Anda di halaman 1dari 77

LAPORAN

TUTORIAL SKENARIO A BLOK 12

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 3


Tutor : dr. Kusumo Haryadi
Haidar Adib Balma

04011381320033

Naurah Nazhifah

04011381320011

Nurul Rizki S.

04011181320105

Devi Agustini Rahayu

04011181320013

Aisyah Noer Maulidia

04011381320043

Ummi Rahmah

04011181320107

Maria Lisa Wijaya

04011181320015

Hendri Fauzik

04011181320021

Ha Sakinah Se

04011181320027

Nadya Aviodita

04011381320035

Afkur Mahesa

04011381320067

Revana Pramudita K

04011181320001

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2014
1

Kata Pengantar
Pertama, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat, rahmat, dan ridho-Nya lah laporan tutorial skenario A blok 12 ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Terimakasih penulis tujukan kepada Dosen Pembimbing (tutor) dalam hal ini atas nama
dr. Kusumo yang telah membimbing kami untuk penyusunan laporan ini. Tak lupa ucapan
terima kasih ditujukan untuk pihak yang telah membantu penyusunan laporan ini dari segi
moril maupun segi lainnya.
Laporan ini merupakan tugas hasil dari kegiatan tutorial pertama di blok 12. Adapun
kegiatan yang di laporkan dalam laporan ini adalah klarifikasi istilah, identifikasi masalah,
analisis masalah, meninjau ulang masalah, menyusun keterkaitan antar masalah, dan
mengidentifikasi topik pembelajaran.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan kata dalam penulisan
laporan ini. Apabila ada kritik maupun saran yang membangun kiranya dapat disampaikan,
demi tercapainya kebaikan bersama.

Palembang, 29 Oktober 2014

Penulis

Daftar Isi
Kata Pengantar ..............................................................................................................

Daftar Isi ........................................................................................................................

I.

Skenario A Blok 12 .....................................................................................

II.

Klarifikasi Istilah .........................................................................................

III.

Identifikasi Masalah ....................................................................................

IV.

Analisis Masalah .........................................................................................

V.

Learning Issue .............................................................................................

19

VI.

Keterkaitan antar masalah ...........................................................................

74

VII.

Kerangka konsep.. .......................................................................................

75

VIII.

Kesimpulan..................................................................................................

76

Daftar Pustaka ...............................................................................................................

77

I. Skenario A Blok 12
Mr. Hypertension, 62 year old came to primary care physician to control hypertension who
save suffered for 6 years later. At present, given antihypertensive therapy is consistingof
enalapril and hydrochlorothiazide. He also suffered a chronic obtructive pulmonary disease
(COPD), peptic ulcer and chronic low back pain. On physical examination were found blood
pressure (BP) 165/95 mmHg; heart rate (HR) 85x/min, respiratory rate (RR) 18x/min, while
laboratory examination show data serum creatinine 1,5 mg/dL, K+: 5.0 mEq/L. Based on
these data, the physician will provide omeprazole, enalapril, hydrochlorothiazide,
acetaminophen, and metoprolol as adjunctive antihypertensive agent.

II. Klarifikasi Istilah


a. Hipertensi

: hipertensi atau HTN atau tekanan darah tinggi adalah

kondisi medis kronis dengan tekanan darah di arteri meningkat.


b. Terapi anti hipertensi

: terapi yang dilakukan untuk melawan tekanan darah

tinggi atau agennya.


c. Enalapril

: jenis obat yang disebut ACE (angiotensin converting

enzyme) inhibitor yang digunakan dalam pengobatan darah tinggi dan beberapa jenis
gagal jantung lainnya.
d. Hydrochlorothiazide

: diuretik golongan tiazid yang digunakan untuk terapi

hipertensi dan edema.


e. COPD

: penyakit paru kronik ditandai dengan keterbatasan

aliran udara di dalam saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif.
f. Peptic ulcer

: ulkus yang terjadi di membran mukosa saluran cerna

yang biasanya di lambung atau duodenum.


g. Chronic low back pain

: nyeri pada punggung bagian bawah yang terjadi

lebih dari 3 bulan.


h. Omeprazole

: inhibitor seksresi asam lambung, yang digunakan pada

terapi dispepsia, penyakit refluks gastroesofageal, gangguan hipersekresi lambung,


dan ulkus peptic termasuk yang disebabkan oleh infeksi helicobacter pylori.
i. Acetaminophen

: obat yang berfungsi untuk penurun panas dan pereda

rasa sakit.

j. Metaprolol

: agen penghambat beta 1 adrenergik yang bekerja

selektif terhadap jantung pada pengobatan hipertensi angina pektoris dan infark
miokard.

III. Identifikasi Masalah


No.

Masalah

Kesesuaian

1.

Mr. Hypertension, 62 year old came Tidak sesuai harapan

Prioritas
VVVV

to primary care physician to control


hypertension who save suffered for 6
years later.
2.

He also suffered a chronic obtructive Tidak sesuai harapan

VVV

pulmonary disease (COPD), peptic


ulcer and chronic low back pain.
3.

On physical examination were found Tidak sesuai harapan

VV

blood pressure (BP) 165/95 mmHg;


heart rate (HR) 85x/min, respiratory
rate (RR) 18x/min, while laboratory
examination
creatinine

show

1,5

data

mg/dL,

serum

K+:

5.0

mEq/L.
4.

Based on these data, the physician Tidak sesuai harapan

will provide omeprazole, enalapril,


hydrochlorothiazide, acetaminophen,
and

metoprolol

as

adjunctive

antihypertensive agent.

IV. Analisis Masalah


Mr. Hypertension, 62 year old came to primary care physician to control hypertension
who save suffered for 6 years later.
a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan hipertensi yang dialami Mr.
Hypertension?
Renewing dari endotel pembuluh darah sangat lama ditambah lagi pada orang yang
sudah lanjut usia (>25 tahun), endotel yang melapisi pembuluh darahnya cenderung
sudah tidak elastis sehingga kerentanan untuk terjadinya hipertensi lebih besar.
Penderita penyakit jantung hipertensif didapatkan tekanan darah laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan dan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya umur

b. Bagaimana cara mengontrol hipertensi?


Untuk mengontrol hipertens dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perubahan gaya
hidup dan obat-obat anti hipertensi
Perubahan gaya hidup (lifestyle modification) berupa diet rendah garam, berhenti
merokok, mengurangi konsumsi alkohol, aktifitas fisik yang teratur, dan penurunan
berat badan bagi pasien dengan berat badan lebih. Perubahan gaya hidup terbukti juga
dapat meningkatkan efektivitas obat anti hipertensi dan menurunkan risiko
kardiovaskular. Pada penderita DM tekanan darah harus dikontrol yaitu pada <130/80
mmHg.
Obat-obat anti hipertensi pada lini pertama dikenal 5 kelompok obat, yaitu: 1.
Diuretik, 2. Penyekat reseptor beta adrenergik (-blocker), 3. Penghambat
angiotension-converting enzyme (ACE-inhibitor), 4. Penghambat reseptor angotensin
(Angiotensin-receptor blocker, ARB), 5. Antagonis kalsium. Pada lini kedua terdiri
dari 3kelompo, yaitu: 1. Penghambat saraf adrenergik, 2. Agonis -2 sentral, 3.
Vasodilatator

c. Bagaimana patofisiologi hipertensi (aktivasi simpatis, hormon, reseptor)?


Hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah yaitu dapat dikatan hipertensi apabila
TD-nya > 140/90 mmHg. Beberapa faktor yang juga bisa menyebabkan
pengembangan hipertensi, yaitu:
Gangguan patologis pada central nervous system (CNS), serat saraf otonom, reseptor
adrenergik, atau baroreseptor.
6

Abnormalitas pada renal atau jaringan autoregulator yang mengatur proses ekskresi
natrium, volume plasma, dan konstriksi alteriolar. Abnormalitas humoral, termasuk
renin-angiotensin-aldosteron

system

(RAS),

hormon

natriuretik,

atau

hiperinsulinemia. Defisiensi pada sintesis setempat substan vasodilator pada endotel


vascular, seperti prostasiklin, bradikinin, dan nitric oxide, atau peningkatan produksi
substan vasokonstriktor seperti angitensin II dan endotelin I.
Asupan natrium yang tinggi dan peningkatan hormon natriuretik di sirkulasi yang
menginhibisi transpor natrium intraseluler, sehingga reaktivitas vaskular meningkat
dan tekanan darah naik. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseuler, sehingga fungsi
otot polos vaskular berubah dan terjadi peningkatan tahanan vaskular perifer.
Aktifitas simpatis: sistem saraf bersifat presif yaitu cenderung meningakatkan tekanan
darah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas
miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah.
Aktifitas parasimpatis: bersifat depresif, menurunkan tekanan darah karena
menurunkan frekuensi denyut jantung
SRAA

(sistem

renin-angiotensin-aldosteron)

bersifat

presif

berdasarkanefek

vasokonstriksi angotensin II dan rangsangan aldosteron yang menyebabkan retensi


(penahanan zat di dalam tubuh yang seharusnya dikeluarkan) air dan natrium di ginjal
sehingga meningkatkan volume darah.
Bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah: sebagian
bersifat vasokonstriktor seperti endotelin, tromboksan A2 dan angitensin II lokal.
Sebagian lagi yang bersifat vadilator seperti endothelium-derived relaxing factor
(EDRF) yang dikenal juga dengan nitric oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2). Jantung
juga terutama pada atrium kanan memproduksi hormon yang disebut atriopeptin (atrial
natriuretic peptide, ANP) yang bersifat diuretik, natriuretik dan vasodilator yang
cenderung menurunkan tekanan darah.
Reseptor:
Angiotensin reseptor: reseptor angiotensin II dimana memiliki efek vasokonstriksi
yang sangat kuat dan merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal
Hambatan

-1 menyebabkan vasodilatasi di arteriole dan venula sehingga

menurunkan resistensi perifer, sedangkan hambatan pada reseptor -2 diujung


saraf adrenergik akan meningkatkan pelepasan noreprinefrin dan meningkatkan
aktivitas simpatis.
Reseptor 1, 2
7

d. Apa dampak hipertensi tak terkontrol?


Hipertensi yang lama atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan
organ pada jantung, otak, ginjal, mata dan pembuluh darah perifer. Pada jantung
dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal jantung, pada otak dapat
terjadi stroke karena pecahnya pembuluh darah serebral dan pada ginjal dapat
menyebabkan gagal ginjal. Pada mata dapat terjadi bercak-bercak perdarahan pada
retina (retinopati hipertensif) dan edema papil nervus optikus.

He also suffered a chronic obtructive pulmonary disease (COPD), peptic ulcer and
chronic low back pain.
a. Apa hubungan hipertensi menahun dengan :
1. COPD
Sebernarnya tidak ada hubungan antara penyakit Hipertensi dengan COPD tapi
hubungannya lebih kepada interaksi obat yang digunakan. Obat anti-hipertensi
khususnya beta blocker (beta-1 selective blocker) tidak boleh diberikan kepada
pasien penderita asma dan PPOK karena efek dari obat itu dapat menyebabkan
Bronkospasme. Sehingga berbahaya bagi penderita PPOK.
2. Peptic ulcer
Tidak ada hubungannya. Kasus peptic ulcer bersamaan dengan hipertensi
menahun sebagai pembanding penggunaan obat.
3. Chronic low back pain
Tidak ada hubungannya.

On physical examination were found blood pressure (BP) 165/95 mmHg; heart rate
(HR) 85x/min, respiratory rate (RR) 18x/min, while laboratory examination show data
serum creatinine 1,5 mg/dL, K+: 5.0 mEq/L.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?
Kondisi Mr. Hypertension

Nilai normal

Keterangan

Blood pressure

120/80 mmHg

Abnormal

Heart rate

60-100x/menit

Normal

Respiratory rate

16-24x/menit

Normal

Blood pressure Mr. Hypertension meningkat karena adanya penyempitan lumen


pembuluh darah (vasokonstriksi) akibat adanya rangsangan saraf simpatis. Lumen
yang menyempit ini menyebabkan tekanan darahnya meningkat.

b. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan lab?


Creatinine= 1,5 mg/dL (tinggi)
Nilai normal:
DEWASA : Laki-laki : 0,6-1,3 mg/dl. Perempuan : 0,5-1,0 mg/dl. (Wanita sedikit
lebih rendah karena massa otot yang lebih rendah daripada pria).
ANAK : Bayi baru lahir : 0,8-1,4 mg/dl. Bayi : 0,7-1,4 mg/dl. Anak (2-6 tahun) : 0,30,6 mg/dl. Anak yang lebih tua : 0,4-1,2 mg/dl. Kadar agak meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, akibat pertambahan massa otot.
LANSIA : Kadarnya mungkin berkurang akibat penurunan massa otot dan penurunan
produksi kreatinin.

Mekanisme:
Kreatinin darah meningkat jika fungsi ginjal menurun. Oleh karena itu kreatinin
dianggap lebih sensitif dan merupakan indikator khusus pada penyakit ginjal
dibandingkan uji dengan kadar nitrogen urea darah (BUN). Sedikit peningkatan kadar
BUN dapat menandakan terjadinya hipovolemia (kekurangan volume cairan); namun
kadar kreatinin sebesar 2,5 mg/dl dapat menjadi indikasi kerusakan ginjal
Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kreatinin adalah : Amfoterisin B,
sefalosporin (sefazolin, sefalotin), aminoglikosid (gentamisin), kanamisin, metisilin,
simetidin, asam askorbat, obat kemoterapi sisplatin, trimetoprim, barbiturat, litium
karbonat, mitramisin, metildopa, triamteren.

K+: 5,0 mEq/L


Interpretasi: batas tinggi normal
Nilai rujukan: dewasa (3,5-5,0 mEq/L), anak-anak dan bayi (3,6-3,8 mEq/L)

Based on these data, the physician will provide omeprazole, enalapril,


hydrochlorothiazide, acetaminophen, and metoprolol as adjunctive antihypertensive
agent.
9

a. Apa saja golongan obat yang diberikan untuk Mr. Hipertensi?

Omeprazole

: PPi(Pompa proton Inhibitor) dan Penghambat Asam Lambung

Enalapril

: ACE Inhibitor (Antihipertensi)

Hydrochlorothiazide : Diuretik (Antihipertensi)


Acetaminophen

: Analgesik (Penghilang rasa sakit) dan antipiretik (pereda


demam)

Metoprolol

: 1 selektif (Antihipertensi)

b. Bagaimana mekanisme kerja obat (farmakokinetik dan farmakodinamik), dosis, efek


samping obat, interaksi antar obat dalam kasus, bentuk pemberian :
1. Omeprazole
Omeprazole adalah obat penghambat sekresi asam lambung yaitu antihistamin2.
Obat ini termasuk ke golongan penghambat pompa proton. penghambat pompa
proton merupakan penghambat sekresi asam lambung lebih kuat dari AH2. Obat
ini bekerja di proses terakhir produksi asam lambung, lebih distal dari AMP.
Obat ini suatu prodrug yang hanya membutuhkan suasana asam untuk
mengaktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik obat ini akan
berdiffusi ke sel parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar dan
mengalami aktivasi disitu menjadi bentuk sulfonamide tetrasiklik. Penghentian
produksi asam lambung sebesar 80% sampai 95% oleh penghambatan pompa
proton tersebut. Penghambatan berlangsung lama sekitar 24 sampai 48 jam dan
sifat dari hambatannya ini irreversible. PPI ini sebaiknya diberikan dalam sediaan
salut enteric untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam.
Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga bioavailabilitasnya
lebih baik. Tablet yang pecah di lambung mengalami aktivasi lalu terikat pada
berbagai gugus sulfihidril mucus dan makanan. Kemudian obat ini dimetabolisme
di hati oleh sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan CYP3A4. Efek
samping dari obat ini adalah mual, nyeri perut, konstipasi, diare. Dosis lazim yang
diberikan untuk PEPTIC ULCER adalah 20-40 mg 1 kali sehari.

2. Enalapril
Nama Obat: renacardon

10

Mekanisme Kerja: secara kompetitif menghambat enzim pengubah angiotensin I,


mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, vasokonstriktor kuat.
Konsekuensi klinis termasuk penurunan sodium dan retensi cairan, penurunan TD, dan
peningkatan dieresis.
Indikasi: perawatan pada hipertensi dan gejala gagal jantung kongestif dalam
kombinasi dengan diuretic dan digitalis disfungsi ventrikel kiri asmptomatis setelah
MI (Myocardial Infarction). Unlabeled use: perawatan diabetes neuropati, hipertensi
pada anak anak dan hipertensi yang berhubungan dengan scleroderma renal crisis.
Dosis: dosis inisial PO: 2,5 5 mg/hari. Dosis pemeliharaan umum: 10 40 mg/hari
dalam dosis tunggal atau berganda.
KI: standar pertimbangan.
ESO: CV: nyeri dada, myocardial infarction, hipotensi, angina, hipotensi ortostatik,
takikardia, syncope, vaskulitis. SSP: sakit kepala, vertigo, pusing, lelah, asthenia.
Dermatologi: ruam, fotosensitivitas. GI: nausea, nyeri perut, vomiting, diare, infeksi
saluran kemih.hematologi: penurunan hemoglobin dan hematokrit, neutropenia,
agranulositosis, trombositopenia, pancytopenia, eosinophilia. Metabolic: hiperkalemia.
Respiratori: bronchitis, batuk terus menerus, dyspnea. Lainnya: demam, myalgia,
arthalgia, arthritis.
Interaksi Obat: Alopurinol: dapat meningkatkan resiko hipersensitivitas. Antasid:
dapat menurunkan bioavailabilitas enalapril. Digoksin: peningkatan level digoksin.
Indometasin: efek hipotensi dapat dikurangi, terutama pada rennin rendah atau pasien
hipertensi tergantung volume. Litium: meningkatkan level litium dan gejala toksisitas
litium dapat terjadi. Fenotiazin: dapat meningkatan efek farmakologik fenotiazin.
Preparat potassium dan diuretik hemat potasium: dapat meningkatkan level serum
potasium. Rifampin: efek farmakologi enalapril dapat menurun. (Tatro, 2003)

3. Hydrochlorothiazide
Kerja obat

11

Farmakokinetik
Semua thiazide diabsorbsi pada pemberian secara oral, umumnya efek obat tampak
setelah 1 jam. Tetapi terdapat perbedaan dalam metabolismenya. Semua thiazide
disekresi oleh sistem sekretorik asam organik dan bersaing pada beberapa hal dengan
sekresi uric acid oleh sistem tersebut. Sebagai hasilnya, kecepatan sekresi uric acid
dapat menurun, dengan diikuti peningkatan kadar uric acid serum. Pada steady state,
produksi uric acid tidak dipengaruhi oleh thhiazide. Klorothiazide didistribusikan ke
seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar uri, tetapi obat ini hanya ditimbun
dalam jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli
proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens ginjal obat ini besar sekali, biasanya 3-6
jam sudah diekskresikan dari badan. Klorotiazid dalam badan tidak mengalami
perubahan metabolik.

