PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidur merupakan kebutuhan setiap individu guna menyeimbangkan
fungsi fisiologis tubuh. Tidur memiliki definisi sebagai suatu keadaan teratur,
kambuhan, dan mudah reversibel yang ditandai dengan keadaan relatif diam
dan peningkatan ambang respon terhadap rangsang luar relatif dari keadaan
terjaga yang terkait dengan keadaan perilaku dan biologis. Waktu tidur setiap
orang berbeda-beda tergantung pada kebutuhan istirahat tubuh dan aktivitas
masing-masing individu (Hoffman dan Rosenlicth, 1997).
Perbedaan waktu tidur masing-masing individu
tersebut
dapat
terpisah
II. ISI
A. Definisi
Kata Hipersomnia (hypersomnia) berasal dari kata Yunani hyper, yang
artinya lebih atau lebih dari normal, dan dari bahasa Latin somnus,
artinya tidur. Hioersomnia disebut juga dengan oversleeping. Hipersomnia
adalah gejala kelebihan tidur atau bertambahnya waktu tidur sampai 25% dari
pola tidur yang biasa. Karena kelebihan, hipersomnia juga tidak baik untuk
kesehatan tubuh. Maka dari itu para pakar menganjurkan untuk tidur sesuai
kebutuhan.
Hipersomnia terbagi menjadi dua macam yaitu hipersomnia primer dan
hipersomnia sekunder. Hipersomnia primer merupakan rasa kantuk yang
berlebihan sepanjang hari yang berlangsung sampai sebulan atau lebih. Rasa
kantuk yang berlebihan (terkadang disebut sebagai mabuk tidur) dapat
berbentuk kesulitan untuk bangun setelah periode tidur yang panjang
(biasanya 8 sampai 12 jam tidur), atau mungkin ada pola episode tidur siang ,
muncul setiap hari, dalam bentuk tidur siang yang diharapkan atau tidak
diharpkan. Hipersomnia sekunder adalah bentuk pola tidur berlebih yang
berlangsung selama beberapa hari (Depkes,1993).
B. Epidemiologi
Hipersomnia mempengaruhi sekitar 5% dari populasi umum, "dengan
prevalensi yang lebih tinggi untuk laki-laki karena sindrom apnea tidur
(Dauvilliers, 2006)
Beberapa penelitian di klinik pada gangguan tidur telah menemukan
frekuensi yang berbeda dari hipersomnia idiopatik. Roth 1975 pada 642
pasien termasuk di dalamnya 274 didiagnosis dengan hipersomnia non narkolepsi, diantaranya 174 pembawa dignosis dari mono atau poli
simtomatik hipersomnia idiopatik . Jumlah nacoleptic adalah 226, dan rasio
hipersomnia idiopatik narkolepsi adalah 0,77. Pada tahun 1987 Matsunaga
melaporkan hipersomnia idiopatik hanya tujuh dari 500 pasien berturut-turut
dari pusat gangguan tidur. Bassetti dan Alderich mengelompokan lebih dari
hipersomnia
idiopatik
dan
258
pasien
dengan
narkolepsi,
menunjukkan rasio hanya 0,16. Sampel dilaporkan oleh biliard pada tahun
2001 menunjukkan rasio hipersomnia idiopatik narkolepsi sekitar 0,10.
Penurunan frekuensi dari hipersomnia idiopatik dibandingkan dengan
diagnosis lain terkait tidur dan lebih khusus lagi, narkolepsi selama 30 tahun
terakhir mencerminkan kemajuan dalam deteksi penyebab yang mendasari
hypersomnolen . Secara keseluruhan, berdasarkan prevalensi narkolepsi 20
sampai 50 per 100000 orang, estimasi prevalensi hipersomnia idiopatik
tampaknya 2-5 per 100000 orang. Antara Bassetti dan Aldrich 42 pasien,
diagnosis tampaknya lebih umum di antara kaukasian dari Afrika Amerika,
dan lebih sering terjadi pada wanita daripada pria ( 1,8 : 1 ) (Culebras, 2007).
National Institute of Health 2011 menyimpulkan bahwa remaja adalah
kelompok beresiko tinggi mengalami gangguan tidur.Prevalensi gangguan
tidur pada remaja dari berbagai penelitian menunjukan hasil yang bervariasi.
Liu dkk mendapatkan 21,2% anak usia 2 sampai 12 tahun di Beijing
mengalami gangguan tidur.3 Penelitian Ohida dkk terhadap siswa SMP dan
SMU menunjukkkan prevalensi gangguan tidur bervariasi mulai 15,3%
hingga 39,2% bergantung pada jenis gangguan tidur yang dialami.
Di indonesia belum ada data penelitian gangguan tidur
C. Psikopatologi
Pada dasarnya hipersomnia sudah merupakan patopsikologi dari sebuah
diagnosis gangguan jiwa, namun hipersomnia baik recurent maupun idiopatik
biasanya disertai patpsikologi lain seperti rasa ingin makan terus menerus
(hiperfagi), hasrat sexualitas yang meningkat (hipersexualitas), dan diserta
dengan gangguan psikis lain yang berasal dari hipotalamus dan limbic.
Hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas dan pasti mengenai
patologi hipersomnia (AASM, 2001).
Mekanisme terjadinya hypersomnia sendiri masih belum bisa dipastikan
namun beberapa teori dapat menjelaskan terjadi adanya hypersomnia atau
Excessive Daytime Sleepiness (Preda, 2013):
1. EDS ditemukan pada pasien yang terinfeksi virus Guillan Barre
Syndrome, hepatitis, mononucleosis, atypical viral pneumonia, selain itu
4
dapat
terjadi pada pasien narcolepsy yang menyebabkan EDS, selain itu malfung
si dari system norepeinefrin dapat menyebabkan primary hypersomnia
(EDS). Selain itu penurunan histamin pada CSF telah dilaporkan pada
hypersomnia primer dan narcolepsy namun tidak pada non CNS
hypersomnia, hal ini mengindikasikan histamine dapat dijadikan indikator
pembeda hypersomnia yang berasal dari CNS atau perifer.
4. Pada penelitian pada hewa coba, ditemukan gen yang berperan
pada patologi dari hypocretin/ ligand orexin dan reseptorya. Konsentrasi
hypocretin 1 dan hypocretin-2 pada HLA DQB*0602 pada CSF juga
ditemukan pada hypersomnia primer dan akan mengganggu pada transmisi
HCRT-2 dan hal ini akan menimbulkan gangguan, karena hypocretin
peptide mengeksitasi system histaminergic melalui reseptor hipokretin 2,
deficiency hypocretin dapat menyebabkan EDS via penurunan fungsi
histaminergik.
5. Pasien dengan hipersomnia idiopatik atau narkolepsi jika dibandingkan
dengan orang normal memiliki kadar dopamine dan asam indoleaktik yang
rendah di cairan serebrospinal, namun sebaliknya, tidak ada perbedaan
yang terjadi pada beberapa metabolit monoamin termasuk 3,4dihydroxyphenylacetic acid, 3-methoxy-4-hydroxyphenylethyleneglycol,
asam homovanilik dan asam 5-hydroxyindoleacetic. Pada pasien dengan
hipersomnia
narcoleptik
terjadi
kolerasi
antara
perubahan
3,4-
waktu
yang
tidak
tepat,cataplex,hypnagogic
halusinasi,dan
III. KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
11
12