04011381320033
Naurah Nazhifah
04011381320011
Nurul Rizki S.
04011181320105
04011181320013
04011381320043
Ummi Rahmah
04011181320107
04011181320015
Hendri Fauzik
04011181320021
Ha Sakinah Se
04011181320027
Nadya Aviodita
04011381320035
Afkur Mahesa
04011381320067
Revana Pramudita K
04011181320001
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2014
1
Kata Pengantar
Pertama, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat, rahmat, dan ridho-Nya lah laporan tutorial skenario A blok 12 ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Terimakasih penulis tujukan kepada Dosen Pembimbing (tutor) dalam hal ini atas nama
dr. Kusumo yang telah membimbing kami untuk penyusunan laporan ini. Tak lupa ucapan
terima kasih ditujukan untuk pihak yang telah membantu penyusunan laporan ini dari segi
moril maupun segi lainnya.
Laporan ini merupakan tugas hasil dari kegiatan tutorial pertama di blok 12. Adapun
kegiatan yang di laporkan dalam laporan ini adalah klarifikasi istilah, identifikasi masalah,
analisis masalah, meninjau ulang masalah, menyusun keterkaitan antar masalah, dan
mengidentifikasi topik pembelajaran.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan kata dalam penulisan
laporan ini. Apabila ada kritik maupun saran yang membangun kiranya dapat disampaikan,
demi tercapainya kebaikan bersama.
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar ..............................................................................................................
I.
II.
III.
IV.
V.
19
VI.
74
VII.
75
VIII.
Kesimpulan..................................................................................................
76
77
I. Skenario A Blok 12
Mr. Hypertension, 62 year old came to primary care physician to control hypertension who
save suffered for 6 years later. At present, given antihypertensive therapy is consistingof
enalapril and hydrochlorothiazide. He also suffered a chronic obtructive pulmonary disease
(COPD), peptic ulcer and chronic low back pain. On physical examination were found blood
pressure (BP) 165/95 mmHg; heart rate (HR) 85x/min, respiratory rate (RR) 18x/min, while
laboratory examination show data serum creatinine 1,5 mg/dL, K+: 5.0 mEq/L. Based on
these data, the physician will provide omeprazole, enalapril, hydrochlorothiazide,
acetaminophen, and metoprolol as adjunctive antihypertensive agent.
enzyme) inhibitor yang digunakan dalam pengobatan darah tinggi dan beberapa jenis
gagal jantung lainnya.
d. Hydrochlorothiazide
aliran udara di dalam saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif.
f. Peptic ulcer
rasa sakit.
j. Metaprolol
selektif terhadap jantung pada pengobatan hipertensi angina pektoris dan infark
miokard.
Masalah
Kesesuaian
1.
Prioritas
VVVV
VVV
VV
show
1,5
data
mg/dL,
serum
K+:
5.0
mEq/L.
4.
metoprolol
as
adjunctive
antihypertensive agent.
Abnormalitas pada renal atau jaringan autoregulator yang mengatur proses ekskresi
natrium, volume plasma, dan konstriksi alteriolar. Abnormalitas humoral, termasuk
renin-angiotensin-aldosteron
system
(RAS),
hormon
natriuretik,
atau
(sistem
renin-angiotensin-aldosteron)
bersifat
presif
berdasarkanefek
He also suffered a chronic obtructive pulmonary disease (COPD), peptic ulcer and
chronic low back pain.
a. Apa hubungan hipertensi menahun dengan :
1. COPD
Sebernarnya tidak ada hubungan antara penyakit Hipertensi dengan COPD tapi
hubungannya lebih kepada interaksi obat yang digunakan. Obat anti-hipertensi
khususnya beta blocker (beta-1 selective blocker) tidak boleh diberikan kepada
pasien penderita asma dan PPOK karena efek dari obat itu dapat menyebabkan
Bronkospasme. Sehingga berbahaya bagi penderita PPOK.
2. Peptic ulcer
Tidak ada hubungannya. Kasus peptic ulcer bersamaan dengan hipertensi
menahun sebagai pembanding penggunaan obat.
3. Chronic low back pain
Tidak ada hubungannya.
On physical examination were found blood pressure (BP) 165/95 mmHg; heart rate
(HR) 85x/min, respiratory rate (RR) 18x/min, while laboratory examination show data
serum creatinine 1,5 mg/dL, K+: 5.0 mEq/L.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?
Kondisi Mr. Hypertension
Nilai normal
Keterangan
Blood pressure
120/80 mmHg
Abnormal
Heart rate
60-100x/menit
Normal
Respiratory rate
16-24x/menit
Normal
Mekanisme:
Kreatinin darah meningkat jika fungsi ginjal menurun. Oleh karena itu kreatinin
dianggap lebih sensitif dan merupakan indikator khusus pada penyakit ginjal
dibandingkan uji dengan kadar nitrogen urea darah (BUN). Sedikit peningkatan kadar
BUN dapat menandakan terjadinya hipovolemia (kekurangan volume cairan); namun
kadar kreatinin sebesar 2,5 mg/dl dapat menjadi indikasi kerusakan ginjal
Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kreatinin adalah : Amfoterisin B,
sefalosporin (sefazolin, sefalotin), aminoglikosid (gentamisin), kanamisin, metisilin,
simetidin, asam askorbat, obat kemoterapi sisplatin, trimetoprim, barbiturat, litium
karbonat, mitramisin, metildopa, triamteren.
Omeprazole
Enalapril
Metoprolol
: 1 selektif (Antihipertensi)
2. Enalapril
Nama Obat: renacardon
10
3. Hydrochlorothiazide
Kerja obat
11
Farmakokinetik
Semua thiazide diabsorbsi pada pemberian secara oral, umumnya efek obat tampak
setelah 1 jam. Tetapi terdapat perbedaan dalam metabolismenya. Semua thiazide
disekresi oleh sistem sekretorik asam organik dan bersaing pada beberapa hal dengan
sekresi uric acid oleh sistem tersebut. Sebagai hasilnya, kecepatan sekresi uric acid
dapat menurun, dengan diikuti peningkatan kadar uric acid serum. Pada steady state,
produksi uric acid tidak dipengaruhi oleh thhiazide. Klorothiazide didistribusikan ke
seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar uri, tetapi obat ini hanya ditimbun
dalam jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli
proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens ginjal obat ini besar sekali, biasanya 3-6
jam sudah diekskresikan dari badan. Klorotiazid dalam badan tidak mengalami
perubahan metabolik.
Farmakodinamik
Diuretik ini bekerja menghambat simporter Na dan Cl di hulu tubulus distalis. Sistem
transpor ini dalam keadaan normal berfungsi membawa Na, selanjutnya dipompakan
ke luar tubulus dan ditukar melalui kanal klorida. Efek farmakodinamik tiazid yang
utama ialah meningkatkan ekskresi Natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis
dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorpsi elektrolit
pada hulu tubuli distal. Laju ekskresi Na maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid jauh
lebih rendah dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh beberapa diuretik lain, hal ini
disebabakan 905 Na dalam cairan filtrat telah direabsorbsi lebih dulu sebelum
mencapai tempat kerja tiazid.
Pada pasien hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek
12
diuretiknya tetap juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi
vasodilatasi.
Dosis
-
Edema: dosis awal 5-10 mg sehari atau berselang sehari pada pagi hari;
Efek samping
hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang ringan; impotensi (reversibel bila
obat dihentikan); hipokalemia, hipomagnesemia,
hiponatremia, hiperkalsemia,
atau
hipomagnesemia.
;Toksisitas
lithium
dapat
jika
tiazida
4. Acetaminophen
Pemeberian acetaminophen pada pasien karena penyakitnya yang low back pain, yaitu
sebagai alnalgetik (pereda nyeri) , karena penderita ada peptic ulcer sedangkan obat
analgetik lainnya sebagian besar efek sampinya iritasi lambung mis. Asam mefenamat,
13
5. Metoprolol
14
Metoprolol adalah obat beta-1 selective blocker yang menghambat reseptor beta 1
pada jantung. Obat ini larut dalam lemak sehingga diabsorbsi baik di saluran cerna
tetapi bioavailabilitas rendah karena mengalami metabolisme lintas pertama yang
ekstensif di hati. Eliminasinya melalui metabolism di hati sangat ekstensif sehingga
obat utuh yang diekskresi melalui ginjal sangat sedikit. Obat ini memiliki waktu
paruh eliminasi yang pendek, yakni berkisar 3-8 jam. Metoprolol perlu diberikan dua
kali sehari dan kurang kardioselektif dibandingkan dengan atenolol. Dosisnya adalah
50 sampai 100 mg dua kali sehari. Efek samping obat ini adalah sulit bernafas,
pusing, diare, tangan dingin, gangguan pengecapan (rash). Kontraindikasi obat ini
adalah ibu hamil, ibu menyusui, dan penderita asma atau PPOK.
c. Bagaimana distribusi/letak reseptor alfa dan beta adrenergik pada jaringan atau organ
pada kasus?
Adrenergik atau simpatomimetika adalah zat-zat yang dapat menimbulkan (sebagian) efek
yang sama dengan stimulasi susunan simpaticus (SS) dan melepaskan noradrenarlin (NA) di
ujung-ujung sarafnya.
Reseptor Alfa dan Beta
Adrenergik dapat dibagi dalam dua kelompok menurut titik-kerjanya di sel-sel efektor dari
organ-ujung, yakni reseptor-alfa dan reseptor-beta (Ahlquist 1948). Perbedaan antara kedua
jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi adrenalin, noradrenalin (NA), dan
isoprenalin. Reseptor-alfa lebih peka bagi NA, sedangkan reseptor-beta lebih sensitif bagi
isoprenalin.
Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologinya, yaitu dalam alfa-1 dan
alfa-2, serta beta-1 dan beta-2. Pada umumnya, stimulasi dari masing-masing reseptor itu
menghasilkan efek-efek sebagai berikut:
-
Alfa-1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi sel-sel kelenjar
tekanan darah. Mungkin pelepasan ACh dan saraf kolinergis dalam usus pun terhambat
sehingga antara lain menurunnya peristaltik.
-
Beta-1 : memperkuat daya dan frekuensi konstraksi jantung (efek inotrop dan
kronotrop).
-
Alfa-2 dan beta-2 : presinaptis dan ekstrasinaptis, yaitu di muka sinaps atau
diluarnya, antara lain di kulit otak, rahim, dan pelat-pelat darah. Reseptor-a1 juga
terdapat presinaptis.
Konsep reseptor dan pada sel efektor yang distimulasi oleh agonis adrenergic dan hanya
dihambat oleh antagonisnya, memudahkan pengertian tentang mekanisme kerja obat
adrenergic. Pda umumnya, efek yang ditimbulkan melalui reseptor pada otot polos adalah
perangsangan, seperti pada otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, Sebaliknya, efek
melalui reseptor pad otot polos adalah penghambat, seperti pada otot polos usus, bronkus,
dan pembuluh darah otot rangka. Salah satu kecualiannya adalah otot polos usus yang
mempunyai kedua reseptor dan , dan aktivasi keduanya menimbulkan efek penghambatan.
Untuk target organ pada kasus yaitu jantung, dan arteri didominasi oleh reseptor alfa.
