, namun sebaliknya, tidak ada perbedaan
yang terjadi pada beberapa metabolit monoamin termasuk 3,4dihydroxyphenylacetic acid, 3-methoxy-4-hydroxyphenylethyleneglycol,
asam homovanilik dan asam 5-hydroxyindoleacetic. Pada pasien dengan
hipersomnia

narcoleptik

terjadi

kolerasi

antara

perubahan

3,4-

dihydroxyphenylacetic acid dan asam homovanilik yang disebut dengan


5

jalur metabolisme dopamine, sedangkan hipersomnia idiopatik terjadi


melalui jalur noradrenergic berupa perubahan subsekuen 3-methoxy-4hydroxyphenylethyleneglycol.
D. Penegakan Diagnosis
Sebelum mencari diagnosa penyebab suatu gangguan tidur, sebaiknya
ditentukan terlebih dahulu jenis dan lamanya gangguan tidur (duration of
sleep disorder), dengan mengetahui jenis dan lamanya gangguan tidur,
selain untuk membantu mengidentifikasi penyebabnya, juga dapat
memberikan pengobatan yang adekuat (Avidan, 2008).
Pada saat pemeriksaan pasien mengeluh nyeri kepala di pagi hari, tidak
segar saat bangun, masalah dengan fungsi mental atau emosional,
mengantuk berlebihan pada siang hari, dan kelelahan. Dalam sleep apneu
pasangan tidur mungkin melaporkan megap-megap atau mendengkur saat
tidur. Dalam narkolepsi, individu dan keluarga mereka mngeluh tertidur
pada

waktu

yang

tidak

tepat,cataplex,hypnagogic

halusinasi,dan

ketidakmampuan sesaat untuk bergerak atau berbicara saat bangun


(kelumpuhan tidur). Obat dan riwayat pengobatan penting untuk
menyingkirkan kantuk di siang hari yang terkait dengan penggunaan
narkoba (Avidan, 2008).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah polysomnography adalah
tes semalam di mana perangkat pemantauan terhubung ke individu untuk
menilai berbagai tahapan tidur untuk aktivitas muatan listrik otak
(electroencephalogram, atau EEG), jantung (elektrokardiogram), gerakan
otot-otot (electromyogram) dan mata (elektro-oculogram). Kadar oksigen
dalam darah dan perubahan dalam pernapasan juga dipantau. Beberapa tes
latensi tidur (MSLT) mengukur waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur
siang hari dalam ruangan yang tenang. Tes-tes lain mungkin termasuk
pemeliharaan uji terjaga dan skala kantuk Epworth (Avidan, 2008)
1. Epworth Sleepiness Scale (ESS)
ESS merupakan instrument penting untuk menilai derajat rasa kantuk
dalam kegiatan sehari-hari. 8 item pertanyaan ,menanyakan pasien untuk
menilai potensi pasien untuk jatuh tertidur selama berbagai macam
aktivitas dan situasi. Nilai 0 (tidak ada rasa kantuk sama sekali) sampai 3
(rasa kantuk yang amat sangat). Nilai maksimalnya adalah 24, jika nilai
6

>10 dipertimbangkan untuk kemungkinan adanya EDS, jika nilai>15


maka disimpulkan bahwa adanya EDS berat (Pagel, 2009).

Gambar 1. Epworth Sleepiness Scale (ESS) (Pagel, 2009)


2. Stanford Sleepiness Scale
SSS bernilai 7 point skala likert-type dengan deskripsi dari sangat terjaga
sampai sangat mengantuk.Subjek diperintah untuk memilih hal yang
mendeskripsikan rasa kantuknya pada waktu tertentu (Pagel, 2009).

Gambar 2. Stanford Sleepiness Scale (Pagel, 2009).


3. Clinical Global Impression of Change
Clinical Global Impression of Change didesain untuk menilai seberapa
berat penyakit dan perubahan kondisi klinis dari waktu kewaktu (Pagel,
2009).
4. Diary tidur
Data tidur selama beberapa minggu dapat menyediakan informasi tentang
kebiasaan tidur pasien (Pagel, 2009).

Gambar 3. Sleep Log (Pagel, 2009).


E. Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan hipersomnia yaitu mengembalikan kembali
fungsi normal dari kesiagaan pasien (merasa lebih baik dan tidak mudah
cepat tertidur), dimana pengobatan harus digunakan secara bijak. Obat-obat
perangsang, termasuk metilfenidat dan amfetamin sangat efektif. Modafinil
sebagai pilihan efektif ketika efek samping dari metilfenidat dan amfetamin
timbul, antara lain sakit kepala, sakit perut, penurunan nafsu makan, dan tik
(Garcia, 2010)
Terapi farmakologi untuk pasien dengan hipersomnia idiopatik,
termasuk dengan trisiklik antidepresi, inhibitor monoamin oksidasi,
inhibitor selektif pengambilan serotonin, klonidin, levodopa, bromokriptin,
selegilin, dan amantadin. Pengobatan polisimtomatik dengan pemberian 2
mg melatonin untuk pasien hipersomnia idiopatik, oleh karena memiliki
siklus sirkadian yang tertunda (Culebras, 2007).
Terapi hipersomnia primer terutama terdiri atas obat stimulan, seperti
amfetamin, yang diberikan saat pagi atau sore hari. Obat antidepresan
nonsedasi seperti bupropion (wellbutrin) dan stimulan baru seperti

modafinil (provigil) juga mungkin berguna bagi beberapa pasien (Sadock,


2010).
Bupropion memiliki sturktur kimia mirip amfetamin yang bekerja lewat
efek dopaminergik dan tidak menghambat MAO juga tidak memberikan
efek samping kardiovaskuler. Efek samping utama berupa perangsangan
sentral agitasi, ketidaktenangan, ansietas, dan insomnia, mulut kering,
migraine, mual, muntah, konstipasi, dan tremor. Dosis awal dewasa 100 mg
2x/hari (Arozal et al., 2012).
Modafinil (provigil), suatu agonis reseptor alpha1-adrenergik dapat
mengurangi jumlah serangan tidur dan meningkatkan kinerja psikomotor.
Modafinil tidak memiliki efek samping merugikan psikostimulan (Sadock,
2010).
Amfetamin sebagai salah satu amin simpatomimetik paling kuat dalam
merangsang SSP dan kerja perifer pada reseptor alfa dan beta melalui
pelepasan norefinefrin endogen. Efek psikis 10-30 mg dapat meningkatkan
kewaspadaan, hilangnya rasa kantuk, dan berkurangnya rasa lelah, dan
perbaikan mood. Intoksikasi akut amfetamin memberikan gejala sentral
berupa gelisah, tremor, pusing, suka bicara, tegang, insomnia, kadang
euphoria. Gejala kardiovaskular berupa nyeri kepala, palpitasi, aritmia
jantung, hipertensi, kolaps kardiovaskular. Dosis dekstroamfetamin 5-60
mg/hari terbagi beberapa pemberian pada sore hari sebelum jam 4 sore
(Setiawati et al., 2012).
F. Prognosis
Prognosis bergantung kepada tatalaksana penyakit tersebut dan pengendalian
faktor penyebabnya (Depkes,1993).

III. KESIMPULAN

10

1. Hipersomnia adalah gangguan yang berkaitan dengan jumlah waktu tidur


yang berlebih. Hipersomnia memiliki prevalensi kejadian 1-2 %, dengan
usia rentan 10-21 tahun, dan jumlah penderita pria lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah penderita wanita.
2. Gejala-gejala yang mungkin dialami oleh pasien antara lain nyeri kepala di
pagi hari, tidak segar saat bangun, masalah dengan fungsi mental atau
emosional, mengantuk berlebihan pada siang hari, dan kelelahan.
3. Tatalaksana dini yang dapat diberikan yaitu terapi hypersomnia primer
yang terdiri dari obat stimulan seperti amfetamin. Untuk hypersomnia
idiopatik dapat diberikan obat golongan trisiklik antidepresi, inhibitor
monoamin oksidasi, inhibitor selektif pengambilan serotonin, klonidin,
levodopa, bromokriptin, selegilin, dana amantadin.

DAFTAR PUSTAKA

11

Avidan , AY. 2008. Narcolepsy and Idiopathic Hypersomnia. ACCP Sleep


Medicine Board Review Course.
Chaplin, James. P. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press.
Culebras, Antonio. 2007. Sleep Disorder and Neurologic Diseases Ed.2. New
York: Informa Healthcare USA, Inc.
Dauvilliers, Yves et al 2006. Differential Diagnosis in Hypersomnia. Current
Neurology and Neuroscience Reports.
Department of Health and Human Service. Depression and High School Students.
National Institute of Mental Health, 2011,
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan
Pertama.
Hoffman, Elisa., Rosenlicht, Nicolas,. 1997. Buku Saku Psikiatri Residen Bagian
Psikiatri UCLA. EGC : Jakarta.
Pagel.JS. 2009. Excessive Daytime Sleepiness. Issues of American Family
Physician volume 79 number 5, 1 Maret 2009.
Preda, Adrian. 2013. Primary Hypersomnia. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/291699 di akses pada 28 April
2014.
Sadock, Benjamin J. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Ed.2.
Jakarta: EGC.
Semiun, Yustinius. OFM. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.

12

Anda mungkin juga menyukai