Farmakodinamik
Diuretik ini bekerja menghambat simporter Na dan Cl di hulu tubulus distalis. Sistem
transpor ini dalam keadaan normal berfungsi membawa Na, selanjutnya dipompakan
ke luar tubulus dan ditukar melalui kanal klorida. Efek farmakodinamik tiazid yang
utama ialah meningkatkan ekskresi Natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis
dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorpsi elektrolit
pada hulu tubuli distal. Laju ekskresi Na maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid jauh
lebih rendah dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh beberapa diuretik lain, hal ini
disebabakan 905 Na dalam cairan filtrat telah direabsorbsi lebih dulu sebelum
mencapai tempat kerja tiazid.

Derivat tiazid memperlihatkan efek penghambatan karbonik anhidrasedengan ptensi


yang berbeda-beda. Zat yang aktif sebagai pengahmbat karbonik anhidrase, dalam
dosis yang mencukupi, memperlihatkan efek yang sama seperti asetazolamid dalam
eksresi bikarbonat. Agaknya efek penghambatan karbonik anhidrase ini tidak berarti
secara klin]
is. Efek penghambatan enzim karbonik anhidrase diluar ginjal praktis tidak terlihat
karena tiazid tidak ditimbun di sel lain.

Pada pasien hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek
12

diuretiknya tetap juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi
vasodilatasi.

Dosis
-

Edema: dosis awal 5-10 mg sehari atau berselang sehari pada pagi hari;

dosis pemeliharaan 5-10 mg 1-3 kali seminggu.


-

Hipertensi: 12,5 25 mg perhari dosis tunggal pada pagi hari

Efek samping

hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang ringan; impotensi (reversibel bila
obat dihentikan); hipokalemia, hipomagnesemia,

hiponatremia, hiperkalsemia,

alkalosis hipokloremanik, hiperurisemia, pirai, hiperglikemia, dan peningkatan kadar


kolesterol plasma; jarang terjadi ruam kulit, fotosensitivitas, ganggan darah (termasuk
neutropenia dan trombositopenia, bila diberikan pada masa kehamilan akhir);
pankreatitis, kolestasis intrahepatik dan reaksi hipersensitivitas.

Interaksi antar obat

Peningkatan efek hidroklorotiazida dengan furosemida dan diuretik loop. Peningkatan


hipotensi dan/atau efek samping pada ginjal dari inhibitor ACE akan menghasilkan
diuresis berat pada pasien/ Beta bloker meningkatkan efek hiperglikemia;dari tiazida
pada diabetes mellitus tipe 2. Siklosporin dan tiazida akan meningkatkan risiko gout
atau toksisitas ginjal. Toksisitas digoksin dapat meningkat jika tiazida menginduksi
hipokalemia

atau

hipomagnesemia.

;Toksisitas

lithium

dapat

jika

tiazida

meningkatkan ekskresi ginjal litium. Tiazida dapat memperpanjang durasi pada


penggunaan bloking neuromuskular. Efek hipoglikemia dapat diturunkan. Penurunan
absorpsi oleh kolestiramin dan kolestipol. ;Antiinflamasi non steroid dapat
mengurangi efikasi tiazida, menurunkan efek diuretik dan antihipertensi.

4. Acetaminophen
Pemeberian acetaminophen pada pasien karena penyakitnya yang low back pain, yaitu
sebagai alnalgetik (pereda nyeri) , karena penderita ada peptic ulcer sedangkan obat
analgetik lainnya sebagian besar efek sampinya iritasi lambung mis. Asam mefenamat,

13

maka yang diberikan adalah achetaminophen. Tetapi acetaminophen memiliki efek


samping nefropati analgesik.
Efek Samping : Reaksi alergi terhadap derivat p-amino fenol jarang terjadi.
Manifestasinya berupa eriferm atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa
demam dan lesi pada mukosa. Penggunaan semua jenis analgesic dosis besar menahun
, terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropatianalgesik. Dosis toksis yang
paling serius ialah nekrosis hati. Nekrosis tubulus renalis serta koma hipoglikemik
dapat juga terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15
gram (200-250 mg/kgBB) parasetamol.
Farmakodinamik : Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral
seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol
tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin yang lemah. Efek iritasi erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat
pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan
Farmakokinetik : Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25%
parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati.
Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil
lainnya dengan asam sulfat. Selian itu, obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi dan
menimbulkan methamoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresikan
melalui ginjal sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam
bentuk terkonjugasi.
Indikasi : Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai oral analgesik dan antipiretik
telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik lainnya, parasetamol
sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropatik
analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak
menolong. Karena hampir tidak mengiritasi lambung, parasetamol sering digabung
dengan AINS untuk efek analgesik.

5. Metoprolol

14

Metoprolol adalah obat beta-1 selective blocker yang menghambat reseptor beta 1
pada jantung. Obat ini larut dalam lemak sehingga diabsorbsi baik di saluran cerna
tetapi bioavailabilitas rendah karena mengalami metabolisme lintas pertama yang
ekstensif di hati. Eliminasinya melalui metabolism di hati sangat ekstensif sehingga
obat utuh yang diekskresi melalui ginjal sangat sedikit. Obat ini memiliki waktu
paruh eliminasi yang pendek, yakni berkisar 3-8 jam. Metoprolol perlu diberikan dua
kali sehari dan kurang kardioselektif dibandingkan dengan atenolol. Dosisnya adalah
50 sampai 100 mg dua kali sehari. Efek samping obat ini adalah sulit bernafas,
pusing, diare, tangan dingin, gangguan pengecapan (rash). Kontraindikasi obat ini
adalah ibu hamil, ibu menyusui, dan penderita asma atau PPOK.

c. Bagaimana distribusi/letak reseptor alfa dan beta adrenergik pada jaringan atau organ
pada kasus?

Adrenergik atau simpatomimetika adalah zat-zat yang dapat menimbulkan (sebagian) efek
yang sama dengan stimulasi susunan simpaticus (SS) dan melepaskan noradrenarlin (NA) di
ujung-ujung sarafnya.
Reseptor Alfa dan Beta
Adrenergik dapat dibagi dalam dua kelompok menurut titik-kerjanya di sel-sel efektor dari
organ-ujung, yakni reseptor-alfa dan reseptor-beta (Ahlquist 1948). Perbedaan antara kedua
jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi adrenalin, noradrenalin (NA), dan
isoprenalin. Reseptor-alfa lebih peka bagi NA, sedangkan reseptor-beta lebih sensitif bagi
isoprenalin.
Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologinya, yaitu dalam alfa-1 dan
alfa-2, serta beta-1 dan beta-2. Pada umumnya, stimulasi dari masing-masing reseptor itu
menghasilkan efek-efek sebagai berikut:
-

Alfa-1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi sel-sel kelenjar

dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan keringat.


-

Alfa-2 : menghambat pelepasan NA pada saraf-saraf adrenergis dengan turunnya

tekanan darah. Mungkin pelepasan ACh dan saraf kolinergis dalam usus pun terhambat
sehingga antara lain menurunnya peristaltik.
-

Beta-1 : memperkuat daya dan frekuensi konstraksi jantung (efek inotrop dan

kronotrop).
-

Beta-2 : bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.


15

Lokasi reseptor ini umumnya adalah sebagai berikut:


-

Alfa-1 dan beta-1 : postsinaptis, artinya sinaps di organ efektor.


-

Alfa-2 dan beta-2 : presinaptis dan ekstrasinaptis, yaitu di muka sinaps atau

diluarnya, antara lain di kulit otak, rahim, dan pelat-pelat darah. Reseptor-a1 juga
terdapat presinaptis.
Konsep reseptor dan pada sel efektor yang distimulasi oleh agonis adrenergic dan hanya
dihambat oleh antagonisnya, memudahkan pengertian tentang mekanisme kerja obat
adrenergic. Pda umumnya, efek yang ditimbulkan melalui reseptor pada otot polos adalah
perangsangan, seperti pada otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, Sebaliknya, efek
melalui reseptor pad otot polos adalah penghambat, seperti pada otot polos usus, bronkus,
dan pembuluh darah otot rangka. Salah satu kecualiannya adalah otot polos usus yang
mempunyai kedua reseptor dan , dan aktivasi keduanya menimbulkan efek penghambatan.
Untuk target organ pada kasus yaitu jantung, dan arteri didominasi oleh reseptor alfa.

d. Bagaimana pengaruh rangsangan noradrenalin/adrenalin pada reseptor alfa dan beta?

Efek rangsangan
Bila di suatu organ terdapat kedua jenis reseptor, maka responsnya terhadap stimulasi oleh
katecholamin (adrenalin, NA, dopamin, serotonin) agar tergantung dari pembagian dan
jumlah reseptor-alfa dan reseptor-beta di jaringan tersebut. Sebagai contoh dapat disebutkan
bronchi, dimana terdapat banyak reseptor beta-2; disini NA hanya berefek ringan sedangkan
16

adrenalin dan isoprenalin meninbulkan bronchodilatasi kuat. Begitu pula di otot polos dinding
pembuluh terdapat reseptor-alfa dan beta: sedikit NA sudah bisa merangsang reseptor-beta-2
dengan efek vasodilatasi, sedangkan lebih banyak NA diperlukan untuk merangsang reseptoralfa dengan efek vasokonstriksi. Pembuluh kulit memiliki banyak reseptor alfa, maka
adrenalin dan NA mengakibatkan vasokonstriksi, sedangkan isoprenalin hanya berefek ringan
sekali.
Dalam tabel di bawah ini diikhtisarkan efek adrenergis yang terpenting.
Efek

Efek 1

Efek 2

Ino-/

Vaso>

krono-

koroner

Stimulasi sirkulasi
-jantung

trop +
Vaso <, TD Sekresi

-perifer

Bronco >

Sekresi insulin &

kelenjar
Stimulasi SSP
-Napas

Konstriksi mukosa hidung


dan mata
Aktiv.psikomotor pupil >,

-Kewaspadaan

nafsu makan
Stimulasi

Glikogenolise pelepasan

metabolisme

asam lemak

renin

e. Bagaimana pengaruh hambatan atau blokade noradrenalin/adrenalin pada reseptor


alfa dan beta?
Epinephrine menstimulasi terutama -adrenergic receptors (-ARs)
Norepinephrine menstimulasi terutama -adrenergic receptors (-ARs)
Untuk Reseptor alfa adrenergic dibagi menjadi 2 yaitu:
1) alfa-1 adrenergik
Menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah, saluran gastrointestinal,
vasodilatasi otot bronkus (efeknya lebih kecil dibanding beta-2)
2) alfa-2 adrenergik
Inhibisi pelepasan insulin, induksi pelepasan glukagon, kontraksi spincher
pada gastro intestinal
17

Reseptor beta adrenergik, dibagi menjadi 3:


1.) beta 1 : terdapat di jantung
Menaikkan heart rate (jumlah denyut jantung per unit waktu), menaikkan
kontraksi jantung
2.) beta 2: terdapat di pembuluh darah, otot polos skeletal, otot polos bronkus
Relaksasi otot polos di gastro intestinal dan bronkus, dilatasi arteri,
gluconeogenesis
3.) beta 3: terdapat di jaringan adipose
Jika dilakukan penghambatan atau blockade norepinephrine atau epinephrine
maka akan terjadi:

Terhadap reseptor 1 = menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, saluran


gastrointestinal, vasokonstriksi otot bronkus (tidak separah terhadap pengaruh
pada reseptor 2)

Terhadap reseptor 2 = pelepasan insulin berlebih, mengurangi kontraksi


sphincter pada gastrointestinal

Terhadap reseptor 1 = menurunkan heart rate dan kontraksi jantung

Terhadap reseptor 2 = bronkokonstriksi, konstriksi pada gastro intestinal dan


arteri.

f. Bagaimana interaksi antar oat dalam kasus? Apakah udah sesuai dengan penyakit mr.
hipertensi?
Enalapril benar dikombinasikan dengan HCT. Karena pemberian HCT dalam waktu 4
minggu sudah tidak berpengaruh lagi, sehingga harus dinaikkan dosisnya. HCT dalam
dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia. Efek samping ini dapat dihindari bila HCT
dikombinasi dengan obat lain diuretic hemat kalium, atau ACE-inhibitor, misalnya
enalapril.
HCT bisa menyebabkan dieresis yang menyebabkan air keluar, akibatnya tekanan darah
menurun. Sebenarnya pemberian HCT ini sudah baik karena kadar kaliumnya tinggi.
Pemberian omeprazole benar karena menekan asam lambung.
Acetaminophen ini benar karena mempunyai daya kerja antipiretik dan analgetik yang
tidak menimbulkan radang dan tidak menyebabkan iritasi padalambung dimana mr.
hipertensi ini ada penyakit peptic ulcer

18

Metoprolol jika diberikan dalam dosis rendah tetapi akan berdampak buruk dalam dosis
tinggi karena termasuk golongan beta 1 selektif yang kontraindikasi terhadap COPD.

V. Learning Issue
Issues

Hypertension

What I Know

Pengertian,

What I Dont Know

patofisiologi, cara

What I Have to Prove

Mekanisme

mengontrol
Obat otonom

Pengertian

mekanisme kerja obat

Interaksi antar obat

(farmakokinetik dan
farmakodinamik),
dosis, efek samping
obat
Sistem saraf otonom

Pengertian

neurotransmitter,

Peran

reseptor, release,
reabsorb
norepinephrine
Beta blocker

Pengertian

Mekanisme

Fungsi reseptor

Pengaruh stimulus/

Pengertian

Mekanisme, peran

Fungsi

inhibisi
Noradrenalin/adrenalin
pada reseptor alfa dan
beta

1. Hypertension (patofisiologi, cara mengontrol)


DEFINISI
Hipertensi didefinsikan sebagai kenaikan tekanan darah arterial yang bertahan. The Sixth
Joint Natinal Comitte on the Detection, Evaluation, dan Treatment of High Blood Presure
(JNC-VI) menggolongkan tekanan darah dewasa.
Pasien dengan nilai diastolic blood presure (DBP) <90 mmHg dan systolic blood presure
(SBP) >140 mmHg mempunyai hipertensi terbatas pada sistolik.

19

Peningkatan bermakna pada tekanan darah (ke level lebih tinggi stage 3) adalah krisis
hipertensi, yang bisa melambangkan hypertensive emergency (kenaikan tekanan darah dengan
cedera akut target organ) atau hypertensive urgency (hipertensi akut tanpa tanda atau simtom
komplikasi akut target organ).

PATOFISIOLOGI
Hipertensi adalah kelainan heterogen yang bisa muncul dari penyebab spesifk (hipertensi
sekunder) atau dari mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi
primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi pada kurang dari 5% kasus, dan kebanyakan
disebabkan oleh renoparenchymal kronik atau penyakit renovascular. Kondisi lain yang
menyebabkan hipertensi sekunder termasuk pheochromacytoma, sindroma Cushing,
hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteronisme primer, kehamilan, peningkatan tekanan
intercranial, dan koarktasi (penyempitan) aorta. Beberapa obat yang bisa menaikkan tekanan
darah termasuk kortikosteroid, estrogen, amfetamin/anorexians, MAO inhibitor, dekongestan
oral, venlafaxine, siklosporin, NSAID, dan hormon tiroid.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan pengembangan hipertensi primer, termasuk:
Gangguan patologis pada central nervous system (CNS), serat saraf otonom, reseptor
adrenergik, atau baroreseptor.
Abnormalitas pada renal atau jaringan autoregulator yang mengatur proses ekskresi natrium,
volume plasma, dan konstriksi alteriolar.
Abnormalitas humoral, termasuk renin-angiotensin-aldosteron system (RAS), hormon
natriuretik, atau hiperinsulinemia.
Defisiensi pada sintesis setempat substan vasodilator pada endotel vascular, seperti
prostasiklin, bradikinin, dan nitric oxide, atau peningkatan produksi substan vasokonstriktor
seperti angitensin II dan endotelin I.
Asupan natrium yang tinggi dan peningkatan hormon natriuretik di sirkulasi yang
menginhibisi transpor natrium intraseluler, sehingga reaktivitas vaskular meningkat dan
tekanan darah naik.
Peningkatan konsentrasi kalsium intraseuler, sehingga fungsi otot polos vaskular berubah dan
terjadi peningkatan tahanan vaskular perifer.
Penyebab utama kematian pada pasien hipertensi adalah kejadian cerebrovascular,
cardiovascular, dan gagal ginjal. Kemungkinan untuk kematian prematur berkaitan dengan
tingkat keparahan naiknya tekanan darah.

20

CIRI KLINIK
Pasien dengan hipertensi primer uncomplicated biasanya awalnya asimtomatik.
Pasien dengan hipertensi sekunder biasanya mengeluh mengenai simtom yang dari situ bisa
dicari penyebabnya. Pasien dengan pheochromocytoma bisa mempunyai riwayat sakit kepala
paroksimal, berkeringat, takikardi, palpitasi, pusing orthostatik, atau sinkop. Pada
aldosteronisme primer, simtom hipokalemik kejang otot dan merasa lemah bisa muncul.
Pasien dengan hipertensi sekunder karena sindroma Cushing bisa mengeluh beratnya
bertambah, poliuria, edema, menstruasi tidak teratur, sering muncul jerawat, atau otot yang
lemah.

DIAGNOSIS
Seringkali, satu-satunya tanda hipertensi primer pada pemeriksaan fisik adalah kenaikan
tekanan darah. Diagnosis hipertensi harus berdasar pada rerata dua atau lebih pemeriksaan
yang diambil tiap dua atau lebih kunjungan.
Pada perkembangannya, tanda kerusakan organ mulai muncul, terutama terkait pada
perubahan patologis di mata, otak, jantung, ginjal, dan pembuluh darah perifer.
Pemeriksaan funduscopic bisa menunjukkan penyempitan arteriolar, penyempitan
arterioral focal, arteriovenous nicking, dan hemorrhage retina, exudates, dan infark.
Munculnya papilledema mengindikasikan hypertensive emergency yang memerlukan
perawatan secepatnya.
Pemeriksaan cardiopulmonal bisa menunjukkan denyut jantung atau ritme yang abnormal,
hipertropi ventrikular, precordil heave, murmur (suara jantung yang tidak biasa menandakan
kelainan fungsional atau struktural), third or fourth heart sounds, dan rales (suara abnormal
yang terdengar mengikuti suara respirasi normal).
Pemeriksaan vaskular perifer bisa mendeteksi bukti atherosklerosis, yang bisa muncul
sebagai bruits (suara yang terdengar sewaktu diagnosa dengan stetoskop) aortic atau
abdominal, pembesaran vena (karena tekanan internal), hilangnya denyut perifer, atau edema
ekstremitas bawah.
Pasien dengan stenosis arteri renal bisa mempunyai bruit sistolik-diastolik yang abnormal.
Mereka yang dengan sindroma Cushing bisa mempunyai ciri fisik klasik moon face, buffalo
hump (), hirsutisme, dan striae (area pada kulit berbentuk garis dengan perbedaan jelas
dengan sekitarnya) abdominal.