Efek rangsangan
Bila di suatu organ terdapat kedua jenis reseptor, maka responsnya terhadap stimulasi oleh
katecholamin (adrenalin, NA, dopamin, serotonin) agar tergantung dari pembagian dan
jumlah reseptor-alfa dan reseptor-beta di jaringan tersebut. Sebagai contoh dapat disebutkan
bronchi, dimana terdapat banyak reseptor beta-2; disini NA hanya berefek ringan sedangkan
16
adrenalin dan isoprenalin meninbulkan bronchodilatasi kuat. Begitu pula di otot polos dinding
pembuluh terdapat reseptor-alfa dan beta: sedikit NA sudah bisa merangsang reseptor-beta-2
dengan efek vasodilatasi, sedangkan lebih banyak NA diperlukan untuk merangsang reseptoralfa dengan efek vasokonstriksi. Pembuluh kulit memiliki banyak reseptor alfa, maka
adrenalin dan NA mengakibatkan vasokonstriksi, sedangkan isoprenalin hanya berefek ringan
sekali.
Dalam tabel di bawah ini diikhtisarkan efek adrenergis yang terpenting.
Efek
Efek 1
Efek 2
Ino-/
Vaso>
krono-
koroner
Stimulasi sirkulasi
-jantung
trop +
Vaso <, TD Sekresi
-perifer
Bronco >
kelenjar
Stimulasi SSP
-Napas
-Kewaspadaan
nafsu makan
Stimulasi
Glikogenolise pelepasan
metabolisme
asam lemak
renin
f. Bagaimana interaksi antar oat dalam kasus? Apakah udah sesuai dengan penyakit mr.
hipertensi?
Enalapril benar dikombinasikan dengan HCT. Karena pemberian HCT dalam waktu 4
minggu sudah tidak berpengaruh lagi, sehingga harus dinaikkan dosisnya. HCT dalam
dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia. Efek samping ini dapat dihindari bila HCT
dikombinasi dengan obat lain diuretic hemat kalium, atau ACE-inhibitor, misalnya
enalapril.
HCT bisa menyebabkan dieresis yang menyebabkan air keluar, akibatnya tekanan darah
menurun. Sebenarnya pemberian HCT ini sudah baik karena kadar kaliumnya tinggi.
Pemberian omeprazole benar karena menekan asam lambung.
Acetaminophen ini benar karena mempunyai daya kerja antipiretik dan analgetik yang
tidak menimbulkan radang dan tidak menyebabkan iritasi padalambung dimana mr.
hipertensi ini ada penyakit peptic ulcer
18
Metoprolol jika diberikan dalam dosis rendah tetapi akan berdampak buruk dalam dosis
tinggi karena termasuk golongan beta 1 selektif yang kontraindikasi terhadap COPD.
V. Learning Issue
Issues
Hypertension
What I Know
Pengertian,
patofisiologi, cara
Mekanisme
mengontrol
Obat otonom
Pengertian
(farmakokinetik dan
farmakodinamik),
dosis, efek samping
obat
Sistem saraf otonom
Pengertian
neurotransmitter,
Peran
reseptor, release,
reabsorb
norepinephrine
Beta blocker
Pengertian
Mekanisme
Fungsi reseptor
Pengaruh stimulus/
Pengertian
Mekanisme, peran
Fungsi
inhibisi
Noradrenalin/adrenalin
pada reseptor alfa dan
beta
19
Peningkatan bermakna pada tekanan darah (ke level lebih tinggi stage 3) adalah krisis
hipertensi, yang bisa melambangkan hypertensive emergency (kenaikan tekanan darah dengan
cedera akut target organ) atau hypertensive urgency (hipertensi akut tanpa tanda atau simtom
komplikasi akut target organ).
PATOFISIOLOGI
Hipertensi adalah kelainan heterogen yang bisa muncul dari penyebab spesifk (hipertensi
sekunder) atau dari mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi
primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi pada kurang dari 5% kasus, dan kebanyakan
disebabkan oleh renoparenchymal kronik atau penyakit renovascular. Kondisi lain yang
menyebabkan hipertensi sekunder termasuk pheochromacytoma, sindroma Cushing,
hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteronisme primer, kehamilan, peningkatan tekanan
intercranial, dan koarktasi (penyempitan) aorta. Beberapa obat yang bisa menaikkan tekanan
darah termasuk kortikosteroid, estrogen, amfetamin/anorexians, MAO inhibitor, dekongestan
oral, venlafaxine, siklosporin, NSAID, dan hormon tiroid.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan pengembangan hipertensi primer, termasuk:
Gangguan patologis pada central nervous system (CNS), serat saraf otonom, reseptor
adrenergik, atau baroreseptor.
Abnormalitas pada renal atau jaringan autoregulator yang mengatur proses ekskresi natrium,
volume plasma, dan konstriksi alteriolar.
Abnormalitas humoral, termasuk renin-angiotensin-aldosteron system (RAS), hormon
natriuretik, atau hiperinsulinemia.
Defisiensi pada sintesis setempat substan vasodilator pada endotel vascular, seperti
prostasiklin, bradikinin, dan nitric oxide, atau peningkatan produksi substan vasokonstriktor
seperti angitensin II dan endotelin I.
Asupan natrium yang tinggi dan peningkatan hormon natriuretik di sirkulasi yang
menginhibisi transpor natrium intraseluler, sehingga reaktivitas vaskular meningkat dan
tekanan darah naik.
Peningkatan konsentrasi kalsium intraseuler, sehingga fungsi otot polos vaskular berubah dan
terjadi peningkatan tahanan vaskular perifer.
Penyebab utama kematian pada pasien hipertensi adalah kejadian cerebrovascular,
cardiovascular, dan gagal ginjal. Kemungkinan untuk kematian prematur berkaitan dengan
tingkat keparahan naiknya tekanan darah.
20
CIRI KLINIK
Pasien dengan hipertensi primer uncomplicated biasanya awalnya asimtomatik.
Pasien dengan hipertensi sekunder biasanya mengeluh mengenai simtom yang dari situ bisa
dicari penyebabnya. Pasien dengan pheochromocytoma bisa mempunyai riwayat sakit kepala
paroksimal, berkeringat, takikardi, palpitasi, pusing orthostatik, atau sinkop. Pada
aldosteronisme primer, simtom hipokalemik kejang otot dan merasa lemah bisa muncul.
Pasien dengan hipertensi sekunder karena sindroma Cushing bisa mengeluh beratnya
bertambah, poliuria, edema, menstruasi tidak teratur, sering muncul jerawat, atau otot yang
lemah.
DIAGNOSIS
Seringkali, satu-satunya tanda hipertensi primer pada pemeriksaan fisik adalah kenaikan
tekanan darah. Diagnosis hipertensi harus berdasar pada rerata dua atau lebih pemeriksaan
yang diambil tiap dua atau lebih kunjungan.
Pada perkembangannya, tanda kerusakan organ mulai muncul, terutama terkait pada
perubahan patologis di mata, otak, jantung, ginjal, dan pembuluh darah perifer.
Pemeriksaan funduscopic bisa menunjukkan penyempitan arteriolar, penyempitan
arterioral focal, arteriovenous nicking, dan hemorrhage retina, exudates, dan infark.
Munculnya papilledema mengindikasikan hypertensive emergency yang memerlukan
perawatan secepatnya.
Pemeriksaan cardiopulmonal bisa menunjukkan denyut jantung atau ritme yang abnormal,
hipertropi ventrikular, precordil heave, murmur (suara jantung yang tidak biasa menandakan
kelainan fungsional atau struktural), third or fourth heart sounds, dan rales (suara abnormal
yang terdengar mengikuti suara respirasi normal).
Pemeriksaan vaskular perifer bisa mendeteksi bukti atherosklerosis, yang bisa muncul
sebagai bruits (suara yang terdengar sewaktu diagnosa dengan stetoskop) aortic atau
abdominal, pembesaran vena (karena tekanan internal), hilangnya denyut perifer, atau edema
ekstremitas bawah.
Pasien dengan stenosis arteri renal bisa mempunyai bruit sistolik-diastolik yang abnormal.
Mereka yang dengan sindroma Cushing bisa mempunyai ciri fisik klasik moon face, buffalo
hump (), hirsutisme, dan striae (area pada kulit berbentuk garis dengan perbedaan jelas
dengan sekitarnya) abdominal.
21
hipertensi yang dirangsang oleh mineralokortikoid. Adanya protein, sel darah, dan casts di
urine bisa mengindikasikan penyakit parenkim ginjal.
Tes laboratorium sebaiknya didapatkan pada semua pasien untuk memulai terapi obat
termasuk urinalysis, hitung sel darah lengkap, kandungan kimia serum (natrium, kalium,
kreatinin, glukosa sewaktu puasa, dan total kolesterol serta HDL-C), dan 12-lead ECG. Tes
ini digunakan untuk menaksir faktor resiko lainnya dan untuk membuat data baseline untuk
monitorng perubahan metabolik karena obat.
Tes laboratorium yang lebih spesifik digunakan untuk mendiagnosa hipertensi sekunder.
Ini termasuk norepinefrin plasma dan level metanefrin urin untuk pheochromocytoma, level
plasma dan urin aldosterone untuk aldosteronisme primer, dan aktivitas plasma renin, tes
stimulasi kaptopril, renin vena renal, dan angiografi arteri renal untuk penyakit renovascular.
PERAWATAN
Terapi non Farmakologi
Skema perawatan JNC-VI untuk hipertensi pada Gambar 9-1.
Faktor resiko utama untuk perkembangan komplikasi hipertensi harus diketahui. Ini termasuk
merokok, dislipidemia, diabetus melitus, usia >60 tahun, jenis kelamin (pria dan wanita pasca
menopause), dan riwayat keluarga untuk penyakit cardiovascular prematur. Obesitas dan gaya
hidup sedentary bisa juga meningkatkan resiko hipertensi dan penyakit cardiovascular.
Semua rencanca perawatan sebaiknya dimulai dari perubahan gaya hidup, termasuk: (1)
pengurangan berat jika berlebih; (2) membatasi asupan alkohol sampai <1 ounce per hari; (3)
meningkatkan aktivitas fisik aerobic; (4) mengurangi asupan natrium sampai <2,4 g/hari (6
g/hari natrium klorida); (5) menjaga asupan yang cukup dari makanan untuk kalium, kalsium,
dan magnesium; (6) mengurangi asupan lemak jenuh dan kolsterol dari makanan; dan (7)
menghentikan merokok.
22
Terapi Farmakologi
Pemilihn obat sebaiknya berdasar pada bukti ilmiah untuk efek pada pengurangan morbiditas
dan mortalitas, keamanan, biaya, dan adanya penyakit lain dan faktor resiko lain.
Pasien dengan uncomplicated hypertension sebaiknya menerima diuretik thiazide atau
blocker (Tabel 9-2). Hanya sekitar 40% pasien yang mendapatkan kontrol tekanan darah
dengan agen tunggal. Obat pilihan kedua harus mempunyai efek antihipertensi aditif dan
memperbaiki kondisi medis sebelumnya. Jika duretik bukan merupakan obat pertama, diuretik
sebaiknya menjadi obat kedua pada regimen jika tidak kontraindikasi.
Jika kondisi yang sebelumnya dialami melarang penggunaan diuretik thiazide atau blocker,
alternatif terbaik adalah ACE inhibitor, Ca channel blocker, angiotensin II reseptor blocker,
dan, terkadang, blocker. Agonis 2 yang bekerja sentral, inhibitor adrenergic dan
vasodilator digunakan untuk pasien dengan hipertensi yang sulit dikontrol.
Duretik
Thiazide umumnya merupakan diuretik pilihan untuk perawatan hipertensi, dan semuanya
sama-sama efektif untuk menurunkan tekanan darah. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang
baik (yaitu, glomerulus filtration rate, GFR, >30 /ml menit), thiazide menjadi lebih efektif
daripada loop diuretic. Tetapi, jika fungsi ginjal menurun, natrium dan air terakumulasi,
penggunaan loop duretic perlu untuk melawan efek ekspansi volume dan natrium pada
tekanan darah arterial.
Diuretik hemat kalium adalah antihipertensi lemah ketika digunakan tunggal tapi memberikan
efek aditif antihipertensi ketika digabungkan dengan thiazide atau loop diuretic. Lebih jauh,
duretik hemat kalium tidak mempunyai sifat menyebabkan kehabisan kalium dan magnesium
seperti pada diuretik lain.
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis. Pengurangan pada
volume plasma dan stroke volume yang dihubungkan dengan diuretik menurunkan cardiac
output dan, sebagai hasilnya, tekanan darah. Penurunan awal pada cardiac output
menyebabkan peningkatan untuk kompensasi pada tahanan vascular perifer. Dengan terapi
diuretik kronik, volume cairan ekstraseluler dan volume plasma kembali hampir ke level
sebelum perawatan (pretreatmeant), dan tahanan vascular perifer jatuh di bawah baseline
pretreatmeant. Pengurangan pada tahanan vascular perifer bertanggungjawab untuk efek
hipotensi jangka panjang. Telah dipostulatkan bahwa thiazides menurunkan tekanan darah
dengan memindahkan natrium dan air dari dinding arteriolar.
23
Ketika diuretik digabungkan bersama dengan antihipertensi lain, efek aditif antihipertensi
biasanya teramati karena mekanisme kerja yang independen. Lebih jauh, banyak agen
antihipertensi non diuretik merangsang retensi air dan natrium, yang berlawanan dengan efek
diuretik.
Efek samping thiazides termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia,
hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Loop diuretic mempunyai efek lebih
kecil pada serum lipid dan glukosa, tapi hipokalsemia bisa terjadi.
Hipokalemia dan hipomagnesia karena diuretik bisa menyebabkan kejang otot. Cardiac
aritmia juga bisa terjadi, terutama pada pasien yang menerima terapi digitalis, pasien dengan
hipertrofi ventrikel kiri, dan mereka dengan penyakit iskemi jantung. Resiko hipokalemia dan
efek metabolik lainnya dikurangi dengan membatasi dosis harian (seperti, 12,5-25 mg
hydrochlorothiazide atau 25 mg chlorthalidone).
Diuretik hemat kalium bisa menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal atau diabetes, dan pasien yang menerima perawatan dengan ACE
inhibitor, NSAID, atau suplemen kalium. Spironolakton bisa menyebabkan ginekomasti.
-adrenergic blocker
Mekanisme hipotensi yang pasti dari blocker masih belum jelas tapi melibatkan penurunan
cardiac output melalui kronotropik negatif dan efek inotropik pada jantung dan inhibisi
pelepasan renin dari ginjal.
Meski ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik yang penting pada berbagai
blocker, tidak ada perbedaan pada efek klinik untuk antihipertensi.
Bisoprolol, metoprolol, atenolol, dan asebutolol adalah cardioselective pada dosis rendah dan
mengikat lebih kuat pada respetor 1 daripada reseptor 2. sebagai hasil, agen-agen ini lebih
jarang menyebabkan bronkospasma dan vasokontriksi dan bisa lebih aman dari blocker non
selective pada pasien dengan asma, chronic obstructive pulmnary disease (COPD), diabetes,
dan penyakit vascular verifer.
Cardioselektivitas adalah fenomena tergantung dosis, dan efeknya hilang pada dosis lebih
tinggi.
Pindolol, penbutolol, carteolol, dan acebutolol mempunyai intrinsic sympathomimetic activity
(ISA) atau aktivitas agonis parsial terhadap reseptor . Ketika tonus simpatik rendah, seperti
pada waktu istirahat, reseptor distimulasi parsial, jadi denyut jantung istirahat, cardiac
output, dan aliran darah perifer tidak dikurangi ketika reseptor diblock. Teorinya, obat ini bisa
mempunyai keuntungan pada pasien dengan borderline heart failure, bradikardia sinus, atau
24
mungkin penyakit vascular perifer. Tetapi, agen dengan ISA sebaiknya tidak digunakan
karena bisa meningkatkan resiko infark myocardia.
Ada perbedaan farmakokinetik diantara blocker pada metabolisme lintas pertama (first pass
metabolism, FPM), waktu paruh serum, derajat lipofilitas, dan rute eliminasi. Propanolol dan
metoprolol mengalami FPM yang hebat. Atenolol dan nadolol, yang waktu paruhnya relatif
panjang, diekskresikan melalui renal, dan dosisnya perlu disesuaikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Bahkan meski waktu paruh
pemberian sekali sehari masih bisa efektif. blocker berbeda pada sifat lipofilitasnya dan
sehingga penetrasinya ke CNS.
Efek samping dari blokade pada myocardium termasuk bradikarida, abnormalitas pada
konduksi atrioventricular (AV), dan gagal jantung. Blokade pulmonal bisa menyebabkan
bronkospasma makin parah pada pasien asma atau CPOD. Blokade reseptor 2 pada arteriolar
otot polos bisa menyebabkan ekstremitas menjadi dingin dan memperburuk claudication yang
terjadi dalam interval atau fenomena Raynaud karena penurunan aliran darah perifer.
Penghentian mendadak terapi blocker bisa menyebabkan unstable angina, infark myocardia,
atau bahkan kematian pada pasien yang rentan terhadap kejadian iskemi myocardial. Pada
pasien tanpa penyakit jantung koroner, penghentian tiba-tiba terapi blocker bisa
dihubungkan dengan sinus takikardia, sering berkeringat, dan malaise. Untuk alasan ini,
merupakan tindakan bijak untuk menurunkan dosis secara bertahap selama 14 hari sebelum
dihentikan.
Peningkatan serum lipid dan glukosa tampaknya hanya sementara dan mempunyai peran
klinik yang kecil. blocker meningkatkan level serum trigliserida dan menurunkan level
HDL-C. blocker dengan sifat blocker (seperti, labetolol) tidak menghasilkan perubahan
yang berarti pada konsentrasi serum lipid.
Pada pasien dengan diabetes, blocker mengurangi simtom hipoglisemia dan bisa
memperpanjang durasi hipoglisemia. Sehingga, penggunannya harus hati-hati pada diabetes
yang dikontrol dengan ketat, dan agen cardioselective yang sebaiknya digunakan.
ACE Inhibitor
ACE didistribusikan secara luas di banyak jaringan, dengan beberapa tipe sel yang berbeda,
tapi lokasi umumnya pada sel endotelal. Karena endotel vascular meliputi area yang luas,
tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah, bukan ginjal. ACE inhibitor
menghalangi perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor poten
yang merangsang sekresi aldosteron. ACE inhibitor juga menghalangi degradasi bradikinin
25
dan merangsang sintesis senyawa vasodilator lain, seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin.
Fakta bahwa ACE inhibitor menurunkan tekanan darah pada pasien dengan plasma renin
normal dan aktivitas ACE mengindikasikan pentingnya bradikinin dan mungkin produksi
ACE di jaringan sebagai penyebab meningkatnya tahanan vascular perifer.
Analapril dan lisinopril diberikan sekali sehari, dan benazapril, captopril, fosinopril,
moexipril, quinapril, ramipril, dan trandolapril bisa memberikan pengurangan tekanan darah
selama 24 jam dengan pemberian sekali atau dua kali sehari. Absorpsi captopril (tapi bukan
enalapril atau lisinopril) berkurang 30-40% dengan adanya makanan di lambung.
Sekitar 10% pasien yang mengkonsumsi captopril mengalami kulit kemerahan, yang
terkadang cepat hilang dengan dosis yang lebih kecil dan melanjutkan perawatan. Hilangnya
kemampuan mengecap reversibel atau gangguan dalam pengecapan (dysgeusia) telah
dilaporkan pada sekitar 6% pasien yang menerima captopril. Tingginya kejadian kulit
kemerahan, dysgeusia, dan proteinuria dengan captopril dihubungkan dengan gugus sulfhydril
yang tidak terdapat di enalapril maupun lisinopril. Sekitar 10-20% pasien mengalami batuk
yang sulit hilang pada pemberian ACE inhibitor; pasien ini bisa menerima antagonis reseptor
angiotensin II sebagai pengganti.
Hipotensi akut bisa terjadi pada onset terapi ACE inhibitor, terutama pada pasien yang
natrium dan volume airnya berkurang banyak. Mungkin perlu untuk menghentikan diuretic
dan mengurangi dosis agen antihipertensi lain sebelum memulai terapi. Penting untuk
memulai terapi ACE inhibitor pada dosis rendah dengan penambahan secara titrasi.
Efek samping paling serius dari ACE inhibitor adalah netropenia dan agranulocytosis,
proteinuria, glomerulonephritis, gagal ginjal akut, dan angoiedema; efek ini terjadi pada <1%
pasien. Pasien yang sebelumnya mengidap penyakit ginjal atau jaringan connective paling
rentan terhadap efek samping ginjal dan hematologis. Pasien dengan stenosis arteri renal
bilateral atau stenosis unilateral dari ginjal yang bekerja sendiri dan pasien yang tergantung
pada efek vasokontriksi dari angiotensin II pada arteriol efferent paling rentan terhadap
terjadinya gagal ginjal akut.
Hiperkalemia terlihat umumnya pada pasien dengan penyakit ginjal atau diabetes melitus
(terutama dengan asidosis renal tipe IV) atau pada pasien yang menerima NSAID, suplemen
kalium, atau diuretik hemat kalium.
ACE inhibitor tidak boleh diberikan selama kehamilan karena ancaman masalah neonatal
yang serius, termasuk kegagalan ginjal dan kematian pada bayi, telah dilaporkan pada ibu
yang mengkonsumsi agen ini selama trimester kedua dan ketiga.
26
27
penggunaannya pada dosis rendah sebaiknya dibatasi untuk kasus unik seperti pada pria
dengan hiperplasia prostat ganas jika mereka telah menerima terapi antihipertensi standar
lainnya (diuretik, blocker, atau ACE inhibitor).
Agonis Reseptor 2 Sentral.
28
Clonidine, guanabenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan
menstimulasi reseptor 2 adrenergic di otak, yang mengurangi symphatetic outflow dari pusat
vasomotor dan meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor 2 presinap secara perifer bisa
berperan pada pengurangan tonus simpatik. Konsekuensinya, bisa ada penurunan denyut
jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktivitas plasma renin, dan reflek baroreseptor.
Penggunaan kronik menyebabkan retensi natrium dan cairan, yang tampaknya paling jelas
dengan metildopa. Dosis rendah dari clonidine, guanfacine, atau guanabenz bisa digunakan
untuk merawat hipertensi ringan tanpa perlu menambahkan diuretik.
Sedasi dan mulut kering adalah efek samping umum yang bisa hilang dengan dosis rendah
kronik. Dan seperti antihipertensi lain yang bekerja sentral, bisa terjadi depresi.
Penghentian mendadak bisa menyebabkan rebound hypertension (peningkatan mendadak
tekanan darah sampai ke level sebelum perawatan) atau overshoot hypertension (peningkatan
tekanan darah lebih tinggi dari level sebelum perawatan). Ini diperkirakan terjadi setelah
kompensasi peningkatan pada pelepasan norepinefrin yang mengikuti penghentian stimulasi
reseptor presinap.
Metildopa jarang menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik. Peningkatan singkat pada
hepatic transaminase kadang terjadi dengan metildopa dan secara klinik tidak penting.
Peningkatan yang bertahan pada serum transaminase atau alkaline phosphatase bisa
mendahului onset fulminant hepatitis(hepatitis yang terjadi mendadak dalam keadaan sangat
parah), yang bisa fatal. Anemia hemolitik Coombs-positive terjadi pada <1% pasien yang
menerima metildopa, meski 20% tes direct-Coomb-nya positif tanpa mengalami anemia.