21

Serum kalium rendah sebelum

dimulainya terapi antihipertensi bisa menandakan

hipertensi yang dirangsang oleh mineralokortikoid. Adanya protein, sel darah, dan casts di
urine bisa mengindikasikan penyakit parenkim ginjal.
Tes laboratorium sebaiknya didapatkan pada semua pasien untuk memulai terapi obat
termasuk urinalysis, hitung sel darah lengkap, kandungan kimia serum (natrium, kalium,
kreatinin, glukosa sewaktu puasa, dan total kolesterol serta HDL-C), dan 12-lead ECG. Tes
ini digunakan untuk menaksir faktor resiko lainnya dan untuk membuat data baseline untuk
monitorng perubahan metabolik karena obat.
Tes laboratorium yang lebih spesifik digunakan untuk mendiagnosa hipertensi sekunder.
Ini termasuk norepinefrin plasma dan level metanefrin urin untuk pheochromocytoma, level
plasma dan urin aldosterone untuk aldosteronisme primer, dan aktivitas plasma renin, tes
stimulasi kaptopril, renin vena renal, dan angiografi arteri renal untuk penyakit renovascular.

HASIL YANG DIINGINKAN


Tujuan umum perawatan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan cara
intrusi terakhir yang mungkin.
Tekanan darah yang diinginkan adalah <140/90 untuk uncomplicated hypertension; <130/85
untuk pasien dengan diabet melitus, gangguan fungsi ginjal, atau gagal jantung; <125/75
untuk mereka dengan penyakit renal parah dengan proteinuria >1 g/hari; dan <140 mmHg
(sistolik) untuk isolated systolic hypertension.

PERAWATAN
Terapi non Farmakologi
Skema perawatan JNC-VI untuk hipertensi pada Gambar 9-1.
Faktor resiko utama untuk perkembangan komplikasi hipertensi harus diketahui. Ini termasuk
merokok, dislipidemia, diabetus melitus, usia >60 tahun, jenis kelamin (pria dan wanita pasca
menopause), dan riwayat keluarga untuk penyakit cardiovascular prematur. Obesitas dan gaya
hidup sedentary bisa juga meningkatkan resiko hipertensi dan penyakit cardiovascular.
Semua rencanca perawatan sebaiknya dimulai dari perubahan gaya hidup, termasuk: (1)
pengurangan berat jika berlebih; (2) membatasi asupan alkohol sampai <1 ounce per hari; (3)
meningkatkan aktivitas fisik aerobic; (4) mengurangi asupan natrium sampai <2,4 g/hari (6
g/hari natrium klorida); (5) menjaga asupan yang cukup dari makanan untuk kalium, kalsium,
dan magnesium; (6) mengurangi asupan lemak jenuh dan kolsterol dari makanan; dan (7)
menghentikan merokok.
22

Terapi Farmakologi
Pemilihn obat sebaiknya berdasar pada bukti ilmiah untuk efek pada pengurangan morbiditas
dan mortalitas, keamanan, biaya, dan adanya penyakit lain dan faktor resiko lain.
Pasien dengan uncomplicated hypertension sebaiknya menerima diuretik thiazide atau
blocker (Tabel 9-2). Hanya sekitar 40% pasien yang mendapatkan kontrol tekanan darah
dengan agen tunggal. Obat pilihan kedua harus mempunyai efek antihipertensi aditif dan
memperbaiki kondisi medis sebelumnya. Jika duretik bukan merupakan obat pertama, diuretik
sebaiknya menjadi obat kedua pada regimen jika tidak kontraindikasi.
Jika kondisi yang sebelumnya dialami melarang penggunaan diuretik thiazide atau blocker,
alternatif terbaik adalah ACE inhibitor, Ca channel blocker, angiotensin II reseptor blocker,
dan, terkadang, blocker. Agonis 2 yang bekerja sentral, inhibitor adrenergic dan
vasodilator digunakan untuk pasien dengan hipertensi yang sulit dikontrol.

Duretik
Thiazide umumnya merupakan diuretik pilihan untuk perawatan hipertensi, dan semuanya
sama-sama efektif untuk menurunkan tekanan darah. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang
baik (yaitu, glomerulus filtration rate, GFR, >30 /ml menit), thiazide menjadi lebih efektif
daripada loop diuretic. Tetapi, jika fungsi ginjal menurun, natrium dan air terakumulasi,
penggunaan loop duretic perlu untuk melawan efek ekspansi volume dan natrium pada
tekanan darah arterial.
Diuretik hemat kalium adalah antihipertensi lemah ketika digunakan tunggal tapi memberikan
efek aditif antihipertensi ketika digabungkan dengan thiazide atau loop diuretic. Lebih jauh,
duretik hemat kalium tidak mempunyai sifat menyebabkan kehabisan kalium dan magnesium
seperti pada diuretik lain.
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis. Pengurangan pada
volume plasma dan stroke volume yang dihubungkan dengan diuretik menurunkan cardiac
output dan, sebagai hasilnya, tekanan darah. Penurunan awal pada cardiac output
menyebabkan peningkatan untuk kompensasi pada tahanan vascular perifer. Dengan terapi
diuretik kronik, volume cairan ekstraseluler dan volume plasma kembali hampir ke level
sebelum perawatan (pretreatmeant), dan tahanan vascular perifer jatuh di bawah baseline
pretreatmeant. Pengurangan pada tahanan vascular perifer bertanggungjawab untuk efek
hipotensi jangka panjang. Telah dipostulatkan bahwa thiazides menurunkan tekanan darah
dengan memindahkan natrium dan air dari dinding arteriolar.
23

Ketika diuretik digabungkan bersama dengan antihipertensi lain, efek aditif antihipertensi
biasanya teramati karena mekanisme kerja yang independen. Lebih jauh, banyak agen
antihipertensi non diuretik merangsang retensi air dan natrium, yang berlawanan dengan efek
diuretik.
Efek samping thiazides termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia,
hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Loop diuretic mempunyai efek lebih
kecil pada serum lipid dan glukosa, tapi hipokalsemia bisa terjadi.
Hipokalemia dan hipomagnesia karena diuretik bisa menyebabkan kejang otot. Cardiac
aritmia juga bisa terjadi, terutama pada pasien yang menerima terapi digitalis, pasien dengan
hipertrofi ventrikel kiri, dan mereka dengan penyakit iskemi jantung. Resiko hipokalemia dan
efek metabolik lainnya dikurangi dengan membatasi dosis harian (seperti, 12,5-25 mg
hydrochlorothiazide atau 25 mg chlorthalidone).
Diuretik hemat kalium bisa menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal atau diabetes, dan pasien yang menerima perawatan dengan ACE
inhibitor, NSAID, atau suplemen kalium. Spironolakton bisa menyebabkan ginekomasti.
-adrenergic blocker
Mekanisme hipotensi yang pasti dari blocker masih belum jelas tapi melibatkan penurunan
cardiac output melalui kronotropik negatif dan efek inotropik pada jantung dan inhibisi
pelepasan renin dari ginjal.
Meski ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik yang penting pada berbagai
blocker, tidak ada perbedaan pada efek klinik untuk antihipertensi.
Bisoprolol, metoprolol, atenolol, dan asebutolol adalah cardioselective pada dosis rendah dan
mengikat lebih kuat pada respetor 1 daripada reseptor 2. sebagai hasil, agen-agen ini lebih
jarang menyebabkan bronkospasma dan vasokontriksi dan bisa lebih aman dari blocker non
selective pada pasien dengan asma, chronic obstructive pulmnary disease (COPD), diabetes,
dan penyakit vascular verifer.
Cardioselektivitas adalah fenomena tergantung dosis, dan efeknya hilang pada dosis lebih
tinggi.
Pindolol, penbutolol, carteolol, dan acebutolol mempunyai intrinsic sympathomimetic activity
(ISA) atau aktivitas agonis parsial terhadap reseptor . Ketika tonus simpatik rendah, seperti
pada waktu istirahat, reseptor distimulasi parsial, jadi denyut jantung istirahat, cardiac
output, dan aliran darah perifer tidak dikurangi ketika reseptor diblock. Teorinya, obat ini bisa
mempunyai keuntungan pada pasien dengan borderline heart failure, bradikardia sinus, atau
24

mungkin penyakit vascular perifer. Tetapi, agen dengan ISA sebaiknya tidak digunakan
karena bisa meningkatkan resiko infark myocardia.
Ada perbedaan farmakokinetik diantara blocker pada metabolisme lintas pertama (first pass
metabolism, FPM), waktu paruh serum, derajat lipofilitas, dan rute eliminasi. Propanolol dan
metoprolol mengalami FPM yang hebat. Atenolol dan nadolol, yang waktu paruhnya relatif
panjang, diekskresikan melalui renal, dan dosisnya perlu disesuaikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Bahkan meski waktu paruh

blocker lainnya lebih pendek,

pemberian sekali sehari masih bisa efektif. blocker berbeda pada sifat lipofilitasnya dan
sehingga penetrasinya ke CNS.
Efek samping dari blokade pada myocardium termasuk bradikarida, abnormalitas pada
konduksi atrioventricular (AV), dan gagal jantung. Blokade pulmonal bisa menyebabkan
bronkospasma makin parah pada pasien asma atau CPOD. Blokade reseptor 2 pada arteriolar
otot polos bisa menyebabkan ekstremitas menjadi dingin dan memperburuk claudication yang
terjadi dalam interval atau fenomena Raynaud karena penurunan aliran darah perifer.
Penghentian mendadak terapi blocker bisa menyebabkan unstable angina, infark myocardia,
atau bahkan kematian pada pasien yang rentan terhadap kejadian iskemi myocardial. Pada
pasien tanpa penyakit jantung koroner, penghentian tiba-tiba terapi blocker bisa
dihubungkan dengan sinus takikardia, sering berkeringat, dan malaise. Untuk alasan ini,
merupakan tindakan bijak untuk menurunkan dosis secara bertahap selama 14 hari sebelum
dihentikan.
Peningkatan serum lipid dan glukosa tampaknya hanya sementara dan mempunyai peran
klinik yang kecil. blocker meningkatkan level serum trigliserida dan menurunkan level
HDL-C. blocker dengan sifat blocker (seperti, labetolol) tidak menghasilkan perubahan
yang berarti pada konsentrasi serum lipid.
Pada pasien dengan diabetes, blocker mengurangi simtom hipoglisemia dan bisa
memperpanjang durasi hipoglisemia. Sehingga, penggunannya harus hati-hati pada diabetes
yang dikontrol dengan ketat, dan agen cardioselective yang sebaiknya digunakan.

ACE Inhibitor
ACE didistribusikan secara luas di banyak jaringan, dengan beberapa tipe sel yang berbeda,
tapi lokasi umumnya pada sel endotelal. Karena endotel vascular meliputi area yang luas,
tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah, bukan ginjal. ACE inhibitor
menghalangi perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor poten
yang merangsang sekresi aldosteron. ACE inhibitor juga menghalangi degradasi bradikinin
25

dan merangsang sintesis senyawa vasodilator lain, seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin.
Fakta bahwa ACE inhibitor menurunkan tekanan darah pada pasien dengan plasma renin
normal dan aktivitas ACE mengindikasikan pentingnya bradikinin dan mungkin produksi
ACE di jaringan sebagai penyebab meningkatnya tahanan vascular perifer.
Analapril dan lisinopril diberikan sekali sehari, dan benazapril, captopril, fosinopril,
moexipril, quinapril, ramipril, dan trandolapril bisa memberikan pengurangan tekanan darah
selama 24 jam dengan pemberian sekali atau dua kali sehari. Absorpsi captopril (tapi bukan
enalapril atau lisinopril) berkurang 30-40% dengan adanya makanan di lambung.
Sekitar 10% pasien yang mengkonsumsi captopril mengalami kulit kemerahan, yang
terkadang cepat hilang dengan dosis yang lebih kecil dan melanjutkan perawatan. Hilangnya
kemampuan mengecap reversibel atau gangguan dalam pengecapan (dysgeusia) telah
dilaporkan pada sekitar 6% pasien yang menerima captopril. Tingginya kejadian kulit
kemerahan, dysgeusia, dan proteinuria dengan captopril dihubungkan dengan gugus sulfhydril
yang tidak terdapat di enalapril maupun lisinopril. Sekitar 10-20% pasien mengalami batuk
yang sulit hilang pada pemberian ACE inhibitor; pasien ini bisa menerima antagonis reseptor
angiotensin II sebagai pengganti.
Hipotensi akut bisa terjadi pada onset terapi ACE inhibitor, terutama pada pasien yang
natrium dan volume airnya berkurang banyak. Mungkin perlu untuk menghentikan diuretic
dan mengurangi dosis agen antihipertensi lain sebelum memulai terapi. Penting untuk
memulai terapi ACE inhibitor pada dosis rendah dengan penambahan secara titrasi.
Efek samping paling serius dari ACE inhibitor adalah netropenia dan agranulocytosis,
proteinuria, glomerulonephritis, gagal ginjal akut, dan angoiedema; efek ini terjadi pada <1%
pasien. Pasien yang sebelumnya mengidap penyakit ginjal atau jaringan connective paling
rentan terhadap efek samping ginjal dan hematologis. Pasien dengan stenosis arteri renal
bilateral atau stenosis unilateral dari ginjal yang bekerja sendiri dan pasien yang tergantung
pada efek vasokontriksi dari angiotensin II pada arteriol efferent paling rentan terhadap
terjadinya gagal ginjal akut.
Hiperkalemia terlihat umumnya pada pasien dengan penyakit ginjal atau diabetes melitus
(terutama dengan asidosis renal tipe IV) atau pada pasien yang menerima NSAID, suplemen
kalium, atau diuretik hemat kalium.
ACE inhibitor tidak boleh diberikan selama kehamilan karena ancaman masalah neonatal
yang serius, termasuk kegagalan ginjal dan kematian pada bayi, telah dilaporkan pada ibu
yang mengkonsumsi agen ini selama trimester kedua dan ketiga.

26

Angiotensin II Receptor Blocker


Angiotensin II dihasilkan oleh jalur renin-angiotensin (yang melibatkan ACE) dan jalur
alternatif yang menggunakan enzim lain sepeti chymases. ACE inhibitor menghambat hanya
jalur renin-angiotensin, sedangkan angiotensin II receptor blocker mengantagonis angiotensin
II yang dibuat dari kedua jalur. Angiotensin II receptor blocker secara langsung menghambat
reseptor AT1 angiotensin yang memediasi efek angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan
aldosterone, aktivasi simpatik, pelepasan antidiuretic hormone, dan konstriksi arteriol efferen
dari glomerulus).
Tidak seperti ACE inhibitor, obat ini tidak menghambat pemecahan bradikinin. Ini memang
mengurangi efek samping batuk, tapi bisa ada konsekuensi merugikan karena beberapa efek
antihipertensi dari ACE inhibitor bisa karena peningkatan level bradikinin. Bradikinin bisa
juga penting untuk regression hipertropi myosit, regression fibrosis, dan peningkatan level
aktivator plasminogen jaringan.
Semua obat dalam kelas ini mempunyai efek antihipertensi yang serupa dan kurva respondosis yang relatif datar. Penambahan dosis kecil thiazide bisa meningkatkan efeknya.
Karena efeknya pada cardiovascular outcome dalam jangka panjang yang tidak tentu, agen ini
sebaiknya tidak dianggap equivalen ACE inhibitor pada saat ini. Agen ini berguna pada
pasien yang membutuhkan ACE inhibitor (seperti, gagal jantung, diabetes) tapi tidak bisa
mentolerirnya (terutama karena batuk) meski telah dicoba untuk mengurangi dosis atau
pemberian ACE inhibitor alternatif.

Calcium Channel Antagonist


Calcium channel antagonist menyebabkan relaksasi otot cardiac dan otot polos dengan memblock voltage-sensitive calcium channel, sehingga mengurangi masuknya kalsium
ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vascular menyebabkan vasodilatasi dan
reduksi pada tekanan darah. Dihydropyridine calcium channel antagonist bisa menyebabkan
aktivas refleks simpatik, dan semua agen (kecuali amodipine) bisa menghasilkan efek
inotropik negatf.
Verapamil menurunkan tekanan darah, memperlambat konduksi AV nodal, dan menghasilkan
efek inotropik negatif yang bisa menyebabkan gagal jantung pada pasien dengan borderline
cardiac reserve. Diltiazem menurunan konduksi AV dan denyut jantung sampai tingkatan
yang lebih rendah dari verapamil.

27

Diltiazem dan verapamil jarang menyebabkan abnormalitas konduksi cardiac seperti


bradikardia, AV block, dan gagal jantung. Keduanya bisa menyebabkan anoreksia, mual,
edema perifer, dan hipotensi. Verapamil menyebabkan konstipasi pada sekitar 7% pasien.
Nifepidine dan, sampai tingkat yang lebih rendah, derivat dihydropiridine lainnya
menyebabkan peningkatan reflek yang dimediasi baroreseptor pada denyut jantung karena
efek vasodilator perifer mereka yang poten. Dihydropiridine biasanya tidak menurunkan
konduksi AV nodal.
Nifedipine jarang menyebabkan peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi angina yang
dikaitkan dengan hipotensi akut. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan sediaan lepas
lambat nifepidine atau dihydropiridine lainnya. Efek samping lain dari dihydropiridine
termasuk pusing, wajah memerah (flushing), sakit kepala, gingival hyperplasia, edema perifer,
perubahan mood, dan keluhan saluran cerna. Efek samping karena vasodilatasi seperti pusing,
flushing, sakit kepala, dan edema perifer terjadi lebih sering dengan dihydropiridine dari
verapamil atau diltiazem.
Blocker Reseptor 1 Perifer
Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah blocker selektif untuk reseptor 1 yang tidak
merubah aktivitas reseptor 2 dan sehingga tdak menyebabkan reflek takikardi.
Pada dosis yang lebih tinggi dan terkadang dengan pemberian kronik dosis rendah, akumulasi
air dan natrium menyebabkan perlunya terapi diuretik untuk mempertahankan efek hipotensi.
Efek samping CNS termasuk lassitude (kehabisan tenaga, stamina), vivid dream, dan depresi.
Fenomena dosis-pertama dicirikan dengan hipotensi ortostatik, pusing atau lemas yang segera
hilang, palpitasi, dan bahkan sinkop yang terjadi dalam 1-3 jam dosis pertama atau nanti
setelah dosis meningkat. Kejadian ini bisa dicegah dengan memberikan dosis pertama, dan
peningkatan pertama dosis, sebelum tidur. Terkadang, pusing ortostatik bertahan dengan
pemberian kronik.
Karena dari data bisa disimpulkan bahwa doxazosin (dan mungkin reseptor 1 blocker
lainnya) tidak melindungi terhadap

kejadian cardiovascular seperti terapi lain,

penggunaannya pada dosis rendah sebaiknya dibatasi untuk kasus unik seperti pada pria
dengan hiperplasia prostat ganas jika mereka telah menerima terapi antihipertensi standar
lainnya (diuretik, blocker, atau ACE inhibitor).
Agonis Reseptor 2 Sentral.