Untuk alasan ini, metildopa mempunyai kegunaan yang terbatas.
Transdermal delivery system untuk clonidine bisa dihubungkan dengan efek samping yang
lebih kecil dan peningkatan kepatuhan. Patch digunakan pada kulit selama 2 minggu sebelum
diganti. Tekanan darah diturunkan sementara konsentrasi serum obat yang tinggi bisa
dihindari. Kerugiannya adalah harga mahal, 20% kejadian kulit kemerahan yang terjadi lokal
atau iritasi, dan penundaan onset efek selama 2 atau 3 hari.
Vasodilator
Hydralazine dan minoxidil menyebabkan relaksasi otot polos arteriol secara langsung melalui
mekanisme yang meningkatkan konsentrasi seluler cyclic guanosine monophosphate (cGMP).
Compensatory activation dari reflek baroreseptor menyebabkan peningkatan sympathetic
outflow dari pusat vasomotor, menghasilkan peningkatan denyut jantung, cardiac output, dan
pelepasan renin. Konsekuensinya, keefektifan vasodilatasi dari vasodilator langsung
29
menghilang dengan waktu kecuali pasien juga mengkonsumsi inhibitor simpatik dan diuretik.
Pada pasien yang lebih tua, mekanisme baroreseptor bisa tidak optimal sehingga tekanan
darah bisa diturunkan dengan terapi vasodilator tanpa menyebabkan over aktivitas simpatik.
Pasien yang dicalonkan untuk obat sebaiknya menerima terapi duretik dan -adrenergic
blocker sebelumnya. Vasodilator langsung bisa menyebabkan angina pada pasien dengan
penyakit arteri kroner kecuali mekanisme reflek baroreseptor di-block total dengan inhibitor
simpatik. Clonidine bisa digunakan pada pasien yang kontraindikasi dengan blocker.
Hydralazine bisa menyebabkan sindroma seperti lupus yang terkait dosis, yang lebih umum
pada asetilator lambat. Reaksi seperti lupus bisa dihindari dengan menggunakan total dosis
harian <200 mg. efek samping lain dari hydralazine termasuk dermatitis, drug fever, neuropati
perifer, hepatitis, dan vascular headache. Untuk alasan ini, penggunaan hydralazine pada
perawatan hipertensi terbatas.
Minoxidil adalah vasodilator yang lebih poten dari hydralazine, dan peningkatan kompensasi
pada denyut jantung, cardiac output, pelepasan renin, dan retensi natrium lebih dramatis.
Retensi air dan natrium yang parah bisa menyebabkan gagal jantung kongestif. Minoxidil
juga menyebabkan hypertrichosis reversibel pada wajah, lengan, punggung, dan dada. Efek
sampng lain termasuk effusi (keluarnya cairan) pericardial dan perubahan T wave non
spesifik pada ECG. Minoxidil umumnya diberikan untuk hipertensi yng sulit dikntrol.
Reserpine
Reserpine menghabiskan norepinefrin dari akhiran saraf simpatik dan menghalangi transpor
norepinefirn ke granule penyimpanan. Ketika saraf sistimulasi, jumlah epinefrin yang
dilepaskan ke sinap kurang dari biasanya. Ini mengurangi tonus simpatik, menurunkan
tahanan vascular perifer dan tekanan darah.
30
Reserpine bisa menyebabkan retensi cairan dan natrium yang signifikan, dan sebaiknya
diberikan dengan diuretik.
Inhibisi kuat aktivitas simpatik dari Reserpine menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas
parasimpatik, yang berperan untuk efek samping hidung buntu, peningkatan sekresi gastrik,
diare, dan bradikardi.
Efek samping paling serius adalah depresi mental yang terkait dosis sebagai akibat dari
deplesi serotonin dan katekolamine CNS. Ini bsia dikurangi dengan dosis tidak melebihi 0,25
mg sehari. Kombinasi diuretik dan reserpine merupakan regimen antihipertensi yang efektif
dan tidak mahal.
31
Pada kebanyakan kasus, faktor yang dihubungkan dengan hipertensi pada anak-anak serupa
dengan faktor pada dewasa. Tetapi, hipertensi sekunder biasanya lebih umum pada anak-anak
daripada dewasa.
Penyakit ginjal (seperti, pyelonephritis, glomerulonephritis, stenosis artreri ginjal, kista ginjal)
adalah penyebab paling umum hipertensi sekunder pada anak-anak. Perawatan medis atau
operasi pada penyebab biasanya mengembalikan tekanan darah ke normal.
Seperti pada dewsa, perawatan non farmakologi adalah landasan terapi hipertensi primer.
Duretik dan blocker berguna pada anak dan neonatus tapi harus dihindari pada gadis yang
aktif secara seksual (???) dan pada mereka yang mungkin mempunyai stenosis arteri ginjal
bilateral atau stenosis unilateral pada ginjal tunggal. Nifedipine adalah Ca channel blocker
yang kerjanya panjang dan telah digunakan paling sukses pada anak-anak, tapi keamanannya
untuk penggunaan jangka panjang belum ditentukan.
Hipertensi dengan Asma, COPD, dan Penyakit Arterial Perifer blocker, bahkan yang
1 selektif, sebaiknya dihindari. Tetapi, agen 1 selektif sangat diindikasikan untuk pasien
dengan infark myocardia.
dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan CYP3A4. Efek
samping dari obat ini adalah mual, nyeri perut, konstipasi, diare. Dosis lazim yang diberikan
untuk PEPTIC ULCER adalah 20-40 mg 1 kali sehari.
Dosis :
Dosis yang dianjurkan 20 mg atau 40 mg, sekali sehari, kapsul harus ditelan utuh
dengan air (kapsul tidak dibuka, dikunyah, atau dihancurkan). Sebaiknya diminum sebelum
makan.
1. Penderita dengan gejala tukak duodenal : lama pengobatan memerlukan waktu 2 minggu,
dan dapat diperpanjang sampai 2 minggu lagi.
2. Penderita dengan gejala tukak lambung atau refluks esofagitis erosif / ulseratif : lama
pengobatan memerlukan waktu 4 minggu, dan dapat diperpanjang sampai 4 minggu lagi.
3. Penderita yang sukar disembuhkan dengan pengobatan lain, diperlukan 40 mg sekali
sehari.
4. Penderita sindroma Zollinger Ellison dosis awal 20-120 mg sekali sehari, dosis ini harus
disesuaikan untuk masing-masing penderita. Untuk dosis lebih dari 80 mg sehari, dosis
harus dibagi 2 kali sehari.
Farmakodinamik :
Omeprazole merupakan antisekresi, turunan benzimidazole yang tersubstitusi.
Omeprazole menghambat sekresi asam lambung pada tahap akhir dengan memblokir system
enzim H+, K+-ATPase (Proton Pump) dalam sel parietal lambung. Omeprazole yang berikatan
dengan proton (H+) secara cepat akan diubah menjadi sulfenamid, suatu penghambat pompa
proton yang aktif. Sulfenamid bereaksi secara cepat dengan gugus merkapto (SH) dari H+, K+ATPase, kemudian terbentuk ikatan disulfide diantara inhibitor aktif dan enzim, dengan
demikian dapat menginaktifkan enzim secara efektif. Sehingga menghambat pembentukan
asam lambung baik dalam keadaan basal ataupun pada saat adanya rangsangan
Farmakokinetik:
Omeprasol dimetabolisme secara sempurna terutama dihati, sekitar 80% metabolit
diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui feses.
Dalam bentuk garam natrium omeprazole diabsorpsi dengan cepat. Sembilan puluh lima
persen natrium omeprazole terikat pada protein plasma.
Indikasi :
1. Pengobatan jangka pendek tukak duodenal dan yang tidak responsif terhadap obat-obat
antagonis reseptor H2.
33
Enalapril
SIFAT FISIKOKIMIA
Serbuk kristal berwarna putih atau hampir putih. Sukar larut dalam air, praktis tidak
larut
dalam
dichloromethane.
Sangat
mudah
larut
dalam
metil
alkohol
dan
dimethylformamide. Sedikit larut dalam solven organik semi polar, praktis tidak larut dalam
solven organik nonpolar. Larut dalam larutan alkali hidroksida encer. Larutan 1 % dalam air
mempunyai pH 2,4 2,9. Penyimpanan terlindung dari cahaya. Stabilitas : - Enalapril
dilaporkan stabil minimal 56 hari dalam bentuk larutan oral yang dibuat baru
(extemporaneous) mengandung enalapril maleate1mg/mL dalam berbagai larutan pembawa. Sediaan enalaprilat adalah larutan jernih dan tidak berwarna. Sediaan dalam vial disimpan
pada suhu < 30oC. Kompatibilitas: larutan injeksi enalaprilat kompatibel dengan infus D5
Ringers, D5 RL, D5 NS, D5, Isolyte E, NS.
34
Dosis awal yang lebih rendah pada pasien dengan hiponatremia, hipovolemia,
severecongestiveheartfailure, menurunnya fungsi ginjal atau pada pasien yang mendapat
terapi diuretik. - Anak 1 bulan17 tahun : Oral : Enalapril sebagai antihipertensi Dosis awal
0,08 mg/kg BB (sampai 5 mg) dalam 1-2 dosis terbagi; dosis diatur berdasarkan respon pasien
5,9. Alternatif lain, untuk anak dengan BB 20-50 kg : dosis awal 2,5 mg sekali sehari,
dinaikkan sampai maksimum 20 mg perhari, untuk anak dengan BB 50 kg atau lebih dapat
diberikan dosis awal 5 mg sekali sehari, dinaikkan sampai maksimum 40 mg perhari. 9 Dewasa - Oral : Enalapril : - Hipertensi : 2,5 -5 mg/hari kemudian dinaikkan sesuai
kebutuhan, dosis terapi lazim untuk hipertensi : 10-40 mg/hari diberikan dalam 1-2 dosis
terbagi. Catatan : dosis diawali dengan 2,5 mg jika pasien mendapat diuretik yang tidak dapat
dihentikan. Dapat juga ditambahkan diuretik jika tekanan darah tidak dapat dikontrol dengan
pemberian enalapril saja. - Heartfailure : dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dengan
diuretik, beta blocker dan digoxin, diawali dengan dosis 2,5 mg satu atau dua kali perhari
(dosis lazim : 5-20 mg/hari diberikan dalam dua dosis terbagi; target : 40 mg). Asymptomaticleftventriculardysfunction : 2 x 2,5 mg perhari, dosis dititrasi sesuai toleransi
pasien sampai 20 mg perhari. Intravena : Enalaprilat (bila terapi oral tidak memungkinkan) Hipertensi : 1,25 mg/dosis, diberikan dalam waktu 5 menit setiap 6 jam. Catatan : jika pasien
secara bersamaan mendapat terapi diuretik, mulai dengan dosis 0,625 mg iv diberikan selama
5 menit; jika efeknya tidak adekuat setelah 1 jam, ulangi dosis dan berikan 1,25 mg pada
interval 6 jam berikutnya; jika adekuat, berikat 0,625 mg iv setiap 6 jam. - Heartfailure :
hindari pemberian iv pada pasien dengan unstableheartfailure atau yang menderita
acutemyocardialinfarction. Konversi iv ke terapi oral jika tidak diberikan bersamaan dengan
diuretik : oral 5 mg sekali sehari; selanjutnya boleh dilakukan titrasi dosis sesuai kebutuhan;
jika mendapat terapi diuretik secara bersamaan dan responnya bagus pada dosis 0,625 mg iv
setiap 6 jam, dosis awal oral 2,5 mg/hari. - Pengaturan dosis pada pasien gangguan ginjal : Oral : Enalapril : ClCr 30-80 mL/menit : 5 mg/hari titrasi dosis sampai maksimum 40 mg.
ClCr< 30 mL/menit : 2,5 mg/hari titrasi dosis sampai tekanan darah terkontrol. Untuk pasien
heartfailure (gagal jantung dengan natrium< 130 mEq/L atau serum kreatinin> 1,6 mg/dL,
dosis diawali dengan 2,5 mg/hari, dinaikkan menjadi dua kali perhari sesuai kebutuhan.
Dinaikkan lebih lanjut 2,5 mg/dosis setelah interval waktu lebih dari 4 hari sampai dosis
maksimum 40 mg/hari. Enalaprilmalat tidak direkomendasikan untuk neonatus atau pasien
pediatri dengan GFR < 30 mL/menit per 1,73 m2, karena tidak ada data untuk pasien tersebut
2. - Intravena : Enalaprilat : ClCr> 30 mL/menit : dosis awal 1,25 mg setiap 6 jam dan dosis
dapat dinaikkan berdasarkan respon pasien. ClCr< 30 mL/menit : dosis awal 0,625 mg setiap
35
FARMAKOLOGI
Mekanisme kerja : competitiveinhibitor dari angiotensin-convertingenzyme (ACE);
mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, suatuvasokonstriktor yang poten;
menghasilkan kadar angiotensin II yang lebih rendah yang mana dapat menyebabkan
peningkatan aktivitas renin dalam plasma dan mereduksi sekresi aldosteron 1,2,5,9. Mula
kerja obat (onset of action) : oral : ~1 jam, intravena : 15 menit5,11. Lama kerja obat
(duration) oral : 12-24 jam Absorpsi : 55%-65 % Ikatan dengan protein : 50%-60 %
Metabolisme : prodrug, melalui biotransformasihepatic menjadi enalaprilat. Waktu paruh
eliminasi : Enalapril : dewasa : sehat 2 jam; congestiveheartfailure : 3,4-5,8 jam Enalaprilat :
bayi usia 6 minggu8 bulan : 6-10 jam; dewasa : 35-38 jam Waktu untuk mencapai puncak,
serum : oral : Enalapril : 0,5-1,5 jam Enalaprilat (aktif) : 3-4,5 jam Eksresi : urin ( 60 %-80
%); sebagian dalam faeces. Sesudah pemberian dosis oral, enalaprildieskresi terutama di
dalam urin dan sebagian dalam faeces, sebagai enalaprilat dan senyawa aslinya
(unchangeddrug), lebih dari 90 % dosis ivenalaprilatdieksresi di dalam urin. Eliminasi
enalaprilat adalah multiphasic tapi waktu paruh efektif untuk akumulasi sesudah dosis ganda
enalapril dilaporkan terjadi kira kira 11 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Enalaprilat dikeluarkan melalui hemodialis dan peritonialdialisis.
STABILITAS PENYIMPANAN
Tablet enalapril disimpan dalam wadah aslinya, tertutup rapat, dan jauhkan dari
jangkauan anak-anak. Simpan pada suhu kamar dan hindari dari panas dan kelembaban yang
berlebihan 3. Enalaprilat : larutan jernih, tidak berwarna, sebaiknya disimpan pada suhu < 30o
C. IV stabil 24 jam pada suhu kamar dalam infus glukosa 5 % (D5W) dan NS.
36
INDIKASI
Untuk mengobati tekanan darah tinggi, gagal jantung congestive, masalah ginjal yang
disebabkan oleh diabetes, dan untuk meningkatkan pertahanan hidup setelah serangan
jantung.
KONTRA INDIKASI
Hipersensitif terhadap enalapril atau enalaprilat; angioedema yang berhubungan dengan terapi
ACE inhibitor sebelumnya; pasien dengan angioedemaidiopatik atau herediter; bilateral
renalarterystenosis; kehamilan (trimester 2 dan 3).
EFEK SAMPING
1%-10 % : - Kardiovaskuler : hipotensi 0,9%-6,7%, Chestpain (2%), syncope (0,5%-2%),
orthostasis (2%), orthostatichypotension (2%). - CNS : sakit kepala (2%-5%), pusing/dizzines
(4%-8%), fatigue (2%-3%) - Dermatologic : rash (1,5%) - Gastrointestinal : abnormal taste,
sakit perut, muntah, mual, diare, anoreksia, konstipasi. - Neuromuscular&skeletal : weakness.
- Ginjal : peningkatan serum kreatinin (0,2%-20%), memburuknya fungsi ginjal (pada pasien
dengan bilateral renalarterystenosis atau hipovolemia). - Respiratory (1 % - 2 %) : bronchitis,
batuk, dyspnea. < 1 % (limitedtoimportantorlife-threatening ) : agranulositosis, alopecia,
anginapectoris, angioedema, ataxia, bronchospasme, cardiacarrest, cerebralvascularaccident,
depresi, erythemamultiforme, exfoliative dermatitis, halusinasi, hemolisis pada pasien G6PD,
psikosis, odem paru, Stevens Johnson syndrome, SLE, toksisepidermalnecrolysis, vertigo dan
lainlain 5.
INTERAKSI OBAT
Interaksi enalapril dengan obat lain : Efek Cytochrome P450 : substatre of CYP34A (major)
Efek meningkat / toksisitas : suplemen kalium, kotrimoksazol (dosis tinggi), angiotensin II
reseptor antagonist (contoh candesartan, losartan, irbesartan) atau diuretik hemat kalium
(amiloride, spironolakton, triamterene) dapat menghasilkan kadar kalium dalam darah bila
dikombinasidengan enalapril. Efek ACE inhibitor dapat ditingkatkan oleh phenothiazine atau
probenecid (kadar kaptopril meningkat). ACE inhibitor dapat meningkatkan konsentrasi
dalam serum obat lithium. Diuretik dapat meningkatkan efek hipotensi dengan ACE inhibitor,
dan meningkatkan hipovolimia yang potensial menimbulkan adverserenaleffects dari ACE
inhibitor. Pada pasien dengan compromisedrenalfuction pemberian bersamaan dengan
NSAIDs dapat memperburuk fungsi ginjal. Allopurinal dan ACE inhibitor dapat
37
PENGARUH KEHAMILAN
Riskfactor C (trimester I) / D (trimester II dan III )
PENGARUH MENYUSUI
Implikasi pada kehamilan : menurunkan aliran darah plasenta, bayi berat lahir rendah,
hipotensi pada janin, kelahiran prematur dan kematian janin telah dilaporkan terjadi dengan
penggunaan ACE inhibitor pada binatang percobaan. ACE inhibitor sebaiknya segera distop
jika diketahui hamil, kecuali tidak ada obat alternatif lain yang cocok. - Ibu menyusui : dapat
menembus ASI, tidak direkomendasikan digunakan pada ibu menyusui.
PARAMETER MONITORING
Tekanan darah, fungsi ginjal, leukosit, kadar kalium dalam serum; tekanan darah dimonitor
secara ketat selama pemberian iv.
BENTUK SEDIAAN
Enalapril : Tab. 5 mg, 10 mg, 20 mg Enalaprilat : Vial 1 mL, 2 mL. Tiap mL larutan
mengandung enalprilat 1,25 mg dengan NaCl untuk mengatur tonisitas, NaOH untuk
mengatur pH dan benzil alkohol 9 mg dalam aqua pro injeksi. pH sekitar 7
PERINGATAN
Dapat terjadi reaksi anafilaksis. Angioedema dapat terjadi sewaktu-waktu selama pengobatan
dengan enalapril (khususnya setelah dosis pertama).
INFORMASI PASIEN
38
Segera lapor ke dokter jika terjadi muntah, diare, exsessiveperspiration, atau dehidrasi; juga
jika terjadi bengkak pada muka, bibir, lidah, atau kesulitan bernafas; atau batuk, pusing, rash
(kemerahan pada kulit), badan terasa lemah (weakness) yang persisten; kekuningan pada mata
dan kulit, demam, sakit tenggorokan, menggigil atau tandatanda infeksi yang lain,
lightheadedness, fainting 3,6.Pasien diharapkan secara teratur kontrol ke dokter, periksa
laboratorium dan tekanan darah. Jangan memberikan obat anda kepada orang lain. Pasien
sebaiknya mencatat daftar obat-obat yang digunakan baik melalui resep dokter maupun obat
bebas yang digunakan, seperti vitamin, mineral atau suplemen makanan yang lain; daftar obat
tersebut dibawa setiap kali kontrol ke dokter atau bila dirawat di rumah sakit ataupun dalam
keadaan kasus emergensi 3.
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Pembentukan
Efek Samping
Perhatian
Hydrochlorothiazide
Kerja obat
Farmakokinetik
Semua thiazide diabsorbsi pada pemberian secara oral, umumnya efek obat tampak setelah 1
jam. Tetapi terdapat perbedaan dalam metabolismenya. Semua thiazide disekresi oleh sistem
sekretorik asam organik dan bersaing pada beberapa hal dengan sekresi uric acid oleh sistem
tersebut. Sebagai hasilnya, kecepatan sekresi uric acid dapat menurun, dengan diikuti
peningkatan kadar uric acid serum. Pada steady state, produksi uric acid tidak dipengaruhi
oleh thhiazide. Klorothiazide didistribusikan ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati
sawar uri, tetapi obat ini hanya ditimbun dalam jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses
aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens ginjal obat
ini besar sekali, biasanya 3-6 jam sudah diekskresikan dari badan. Klorotiazid dalam badan
tidak mengalami perubahan metabolik.
Farmakodinamik
Diuretik ini bekerja menghambat simporter Na dan Cl di hulu tubulus distalis. Sistem transpor
ini dalam keadaan normal berfungsi membawa Na, selanjutnya dipompakan ke luar tubulus
dan ditukar melalui kanal klorida. Efek farmakodinamik tiazid yang utama ialah
meningkatkan ekskresi Natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis ini
disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorpsi elektrolit pada hulu tubuli distal. Laju
ekskresi Na maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid jauh lebih rendah dibandingkan dengan
apa yang dicapai oleh beberapa diuretik lain, hal ini disebabakan 905 Na dalam cairan filtrat
40
Pada pasien hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek diuretiknya
tetap juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi vasodilatasi.
Dosis
-
Edema: dosis awal 5-10 mg sehari atau berselang sehari pada pagi hari; dosis
Efek samping
hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang ringan; impotensi (reversibel bila obat
dihentikan);
hipokalemia,
hipomagnesemia,
hiponatremia,
hiperkalsemia,
alkalosis
digoksin dapat
meningkat
hipomagnesemia. ;Toksisitas lithium dapat jika tiazida meningkatkan ekskresi ginjal litium.
Tiazida dapat memperpanjang durasi pada penggunaan bloking neuromuskular. Efek
41
Acetaminophen
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui
resep dokter atau yang dijual bebas.
Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak
mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung.
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan
pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid
inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti
nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain.
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai
daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat
antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.
Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai
dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi
dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik
atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi
metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation
menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein
hati.
Farmakodinamik
42
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak
digunakan
sebagai
antireumatik.
Parasetamol
merupakan
penghambat
biosintesis
prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada
kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa. Semua
obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol
menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin
terganggu. Setiap
obat
menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang
menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai
sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan
bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan
menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian
prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti
latihan fisik.
Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai
antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang.
Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat ini.
43
1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali
sehari.
Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem
atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenasetin
dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik
dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD dan adanya
metabolit yang abnormal. Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan
masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb.
Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik
berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan
sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan
coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada
Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam
kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.
Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh
glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui
urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi
kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan
sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan
keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses
yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi
hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan
hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g
bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat- obat yang
menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena
produksi metabolit meningkat.
44
Metoprolol
Metoprolol, yang bersifat kardioselektif tepatnya 1 selective blocker, adalah
penghambat yang paling luas digunakan dalam mengobati hipertensi. Obat ini larut dalam
lemak sehingga diabsorbsi baik di saluran cerna. Metoprolol menghambat stimulasi
adrenoreseptor seperti yang ada di jantung tetapi 50 sampai 100 kali lebih lemah daripada
propranolol dalam menghambat reseptor 2. Metaprolol dimetabolisasi secara ekstensif oleh
CYP2D6 dengan metabolism first-pass yang tinggi. Obat ini memiliki waktu paruh relative
singkat 4-6 jam, tetapi tersedia sediaan lepas-lambat yang dapat diberikan sekali sehari.
Metoprolol lepas-lambat efektif untuk mengurangi mortalitas akibat gagal jantung dan
terutama berguna pada pasien dengan hipertensi dan gagal jantung. Antagonis selektif 1
mungkin lebih disarankan pada pasien dengan diabetes atau penyakit vascular perifer jika
mereka membutuhkan penghambat , karena reseptor 2 mungin penting di hati (pemulihan
dari hipoglikemia) dan pembuluh darah (vasodilatasi). Metoprolol perlu diberikan dua kali
sehari dan kurang kardioselektif dibandingkan dengan atenolol. Dosisnya adalah 50 sampai
100 mg dua kali sehari. Efek samping obat ini adalah sulit bernafas, pusing, diare, tangan
dingin, gangguan pengecapan (rash). Kontraindikasi obat ini adalah ibu hamil, ibu menyusui,
dan penderita asma atau PPOK.
Sifat Farmakokinetik
A. Penyerapan
Sebagian besar obat dalam kelas antagonis reseptor beta diserap baik setelah
pemberian oral; konsentrasi puncak terjadi 1-3 jam setelah ingesti. Tersedia sediaan lepas
lambat metoprolol.
B. Bioavaibilitas
Bioavaibilitas adalah ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut
yang diabsorpsi. Perkiraan bioavaibilitas metaprolol adalah 50.
C. Penyebaran dan Pembersihan
Antagonis cepat tersebar dan memiliki volume distribusi yang besar.
Metoprolol dimetabolisasi secara ekstensif di hati, dengan obat yang tidak mengalami
perubahan hanya sedikit muncul di urin. Genotype sitokrom P450 2D6 (CYP2D6)
merupakan penentu utama perbedaan antara individu dalam klirens plasma
metoprolol. Poor metabolizer memperlihatkan peningkatan tiga sampai sepuluh kali
45
Farmakodinamika
A. Efek pada Sistem Kardiovaskular
Antagonis reseptor memiliki efek menonjol pada jantung dan sangat berguna
untuk mengobati angina dan gagal jantung kronik serta setelah infark miokardium.
Efek inotropic dan kronotropik negative mencerminkan peran adrenoreseptor dalam
mengatur fungsi-fungsi ini. Melambatnya hantaran atrioventrikel disertai peningkatan
interval PR berkaitan dengan blockade adrenoreseptor di nodus atrioventrikel. Pada
system pembuluh darah, blockade reseptor melawan vasodilatasi yang diperantarai
oleh reseptor 2. Hal ini dapat secara akut meningkatkan resistensi perifer akibat tidak
adanya imbangan terhadap efek yang diperantarai oleh reseptor karena susunan saraf
simpatis mengeluarkan impuls sebagai respons terhadap berkurangnya tekanan darah
akibat penurunan curah jantung. Obat penghambat 1 dan non-selektif menekan
pengeluaran renin yang disebabkan oleh susunan saraf simpatis.
Secara keseluruhan, meskipun efek akut obat-obat ini mungkin mencakup
peningkatan resistensi perifer namun pemberian obat jangka panjang menyebabkan
penurunan resistensi perifer pada pasien dengan hipertensi.
B. Efek pada Saluran Napas
Sampai saat ini belum ada antagonis selektif 1 yang cukup spesifik untuk
secara total tidak berinteraksi dengan adrenoseptor 2. Karena itu, obat metoprolol
harus dihindari pada pasien dengan asma. Di pihak lain, banyak pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dapat menoleransi obat-obat ini cukup baik
dan manfaat, misalnya pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, mungkin
melebihi resikonya.
C. Efek pada Mata
Obat penghambat mengurangi tekanan intraokulus, khususnya pada
glaucoma. Mekanisme yang biasanya dilaporkan adalah berkurangnya produksi
aqueous humor.
D. Efek pada Metabolisme dan Endokrin
Belum jelas seberapa besar antagonis menghambat pemulihan dari
hipoglikemia, tetapi obat-obat ini perlu digunakan secara hati-hati pada pasien
46
diabetes dependen-insulin. Hal ini terutama penting pada pasien diabetes dengan
cadangan glucagon yang memadai dan pada pasien yang telah menjalani
pankreatektomi karena katekolamin mungkin menjadi factor utama dalam merangsang
pengeluaran glukosa dari hati sebagai respons terhadap hipoglikemia. Obat-obat
selektif reseptor 1 mungkin tidak terlalu menghambat pemulihan dari hipoglikemia.
Antagonis reseptor beta jauh lebih aman pada pasien dengan diabeter tipe 2 yang tidak
memiliki episode-episode hipoglikemia.
Pemakaian
jangka
panjang
antagonis
adrenoreseptor
dilaporkan
terletak dekat ke Medula Spinalis; sedangkan serat pos ganglion simpatetik panjang berakhir
di organ. Sebaliknya serat saraf preganglion parasimpatetik panjang dan berakhir di gangglion
yang letaknya dekat atau di dalam organ target; dan serat posganglionnya pendek.
Impuls dalam parasimpatis ( kranio-sakral) berasal dari batang otak melalui nervusnervus III, VII, XI, X dan Nervi erigentes ke sel intermediolateral segmen II dan IV bagian
sakral medula spinalis. Impuls simpatis ( torakolumbal) berasal dari sel intermediolateral
medula spinalis semua segmen torakal dan segmen lumbal I, II dan III.
Serat saraf preganglion lansung mempersarafi Medula adrenal
tanpa sinaps di
ganglion, akan menyebabkan rilisnor-epinefrin (NE) dan epinefrin (E) langsung ke sirkulasi
darah.
Biasanya kedua simpatis dan parasimpatis mengirimkan informasi ke tempat target
yang sama. Terdapat pengecualian pada medula adrenal, kelenjar keringat, lien, dan folikelfolikel rambut, yang hanya dipersarafi oleh saraf simpatetik saja. Terapi dengan obatkadangkadang merusak kesimbangan kritik ini, seperti pada pemblokiran parasimpatis dan akktivitas
saraf simpatik tidak lawan. Pengetahuan tentang efek-efek fisiologik tiap
dapat
SS Perifir
Divisi eferen
SSP
Divisi aferen
48
SSOtonom
SSSomatik
SS Simpatetik
S Para Simpatetik
(Adrenergic)
(Cholinergic)
Neurotransmiter
Hantaran informasi pda saraf terjadi dengan penjalaran impul-impul dalam sel saraf
dan diteruskan dengan rilis (release) neurotransmiter dari ujung saraf ke celah-celah sinaps
antar sel dan antara sel saraf dan sel efektor . Neurotransmiter ini akan berdifusi dan berikatan
dengan molekul reseptor khusus pada sel pasca sinaps, yang akan mengaktifkan atau
menghambat aktivitas sel efektor.
Berdasarkan jenis neurotransmiter utama yang dibebaskan pada ujung saraf otonom,
serat saraf otonom dibedakan atas serat kolinergik yang merilis acetylcholine (Ach) dan
serat
adrenergik
yang
membebaskan
noradrenalin
(norepinefrin,
NE)
sebagai
neurotransmiter. Terdapat bukti-bukti bahwa beberapa serat saraf perifir simpatis juga
membebaskan dopamin.
Medula adrenal berisi sel-sel kromafin, yang secara embriologik homolog dengan
ganglion simpatis, diturunkan dari neural crest. Sel-sel kromafin pada medula adrenal ini
dipersarafi oleh ujung saraf preganglionik simpatis khusus dengan neurotransmiter ACh. Sel
sel kromafin medula adrenal ini membebaskan campuran epinefrin dan nor-epinefrin (NE) ke
dalam darah. Akhir-akhir ini juga diketahui bahwa sebagian besar saraf otonom juga
49
simpatis
posganglion untuk termoregulator kelenjar keringat dan neuron simpatis ke pembuluh darah
(vasodilator) otot rangka; kedua jenis neuron simpatis ini bersifat kolinergik.
Kebanyakan organ tubuh dipersarafi oleh simpatis dan para simpatis, dan efek yang
terlihat adalah hasil kesimbangan antara kedua tersebut. Penghambatan salah satu (misalnya
dengan obat) atau bila terjadi denervasi salah satu , akan mengakibatkan ativitas organ
didominasi oleh yang berlawanan. Sekresi kelenjar ludah dapat dirangsang oleh aktivitas
sipmpatis maupun parasimpatis, tetapi sekresi yang dihasilkan berbeda kualitasnya, yaitu pada
aktivitas simpatis air ludahnya lebih kental, sedangkan parasimpatis lebih encer. simpatis dan
para simpatis juga dapat bekerja bergantian dimana
Acetyl-CoA
Neuron
adrenergik
Dopa
Tirosin
+
Cholin
Dopamin
MAO
ACh
Derivat
deaminasi
NE
50
Choline
Re up take
ACh
NE
Normeta
nefrin
AChE
COMT
X
X X
X X X
Jaringan pascasinaps
Gambar 3. Proses biokimia pada ujung saraf kolinergik dan adrenergik. Terlihat bahwa monoamin oksidase
(MAO) berada di intrasel, sehingga secara teratur sebagian NE mengalami deaminasi di ujung saraf adrenergik.
Catecol-O-metyltransferase (COMT) bekerja pada NE yang telah diseksresikan. [ACh, acetylcholine; AchE,
acetylcholinesterase.]
Sumber: Katzung BG, BukuBantu Farmakologi, Peenerbit EGC Jakarta, 1994.
51
52
Kerja Katekolamin
Katekolamin pada umumnya dapat menyebabkan eksitasi atau inhibisi otot polos
pembuluh darah, tergantung dari tempat dan dosisnya. Norepinefrin merupakan
katekolamin yang menyebabkan eksitasi otot polos paling kuat, sedangkan efek
inhibisinya lemah sekali. Sebaliknya isoproterenol merupakan inhibitor yang kuat dan
eksitator yang lemah. Epinefrin memperlihatkan efek inhibisi dan eksitasi yang sama kuat
yaitu antara kekuatan efek NE dan isoproterenol.
Norepinefrin dan epinefrin keduanya mempunyai pengaruh perangsangan yang
sedikit berbeda pada reseptor alfa dan beta. Norepinefrin terutama merangsang reseptor
alfa namun kurang merangsang reseptor beta. Sebaliknya, epinefrin merangsang kedua
reseptor ini hampir sama kuat. Oleh karena itu, pengaruh relatif dari norepinefrin dan
epinefrin pada berbagai organ efektor ditentukan oleh jenis reseptor yang terdapat dalam
organ tersebut.
Reseptor Adrenergik
Reseptor noradrenalin dan adrenalin adalah reseptor adrenergik (adrenoreseptor), yang
merupakan reseptor terkopling protein G, dan tersebar di berbagai organ dan jaringan.