28

Clonidine, guanabenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan
menstimulasi reseptor 2 adrenergic di otak, yang mengurangi symphatetic outflow dari pusat
vasomotor dan meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor 2 presinap secara perifer bisa
berperan pada pengurangan tonus simpatik. Konsekuensinya, bisa ada penurunan denyut
jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktivitas plasma renin, dan reflek baroreseptor.
Penggunaan kronik menyebabkan retensi natrium dan cairan, yang tampaknya paling jelas
dengan metildopa. Dosis rendah dari clonidine, guanfacine, atau guanabenz bisa digunakan
untuk merawat hipertensi ringan tanpa perlu menambahkan diuretik.
Sedasi dan mulut kering adalah efek samping umum yang bisa hilang dengan dosis rendah
kronik. Dan seperti antihipertensi lain yang bekerja sentral, bisa terjadi depresi.
Penghentian mendadak bisa menyebabkan rebound hypertension (peningkatan mendadak
tekanan darah sampai ke level sebelum perawatan) atau overshoot hypertension (peningkatan
tekanan darah lebih tinggi dari level sebelum perawatan). Ini diperkirakan terjadi setelah
kompensasi peningkatan pada pelepasan norepinefrin yang mengikuti penghentian stimulasi
reseptor presinap.
Metildopa jarang menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik. Peningkatan singkat pada
hepatic transaminase kadang terjadi dengan metildopa dan secara klinik tidak penting.
Peningkatan yang bertahan pada serum transaminase atau alkaline phosphatase bisa
mendahului onset fulminant hepatitis(hepatitis yang terjadi mendadak dalam keadaan sangat
parah), yang bisa fatal. Anemia hemolitik Coombs-positive terjadi pada <1% pasien yang
menerima metildopa, meski 20% tes direct-Coomb-nya positif tanpa mengalami anemia.
Untuk alasan ini, metildopa mempunyai kegunaan yang terbatas.
Transdermal delivery system untuk clonidine bisa dihubungkan dengan efek samping yang
lebih kecil dan peningkatan kepatuhan. Patch digunakan pada kulit selama 2 minggu sebelum
diganti. Tekanan darah diturunkan sementara konsentrasi serum obat yang tinggi bisa
dihindari. Kerugiannya adalah harga mahal, 20% kejadian kulit kemerahan yang terjadi lokal
atau iritasi, dan penundaan onset efek selama 2 atau 3 hari.

Vasodilator
Hydralazine dan minoxidil menyebabkan relaksasi otot polos arteriol secara langsung melalui
mekanisme yang meningkatkan konsentrasi seluler cyclic guanosine monophosphate (cGMP).
Compensatory activation dari reflek baroreseptor menyebabkan peningkatan sympathetic
outflow dari pusat vasomotor, menghasilkan peningkatan denyut jantung, cardiac output, dan
pelepasan renin. Konsekuensinya, keefektifan vasodilatasi dari vasodilator langsung
29

menghilang dengan waktu kecuali pasien juga mengkonsumsi inhibitor simpatik dan diuretik.
Pada pasien yang lebih tua, mekanisme baroreseptor bisa tidak optimal sehingga tekanan
darah bisa diturunkan dengan terapi vasodilator tanpa menyebabkan over aktivitas simpatik.
Pasien yang dicalonkan untuk obat sebaiknya menerima terapi duretik dan -adrenergic
blocker sebelumnya. Vasodilator langsung bisa menyebabkan angina pada pasien dengan
penyakit arteri kroner kecuali mekanisme reflek baroreseptor di-block total dengan inhibitor
simpatik. Clonidine bisa digunakan pada pasien yang kontraindikasi dengan blocker.
Hydralazine bisa menyebabkan sindroma seperti lupus yang terkait dosis, yang lebih umum
pada asetilator lambat. Reaksi seperti lupus bisa dihindari dengan menggunakan total dosis
harian <200 mg. efek samping lain dari hydralazine termasuk dermatitis, drug fever, neuropati
perifer, hepatitis, dan vascular headache. Untuk alasan ini, penggunaan hydralazine pada
perawatan hipertensi terbatas.
Minoxidil adalah vasodilator yang lebih poten dari hydralazine, dan peningkatan kompensasi
pada denyut jantung, cardiac output, pelepasan renin, dan retensi natrium lebih dramatis.
Retensi air dan natrium yang parah bisa menyebabkan gagal jantung kongestif. Minoxidil
juga menyebabkan hypertrichosis reversibel pada wajah, lengan, punggung, dan dada. Efek
sampng lain termasuk effusi (keluarnya cairan) pericardial dan perubahan T wave non
spesifik pada ECG. Minoxidil umumnya diberikan untuk hipertensi yng sulit dikntrol.

Postganglionic Sympathetic Inhibitor


Guanethidine dan guandrel menghabiskan norepinefrin dari terminal saraf simpatik post
ganglionik dan menginhibit pelepasan norepinefirn sebagai respon terhadap stimulasi saraf
simpatik. Ini mengurangi cardiac output dan tahanan vascular perifer.
Hipotensi postural umum terjadi karena penghalangan vasokontriksi yang dimediasi reflek.
Efek samping lain termasuk impotensi, diare parah (karena aktivitas parasimpatik), dan
bertambahnya berat. Karena efek samping ini, postganglionic sympathetic inhibitor
mempunyai peran kecil pada pengaturan hipertensi.

Reserpine
Reserpine menghabiskan norepinefrin dari akhiran saraf simpatik dan menghalangi transpor
norepinefirn ke granule penyimpanan. Ketika saraf sistimulasi, jumlah epinefrin yang
dilepaskan ke sinap kurang dari biasanya. Ini mengurangi tonus simpatik, menurunkan
tahanan vascular perifer dan tekanan darah.

30

Reserpine bisa menyebabkan retensi cairan dan natrium yang signifikan, dan sebaiknya
diberikan dengan diuretik.
Inhibisi kuat aktivitas simpatik dari Reserpine menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas
parasimpatik, yang berperan untuk efek samping hidung buntu, peningkatan sekresi gastrik,
diare, dan bradikardi.
Efek samping paling serius adalah depresi mental yang terkait dosis sebagai akibat dari
deplesi serotonin dan katekolamine CNS. Ini bsia dikurangi dengan dosis tidak melebihi 0,25
mg sehari. Kombinasi diuretik dan reserpine merupakan regimen antihipertensi yang efektif
dan tidak mahal.

Pengaturan pada Populasi Khusus


Meski thiazide dan blocker disukai pada pasien dengan uncomplicated hypertension, agen
alternatif bisa dipertimbangkan pada beberapa kasus karena sifatnya yang unik bermanfaat
untuk kondisi yang dialami

Hipertensi pada Manula


Pasien manula bisa mengalami isolated systolic hypertension atau peningkatan pada SBP dan
DBP. Data epidemiologis mengindikasikan bahwa morbiditas dan mortilitas cardiovascular
lebih terkait dengan SBP daripada DBP. Pada uji double blind placebo-controlled Systolic
Hypertension in the Elderly Program (SHEP), perawatan aktif pada isolated systolic
hypertension memberi hasil pengurangan 36% pada insiden stroke total, pengurangan 27%
pada jumlah kejadian cardiovascular total, dan pengurangan 55% pada gagal jantung
kongestif.
JNC-VI menyarankan pengurangan SBP sampai <140 mmHg, tapi pengurangan sampai <160
mmHg mungkin perlu bagi mereka yang tekanan awal sistoliknya sangat tinggi.
Pasien manula biasanya lebih sensitif terhadap deplesi volume dan inhibisi simpatik, dan
perawatan sebaiknya diawali dengan dosis kecil diuretik (seperti, hydrochlorothiazide, 12,5
mg) dan meningkat secara bertahap. Jika diuretik tunggal tidak bisa menghasilkan
pengurangan SBP yang diinginkan, ACE inhibitor bisa ditambahkan pada dosis kecil dengan
peningkatan bertahap. blocker adalah obat pilihan pertama pada manula yang mengidap
angina dan hipertensi, dan ACE inhibitor sangat disukai untuk pasien hipertensi dengan
diabetes atau gagal jantung.
Hipertensi pada Masa Anak-anak

31

Pada kebanyakan kasus, faktor yang dihubungkan dengan hipertensi pada anak-anak serupa
dengan faktor pada dewasa. Tetapi, hipertensi sekunder biasanya lebih umum pada anak-anak
daripada dewasa.
Penyakit ginjal (seperti, pyelonephritis, glomerulonephritis, stenosis artreri ginjal, kista ginjal)
adalah penyebab paling umum hipertensi sekunder pada anak-anak. Perawatan medis atau
operasi pada penyebab biasanya mengembalikan tekanan darah ke normal.
Seperti pada dewsa, perawatan non farmakologi adalah landasan terapi hipertensi primer.
Duretik dan blocker berguna pada anak dan neonatus tapi harus dihindari pada gadis yang
aktif secara seksual (???) dan pada mereka yang mungkin mempunyai stenosis arteri ginjal
bilateral atau stenosis unilateral pada ginjal tunggal. Nifedipine adalah Ca channel blocker
yang kerjanya panjang dan telah digunakan paling sukses pada anak-anak, tapi keamanannya
untuk penggunaan jangka panjang belum ditentukan.
Hipertensi dengan Asma, COPD, dan Penyakit Arterial Perifer blocker, bahkan yang
1 selektif, sebaiknya dihindari. Tetapi, agen 1 selektif sangat diindikasikan untuk pasien
dengan infark myocardia.

2. Obat otonom (farmakokinetik dll yang berhub dg analisis masalah


kalimat 5)
Omeprazole
Omeprazole adalah obat penghambat sekresi asam lambung yaitu antihistamin2. Obat ini
termasuk ke golongan penghambat pompa proton. penghambat pompa proton merupakan
penghambat sekresi asam lambung lebih kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses terakhir
produksi asam lambung, lebih distal dari AMP.

Obat ini suatu prodrug yang hanya

membutuhkan suasana asam untuk mengaktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke


sirkulasi sistemik obat ini akan berdiffusi ke sel parietal lambung, terkumpul di kanalikuli
sekretoar dan mengalami aktivasi disitu menjadi bentuk sulfonamide tetrasiklik. Penghentian
produksi asam lambung sebesar 80% sampai 95% oleh penghambatan pompa proton tersebut.
Penghambatan berlangsung lama sekitar 24 sampai 48 jam dan sifat dari hambatannya ini
irreversible. PPI ini sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enteric untuk mencegah
degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di
lambung sehingga bioavailabilitasnya lebih baik. Tablet yang pecah di lambung mengalami
aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfihidril mucus dan makanan. Kemudian obat ini
32

dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan CYP3A4. Efek
samping dari obat ini adalah mual, nyeri perut, konstipasi, diare. Dosis lazim yang diberikan
untuk PEPTIC ULCER adalah 20-40 mg 1 kali sehari.
Dosis :
Dosis yang dianjurkan 20 mg atau 40 mg, sekali sehari, kapsul harus ditelan utuh
dengan air (kapsul tidak dibuka, dikunyah, atau dihancurkan). Sebaiknya diminum sebelum
makan.
1. Penderita dengan gejala tukak duodenal : lama pengobatan memerlukan waktu 2 minggu,
dan dapat diperpanjang sampai 2 minggu lagi.
2. Penderita dengan gejala tukak lambung atau refluks esofagitis erosif / ulseratif : lama
pengobatan memerlukan waktu 4 minggu, dan dapat diperpanjang sampai 4 minggu lagi.
3. Penderita yang sukar disembuhkan dengan pengobatan lain, diperlukan 40 mg sekali
sehari.
4. Penderita sindroma Zollinger Ellison dosis awal 20-120 mg sekali sehari, dosis ini harus
disesuaikan untuk masing-masing penderita. Untuk dosis lebih dari 80 mg sehari, dosis
harus dibagi 2 kali sehari.
Farmakodinamik :
Omeprazole merupakan antisekresi, turunan benzimidazole yang tersubstitusi.
Omeprazole menghambat sekresi asam lambung pada tahap akhir dengan memblokir system
enzim H+, K+-ATPase (Proton Pump) dalam sel parietal lambung. Omeprazole yang berikatan
dengan proton (H+) secara cepat akan diubah menjadi sulfenamid, suatu penghambat pompa
proton yang aktif. Sulfenamid bereaksi secara cepat dengan gugus merkapto (SH) dari H+, K+ATPase, kemudian terbentuk ikatan disulfide diantara inhibitor aktif dan enzim, dengan
demikian dapat menginaktifkan enzim secara efektif. Sehingga menghambat pembentukan
asam lambung baik dalam keadaan basal ataupun pada saat adanya rangsangan
Farmakokinetik:
Omeprasol dimetabolisme secara sempurna terutama dihati, sekitar 80% metabolit
diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui feses.
Dalam bentuk garam natrium omeprazole diabsorpsi dengan cepat. Sembilan puluh lima
persen natrium omeprazole terikat pada protein plasma.
Indikasi :
1. Pengobatan jangka pendek tukak duodenal dan yang tidak responsif terhadap obat-obat
antagonis reseptor H2.
33

2. Pengobatan jangka pendek tukak lambung.


3. Pengobatan refluks esofagitis erosif / ulceratif yang telah didiagnosa melalui endoskopi.
4. Pengobatan jangka lama pada sindroma Zollinger Ellison.
Kontra indikasi :
Penderita hipersensitif terhadap omeprazole.
Interaksi obat :
1. Omeprazole dapat memperpanjang eliminasi obat-obat yang dimetabolisme melalui
sitokrom P-450 dalam hati yaitu diazepam, warfarin, fenitoin.
2. Omeprazole mengganggu penyerapan obat-obat yang absorbsinya dipengaruhi pH
lambung seperti ketokonazole, ampicillin dan zat besi.
Efek samping :
Omeprazole umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Pada dosis besar dan
penggunaan yang lama, kemungkinan dapat menstimulasi pertumbuhan sel ECL
(enterochromaffin-likecells). Pada penggunaan jangka panjang perlu diperhatikan adanya
pertumbuhan bakteri yang berlebihan di saluran pencernaan.
Peringatan dan perhatian :
Pada wanita hamil, wanita menyusui dan anakanak sebaiknya dihindari bila penggunaannya
dianggap tidak cukup penting.

Enalapril
SIFAT FISIKOKIMIA
Serbuk kristal berwarna putih atau hampir putih. Sukar larut dalam air, praktis tidak
larut

dalam

dichloromethane.

Sangat

mudah

larut

dalam

metil

alkohol

dan

dimethylformamide. Sedikit larut dalam solven organik semi polar, praktis tidak larut dalam
solven organik nonpolar. Larut dalam larutan alkali hidroksida encer. Larutan 1 % dalam air
mempunyai pH 2,4 2,9. Penyimpanan terlindung dari cahaya. Stabilitas : - Enalapril
dilaporkan stabil minimal 56 hari dalam bentuk larutan oral yang dibuat baru
(extemporaneous) mengandung enalapril maleate1mg/mL dalam berbagai larutan pembawa. Sediaan enalaprilat adalah larutan jernih dan tidak berwarna. Sediaan dalam vial disimpan
pada suhu < 30oC. Kompatibilitas: larutan injeksi enalaprilat kompatibel dengan infus D5
Ringers, D5 RL, D5 NS, D5, Isolyte E, NS.

DOSIS PEMBERIAN OBAT

34

Dosis awal yang lebih rendah pada pasien dengan hiponatremia, hipovolemia,
severecongestiveheartfailure, menurunnya fungsi ginjal atau pada pasien yang mendapat
terapi diuretik. - Anak 1 bulan17 tahun : Oral : Enalapril sebagai antihipertensi Dosis awal
0,08 mg/kg BB (sampai 5 mg) dalam 1-2 dosis terbagi; dosis diatur berdasarkan respon pasien
5,9. Alternatif lain, untuk anak dengan BB 20-50 kg : dosis awal 2,5 mg sekali sehari,
dinaikkan sampai maksimum 20 mg perhari, untuk anak dengan BB 50 kg atau lebih dapat
diberikan dosis awal 5 mg sekali sehari, dinaikkan sampai maksimum 40 mg perhari. 9 Dewasa - Oral : Enalapril : - Hipertensi : 2,5 -5 mg/hari kemudian dinaikkan sesuai
kebutuhan, dosis terapi lazim untuk hipertensi : 10-40 mg/hari diberikan dalam 1-2 dosis
terbagi. Catatan : dosis diawali dengan 2,5 mg jika pasien mendapat diuretik yang tidak dapat
dihentikan. Dapat juga ditambahkan diuretik jika tekanan darah tidak dapat dikontrol dengan
pemberian enalapril saja. - Heartfailure : dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dengan
diuretik, beta blocker dan digoxin, diawali dengan dosis 2,5 mg satu atau dua kali perhari
(dosis lazim : 5-20 mg/hari diberikan dalam dua dosis terbagi; target : 40 mg). Asymptomaticleftventriculardysfunction : 2 x 2,5 mg perhari, dosis dititrasi sesuai toleransi
pasien sampai 20 mg perhari. Intravena : Enalaprilat (bila terapi oral tidak memungkinkan) Hipertensi : 1,25 mg/dosis, diberikan dalam waktu 5 menit setiap 6 jam. Catatan : jika pasien
secara bersamaan mendapat terapi diuretik, mulai dengan dosis 0,625 mg iv diberikan selama
5 menit; jika efeknya tidak adekuat setelah 1 jam, ulangi dosis dan berikan 1,25 mg pada
interval 6 jam berikutnya; jika adekuat, berikat 0,625 mg iv setiap 6 jam. - Heartfailure :
hindari pemberian iv pada pasien dengan unstableheartfailure atau yang menderita
acutemyocardialinfarction. Konversi iv ke terapi oral jika tidak diberikan bersamaan dengan
diuretik : oral 5 mg sekali sehari; selanjutnya boleh dilakukan titrasi dosis sesuai kebutuhan;
jika mendapat terapi diuretik secara bersamaan dan responnya bagus pada dosis 0,625 mg iv
setiap 6 jam, dosis awal oral 2,5 mg/hari. - Pengaturan dosis pada pasien gangguan ginjal : Oral : Enalapril : ClCr 30-80 mL/menit : 5 mg/hari titrasi dosis sampai maksimum 40 mg.
ClCr< 30 mL/menit : 2,5 mg/hari titrasi dosis sampai tekanan darah terkontrol. Untuk pasien
heartfailure (gagal jantung dengan natrium< 130 mEq/L atau serum kreatinin> 1,6 mg/dL,
dosis diawali dengan 2,5 mg/hari, dinaikkan menjadi dua kali perhari sesuai kebutuhan.
Dinaikkan lebih lanjut 2,5 mg/dosis setelah interval waktu lebih dari 4 hari sampai dosis
maksimum 40 mg/hari. Enalaprilmalat tidak direkomendasikan untuk neonatus atau pasien
pediatri dengan GFR < 30 mL/menit per 1,73 m2, karena tidak ada data untuk pasien tersebut
2. - Intravena : Enalaprilat : ClCr> 30 mL/menit : dosis awal 1,25 mg setiap 6 jam dan dosis
dapat dinaikkan berdasarkan respon pasien. ClCr< 30 mL/menit : dosis awal 0,625 mg setiap
35

6 jam dan dosis dapat dinaikkan berdasarkan respon pasien. - Hemodialisis :


moderatelydialyzable (20%-50%) : berikan dosis setelah dilisis (misal 0,625 mg iv setiap 6
jam) atau berikan dosis tambahan 20%-25% setelah dilisis; clearance : 62 mL/menit5.
Hemodialisis menurunkan kadar enalaprilat dalam serum kira-kira 35%11. - Peritonealdilisis
: tidak diperlukan dosis tambahan, meskipun sebagian obat ikut terbuang.5 - Pengaturan dosis
pada gangguan hepar : hidrlisisenalapril menjadi enalaprilat dapat tertunda dan atau gagal
pada pasien dengan gangguan hepar yang berat, tetapi efek farmakodinamik obat tidak
berubah secara signifikan; tidak perlu pengaturan dosis 5. Diet yang perlu diperhatikan :
batasi diet yang mengandung garam pengganti atau yang banyak mengandung kalium 5.

FARMAKOLOGI
Mekanisme kerja : competitiveinhibitor dari angiotensin-convertingenzyme (ACE);
mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, suatuvasokonstriktor yang poten;
menghasilkan kadar angiotensin II yang lebih rendah yang mana dapat menyebabkan
peningkatan aktivitas renin dalam plasma dan mereduksi sekresi aldosteron 1,2,5,9. Mula
kerja obat (onset of action) : oral : ~1 jam, intravena : 15 menit5,11. Lama kerja obat
(duration) oral : 12-24 jam Absorpsi : 55%-65 % Ikatan dengan protein : 50%-60 %
Metabolisme : prodrug, melalui biotransformasihepatic menjadi enalaprilat. Waktu paruh
eliminasi : Enalapril : dewasa : sehat 2 jam; congestiveheartfailure : 3,4-5,8 jam Enalaprilat :
bayi usia 6 minggu8 bulan : 6-10 jam; dewasa : 35-38 jam Waktu untuk mencapai puncak,
serum : oral : Enalapril : 0,5-1,5 jam Enalaprilat (aktif) : 3-4,5 jam Eksresi : urin ( 60 %-80
%); sebagian dalam faeces. Sesudah pemberian dosis oral, enalaprildieskresi terutama di
dalam urin dan sebagian dalam faeces, sebagai enalaprilat dan senyawa aslinya
(unchangeddrug), lebih dari 90 % dosis ivenalaprilatdieksresi di dalam urin. Eliminasi
enalaprilat adalah multiphasic tapi waktu paruh efektif untuk akumulasi sesudah dosis ganda
enalapril dilaporkan terjadi kira kira 11 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Enalaprilat dikeluarkan melalui hemodialis dan peritonialdialisis.

STABILITAS PENYIMPANAN
Tablet enalapril disimpan dalam wadah aslinya, tertutup rapat, dan jauhkan dari
jangkauan anak-anak. Simpan pada suhu kamar dan hindari dari panas dan kelembaban yang
berlebihan 3. Enalaprilat : larutan jernih, tidak berwarna, sebaiknya disimpan pada suhu < 30o
C. IV stabil 24 jam pada suhu kamar dalam infus glukosa 5 % (D5W) dan NS.

36

INDIKASI
Untuk mengobati tekanan darah tinggi, gagal jantung congestive, masalah ginjal yang
disebabkan oleh diabetes, dan untuk meningkatkan pertahanan hidup setelah serangan
jantung.

KONTRA INDIKASI
Hipersensitif terhadap enalapril atau enalaprilat; angioedema yang berhubungan dengan terapi
ACE inhibitor sebelumnya; pasien dengan angioedemaidiopatik atau herediter; bilateral
renalarterystenosis; kehamilan (trimester 2 dan 3).

EFEK SAMPING
1%-10 % : - Kardiovaskuler : hipotensi 0,9%-6,7%, Chestpain (2%), syncope (0,5%-2%),
orthostasis (2%), orthostatichypotension (2%). - CNS : sakit kepala (2%-5%), pusing/dizzines
(4%-8%), fatigue (2%-3%) - Dermatologic : rash (1,5%) - Gastrointestinal : abnormal taste,
sakit perut, muntah, mual, diare, anoreksia, konstipasi. - Neuromuscular&skeletal : weakness.
- Ginjal : peningkatan serum kreatinin (0,2%-20%), memburuknya fungsi ginjal (pada pasien
dengan bilateral renalarterystenosis atau hipovolemia). - Respiratory (1 % - 2 %) : bronchitis,
batuk, dyspnea. < 1 % (limitedtoimportantorlife-threatening ) : agranulositosis, alopecia,
anginapectoris, angioedema, ataxia, bronchospasme, cardiacarrest, cerebralvascularaccident,
depresi, erythemamultiforme, exfoliative dermatitis, halusinasi, hemolisis pada pasien G6PD,
psikosis, odem paru, Stevens Johnson syndrome, SLE, toksisepidermalnecrolysis, vertigo dan
lainlain 5.

INTERAKSI OBAT
Interaksi enalapril dengan obat lain : Efek Cytochrome P450 : substatre of CYP34A (major)
Efek meningkat / toksisitas : suplemen kalium, kotrimoksazol (dosis tinggi), angiotensin II
reseptor antagonist (contoh candesartan, losartan, irbesartan) atau diuretik hemat kalium
(amiloride, spironolakton, triamterene) dapat menghasilkan kadar kalium dalam darah bila
dikombinasidengan enalapril. Efek ACE inhibitor dapat ditingkatkan oleh phenothiazine atau
probenecid (kadar kaptopril meningkat). ACE inhibitor dapat meningkatkan konsentrasi
dalam serum obat lithium. Diuretik dapat meningkatkan efek hipotensi dengan ACE inhibitor,
dan meningkatkan hipovolimia yang potensial menimbulkan adverserenaleffects dari ACE
inhibitor. Pada pasien dengan compromisedrenalfuction pemberian bersamaan dengan
NSAIDs dapat memperburuk fungsi ginjal. Allopurinal dan ACE inhibitor dapat
37

meningkatkan resikohipersensitivitas bila digunakan bersamaan. Efek menurun : Aspirin


(dosis tinggi) dapat menurunkan efek terapi ACE inhibitor; pada dosis rendah efek ini tidak
signifikan. Antasid dapat mengurangi bioavailabilitas ACE inhibitor; berikan terpisah dengan
selang waktu 12 jam. NSAIDs dapat menurunkan efek hipotensi ACE inhibitor. CYP3A4
inducer dapat menurunkan kadar atau efek enalapril; contoh inducer termasuk amino
glutethimide, karbamazepin, nafcillin, nevirapine, phenobarbital, phenytoin, rifampisin.

PENGARUH HASIL LAB


Positivecoombs (direct) : dapat menyebabkan hasil positif palsu pada penentuan kadar aseton
dalam urin yang menggunakan reagennatrium nitropruside.

PENGARUH KEHAMILAN
Riskfactor C (trimester I) / D (trimester II dan III )

PENGARUH MENYUSUI
Implikasi pada kehamilan : menurunkan aliran darah plasenta, bayi berat lahir rendah,
hipotensi pada janin, kelahiran prematur dan kematian janin telah dilaporkan terjadi dengan
penggunaan ACE inhibitor pada binatang percobaan. ACE inhibitor sebaiknya segera distop
jika diketahui hamil, kecuali tidak ada obat alternatif lain yang cocok. - Ibu menyusui : dapat
menembus ASI, tidak direkomendasikan digunakan pada ibu menyusui.

PARAMETER MONITORING
Tekanan darah, fungsi ginjal, leukosit, kadar kalium dalam serum; tekanan darah dimonitor
secara ketat selama pemberian iv.

BENTUK SEDIAAN
Enalapril : Tab. 5 mg, 10 mg, 20 mg Enalaprilat : Vial 1 mL, 2 mL. Tiap mL larutan
mengandung enalprilat 1,25 mg dengan NaCl untuk mengatur tonisitas, NaOH untuk
mengatur pH dan benzil alkohol 9 mg dalam aqua pro injeksi. pH sekitar 7
PERINGATAN
Dapat terjadi reaksi anafilaksis. Angioedema dapat terjadi sewaktu-waktu selama pengobatan
dengan enalapril (khususnya setelah dosis pertama).

INFORMASI PASIEN
38

Segera lapor ke dokter jika terjadi muntah, diare, exsessiveperspiration, atau dehidrasi; juga
jika terjadi bengkak pada muka, bibir, lidah, atau kesulitan bernafas; atau batuk, pusing, rash
(kemerahan pada kulit), badan terasa lemah (weakness) yang persisten; kekuningan pada mata
dan kulit, demam, sakit tenggorokan, menggigil atau tandatanda infeksi yang lain,
lightheadedness, fainting 3,6.Pasien diharapkan secara teratur kontrol ke dokter, periksa
laboratorium dan tekanan darah. Jangan memberikan obat anda kepada orang lain. Pasien
sebaiknya mencatat daftar obat-obat yang digunakan baik melalui resep dokter maupun obat
bebas yang digunakan, seperti vitamin, mineral atau suplemen makanan yang lain; daftar obat
tersebut dibawa setiap kali kontrol ke dokter atau bila dirawat di rumah sakit ataupun dalam
keadaan kasus emergensi 3.

Farmakokinetik

: serangan aksi kurang lebih 1 jam


Durasi; 12-24 jam
Absorpsi; oral 55%-755
Protein binding; 50%-60%
Metabolisme; enalapril adalah obat pendukung dan melalui
biotransformasi menjadi enalaprilat di hati.
Paruh waktu; enalapril; dewasa
Sehat 2 jam dengan kegagalan hati kongestif;3.4-3.8 jam
Enalaprilat bayi 6 minggu-8 bulan; 6-8 jam
Dewasa 35-38 jam
Waktu untuk konsentrasi serum maksimal; oral; enalapril
selama 0,5-1,5 jam
Enalaprilat (aktif) selama 3-4 jam
Eliminasi; prinsipnya diurine (60%-80%) dengan bberapa
ekskresi feses.

Farmakodinamik

: enalapril maleate termasuk ke dalam ACE inhibitors.


Angiotensin II mengakibatkan dinding pembuluh darah
berkontraksi, dinding pembuluh darah akan menyempit dan
berakibat tekanan darah akan meningkat.

Pembentukan

angiotensin II ini memerlukan suatu enzim yang disebut


angiotensin converting enzyme, yang merubah angiotensin 1
menjadi angiotensin II. Jadi dengan mengurangi produksi
angiotensin II maka dinding pembuluh darah akan melebar,
39

berakibat turunnya tekanan darah. Zat yang dapat mengahambat


angiotensin converting enzyme tersebut disebut ACE
inhibitor.
Cara Penggunaan

: 10 40 mg/ hari dalam dosis tunggal atau dosis terbagi.

Efek Samping

: Sakit kepala, pusing, hipotensi, batuk, mual, efek ortostatik,


angioedema, kelelahan.

Perhatian

angguan fungsi ginjal, hiperkalemia.

Interaksi obat : diuretika.

Hydrochlorothiazide
Kerja obat
Farmakokinetik
Semua thiazide diabsorbsi pada pemberian secara oral, umumnya efek obat tampak setelah 1
jam. Tetapi terdapat perbedaan dalam metabolismenya. Semua thiazide disekresi oleh sistem
sekretorik asam organik dan bersaing pada beberapa hal dengan sekresi uric acid oleh sistem
tersebut. Sebagai hasilnya, kecepatan sekresi uric acid dapat menurun, dengan diikuti
peningkatan kadar uric acid serum. Pada steady state, produksi uric acid tidak dipengaruhi
oleh thhiazide. Klorothiazide didistribusikan ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati
sawar uri, tetapi obat ini hanya ditimbun dalam jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses
aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens ginjal obat
ini besar sekali, biasanya 3-6 jam sudah diekskresikan dari badan. Klorotiazid dalam badan
tidak mengalami perubahan metabolik.

Farmakodinamik
Diuretik ini bekerja menghambat simporter Na dan Cl di hulu tubulus distalis. Sistem transpor
ini dalam keadaan normal berfungsi membawa Na, selanjutnya dipompakan ke luar tubulus
dan ditukar melalui kanal klorida. Efek farmakodinamik tiazid yang utama ialah
meningkatkan ekskresi Natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis ini
disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorpsi elektrolit pada hulu tubuli distal. Laju
ekskresi Na maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid jauh lebih rendah dibandingkan dengan
apa yang dicapai oleh beberapa diuretik lain, hal ini disebabakan 905 Na dalam cairan filtrat

40

telah direabsorbsi lebih dulu sebelum mencapai tempat kerja tiazid.

Derivat tiazid memperlihatkan efek penghambatan karbonik anhidrasedengan ptensi yang


berbeda-beda. Zat yang aktif sebagai pengahmbat karbonik anhidrase, dalam dosis yang
mencukupi, memperlihatkan efek yang sama seperti asetazolamid dalam eksresi bikarbonat.
Agaknya efek penghambatan karbonik anhidrase ini tidak berarti secara klin]
is. Efek penghambatan enzim karbonik anhidrase diluar ginjal praktis tidak terlihat karena
tiazid tidak ditimbun di sel lain.

Pada pasien hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek diuretiknya
tetap juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi vasodilatasi.

Dosis
-

Edema: dosis awal 5-10 mg sehari atau berselang sehari pada pagi hari; dosis

pemeliharaan 5-10 mg 1-3 kali seminggu.


-

Hipertensi: 12,5 25 mg perhari dosis tunggal pada pagi hari

Efek samping

hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang ringan; impotensi (reversibel bila obat
dihentikan);

hipokalemia,

hipomagnesemia,

hiponatremia,

hiperkalsemia,

alkalosis

hipokloremanik, hiperurisemia, pirai, hiperglikemia, dan peningkatan kadar kolesterol


plasma; jarang terjadi ruam kulit, fotosensitivitas, ganggan darah (termasuk neutropenia dan
trombositopenia, bila diberikan pada masa kehamilan akhir); pankreatitis, kolestasis
intrahepatik dan reaksi hipersensitivitas.

Interaksi antar obat

Peningkatan efek hidroklorotiazida dengan furosemida dan diuretik loop. Peningkatan


hipotensi dan/atau efek samping pada ginjal dari inhibitor ACE akan menghasilkan diuresis
berat pada pasien/ Beta bloker meningkatkan efek hiperglikemia;dari tiazida pada diabetes
mellitus tipe 2. Siklosporin dan tiazida akan meningkatkan risiko gout atau toksisitas ginjal.
Toksisitas

digoksin dapat

meningkat

jika tiazida menginduksi hipokalemia atau

hipomagnesemia. ;Toksisitas lithium dapat jika tiazida meningkatkan ekskresi ginjal litium.
Tiazida dapat memperpanjang durasi pada penggunaan bloking neuromuskular. Efek
41

hipoglikemia dapat diturunkan. Penurunan absorpsi oleh kolestiramin dan kolestipol.


;Antiinflamasi non steroid dapat mengurangi efikasi tiazida, menurunkan efek diuretik dan
antihipertensi.

Acetaminophen
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui
resep dokter atau yang dijual bebas.
Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak
mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung.
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan
pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid

sehingga efek anti

inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti
nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain.
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai
daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat
antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.

Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai
dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi
dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik
atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi
metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation
menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein
hati.

Farmakodinamik

42

Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak
digunakan

sebagai

antireumatik.

Parasetamol

merupakan

penghambat

biosintesis

prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada
kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa. Semua
obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol
menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin
terganggu. Setiap

obat

menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol

menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang
menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai
sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan
bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan
menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian
prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti
latihan fisik.

Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai
antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang.

Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat ini.

Sediaan dan Posologi


Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup yang
mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap,
dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali,
dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum

43

1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali
sehari.

Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem
atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenasetin
dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik
dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD dan adanya
metabolit yang abnormal. Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan
masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb.
Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik
berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan
sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan
coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada
Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam
kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.

Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh
glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui
urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi
kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan
sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan
keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses
yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.

Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi
hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan
hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g
bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat- obat yang
menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena
produksi metabolit meningkat.

44

Metoprolol
Metoprolol, yang bersifat kardioselektif tepatnya 1 selective blocker, adalah
penghambat yang paling luas digunakan dalam mengobati hipertensi. Obat ini larut dalam
lemak sehingga diabsorbsi baik di saluran cerna. Metoprolol menghambat stimulasi
adrenoreseptor seperti yang ada di jantung tetapi 50 sampai 100 kali lebih lemah daripada
propranolol dalam menghambat reseptor 2. Metaprolol dimetabolisasi secara ekstensif oleh
CYP2D6 dengan metabolism first-pass yang tinggi. Obat ini memiliki waktu paruh relative
singkat 4-6 jam, tetapi tersedia sediaan lepas-lambat yang dapat diberikan sekali sehari.
Metoprolol lepas-lambat efektif untuk mengurangi mortalitas akibat gagal jantung dan
terutama berguna pada pasien dengan hipertensi dan gagal jantung. Antagonis selektif 1
mungkin lebih disarankan pada pasien dengan diabetes atau penyakit vascular perifer jika
mereka membutuhkan penghambat , karena reseptor 2 mungin penting di hati (pemulihan
dari hipoglikemia) dan pembuluh darah (vasodilatasi). Metoprolol perlu diberikan dua kali
sehari dan kurang kardioselektif dibandingkan dengan atenolol. Dosisnya adalah 50 sampai
100 mg dua kali sehari. Efek samping obat ini adalah sulit bernafas, pusing, diare, tangan
dingin, gangguan pengecapan (rash). Kontraindikasi obat ini adalah ibu hamil, ibu menyusui,
dan penderita asma atau PPOK.

Sifat Farmakokinetik
A. Penyerapan
Sebagian besar obat dalam kelas antagonis reseptor beta diserap baik setelah
pemberian oral; konsentrasi puncak terjadi 1-3 jam setelah ingesti. Tersedia sediaan lepas
lambat metoprolol.
B. Bioavaibilitas
Bioavaibilitas adalah ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut
yang diabsorpsi. Perkiraan bioavaibilitas metaprolol adalah 50.
C. Penyebaran dan Pembersihan
Antagonis cepat tersebar dan memiliki volume distribusi yang besar.
Metoprolol dimetabolisasi secara ekstensif di hati, dengan obat yang tidak mengalami
perubahan hanya sedikit muncul di urin. Genotype sitokrom P450 2D6 (CYP2D6)
merupakan penentu utama perbedaan antara individu dalam klirens plasma
metoprolol. Poor metabolizer memperlihatkan peningkatan tiga sampai sepuluh kali
45

lipat konsentrasi plasma metoprolol setelah pemberian oral daripada extensive


metabolizer.