Reseptor adrenergik mengatur berbagai parameter fisiologi seperti tekanan darah, detak
jantung, dan lain-lain.
54
Ada dua kelompok utama reseptor adrenergik, yaitu reseptor adrenergik dan ,
masing-masing dengan beberapa subtipe:
Reseptor terdiri dari subtipe 1 (Gq coupled receptor) dan 2 (Gi coupled receptor).
Reseptor terdiri dari subtipe 1, 2 dan 3. Ketiganya terhubung dengan protein Gs.
luartubh dengan rekasi berupa perlawananatau pertahanan diri yang dikenal sebagai fight or
flight reaction.
55
Regulasi reseptor
Perubahan kondisi-kondisi lingkungan dapat mengubah jumlah atau densitas reseptor
(up or down regulation) atau perubahan afinitas dari suatu reseptor untuk suatu agonis atau
antagonis (uncoupling). Efek-efek obat dan efek-efek penghentian mendadak (withdrawal)
berkaitan dengan jumlah atau afinitas reseptor. Misalnya,pemakaian jangka panjang agonis
dapat menurunkan densitas reseptor-reseptor dan mengurangi efek obat. Sebaliknya
pemakaian jangka lama suatu antagonis , atau bloker, dapat meningkatkan densitas
reseptor-reseptor dan respons terhadap penghentian mendadak obat-obat bloker.
56
Neurotransmiter
ion
Terjadiperubahan pd
Efek
berpasangan
potensial membran
intra
dengan
atau konsentrasi
kanal ion:
selular
* Resepptor nikotin
* Reseptor GABA
ion
cAMP
B. Reseptor
Fosforilasi
Efek
protein
intra
berpasangan
dengan
selular
Adenilsiklase
adenilsiklase
* Beta adrenoseptor
ATP
* alfa -2 Adrenoseptor
C. Reseptor
berpasangan
dengan
diasilgliiserol
Inositol trifosfat
Fosforilasi
Efek
57
* -1 adrenoseptor
Diasilgliserol
* Reseptor muskarinik
kolinergik
protein dan
intra
peningkatan
selular
Ca intraselular
Nonspesifisitas
Obat-obat tidak dapat langsung menyeleksi daerah-daerah target di tubuh atau di
jaringan. Obat-obat bekerja pada semua reseptor yang dapat akses dan diikat. Karena
SSPberisi reseptor-reseptor untuk ACh, NE, dan epinefrin, obat-obat yang mempengaruhi
ACh di neuron-neuron perifir dapat memperlihatkan efek-efek yang tidak diinginkan pada
SSP, bila obat-obat ini dapat melewati sawar darah otak.
4. Beta blocker
FARMAKODINAMIK
-bloker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik norepineprin
maupun epineprin endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada adrenoseptor . Obat bloker dibagi menjad dua golongan berdasarkan kerjanya pada reseptor 1 atau reseptor 2
(kardioselektif) yaitu yang selektif dan non selektif. Carvedilol adalah -bloker yang nonselective yang bersifat menghambat reseptor beta dan alfa. Sedangkan bisoprolol, metaprolol,
atenolol, dan nebivolol adalah beta bloker yang selektif yaitu bersifat menghambat reseptor
beta saja. Tidak ada satupun -bloker yang tersedia untuk pemakaian klinis benar-benar
spesifik untuk reseptor 1 maka selektivitas bergantung pada dosis; selektivitas cenderung
banyak pada konsentrasi obat yang tinggi. Perbedaan utama lain diantara -bloker berkaitan
dengan karakteristik farmakokinetik dan efek stabilisasi membran yang menyebabkan anestesi
lokal.
Aktivitas Agonis Parsial (Partial Agonist Activity = PAA) disebut juga aktivitas
simpatomimetik intrinsik (Intrinsic Symphatomimetic Activity = ISA) artinya, jika
berinteraksi dengan reseptor tanpa adanya obat adrenergik (seperti epinefrin atau
isoproterenol), menimbulkan efek adrenergik yang lemah tetapi jelas.
-bloker
Kardioselektifitas
Kelarutan
ISA
MSA
Waktu
Bioavailibilitas
paruh
(%)
rendah
3-4 jam
50
dalam
lipid
Acebutolol
ya
ya
Alprenolol
tidak
ya
ya
Atenolol
tidak
tidak
rendah
6-9 jam
40
Betaxolol
tidak
ya
rendah
14-22
90
Bisoprolol
tidak
(ringan)
rendah
jam
80
tidak
ya
tidak
rendah
9-12 jam
85
tidak
tidak
tidak
sedang
6 jam
25-35
Celiprolol
ya
ya
rendah
7-10 jam
70
Esmolol
tidak
tidak
rendah
4-5 jam
Labetalol 1
tidak
ya
tidak
rendah
10 menit
30
Metoprolol
tidak
ya
sedang
5 jam
50
tidak
tidak
ya
rendah
3-4 jam
33
tidak2
tidak
rendah
14-24
NF3
Oksprenolol
tidak
ya
tidak
Penbutolol
tidak
ya
ya
tinggi
11-30
>90
Pindolol
tidak
ya
ya
sedang
jam
90
Propanolol
tidak
tidak
ya
tinggi
Sotalol
tidak
tidak
ya
rendah
Carteolol
Carvedilol
Nadolol
Nebivolol
jam
304
5 jam
90
59
Timolol
tidak
tidak
tidak
sedang
3-4 jam
tidak
50
3,5-6 jam
12 jam
4-5 jam
Keterangan:
1
Tidak ditentukan
Tidak ditemukan
Propranolol
Propraolol merupakan beta-bloker nonselektif, ikatan dengan protein tinggi, 9095% dimetabolisme di hepar (efek lintas pertama yang nyata) pada pemakaian per oral;
metabolit-metabolit yang tidak aktif diekskresi ke dalam urin.
Nadolol
Efek farmakologi, indikasi klinik, dan efek samping Nadolol ini sama dengan
propranolol, kecuali : metabolismenya tidak nyata, tetapi diekskresi dalam bentuk tidak
berubah, dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang.
Timolol
Merupakan beta-bloker nonselektif, mempunyai potensi 5x lebih kuat
dari
propranolol. Indikasi klinik ialah untuk pengobatan : (1) Penyakit jantung iskemik, (2) Dalam
bentuk obat tetes mata untuk pengobatan glaukoma. Toksisitas sama dengan propranolol;
obat tetes mata diabsorpsi dan dapat menyebabkan keracunan sistemik.
Pindolol
Merupakan beta-bloker nonselektif, mempunyai efek
dengan bebebrapa aktivitas simpatomimetik,
dan efek
inotropik
dan
kronotropik
negatifnya lebih lemah dari propranolol. Penggunaan klinis terutama ialah untuk (1)
hipertensi, (2) pengobatan angina, dan (3) takiaritmia supraventrikuler. Toksisitas sama
seperti propranolol.
Metoprolol
Merupakan beta-bloker kardioselektif (1) relatif; pada pemberian dosis tinggi
dapat terjadi efek blokade 2. Indikasi utama ialah: (1)hipertensi, (2)penyakit jantung
iskemik dengan penyakit bronkospastik. Toksisitas sama dengan propranolol, tetapi efek
bronkokonstriksinya lebih lemah.
60
Atenolol
Sama dengan propranolol, tetapi waktu paruhnya lebih panjang (4 - 6 jam) dan
kurang berpenetrasi ke SSP ( toksisitas pada SSP lebih ringan, dibanding dengan
propranolol).
EFEK
Kardiovaskular : Tekanan darah, ritme jantung dan automatisasi sel jantung, pembuluh
darah
Saluran napas
dan penurunan
pencetus
timbulnya bronkospasme.
2. Vaskuler, berupa : pencegahan dilatasi vena dan arteriol-arteriol organ-organ dalam
abdomen, ginjal, paru-paru dan otot skelet yang diperantarai oleh reseptor -2.
FARMAKOKINETIK
Berdasarkan sifat farmakokinetik, -bloker digolongkan menjadi 3 :
1.
61
Eliminasi melalui metabolisme hati sangat ekstensif sehingga obat utuh yang
diekskresikan melalui ginjal sangat sedikit (<10%)
Waktu paruh pendek, berkisar antara 3-8 jam kecuali karvedilol dapat mencapai 10
jam
2.
Satolol diabsopsi dengan baik dari saluran cerna, nadolol dan atenolol kurang baik
absorpsinya
3.
Waktu paruh panjang, yakni 12 jam, kecuali atenolol hanya 6-7 jam
Eliminasi melalui ginjal dan hati hampir sama banyak atau sama banyak. Kecuali
timolol hanya 15-20% pada ginjal.
Waktu paruh
- Pendek : pindolol dan timolol
- Panjang : betaksolol dan bisoprolol
Reseptor Beta
-bloker bekerja pada reseptor beta yang merupakan kelompok reseptor adrenergik.
Reseptor ini merupakan reseptor yang terkait dengan protein G sehingga disebut G proteincoupled receptors (GPCRs). Masing-masing protein G terdiri atas 3 protein (heterotrimer)
yaitu sub-unit , , dan . Molekul efektor protein G pada reseptor beta adrenergik (Gs)
62
adalah enzim adenilil siklase. Mekanisme kerja obat pada reseptor beta adalah pertama
dengan berikatan dengan reseptor beta, hal ini akan mengaktifkan protein G. Subunit pada
protein G akan melepaskan diri kemudian berikatan dengan enzim adenilil siklase. Ikatan sub
unit alfa dengan adenilil siklase akan mengaktifkan enzim ini dan selanjutnya akan dihasilkan
siklik AMP (cAMP). Senyawa cAMP merupakan second messenger yang salah satu aksinya
adalah menyebabkan pembukaan kanal kalsium sehingga meningkatkan laju dan kekuatan
kontraksi dari miokard (inotropik positif) dan meningkatkan reuptake kalsium ke dalam
reticulum sitoplasma (efek relaksasi atau lusitropik). Pada nodus sinus, arus listrik pace maker
meningkat (kronotropik positif), sementara laju konduksi juga meningkat (dromotropik). Efek
pemberian -bloker tergantung bagaimana absorpsinya, ikatan dengan protein plasma,
pembentukan metabolit, dan seberapa luas dapat menghambat reseptor .
Reseptor beta terdiri atas 3 klas yaitu 1, 2 dan 3. Reseptor 1 terdapat di jantung dan
sel jukstaglomerular ginjal bekerja dengan cara meningkatkan kontraksi otot jantung dan
meningkatkan laju kontraksi jantung. Sementara itu di ginjal reseptor ini bekerja
meningkatkan pelepasan rennin di sel jukstaglomerular ginjal. Reseptor 2 terdapat pada otot
polos saluran nafas, uterus, dan pembuluh darah. Stimulasi reseptor ini akan menyebabkan
relaksasi otot polos. Reseptor 3 terdapat pada sel-sel lemak dan stimulasinya akan
menyebabkan terjadinya lipolisis.
63
Gambar 1. Reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik. Reseptor ini bekerja melalui
pengaktifan protein G yang kemudian mengaktifkan enzim adenil siklase. Pengaktifan adenil
siklase selanjutnya akan menyebabkan efek biologis pada sel.
Absorpsi
Sebagian besar obat-obatan ini dapat diabsorpsi dengan baik diusus, puncak kadar di
dalam plasma tercapai sekitar 1-3 jam. Saat ini juga tersedia beberapa sediaan lepas lambat
dari jenis propanolol dan metoprolol.