Farmakodinamika
A. Efek pada Sistem Kardiovaskular
Antagonis reseptor memiliki efek menonjol pada jantung dan sangat berguna
untuk mengobati angina dan gagal jantung kronik serta setelah infark miokardium.
Efek inotropic dan kronotropik negative mencerminkan peran adrenoreseptor dalam
mengatur fungsi-fungsi ini. Melambatnya hantaran atrioventrikel disertai peningkatan
interval PR berkaitan dengan blockade adrenoreseptor di nodus atrioventrikel. Pada
system pembuluh darah, blockade reseptor melawan vasodilatasi yang diperantarai
oleh reseptor 2. Hal ini dapat secara akut meningkatkan resistensi perifer akibat tidak
adanya imbangan terhadap efek yang diperantarai oleh reseptor karena susunan saraf
simpatis mengeluarkan impuls sebagai respons terhadap berkurangnya tekanan darah
akibat penurunan curah jantung. Obat penghambat 1 dan non-selektif menekan
pengeluaran renin yang disebabkan oleh susunan saraf simpatis.
Secara keseluruhan, meskipun efek akut obat-obat ini mungkin mencakup
peningkatan resistensi perifer namun pemberian obat jangka panjang menyebabkan
penurunan resistensi perifer pada pasien dengan hipertensi.
B. Efek pada Saluran Napas
Sampai saat ini belum ada antagonis selektif 1 yang cukup spesifik untuk
secara total tidak berinteraksi dengan adrenoseptor 2. Karena itu, obat metoprolol
harus dihindari pada pasien dengan asma. Di pihak lain, banyak pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dapat menoleransi obat-obat ini cukup baik
dan manfaat, misalnya pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, mungkin
melebihi resikonya.
C. Efek pada Mata
Obat penghambat mengurangi tekanan intraokulus, khususnya pada
glaucoma. Mekanisme yang biasanya dilaporkan adalah berkurangnya produksi
aqueous humor.
D. Efek pada Metabolisme dan Endokrin
Belum jelas seberapa besar antagonis menghambat pemulihan dari
hipoglikemia, tetapi obat-obat ini perlu digunakan secara hati-hati pada pasien

46

diabetes dependen-insulin. Hal ini terutama penting pada pasien diabetes dengan
cadangan glucagon yang memadai dan pada pasien yang telah menjalani
pankreatektomi karena katekolamin mungkin menjadi factor utama dalam merangsang
pengeluaran glukosa dari hati sebagai respons terhadap hipoglikemia. Obat-obat
selektif reseptor 1 mungkin tidak terlalu menghambat pemulihan dari hipoglikemia.
Antagonis reseptor beta jauh lebih aman pada pasien dengan diabeter tipe 2 yang tidak
memiliki episode-episode hipoglikemia.
Pemakaian

jangka

panjang

antagonis

adrenoreseptor

dilaporkan

menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma VLDL dan penurunan konsentrasi


kolesterol HDL. Kedua perubahan ini berpotensi merugikan dalam kaitannya dengan
risiko penyakit kardiovaskular. Meskipun konsentrasi LDL umumnya tidak berubah
namun terjadi penurunan bervariasi dalam rasio kolesterol HDL/kolesterol LDL yang
mungkin meningkatkan risiko penyakit arteri koronaria. Perubahan-perubahan ini
cenderung terjadi pada penghambat selektif maupun non-selektif, meskipun lebih
kecil kemungkinannya pada penghambat yang memiliki aktivitas simpatomimetik
intrinsic (agonis parsial). Mekanisme bagaimana antagonis reseptor menyebabkan
perubahan-perubahan tersebut belum diketahui, meskipun perubahan pada sensitivitas
terhadap efek insulin mungkin ikut berperan.

3. Sistem saraf otonom adrenergic


Saraf yang mengontrol dan mengkoordinasikan fungsi-fungsi fisiologis tubuh manusia
dibedakan atas 2 divisi utama: (1) saraf pusat (SSP) terdapat dalam otak dan Medula Spinalis,
dan (2) sistim saraf perifir yang memperantarai antara SSP dengan lingkungan eksternal dan
internal. saraf perifir dibagi lagi menjadi divisi aferen (pembawa impuls yang naik) dan
divisi eferen (pembawa impuls turun dari SSP ke organ-organ). Divisi eferen dibagi lagi atas
saraf somatik dan saraf otonom (SSO). Neuron-neuron eferen SSO mempersyarafi otot
polos dan otot jantung, kelenjar, dan organ-organ dalam lain. Tidak seperti saraf somatik,
SSO dibedakan atas saraf simpatetik (adrenergic) dan saraf parasimpatetik (cholinergic).
Neuron-neuron saraf simpatetik berasal dari regio torakal dan lumbal (disebut juga
divisi torako-lumbal), dan neuron-neuron saraf parasimpatetik berasal dari daerah batang
otak atau dari daerah sakral (disebut juga divisi kranio-sakral). Serat saraf dari sentral ke
ganglion disebut serat preganglion, dan dari ganglion ke organ-organ disebut serat
posganglion. Serat saraf preganglion simpatetik pendek, dan berakhir di ganglion yang
47

terletak dekat ke Medula Spinalis; sedangkan serat pos ganglion simpatetik panjang berakhir
di organ. Sebaliknya serat saraf preganglion parasimpatetik panjang dan berakhir di gangglion
yang letaknya dekat atau di dalam organ target; dan serat posganglionnya pendek.
Impuls dalam parasimpatis ( kranio-sakral) berasal dari batang otak melalui nervusnervus III, VII, XI, X dan Nervi erigentes ke sel intermediolateral segmen II dan IV bagian
sakral medula spinalis. Impuls simpatis ( torakolumbal) berasal dari sel intermediolateral
medula spinalis semua segmen torakal dan segmen lumbal I, II dan III.
Serat saraf preganglion lansung mempersarafi Medula adrenal

tanpa sinaps di

ganglion, akan menyebabkan rilisnor-epinefrin (NE) dan epinefrin (E) langsung ke sirkulasi
darah.
Biasanya kedua simpatis dan parasimpatis mengirimkan informasi ke tempat target
yang sama. Terdapat pengecualian pada medula adrenal, kelenjar keringat, lien, dan folikelfolikel rambut, yang hanya dipersarafi oleh saraf simpatetik saja. Terapi dengan obatkadangkadang merusak kesimbangan kritik ini, seperti pada pemblokiran parasimpatis dan akktivitas
saraf simpatik tidak lawan. Pengetahuan tentang efek-efek fisiologik tiap

dapat

memprediksikan apa yang terjadi pada pemakaian obat-obat otonom.


Perangsangan saraf somatik menghasilkan aaktivitas tunggal kontraksi otot, tetapi
perangsangan saraf otonom menghasilkan akktivtas yang lebih kompleks. Umumnya dapat
dikatakan bahwa saraf simpatis dapat berupa suatu respon-aktivitas, dan saraf parasimpatis
sebagai homeostatik-vegetatif.
Transmisi di ganglion dan antara ganglion dan sel-sel efektor diperantarai oleh zat
kimia yang disebut neurotransmiter. Neurotransmiter yang utama adalah: NE, E, dopamin dan
asetilkolin (ACh). Karena fungsi-fungsi fisiologik ke dua biasanya berlawanan, sehingga
dengan demikian persarafan ganda (simpatis dan para-simpatis) menyeimbangkan efek-efek
fisiologik.
Saraf

SS Perifir

Divisi eferen

SSP

Divisi aferen

48

SSOtonom

SSSomatik

SS Simpatetik

S Para Simpatetik

(Adrenergic)

(Cholinergic)

Gambar 1. Organisasi saraf dalam tubuh manusia.

Efek fisologik utama dari dan adrenergik adalah: vasokonstriksi, vasodilatasi,


meningkatkan frekuensi denyut jantung, peningkatan kekuatan kontraksi jantung, peningkatan
kecepatan konduksi dalam jantung; relaksasi otot polos bronkus; relaksasi otot polos saluran
cerna; kontraksi sfingter; dilatasi pupil dan relaksasi otot ciliare mata; peningkatan sekresi
kelenjar keringat; penurunan sekresi pankreas; pengentalan sekresi kelenjar ludah. Termasuk
obat-obat yang mempengaruhi fungsi-fungsi ini adalah agonis adrenergik dan antagonis
ganglionic blocking agent.

Neurotransmiter
Hantaran informasi pda saraf terjadi dengan penjalaran impul-impul dalam sel saraf
dan diteruskan dengan rilis (release) neurotransmiter dari ujung saraf ke celah-celah sinaps
antar sel dan antara sel saraf dan sel efektor . Neurotransmiter ini akan berdifusi dan berikatan
dengan molekul reseptor khusus pada sel pasca sinaps, yang akan mengaktifkan atau
menghambat aktivitas sel efektor.
Berdasarkan jenis neurotransmiter utama yang dibebaskan pada ujung saraf otonom,
serat saraf otonom dibedakan atas serat kolinergik yang merilis acetylcholine (Ach) dan
serat

adrenergik

yang

membebaskan

noradrenalin

(norepinefrin,

NE)

sebagai

neurotransmiter. Terdapat bukti-bukti bahwa beberapa serat saraf perifir simpatis juga
membebaskan dopamin.
Medula adrenal berisi sel-sel kromafin, yang secara embriologik homolog dengan
ganglion simpatis, diturunkan dari neural crest. Sel-sel kromafin pada medula adrenal ini
dipersarafi oleh ujung saraf preganglionik simpatis khusus dengan neurotransmiter ACh. Sel
sel kromafin medula adrenal ini membebaskan campuran epinefrin dan nor-epinefrin (NE) ke
dalam darah. Akhir-akhir ini juga diketahui bahwa sebagian besar saraf otonom juga
49

membebaskan beberapa substansi trnasmiter (co-transmitter) sebagai pelengkap dari


transmiter utama.

Transmiter dan reseptor


Semua ujung saraf otonom pregangglionik adalah kolinergik, artinya yang
membebaskan asetilkolin (ACh). ACh bekerja pada reseptor ACh kolinoseptor pada badan
sel posganglion atau dendrit untuk membangkitkan transmisi. Demikian juga semua ujung
saraf posganglion parasimpatis adalah kolinergik (yang membebaskan ACh), ACh kemudian
bekerja pada reseptor ACh kolinoseptor pada sel-sel efektor (yitu otot polos, otot jantung
dan kelenjar.
Kebanyakan (tapi tidak semua) ujung saraf posganglion simpatis adalah adrenergik,
yaitu dapat merilis norepinefrin (NE). NE bekerja pada reseptor NE adrenoseptor pada
sel-sel efektor pasca sinaps. Terdapat 2 pengecualian utama, yaitu neuron

simpatis

posganglion untuk termoregulator kelenjar keringat dan neuron simpatis ke pembuluh darah
(vasodilator) otot rangka; kedua jenis neuron simpatis ini bersifat kolinergik.
Kebanyakan organ tubuh dipersarafi oleh simpatis dan para simpatis, dan efek yang
terlihat adalah hasil kesimbangan antara kedua tersebut. Penghambatan salah satu (misalnya
dengan obat) atau bila terjadi denervasi salah satu , akan mengakibatkan ativitas organ
didominasi oleh yang berlawanan. Sekresi kelenjar ludah dapat dirangsang oleh aktivitas
sipmpatis maupun parasimpatis, tetapi sekresi yang dihasilkan berbeda kualitasnya, yaitu pada
aktivitas simpatis air ludahnya lebih kental, sedangkan parasimpatis lebih encer. simpatis dan
para simpatis juga dapat bekerja bergantian dimana

simpatis menimbulkan ereksi dan

parasimpatis mengakhirinya dengan eyakulasi.


Neuron
kolinergik

Acetyl-CoA

Neuron
adrenergik

Dopa

Tirosin

+
Cholin
Dopamin

MAO

ACh

Derivat
deaminasi

NE

50

Choline

Re up take

ACh
NE

Normeta
nefrin

AChE
COMT
X

X X

Jaringan pasca sinaps

X X X
Jaringan pascasinaps

Gambar 3. Proses biokimia pada ujung saraf kolinergik dan adrenergik. Terlihat bahwa monoamin oksidase
(MAO) berada di intrasel, sehingga secara teratur sebagian NE mengalami deaminasi di ujung saraf adrenergik.
Catecol-O-metyltransferase (COMT) bekerja pada NE yang telah diseksresikan. [ACh, acetylcholine; AchE,
acetylcholinesterase.]
Sumber: Katzung BG, BukuBantu Farmakologi, Peenerbit EGC Jakarta, 1994.

Sintesis dan Pelepasan Katekolamin


Tahap-tahap dasar dari sintesis katekolamin secara singkat diuraikan melalui gambar
di bawah ini. Dalam terminal neuron adrenergik, tyrosine (prekurson dopamin) ditranspor dari
eksraselular ke dalam sel oleh pembawa Natrium-dependent carrier, (A). Dengan bantuan
enzim Tyrosine hydroxylase, tyrosine intrasel ini dirobah menjadi dopamine. Akktivitas
enzim Tyrosin hydroxylase dapat dihambat oleh Metyrosine Dopamin yang terbentuk
ditranspor ke dalam tempat penyimpanannya di vesikel oleh pembawa kedua (B) yang dapat
dihambat oleh Reserpine.
Pembawa yang sama mentransfer norepinephrine (NE) dan beberapa amine lainnyake
dalam granula-granulaini. Dalam vesikel, dopamine dikonversi menjadi NE oleh dopamine- hydroxylase. Bila terdapat aksi potensial yang membuka kanal-kanal Ca yang sensitifvoltase dan meningkatkan kadar kalsium intraselular. Selanjutnya penyatuan (fusi) membran
vesikel dengan membran permukaan sel menimbulkan ekspulsi norepinephrine (NE), Cotransmitter, dan dopamine - hydroxylase. Rilis NE ini dihambat oleh obat-obat seperti
guanethidine dan bretylium. Setelah dirilis, NE berdifusi ke luar celah atau ditranfer /diambil
kembali ke dalam sitoplasma di terminal (ambilan 1), atau ditransfer ke dalam sel pasca
sinpas (ambilan 2). Transfer (ambilan) ini dapat dihambat oleh kokain, antidepresan trisiklik.
Pengaturan reseptor-reseptor terdapat di ujung saraf presinaps. Norepinefrin dan Epinefrin

51

dapat dimetabolisme oleh beberapa enzim, seperti: catechol-O-methyltransferase (COMT)


dan monoamine oxidase (MAO).

Gambar 1. Sintesis Katekolamin

Epinefrin paling banyak ditemukan dalam kelenjar adrenal, sedangkan norepinefrin


disintesis dalam saraf pascaganglion simpatis. Sintesis norepinefrin dimulai di
aksoplasma ujung saraf terminal dari serabut saraf adrenergik, namun disempurnakan di
dalam vesikel. Pada medula adrenal terdapat enzim N-metiltransferase yang mengubah
norepinefrin menjadi epinefrin. Epinefrin merupakan 80% katekolamin medula adrenal.
Seluruh isi vesikel ini dilepaskan pada perangsangan saraf dengan proses yang disebut
sebagai eksositosis. Norepinefrin yang dilepaskan ini akan mengalami hal-hal berikut: (1)
ambilan oleh sel efektor ( 5%); (2) dimetabolisme oleh enzim katekol-Ometiltransferase (COMT) menjadi normetanefrin ( 15%); (3) ambilan kembali oleh saraf
( 60%); dan (4) sebagian akan melarut dalam jaringan ekstraneuronal ( 20%).

52

Gambar 2. Proses transmisi sistem adrenergik

Metabolisme Epinefrin dan Norepinefrin


Pada katekolamin terdapat terdapat 2 macam enzim yang berperan dalam
metabolismenya, COMT dan monoaminoksidase (MAO). MAO berada dalam sitoplasma
sel saraf sedang COMT berada di cairan ekstrasel. COMT menyebabkan metilasi dan
MAO menyebabkan deaminasi katekolamin. Produk degradasinya sebanyak 70%
terdiri atas metanefrin, normetanefrin dan asam 3-metoksi-4-hidroksi-mandelat (asam
vanilomandelat, VMA). COMT terdapat di semua jaringan termasuk otak, kecuali otot
rangka, sedangkan MAO terdapat paling banyak dalam hati, ginjal, saluran cerna dan
dalam jaringan saraf. Karena peranan MAO dan COMT pada penghentian transmisi tidak
begitu penting, penghambatan enzim ini tidak selalu meningkatkan aktivitas adrenergik
yang nyata.
53

Gambar 3. Metabolisme Epinefrin dan Norepinefrin

Kerja Katekolamin
Katekolamin pada umumnya dapat menyebabkan eksitasi atau inhibisi otot polos
pembuluh darah, tergantung dari tempat dan dosisnya. Norepinefrin merupakan
katekolamin yang menyebabkan eksitasi otot polos paling kuat, sedangkan efek
inhibisinya lemah sekali. Sebaliknya isoproterenol merupakan inhibitor yang kuat dan
eksitator yang lemah. Epinefrin memperlihatkan efek inhibisi dan eksitasi yang sama kuat
yaitu antara kekuatan efek NE dan isoproterenol.
Norepinefrin dan epinefrin keduanya mempunyai pengaruh perangsangan yang
sedikit berbeda pada reseptor alfa dan beta. Norepinefrin terutama merangsang reseptor
alfa namun kurang merangsang reseptor beta. Sebaliknya, epinefrin merangsang kedua
reseptor ini hampir sama kuat. Oleh karena itu, pengaruh relatif dari norepinefrin dan
epinefrin pada berbagai organ efektor ditentukan oleh jenis reseptor yang terdapat dalam
organ tersebut.

Reseptor Adrenergik
Reseptor noradrenalin dan adrenalin adalah reseptor adrenergik (adrenoreseptor), yang
merupakan reseptor terkopling protein G, dan tersebar di berbagai organ dan jaringan.
Reseptor adrenergik mengatur berbagai parameter fisiologi seperti tekanan darah, detak
jantung, dan lain-lain.
54

Ada dua kelompok utama reseptor adrenergik, yaitu reseptor adrenergik dan ,
masing-masing dengan beberapa subtipe:
Reseptor terdiri dari subtipe 1 (Gq coupled receptor) dan 2 (Gi coupled receptor).
Reseptor terdiri dari subtipe 1, 2 dan 3. Ketiganya terhubung dengan protein Gs.

Gambar 4. Jenis reseptor adrenergik dan peran fisiologisnya

Efek Aktivasi Saraf Otonom


Pengetahuan mengenai efek dari aktivasi tiap divisi saraf otonom memberikan dasar
untuk dapat meramalkan efek obat-obat otonom. dapat dilihat respons berbagai organ pada
perangsangan saraf adrenergik dan kolinergik yang harus dipertimbangkan dalam pemberian
sesuatu obat otonom.
Secara umum dapat dikatakan bahwa parasimpatis bersifat konservasi dan reservasi
tubuh, atau disebut fungsi rest and digest . parasimpatis mengatur fungsi-fungsi vital dalam
tubuh. Sedangkan

simptis berfungsiuntuk mempertahantubuh terhadap gangguan dari

luartubh dengan rekasi berupa perlawananatau pertahanan diri yang dikenal sebagai fight or
flight reaction.

55

Regulasi reseptor
Perubahan kondisi-kondisi lingkungan dapat mengubah jumlah atau densitas reseptor
(up or down regulation) atau perubahan afinitas dari suatu reseptor untuk suatu agonis atau
antagonis (uncoupling). Efek-efek obat dan efek-efek penghentian mendadak (withdrawal)
berkaitan dengan jumlah atau afinitas reseptor. Misalnya,pemakaian jangka panjang agonis
dapat menurunkan densitas reseptor-reseptor dan mengurangi efek obat. Sebaliknya
pemakaian jangka lama suatu antagonis , atau bloker, dapat meningkatkan densitas
reseptor-reseptor dan respons terhadap penghentian mendadak obat-obat bloker.

Integrasi fungsi otonom


Integrasi fungsional terjadi melalui mekanisme umpan balik negatif (negatif feedback
mechanism).Proses ini mempergunakan reseptor prasinaps padda tingkat lokal dan reflek
homeostatik pada tingkat ik. Pada farmakologi otonom, refleks yang terpenting adalah reflekreflek yang mengatur tekanan darah. Hal ini harus selalu diingat dalam menganalisis efek
obat-obat yang bekerja pada jantung dan pembuluh darah. ini memmadukan refleks-refleks
saraf baroreseptor dengan refleks-refleks hormonal renin-angiotensin-aldosteron. Kontrol
umpan balik lain didapatkan pada ujung saraf beberapa . Yang paling dikenal ialah umpan
balik negatif NE terhadap rilis NE di ujung saraf pasca sinaps neuron adrenergik. Efek ini
tampaknya diperantarai oleh reseptor 2.

Second Messenger Pada Respons Intraselular


Sinyal kimiawi yang berikatan dengan reseptor mengaktifkan proses enzimatikdalam
membran sel yang pada kahirnya menimbulkan respons selular, seperti fosforilasi protein
intrselular, atau pperubahan konduktivitas kanal ion. Neurotransmiter dapat berfungsi sebagai
pengantar sinyal, sedangkan reseptor berfungsi sebagai detektor sinyal serta trnaducer.
Molekul second messenger dicetuskan sebagai respons ikatan neurotransmiter dengan
reseptor yang selanjutnya akan menterjemahkan sinyal esktraselular ke dalam suatu respons
yang lebih lanjut akan disebarkan atau diperkuat (amplikasi) di intraselular. Setiap komponen
berperanan dalam komunikasi antara peristiwa pada ekstraselular dengan perubahan kimiawi
intraseluler.

56

A. Kerja reseptor membran


Reseptor neurotransmiter adalah protein membran yang mempunyai daerah ikatan
yang dapat mengenal dan memberikan respons terhadap molekul neurotransmiter. Beeberapa
reseptor seperti serat pascasinaptik atau otot, terikat dengan kuat pada membran kanal ion
sehingga ikatan neurotransmiter akan terjadi dengan cepat (dalam sepersekian milidetik) dan
secara langsung mempengaruhi permiabilitas ion (Gambar 6-3 A).Efek neurotransmiter pada
chemical gate ion channel dibicarakan tersendiri.
B. Regulalsi yang melibatkan molekul second messenger
Beberapa reseptor tidak secara langsung bergandengan dengan ion gate. Untunglah
melalui suatu serial reaksi inisiasi resepptor memberikan suatu tanda neurotransmiter yang
telah dikenalnya sehingga akhirnya menyebabkan suatu respons intraselular yang spesifik.
Molekul second messenger dinamakan demikian karena berperan dalam penyampaian pesan
awal (neurotransmiter atau hormon) yang pada akhirnya menimbulkan efek pada sel-sel. Hal
di atas merupakan salah satu bagian dari kejadian bertingkat-tingkat untuk menterjemahkan
ikatan neurotransmiter ke dalam respons selular. Yang sudah diketahui sebagai second
messenger ada 2, yaitu adenilsiklase dan kalsium fosfatidilinositol (Gambar 6-3 B dan C).
A.Reseptor

Neurotransmiter

ion

Terjadiperubahan pd

Efek

berpasangan

potensial membran

intra

dengan

atau konsentrasi

kanal ion:

ion dalam sel

selular

* Resepptor nikotin
* Reseptor GABA
ion
cAMP
B. Reseptor

Fosforilasi

Efek

protein

intra

berpasangan
dengan

selular
Adenilsiklase

adenilsiklase
* Beta adrenoseptor

ATP

* alfa -2 Adrenoseptor

C. Reseptor
berpasangan
dengan
diasilgliiserol

Inositol trifosfat
Fosforilasi

Efek

57

* -1 adrenoseptor

Diasilgliserol

* Reseptor muskarinik
kolinergik

protein dan

intra

peningkatan

selular

Ca intraselular

Gambar 6- . Mekanisme pengikatan neurotransmiter yang menimbulkan efek


intraselular.

Nonspesifisitas
Obat-obat tidak dapat langsung menyeleksi daerah-daerah target di tubuh atau di
jaringan. Obat-obat bekerja pada semua reseptor yang dapat akses dan diikat. Karena
SSPberisi reseptor-reseptor untuk ACh, NE, dan epinefrin, obat-obat yang mempengaruhi
ACh di neuron-neuron perifir dapat memperlihatkan efek-efek yang tidak diinginkan pada
SSP, bila obat-obat ini dapat melewati sawar darah otak.

4. Beta blocker
FARMAKODINAMIK
-bloker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik norepineprin
maupun epineprin endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada adrenoseptor . Obat bloker dibagi menjad dua golongan berdasarkan kerjanya pada reseptor 1 atau reseptor 2
(kardioselektif) yaitu yang selektif dan non selektif. Carvedilol adalah -bloker yang nonselective yang bersifat menghambat reseptor beta dan alfa. Sedangkan bisoprolol, metaprolol,
atenolol, dan nebivolol adalah beta bloker yang selektif yaitu bersifat menghambat reseptor
beta saja. Tidak ada satupun -bloker yang tersedia untuk pemakaian klinis benar-benar
spesifik untuk reseptor 1 maka selektivitas bergantung pada dosis; selektivitas cenderung
banyak pada konsentrasi obat yang tinggi. Perbedaan utama lain diantara -bloker berkaitan
dengan karakteristik farmakokinetik dan efek stabilisasi membran yang menyebabkan anestesi
lokal.

Kardioselektif : mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor 1 daripada


reseptor 2. Tetapi, sifat kardioselektif ini relatif, artinya pada dosis yang lebih tinggi bloker yang kardioselektif juga memblok reseptor 2
Acebutolol, Atenolol, Betaxolol, Bisoprolol, Esmolol, Metoprolol

dengan sifat ISA : Practolol

tanpa sifat ISA : Metoprolol, Atenolol, Bevantolol

Nonselektif : mempunyai afinitas yang sama terhadap reseptor 1 dan reseptor 2


Carteolol, Carvedilol, Labetolol, Penbutolol, Pindolol, Propanolol, Sotalol, Timolol
58

dengan sifat ISA : Oxprenolol, Alprenolol, Pindolol


Tanpa sifat ISA : Propanolol, Timolol

Aktivitas Agonis Parsial (Partial Agonist Activity = PAA) disebut juga aktivitas
simpatomimetik intrinsik (Intrinsic Symphatomimetic Activity = ISA) artinya, jika
berinteraksi dengan reseptor tanpa adanya obat adrenergik (seperti epinefrin atau
isoproterenol), menimbulkan efek adrenergik yang lemah tetapi jelas.

Aktivitas Stabilisasi membran (Membrane Stabilizing Activity = MSA) disebut juga


Aktivitas Anestetik Lokal atau Aktivitas seperti Kuinidin, artinya emmpunyai efek
stabilitas membran atau efek seperti anestetik lokal atau seperti kuinidin.

-bloker

Kardioselektifitas

Kelarutan
ISA

MSA

Waktu

Bioavailibilitas

paruh

(%)

rendah

3-4 jam

50

dalam
lipid

Acebutolol

ya

ya

Alprenolol

tidak

ya

ya

Atenolol

tidak

tidak

rendah

6-9 jam

40

Betaxolol

tidak

ya

rendah

14-22

90

Bisoprolol

tidak

(ringan)

rendah

jam

80

tidak

ya

tidak

rendah

9-12 jam

85

tidak

tidak

tidak

sedang

6 jam

25-35

Celiprolol

ya

ya

rendah

7-10 jam

70

Esmolol

tidak

tidak

rendah

4-5 jam

Labetalol 1

tidak

ya

tidak

rendah

10 menit

30

Metoprolol

tidak

ya

sedang

5 jam

50

tidak

tidak

ya

rendah

3-4 jam

33

tidak2

tidak

rendah

14-24

NF3

Oksprenolol

tidak

ya

tidak

Penbutolol

tidak

ya

ya

tinggi

11-30

>90

Pindolol

tidak

ya

ya

sedang

jam

90

Propanolol

tidak

tidak

ya

tinggi

Sotalol

tidak

tidak

ya

rendah

Carteolol
Carvedilol

Nadolol
Nebivolol

jam

304
5 jam

90

59

Timolol

tidak

tidak

tidak

sedang

3-4 jam

tidak

50

3,5-6 jam
12 jam
4-5 jam

Keterangan:
1

Juga merupakan -bloker

Tidak ditentukan

Tidak ditemukan

Bioavailibilitas tergantung dosis

Propranolol
Propraolol merupakan beta-bloker nonselektif, ikatan dengan protein tinggi, 9095% dimetabolisme di hepar (efek lintas pertama yang nyata) pada pemakaian per oral;
metabolit-metabolit yang tidak aktif diekskresi ke dalam urin.
Nadolol
Efek farmakologi, indikasi klinik, dan efek samping Nadolol ini sama dengan
propranolol, kecuali : metabolismenya tidak nyata, tetapi diekskresi dalam bentuk tidak
berubah, dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang.
Timolol
Merupakan beta-bloker nonselektif, mempunyai potensi 5x lebih kuat

dari

propranolol. Indikasi klinik ialah untuk pengobatan : (1) Penyakit jantung iskemik, (2) Dalam
bentuk obat tetes mata untuk pengobatan glaukoma. Toksisitas sama dengan propranolol;
obat tetes mata diabsorpsi dan dapat menyebabkan keracunan sistemik.
Pindolol
Merupakan beta-bloker nonselektif, mempunyai efek
dengan bebebrapa aktivitas simpatomimetik,

dan efek

agonis adrenergik lemah

inotropik

dan

kronotropik

negatifnya lebih lemah dari propranolol. Penggunaan klinis terutama ialah untuk (1)
hipertensi, (2) pengobatan angina, dan (3) takiaritmia supraventrikuler. Toksisitas sama
seperti propranolol.
Metoprolol
Merupakan beta-bloker kardioselektif (1) relatif; pada pemberian dosis tinggi
dapat terjadi efek blokade 2. Indikasi utama ialah: (1)hipertensi, (2)penyakit jantung
iskemik dengan penyakit bronkospastik. Toksisitas sama dengan propranolol, tetapi efek
bronkokonstriksinya lebih lemah.
60

Atenolol
Sama dengan propranolol, tetapi waktu paruhnya lebih panjang (4 - 6 jam) dan
kurang berpenetrasi ke SSP ( toksisitas pada SSP lebih ringan, dibanding dengan
propranolol).

EFEK

Kardiovaskular : Tekanan darah, ritme jantung dan automatisasi sel jantung, pembuluh
darah

Saluran napas

Efek Metabolik : metabolisme karbohidrat, metabolisme lemak, hormon

Lain-lain : menghambat tremor, menghambat relaksai uterus, memblok hambatan


degranulasi sel mast oleh katekolamin (melalui reseptor 2)

Blokade reseptor beta-1 memberikan efek :


1. Pada jantung menimbulkan penurunan efek inotropik dan kronotropik, penurunan
otomatisitas

dan kecepatan konduksi;

dan penurunan

curah jantung. Penurunan

oksigen miokardial dapat memperbaiki angina.


2. Efek metabolik : memblok respons hiperglisemik terhadap Epi.

Blokade reseptor beta-2 memberikan efek :


1. pada

saluran nafas berupa: bronkokonstriksi, dapat memperberat atau

pencetus

timbulnya bronkospasme.
2. Vaskuler, berupa : pencegahan dilatasi vena dan arteriol-arteriol organ-organ dalam
abdomen, ginjal, paru-paru dan otot skelet yang diperantarai oleh reseptor -2.

Efek-efek blokade-beta pada SSP adalah: depresi, mimpi-mimpi, insomnia.

FARMAKOKINETIK
Berdasarkan sifat farmakokinetik, -bloker digolongkan menjadi 3 :
1.

Mudah larut dalam lemak : propanolol, alprenolol, labetalol, karvedilol, oksprenolol,


dan metoprolol.

61

Diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna (>90%)

Bioavailabilitas rendah (<50%), karena mengalami metabolisme lintas pertama yang


ekstensif di hati

Eliminasi melalui metabolisme hati sangat ekstensif sehingga obat utuh yang
diekskresikan melalui ginjal sangat sedikit (<10%)

Waktu paruh pendek, berkisar antara 3-8 jam kecuali karvedilol dapat mencapai 10
jam

2.

Mudah larut dalam air : sotalol, nadolol, dan atenolol

Satolol diabsopsi dengan baik dari saluran cerna, nadolol dan atenolol kurang baik
absorpsinya

Sotalol tidak mengalami metabolisme lintas pertama sehingga bioavailabilitasnya


tinggi, nadolol dan atenolol bioavailabilitasnya rendah

Tidak mengalami metabolisme, sehingga hampir seluruhnya diekskresi utuh melalui


ginjal

3.

Waktu paruh panjang, yakni 12 jam, kecuali atenolol hanya 6-7 jam

Kelarutannya terletak antara golongan 1 dan 2 : timolol, bisoprolol, betaksolol,


asebutolol, pindolol, dan karteolol

Diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna

Metabolisme lintas pertama :


- Ekstensif : asebutolol, timolol
- 10% : bisoprolol dan betaksolol
- Tidak dialami : pendolol dan karteolol

Eliminasi melalui ginjal dan hati hampir sama banyak atau sama banyak. Kecuali
timolol hanya 15-20% pada ginjal.

Waktu paruh
- Pendek : pindolol dan timolol
- Panjang : betaksolol dan bisoprolol

Reseptor Beta
-bloker bekerja pada reseptor beta yang merupakan kelompok reseptor adrenergik.
Reseptor ini merupakan reseptor yang terkait dengan protein G sehingga disebut G proteincoupled receptors (GPCRs). Masing-masing protein G terdiri atas 3 protein (heterotrimer)
yaitu sub-unit , , dan . Molekul efektor protein G pada reseptor beta adrenergik (Gs)
62

adalah enzim adenilil siklase. Mekanisme kerja obat pada reseptor beta adalah pertama
dengan berikatan dengan reseptor beta, hal ini akan mengaktifkan protein G. Subunit pada
protein G akan melepaskan diri kemudian berikatan dengan enzim adenilil siklase. Ikatan sub
unit alfa dengan adenilil siklase akan mengaktifkan enzim ini dan selanjutnya akan dihasilkan
siklik AMP (cAMP). Senyawa cAMP merupakan second messenger yang salah satu aksinya
adalah menyebabkan pembukaan kanal kalsium sehingga meningkatkan laju dan kekuatan
kontraksi dari miokard (inotropik positif) dan meningkatkan reuptake kalsium ke dalam
reticulum sitoplasma (efek relaksasi atau lusitropik). Pada nodus sinus, arus listrik pace maker
meningkat (kronotropik positif), sementara laju konduksi juga meningkat (dromotropik). Efek
pemberian -bloker tergantung bagaimana absorpsinya, ikatan dengan protein plasma,
pembentukan metabolit, dan seberapa luas dapat menghambat reseptor .
Reseptor beta terdiri atas 3 klas yaitu 1, 2 dan 3. Reseptor 1 terdapat di jantung dan
sel jukstaglomerular ginjal bekerja dengan cara meningkatkan kontraksi otot jantung dan
meningkatkan laju kontraksi jantung. Sementara itu di ginjal reseptor ini bekerja
meningkatkan pelepasan rennin di sel jukstaglomerular ginjal. Reseptor 2 terdapat pada otot
polos saluran nafas, uterus, dan pembuluh darah. Stimulasi reseptor ini akan menyebabkan
relaksasi otot polos. Reseptor 3 terdapat pada sel-sel lemak dan stimulasinya akan
menyebabkan terjadinya lipolisis.

63

Gambar 1. Reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik. Reseptor ini bekerja melalui
pengaktifan protein G yang kemudian mengaktifkan enzim adenil siklase. Pengaktifan adenil
siklase selanjutnya akan menyebabkan efek biologis pada sel.
Absorpsi
Sebagian besar obat-obatan ini dapat diabsorpsi dengan baik diusus, puncak kadar di
dalam plasma tercapai sekitar 1-3 jam. Saat ini juga tersedia beberapa sediaan lepas lambat
dari jenis propanolol dan metoprolol.
Bioavalibilitas
Propanolol di dalam hati menjalani metabolisme yang ekstensif oleh karena itu
bioavailabilitasnya menjadi relatif rendah. Proporsi obat yang mencapai sirkulasi meningkat
sesuai peningkatan dosis, hal ini menunjukkan bahwa mekanis ekstraksi hati dapat menjadi
jenuh. Konsekuensi utama dari rendahnya bioavailabilitas propanolol setelah pemberian oral
adalah kadar obat ini pada pemberian oral dapat sangat kecil dibandingkan dengan pemberian
intravena. Namun demikian terdapat variasi individual dalam hal kadar plasma yang dapat
dicapai setelah pemberian oral.
Distribusi Dan Pembersihan
Obat-obat -blokerdidistribusikan secara cepat dan memiliki volume distribusi yang
besar. Propanolol dan penbutolol merupakan obat yang agak lipofilik dan dapat melintasi
sawar otak. Sebagian besar -bloker memiliki waktu paruh 3-10 jam. Sebuah pengecualian
adalah esmolol, yang mana cepat mengalami hidrolisis dan memiliki waktu paruh yang sangat
pendek (10 menit). Propanolol dan metoprolol mengalami metabolism hati yang luas, dengan
sedikit obat dapat ditemukan di dalam urin. Genotipe sitokrom P450 2D6 (CYP2D6)
merupakan penentu utama adanya perbedaan antar individu

dalam hal bersihan plasma

metoprolol. Individu yang kurang memetabolisme obat ini menunjukkan 3 -10 kali lipat lebih
kadar plasma obat dibandingkan dengan pada pasien dengan kemampuan metabolisme luas.
Atenolol, celiprolol dan pindolol merupakan obat-obat yang dimetabolisir kurang lengkap.
Nadolol disekresikan tanpa ada perubahan di urin dan memiliki waktu paruh terpanjang dari
sediaan yang ada (lebih dari 24 jam). Sebagai catatan bahwa efek farmakodinamik dari obatobat ini terkadang memanjang di atas waktu yang diprediksi dari data waktu paruh.

SEDIAAN
1.

Propanolol

Tablet 10 dan 40 mg

2.

Metoprolol

Tablet 50 dan 100 mg

64

3.

Karvedilol

Tablet 6,25 dan 25 mg

4.

Betaksolol

Tetes mata 0,5 %

5.

Timolol

Tetes mata 0,25% dan 0,5%

6.

Bisoprolol

Tablet 2,5 mg dan 5 mg

7.

Asebutolol

Kapsul 200 mg dan Tablet 400 mg

8.

Pindolol

Tablet5 mg dan 10 mg

9.

Karteolol

Tablet 5 mg

10.

Sotalol

Tablet80

11.

Nadolol

Tablet40 dan 80 mg

12.