Bioavalibilitas
Propanolol di dalam hati menjalani metabolisme yang ekstensif oleh karena itu
bioavailabilitasnya menjadi relatif rendah. Proporsi obat yang mencapai sirkulasi meningkat
sesuai peningkatan dosis, hal ini menunjukkan bahwa mekanis ekstraksi hati dapat menjadi
jenuh. Konsekuensi utama dari rendahnya bioavailabilitas propanolol setelah pemberian oral
adalah kadar obat ini pada pemberian oral dapat sangat kecil dibandingkan dengan pemberian
intravena. Namun demikian terdapat variasi individual dalam hal kadar plasma yang dapat
dicapai setelah pemberian oral.
Distribusi Dan Pembersihan
Obat-obat -blokerdidistribusikan secara cepat dan memiliki volume distribusi yang
besar. Propanolol dan penbutolol merupakan obat yang agak lipofilik dan dapat melintasi
sawar otak. Sebagian besar -bloker memiliki waktu paruh 3-10 jam. Sebuah pengecualian
adalah esmolol, yang mana cepat mengalami hidrolisis dan memiliki waktu paruh yang sangat
pendek (10 menit). Propanolol dan metoprolol mengalami metabolism hati yang luas, dengan
sedikit obat dapat ditemukan di dalam urin. Genotipe sitokrom P450 2D6 (CYP2D6)
merupakan penentu utama adanya perbedaan antar individu
metoprolol. Individu yang kurang memetabolisme obat ini menunjukkan 3 -10 kali lipat lebih
kadar plasma obat dibandingkan dengan pada pasien dengan kemampuan metabolisme luas.
Atenolol, celiprolol dan pindolol merupakan obat-obat yang dimetabolisir kurang lengkap.
Nadolol disekresikan tanpa ada perubahan di urin dan memiliki waktu paruh terpanjang dari
sediaan yang ada (lebih dari 24 jam). Sebagai catatan bahwa efek farmakodinamik dari obatobat ini terkadang memanjang di atas waktu yang diprediksi dari data waktu paruh.
SEDIAAN
1.
Propanolol
Tablet 10 dan 40 mg
2.
Metoprolol
64
3.
Karvedilol
4.
Betaksolol
5.
Timolol
6.
Bisoprolol
7.
Asebutolol
8.
Pindolol
Tablet5 mg dan 10 mg
9.
Karteolol
Tablet 5 mg
10.
Sotalol
Tablet80
11.
Nadolol
Tablet40 dan 80 mg
12.
Atenolol
EFEK SAMPING
Bradikardi (semua -bloker terutama yang tidak mengandung sifat ISA menyebabkan
penurunan denyut jantung kira-kira 10-15%), blok jantung
Gejala putus obat : penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan hipertensi;
serangan angina atau insifisiensi mitral
Bronkospasme pada penderita asma dan PPOK (-bloker non-kardioselektif dan tanpa
mengandung sifat ISA sering menyebabkan spasme bronkhus pasa pasien dengan riwayat
asma bronkial atau PPOK)
SSP (-bloker yang larut lemak seperti propanolol) menyebabkan : depresi, mimpimimpi buruk, dan insomnia;
Gangguan saluran pencernaan, semua -bloker menyebabkan iritasi lambung, diare atau
konstipasi pada pasien tertentu (individual)
Interaksi farmakodinamik dapat diprediksi dan terjadi pada saat obat -bloker
dikombinasikan dengan obat yang menekan nodus SA atau AV atau dengan obat yang
memiliki kerja inotropik negative lain. -bloker dan antagonis kalsium tertentu, misalnya
65
verapamil atau diltiazim, mempunyai efek aditif dalam mengahambat konduksi jantung.
Efek antihipertensi -bloker juga ditif, tetapi dapat dikurangi oleh indometasin dan obatobat antiinflamasi nonsterois lainnya.
Fenitoin,
rifampin,
fenobarbital,
dan
merokok
menginduksi
enzim-enzim
Verapamil dapat menghambat pemecahan metoprolol dan propanolol, dan juga bloker lain yang dimetabolisme di hati.
bloker juga dapat menekan aliran darah hati sehingga kadar lidokain di dalam
darah akan meningkat sehingga dapat meningkatkan toksisitas terhadap lidokain.
66
Hydralazine. Interaksi ini akan meningkatkan konsentrasi kedua obat. Manajemen terapi
yang dilakukan yaitu dengan mengurangi dosis salah satu atau kedua obat tersebut jika
diperlukan.
Prazosin. Interaksi ini akan meningkatkan hipotensi postural. Manajemen terapi yang
dilakukan yaitu dengan memonitor gejala gejala atau hipotensi postural.
Quinidine. Interaksi ini akan meningkatkan efek dari betabloker (atenolol, propanolol,
metoprolol, timolol). Manajemen terapi yag dilakukan yaitu dengan memonitor status
kardiovaskular dan menurunkan dosis beta bloker jika diperlukan.
Rifamycins (rifabutin, rifampin). Interaksi ini akan menurunkan efek dari beta bloker
(atenolol, bisoprolol, metoprolol, propanolol). Manajemen terapi yang dilakukan yaitu
dengan memonitor status kardiovaskular dan meningkatkan dosis betabloker jika
diperlukan.
Verapamil. Interaksi ini akan meningkatkan efek dari kedua obat. Manajemen terapi
yang dilakukan yaitu dengan memonitor status kardiovaskular dan menurunkan dosis dari
salah satu obat atau kedua obat tersebut jika diperlukan.
Alkaloid ergot. Interaksi ini akan menyebabkan peningkatan risiko toksisitas ergot,
seperti iskemia periferal, ganggren. Manajemen yang dilakukan yaitu dengan
menghentikan penggunaan beta bloker atau menurunkan dosis alkaloid ergot jika
diperlukan.
Insulin. Interaksi ini menyebabkan hipoglikemia berkepanjangan tanpa terlihat gejalagejalanya. Manajemen terapi yag dilakukan yaitu menggunakan beta bloker golongan
selektif kardio, memonitor gejala-gejala hipoglikemia yang tidak terpengaruh oleh beta
bloker.
67
Interaksi Atenolol
Ampisilin. Interaksi ini akan menurunkan efek dari atenolol. Manajemen terapi yang
dilakukan yaitu dengan memisahkan waktu pemberian obat, memonitor tekanan darah
dan meningkatkan dosis atenolol jika diperlukan.
Interaksi Carvedilol
Interaksi Labetalol
Interaksi Metoprolol
Thioamin
(methimazole,
propilthiourasil).
Interaksi
ini
akan
menyebabkan
peningkatan efek metoprolol. Manajemen terapi yang dilakukan yaitu dengan memonitor
status kardiovaskular, menurunkan dosis metoprolol jika diperlukan pasien menjadi
euthyroid. Selain itu bisa juga dengan menggunakan betabloker lain seperti atenolol,
nadolol.
Interaksi Nadolol
Interaksi Pindolol
Interaksi Propanolol
Lidokain.
Manajemen terapi yang dilakukan yaitu dengan mengatur dosis bolus lidokain pada
kecepatan yang lambat untuk mencegah toksisitas, memonitor konsentrasi lidokain dan
menurunkan dosis lidokain.
Interaksi Sotalol
INDIKASI KLINIK
Angina Pektoris, Aritmia, Hipertensi, Infark Miokard, Gagal Jantung Sistolik, Kardiomiopati
Obstruktif Hipertrofik, Feokromositoma, Tirotoksikosis, Migren, Glaukoma, Ansietas, Sirosis
dengan Varises.
Hipertensi
69
-bloker adalah obat antihipertensi yang efektif. Pemberian secara kronik pada pasien
hipertensi dapat menurunkan tekanan darah secara perlahan-lahan. Pada umumnya -bloker
dikombinasikan dengan diuretik. -bloker terutama berguna jika diberikan dalam kombinasi
dengan vasodilator karena -bloker dapat memblok refleks takikardia dan peningkatan curah
jantung akibat vasodilator.
Mekanisme antihipertensi -bloker :
1.
2.
KONTRAINDIKASI
1.
Kontraindikasi Absolut jantung : bradikardi berat, blok AV, sindroma sinus sick,
kegagalan ventrikel kiri.
2.
Kontraindikasi Paru : asma, bronkospasme berat, tergantung dari beratnya penyakit dan
kardioselektivitas beta blocker yang digunakan, hal ini dapat menjadi kontraindikasi
absolute atau relatif.
3.
70
Perangsangan kolinergik
Organ Efektor
Reseptor
Respons
Respons
Jantung :
Nodus SA
Denyut jantung
Kecepatan konduksi
Denyut jantung
Atrium
Sistem konduksi
Otot
Nodus AV
Kontraktilitas
Kontraktilitas
Kecepatan konduksi
Kecepatan konduksi
automatisitas
Ventrikel
Sistem konduksi
Kecepatan konduksi
Automatisitas
Otot
Kontraktilitas
1, 2
Konstriksi (kuat)
Arteriol :
Kulit dan mukosa
71
tidak berarti
Otot rangka
Visera
Ginjal
Otak
Koroner
Paru
Vena
1, 2
Konstriksi
Dilatasi (dominan)
Konstriksi (kuat)
2 , D1
Dilatasi (lemah)
1, 2
Konstriksi (kuat)
2 , D1
Dilatasi (lemah)
1
1, 2
Konstriksi (sedikit)
Konstriksi
Dilatasi (dominan)
Kontriksi
Dilatasi (dominan)
Konstriksi
Dilatasi
Relaksasi
Kontraksi
Sekresi
Sekresi
Sekresi
Penglepasan
mediator
Paru:
Otot bronkus &
trakea
Kelenjar bronkus
Sel mast
Inflamasi
Saluran cerna:
1, 2
Relaksasi
Relaksasi
Otot sfingter
Kontraksi
Relaksasi
Kelenjar
Sekresi
Sekresi
Kontraksi
Ginjal:
72
Sekresi
Sekresi
Otot detrusor
Relaksasi
Kontraksi
Kontraksi
Relaksasi
Kontraksi (hamil)
Bervariasi
Relaksasi (hamil
maupun tidak hamil)
Ejakulasi (kuat)
Prostat
Kontraksi
Kontraksi (midriasis) -
Sekresi renin
Kandung kemih:
Uterus
Ereksi (kuat)
Mata:
Otot radial iris
Otot sfingter iris
Kontraksi (miosis)
Relaksasi untuk
melihat jauh (lemah)
Otot pilomotor
Kontraksi
Kelenjar keringat
Sekresi setempat
Otot siliaris
Kulit:
(keringat adrenergik)
Otot rangka
Hati
Glikogenolisis &
ambilan K+
1, 2
Glikogenolisis &
glukogenolisis
Pankreas:
Kelenjar acini
Sekresi
Sekresi
Sel beta
Sekresi insulin
Sekresi insulin
Sel lemak
Lipolisis
Kelenjar liur
Sekresi amilase
73
Kelenjar nasofarings
Sekresi
Sekresi
Sekresi
Adenohipofisis
Sekresi ADH
Trombosit
Agregasi
COPD
Hypertensi
Peptic ulcer
74
Hipertensi
Enalapril
COPD
hydrochlorothiazid
e
Peptic ulcer
Hipertensi tetap
Omeprazole
Acetaminophen
enalapril
Proton pump
menurun
hydrochlorothiazid
e
metaprolol
analgetik
ACE inhibitor
diuretik
Beta 1 selektif
vasodilatasi
Resistensi perifer
menurun
Curah jantung
menurun
75
VIII. Kesimpulan
Mr. Hypertension sudah diberikan obat yang benar karena ineraksi antar obat
yang diberikan tidak menimbulkan efek yng buruk pada pasien.
76
Daftar Pustaka
77