Atenolol

Tablet 50 dan 100 mg

EFEK SAMPING

Gagal jantung kongestif (-bloker non-kardioselektif dan tanpa mengandung ISA)

Bradikardi (semua -bloker terutama yang tidak mengandung sifat ISA menyebabkan
penurunan denyut jantung kira-kira 10-15%), blok jantung

Gejala putus obat : penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan hipertensi;
serangan angina atau insifisiensi mitral

Bronkospasme pada penderita asma dan PPOK (-bloker non-kardioselektif dan tanpa
mengandung sifat ISA sering menyebabkan spasme bronkhus pasa pasien dengan riwayat
asma bronkial atau PPOK)

Pada penderita diabetes melitus -bloker akan memblok tanda-tanda hipoglikemia


(berkeringat, takikardi) dan respon-respon yang diperantarai oleh katekolamin

SSP (-bloker yang larut lemak seperti propanolol) menyebabkan : depresi, mimpimimpi buruk, dan insomnia;

impotensi; bertambahnya gejala klaudikasio pada tungkai;

Gangguan saluran pencernaan, semua -bloker menyebabkan iritasi lambung, diare atau
konstipasi pada pasien tertentu (individual)

INTERAKSI OBAT -BLOKER

Interaksi farmakodinamik dapat diprediksi dan terjadi pada saat obat -bloker
dikombinasikan dengan obat yang menekan nodus SA atau AV atau dengan obat yang
memiliki kerja inotropik negative lain. -bloker dan antagonis kalsium tertentu, misalnya
65

verapamil atau diltiazim, mempunyai efek aditif dalam mengahambat konduksi jantung.
Efek antihipertensi -bloker juga ditif, tetapi dapat dikurangi oleh indometasin dan obatobat antiinflamasi nonsterois lainnya.

Interaksi farmakokinetik umumnya terjadi pada tingkat metabolism di hati. Untuk


menghindari interaksi ini, secara sederhana dapat digunakan beta blocker yang tidak
dimetabolisme di hati.
o

Garam alumunium, kolestiramin, dan kolestipol dapat mengurangi absorpsi -bloker.

Fenitoin,

rifampin,

fenobarbital,

dan

merokok

menginduksi

enzim-enzim

biotransformasi di hepar sehingga mempercepat metabolisme -bloker yang


eliminasinya melalui metabolisme hati, misalnya propanolol.
o

Simetidin menurunkan aliran darah ke hati dan meningkatkan kadar -bloker di


dalam darah, terutamanya untuk yang dimetabolisme di dalam hati yaitu propanolol.
Simetidin meningkatkan bioavailabilitas -bloker yang mengalami metabolisme
lintas pertama di hati melalui hambatan enzim metabolisme di hati.

Verapamil dapat menghambat pemecahan metoprolol dan propanolol, dan juga bloker lain yang dimetabolisme di hati.

bloker juga dapat menekan aliran darah hati sehingga kadar lidokain di dalam
darah akan meningkat sehingga dapat meningkatkan toksisitas terhadap lidokain.

Interaksi Obat Selektif Kardio dan Nonselektif Kardio -Bloker

Barbiturat (amobarbital, aprobarbital, butabarbital, butalbital, mephobarbital,


pentobarbital, phenobarbital, primidone, secobarbital). Interaksi ini menyebabkan
penurunan bioavailabilitas obat-obat beta bloker. Manajemen terapi yang dapat dilakukan
yaitu dengan meningkatkan dosis beta bloker jika diperlukan

Cimetidine. Interaksi ini menyebabkan peningkatan konsentrasi beta bloker. Manajemen


terapi yang dapat dilakukan yaitu dengan memonitor status kardiovaskular dan
meningkatkan dosis beta bloker jika diperlukan.

Clonidine. Interaksi ini menyebabkan peningkatan tekanan darah. Manajemen terapi


yang dilakukan yaitu dengan memonitor tekanan darah ketika memulai atau
menghentikan kedua obat tersebut. Atau dengan menghentikan kedua obat tersebut secara
bertahap.

66

Hydralazine. Interaksi ini akan meningkatkan konsentrasi kedua obat. Manajemen terapi
yang dilakukan yaitu dengan mengurangi dosis salah satu atau kedua obat tersebut jika
diperlukan.

NSAIDs, seperti ibuprofen, indomethacin, naproxen, piroxicam. Interaksi ini akan


menyebabkan penurunan efek dari beta bloker. Manajemen terapi yang dilakukan yaitu
gunakan NSAID yang tidak berinteraksi, seperti sulindak. Memonitor tekanan darah, dan
meningkatkan dosis beta bloker jika diperlukan.

Prazosin. Interaksi ini akan meningkatkan hipotensi postural. Manajemen terapi yang
dilakukan yaitu dengan memonitor gejala gejala atau hipotensi postural.

Propafenone. Interaksi ini akan meningkatkan efek dari betabloker (metoprolol,


propanolol). Manajemen terapi yang dilakukan yaitu dengan memonitor status
kardiovaskular dan menurunkan dosis beta bloker jika diperlukan.

Quinidine. Interaksi ini akan meningkatkan efek dari betabloker (atenolol, propanolol,
metoprolol, timolol). Manajemen terapi yag dilakukan yaitu dengan memonitor status
kardiovaskular dan menurunkan dosis beta bloker jika diperlukan.

Rifamycins (rifabutin, rifampin). Interaksi ini akan menurunkan efek dari beta bloker
(atenolol, bisoprolol, metoprolol, propanolol). Manajemen terapi yang dilakukan yaitu
dengan memonitor status kardiovaskular dan meningkatkan dosis betabloker jika
diperlukan.

Verapamil. Interaksi ini akan meningkatkan efek dari kedua obat. Manajemen terapi
yang dilakukan yaitu dengan memonitor status kardiovaskular dan menurunkan dosis dari
salah satu obat atau kedua obat tersebut jika diperlukan.

Interaksi Obat -Bloker Golongan Nonselektif Kardio

Alkaloid ergot. Interaksi ini akan menyebabkan peningkatan risiko toksisitas ergot,
seperti iskemia periferal, ganggren. Manajemen yang dilakukan yaitu dengan
menghentikan penggunaan beta bloker atau menurunkan dosis alkaloid ergot jika
diperlukan.

Insulin. Interaksi ini menyebabkan hipoglikemia berkepanjangan tanpa terlihat gejalagejalanya. Manajemen terapi yag dilakukan yaitu menggunakan beta bloker golongan
selektif kardio, memonitor gejala-gejala hipoglikemia yang tidak terpengaruh oleh beta
bloker.

67

Teofilin. Interaksi ini akan meningkatkan konsentrasi teofilin. Antagonis farmakologi


dapat menurunkan efek salah satu atau kedua obat tersebut. Manajemen terapi yang
dilakukan yaitu dengan memonitor konsentrasi teofilin dan menggunakan beta bloker
golongan selektif kardio.

Interaksi Atenolol

Ampisilin. Interaksi ini akan menurunkan efek dari atenolol. Manajemen terapi yang
dilakukan yaitu dengan memisahkan waktu pemberian obat, memonitor tekanan darah
dan meningkatkan dosis atenolol jika diperlukan.

Interaksi Carvedilol

Siklosporin. Interaksi ini akan meningkatkan konsentrasi siklosporin. Manajemen terapi


yang dilakukan yaitu dengan memonitor konsentrasi siklosporin dan gejala-gejala
toksisitas. Bisa juga dengan menurunkan dosis siklosporin jika dipelukan.

Interaksi Labetalol

Anastetik inhalasi (desflurane, enflurane, halothane, isoflurane, sevoflurane).


Interaksi ini akan menyebabkan hipotensi yang berlebihan. Manajemen terapi yang
dilakukan yaitu dengan memonitor tekanan darah, menggunakan kombinasi dengan hatihati. Konsentrasi halothane tidak melebihi 3%.

Interaksi Metoprolol

Lidokain. Interaksi ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi lidokain. Manajemen


terapi yang dilakukan yaitu dengan mengatur dosis bolus lidokain pada kecepatan yang
lambat untuk mencegah toksisitas, memonitor konsentrasi lidokain dan menurunkan dosis
lidokain.

Thioamin

(methimazole,

propilthiourasil).

Interaksi

ini

akan

menyebabkan

peningkatan efek metoprolol. Manajemen terapi yang dilakukan yaitu dengan memonitor
status kardiovaskular, menurunkan dosis metoprolol jika diperlukan pasien menjadi
euthyroid. Selain itu bisa juga dengan menggunakan betabloker lain seperti atenolol,
nadolol.
Interaksi Nadolol

Lidokain. Interaksi ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi lidokain. Manajemen


terapi yang dilakukan yaitu dengan mengatur dosis bolus lidokain pada kecepatan yang
lambat untuk mencegah toksisitas, memonitor konsentrasi lidokain dan menurunkan dosis
lidokain.
68

Interaksi Pindolol

Lidokain. Interaksi ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi lidokain. Manajemen


terapi yang dilakukan yaitu dengan mengatur dosis bolus lidokain pada kecepatan yang
lambat untuk mencegah toksisitas, memonitor konsentrasi lidokain dan menurunkan dosis
lidokain.

Fenotiazin (klorpromazine, thioridazine). Interaksi ini akan meningkatkan efek dari


salah satu atau kedua obat. Manajemen terapi dilakukan dengan menurunkan dosis salah
satu atau kedua obat tersebut jika diperlukan.

Interaksi Propanolol

Lidokain.

Interaksi ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi lidokain.

Manajemen terapi yang dilakukan yaitu dengan mengatur dosis bolus lidokain pada
kecepatan yang lambat untuk mencegah toksisitas, memonitor konsentrasi lidokain dan
menurunkan dosis lidokain.

Fenotiazin. (klorpromazine, thioridazine). Interaksi ini akan meningkatkan efek dari


salah satu atau kedua obat. Manajemen terapi dilakukan dengan menurunkan dosis salah
satu atau kedua obat tersebut jika diperlukan.

Thioamin (methimazole, proprilthiouracil). Interaksi ini akan meningkatkan efek dari


propanolol. Manajemen terapi dilakuka dengan memonitor status kardiovaskular,
menurunkan dosis propanolol jika diperlukan pada pasien menjadi euthyroid. Selain itu
bisa juga dengan menggunakan betabloker lain seperti atenolol, nadolol.

Interaksi Sotalol

Quinolon (gatifloxacin, moxifloxacin, sparfloxacin). Interaksi ini menyebabkan risiko


terkena aritmia kardiak, termasuk torsades de pointes. Manajemen terapi yang diberikan
yaitu dengan mencegah kombinasi kedua obat ini. Gunakan alternatif quinolone seperti
ciprofloxacin, levoploxacin.

INDIKASI KLINIK

Angina Pektoris, Aritmia, Hipertensi, Infark Miokard, Gagal Jantung Sistolik, Kardiomiopati
Obstruktif Hipertrofik, Feokromositoma, Tirotoksikosis, Migren, Glaukoma, Ansietas, Sirosis
dengan Varises.

Hipertensi
69

-bloker adalah obat antihipertensi yang efektif. Pemberian secara kronik pada pasien
hipertensi dapat menurunkan tekanan darah secara perlahan-lahan. Pada umumnya -bloker
dikombinasikan dengan diuretik. -bloker terutama berguna jika diberikan dalam kombinasi
dengan vasodilator karena -bloker dapat memblok refleks takikardia dan peningkatan curah
jantung akibat vasodilator.
Mekanisme antihipertensi -bloker :
1.

Berdasarkan penurunan curah jantung akibat hambatan reseptor 1 di jantung


Pemberian -bloker mula-mula menimbulkan penurunan curah jantung dan refleks
peningkatan resistensi perifer (tahanan PD terhadap aliran darah). Lambat laun terjadi
vasodilatasi perifer sebagai mekanisme adaptasi pembuluh darah terhadap penurunan
curah jantung yang berlangsung secara kronik.

2.

Berdasarkan hambatan sekresi renin


Pelepasan renin dari ginjal distimulasi oleh 1-agonis, dan efek ini dihambat oleh bloker. -bloker juga mengurangi sekresi renin yang distimulasi oleh deplesi Na+.
o Pasien hipertensi dengan aktivitas renin serum (Plasma Renin Activity = PRA) yang
tinggi, responsif terhadap -bloker dosis rendah. Mekanisme antihipertensi bloker
pada pasien ini berdasarkan efek antireninnya.
o Pasien hipertensi dengan aktivitas renin serum (Plasma Renin Activity = PRA) yang
rendah, responsif terhadap -bloker dosis yang lebih besar. Pada pasien ini efek
antireninnya hanya kecil dalam menimbulkan efek antihipertensi -bloker.

KONTRAINDIKASI

1.

Kontraindikasi Absolut jantung : bradikardi berat, blok AV, sindroma sinus sick,
kegagalan ventrikel kiri.

2.

Kontraindikasi Paru : asma, bronkospasme berat, tergantung dari beratnya penyakit dan
kardioselektivitas beta blocker yang digunakan, hal ini dapat menjadi kontraindikasi
absolute atau relatif.

3.

Kontraindikasi system saraf pusat adalah depresi berat (khususnya propanolol).

5. Pengaruh stimulus/ inhibisi Noradrenalin/adrenalin pada reseptor alfa


dan beta

70

6. Noradrenalin atau norepinefrin terutama merangsan reseptor alfa namun kurang


merangsang reseptor beta. Sebaliknya adrenailin atau epinefrin merangsan kedua
reseptor sama ini hamper sama kuat. Oleh karena itu pengaruh rangsangan
noradrenalin dan adrenalin bergantung pada reseptor yang terdapat pada target
jaringan atau organ, jika jaringan atau organ didominasi reseptor beta maka epinefrin
akan menjadi obat perangsang yang efektif begitu juga sebaliknya. Sebagai contoh
dapat disebutkan bronchi, dimana terdapat banyak reseptor beta-2; disini NA hanya
berefek ringan sedangkan adrenalin dan isoprenalin meninbulkan bronchodilatasi
kuat. Begitu pula di otot polos dinding pembuluh terdapat reseptor-alfa dan beta:
sedikit NA sudah bisa merangsang reseptor-beta-2 dengan efek vasodilatasi,
sedangkan lebih banyak NA diperlukan untuk merangsang reseptor-alfa dengan efek
vasokonstriksi. Pembuluh kulit memiliki banyak reseptor alfa, maka adrenalin dan
NA mengakibatkan vasokonstriksi, sedangkan isoprenalin hanya berefek ringan
sekali.
7.
8. Respons masing-masing organ serta jenis dan keberadaan reseptor adrenergik yang
dimilikinya dapat dilihat pada tabel.
Perangsangan adrenergik

Perangsangan kolinergik

Organ Efektor
Reseptor

Respons

Respons

Jantung :
Nodus SA

Denyut jantung

Kecepatan konduksi

Denyut jantung

Atrium
Sistem konduksi

Otot
Nodus AV

Kontraktilitas

Kontraktilitas

Kecepatan konduksi

Kecepatan konduksi

automatisitas
Ventrikel
Sistem konduksi

Kecepatan konduksi

Automatisitas
Otot

Kontraktilitas

1, 2

Konstriksi (kuat)

Arteriol :
Kulit dan mukosa

Peran sistem kolinergik

71

tidak berarti
Otot rangka

Visera

Ginjal

Otak
Koroner

Paru

Vena

1, 2

Konstriksi

Dilatasi (dominan)

Konstriksi (kuat)

2 , D1

Dilatasi (lemah)

1, 2

Konstriksi (kuat)

2 , D1

Dilatasi (lemah)

1
1, 2

Konstriksi (sedikit)
Konstriksi

Dilatasi (dominan)

Kontriksi

Dilatasi (dominan)

Konstriksi

Dilatasi

Relaksasi

Kontraksi

Sekresi

Sekresi

Sekresi

Penglepasan
mediator

Paru:
Otot bronkus &
trakea
Kelenjar bronkus

Sel mast

Inflamasi
Saluran cerna:
1, 2

Relaksasi

Relaksasi

Otot sfingter

Kontraksi

Relaksasi

Kelenjar

Sekresi

Sekresi

Otot polos lambung


& usus

Kontraksi

Ginjal:

72

Sekresi

Sekresi

Otot detrusor

Relaksasi

Kontraksi

Trigon & Sfingter

Kontraksi

Relaksasi

Kontraksi (hamil)

Bervariasi

Relaksasi (hamil
maupun tidak hamil)

Organ Kelamin Pria

Ejakulasi (kuat)

Prostat

Kontraksi

Kontraksi (midriasis) -

Sekresi renin

Kandung kemih:

Uterus

Ereksi (kuat)

Mata:
Otot radial iris
Otot sfingter iris

Kontraksi (miosis)

Relaksasi untuk
melihat jauh (lemah)

Kontraksi untuk melihat


dekat (kuat)

Otot pilomotor

Kontraksi

Kelenjar keringat

Sekresi setempat

Sekresi diseluruh tubuh

Otot siliaris
Kulit:

(keringat adrenergik)

Otot rangka
Hati

Glikogenolisis &
ambilan K+

1, 2

Glikogenolisis &
glukogenolisis

Pankreas:
Kelenjar acini

Sekresi

Sekresi

Sel beta

Sekresi insulin

Sekresi insulin

Sel lemak

Lipolisis

Kelenjar liur

Sekresi K+ dan air

Sekresi K+ dan air

Sekresi amilase

73

Kelenjar nasofarings

Sekresi

Kelenjar air mata

Sekresi

Sekresi

Adenohipofisis

Sekresi ADH

Trombosit

Agregasi

VI. Keterkaitan antar masalah


Mr. Hypertension 62 tahun

COPD

Hypertensi

Peptic ulcer

Low back pain

omeprazole, enalapril, hydrochlorothiazide, acetaminophen, and


metoprolol

74

VII. Kerangka Konsep


Mr.Hypertension
62 tahun

Hipertensi
Enalapril

COPD

hydrochlorothiazid
e

Peptic ulcer

Chronic Low Back


Pain

Hipertensi tetap
Omeprazole

Acetaminophen

enalapril
Proton pump
menurun

hydrochlorothiazid
e

metaprolol

analgetik

ACE inhibitor
diuretik

Beta 1 selektif
vasodilatasi

Resistensi perifer
menurun

Curah jantung
menurun

75

VIII. Kesimpulan
Mr. Hypertension sudah diberikan obat yang benar karena ineraksi antar obat
yang diberikan tidak menimbulkan efek yng buruk pada pasien.

76

Daftar Pustaka

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.


Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan Penerbit FK UI.
Katzung, Bertram, Master, Susan, Trevor, Anthony. (2014). Farmakologi Dasar & Klinik.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
Prawirakusumah, Abidin A. dr., 1980, Penggunaan Beta-Bloker Pada Pasien Kardiovaskuler,
Cermin Dunia Kedokteran, Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma,
Jakarta.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya, 2004, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Edisi 2, Pnerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Bagian Farmakologi FKUI. 1987. Farmakologi dan Terapi Edisi 3. Jakarta: Gaya Baru
Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC
Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi
Edisi 2. Jakarta: EGC
Fitrianingsih Dwi , S. Farm., Apt, Drs. H. Akhsin Zulkoni, M.Si. Farmakologi Obat-Obat
dalam Praktek Kebidanan.2009. Yogyakarta: Binari Media Utama.

77

Anda mungkin juga menyukai