ABSTRAK
Strategi pencegahan skizofrenia dapat dibagi menjadi pencegahan universal, pencegahan
selektif dan terindikasi, serta intervensi dini. Intervensi universal dilaksanakan langsung
kepada populasi umum. Pencegahan selektif diberikan kepada orang orang yang memiliki
faktor resiko, namun belum menunjukka gejala apapun. Pencegahan terindikasi ditujukkan
kepada orang orang yang memiliki resiko tinggi disertai adanya tanda tanda minimal atau
gejala tanda gangguan mental namun tidak cukup memenuhi kriteria diagnosis. Intervensi
dini skizofrenia meliputi pengobatan pada penderita yang telah terdiagnosis mengalami
gangguan jiwa dan secara optimal bertujuan utuk mengurangi keparahan penyakit serta
menurunkan morbiditas sekunder. Meskipun pencegahan universal dan pencegahan selektif
belum menjadi strategi yang layak diterapkan pada pencegana skizofrenia, namun
pencegahan terindikasi dan intervensi dini skizofrenia saat ini sudah dapat dilaksanakan
secara nyata. Metode untuk mengidentifikasi individu dengan resiko psikotik saat ini terus
berkembang. Pencegahan dan penundaan transisi menjadi psikotik dari individu dengan
resiko tinggi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Intervensi dini pada skizofrenia,
meliputi penyuluhan untuk mencari petugas kesehatan, telah menurunkan durasi kejadian
psikosis yang tudaj tertangani, yang berhubungan dengan prognosis buruk pada penderita
skizofrenia. Program intervensi dini yang mengoptimalkan pengobatan skizofrenia pada
serangan awal menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan pengobatan yang rutin.
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa merupakan isu kesehatan yang paling penting dan banyak menyerang anak
usia muda (Murray & Lopez, 1996). Sekitar 60 70% penyakit non-fatal yang menyerang
individu usia 15 - 24 tahun ialah gangguan jiwa dan gangguan jiwa akibat penggunaan zar
(Public Health Group, 2005) dan setidaknya 75% dari jumlah kasus gangguan jiwa
menyerang dewasa usia 24 tahun (Kessler et al., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh
Global Burden Disease 2000 menunjukkan kasus skizofrenia menyumbang 2.8% kematian
setiap tahun dan 1.1% kecacatan seumur hidup (Murray, Lopez, Mathers, & Stein, 2001).
Prevalensi skizofrenia mencapai 1 % dan poin prevalens sekitar 0.5%. Kasus gangguan
psikotik mencapai puncaknya pada usia dewasa muda dan usia lanjut (Kaplan, Sadock,
Grebb, 1994). Kasus gangguan psikotik yang tidak terdeteksi atau pengobatan yang tidak
adekuat selama periode perkembangan ini tidak hanya menyebabkan gangguan pada
kehidupan personal, distres keluarga, dan peingkatan keparahan penyakit, tetapi juga
mempengaruhi prestasi akademik yang buruk, berhenti sekolah dini dan menghambat
pendidikan yang lebih baik, pengangguran, ketidakmampuan pendidikan yang berkelanjutan,
dan kematian dini (McGorry & Yung, 2003; ueser & McGirk, 2004). Resiko bunuh diri
ditemukan cuku tinggi pada usia dewasa muda yang mengalami gangguan psikotik yang tidak
ditangani dengan baik dan skizofrenia (Jackson & Birchwood, 1996; Power, 1999; SANE,
2002; WHO, 2001). Fokus terpadu untuk identifikasi dini dan pelaksanaan intervensi yang
efektif menjadi prioritas kesehatan masyarakat.
Upaya pencegahan skizofrenia telah lama terhambat akibat pesimistik dan ketidakakuratan
gagasan fundamental Kraepelinian yang menjelaskan bahwa penyakit bersifat progresif dan
tak terelakan (McGorry, 1991). Hingga pada akhirnya gagasan ini mengakar di pikiran para
dokter (Cohen & Cohen, 11984), dan menyebabkan pengabaian berkelanjutan pada program
rehabilitasi dengan tujuan penyembuhan. Meskipun begitu, tindakan promotif dan
pengobatan untuk mengatasi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya telah mengalami
banyak kemajuan dalam 2 dekade terakhir ini (McGorry, Yung, & Phillips, 2002). Artikel ini
bertujuan untuk mengevaluai bukti klinis pada tindakan intervensi dini dan identifikasi
individu dengan resiko tinggi psikosis melalui intervensi untuk mencegah atau menunda
perkembangan penyakit (Yung et al., 2003).
Faktor resiko skizofrenia yang lain, yang juga dapat dijadikan target untuk pencegahan
universal daintaranya adalah rendahnya status ekonomi, komplikasi kehamilan, penggunaan
narkoba, dan trauma masa kanak kanak. Hubungan kausalitas antara rendahnya tingkat
Beberao dari faktor resiko ini tidak spesifik menyebabkan psikosis, namun berhubungan
dengan sekuel psikiatrik. Sebagai contoh, pada individu dengan trauma masa kanak kanak,
telah didemonstrasikan hubungan antara pelecehan seksual dan kenaikan kasus terjadinya
gangguan jiwa pada anak dan dewasa (Spatro et al., 2004).
Faktor resiko ini menjadi taget dari intervensi universal yang memiliki nilai pencegahan yang
luas untuk gangguan jiwa, tidak hanya psikosis dan skizofrenia, hal ini menyebabkan
argumen untuk pencegahan universal yang bahkan lebih menarik. Selain itu, intervensi
universal memberikan keuntungan kepada masyarakat pada umumnya, sebagai contoh,
intervensi yang dilakukan untuk mengurangi komplikasi kelahiran dan perinatal
(meningkatkan nutrisi prenatal) memberikan dorongan untuk melanjutkan intervensi tersebut
(Mojtabai, Malaspina, & Susser, in press). Pendapat mengenai populasi besar yang terpapar
dengan resiko rendah menghasilkan insidensi lebih tinggi, dibandingkan dengan populasi
kecil yang terpapar oleh resiko tinggi telah diperdebatkan (Rose, 1992; Offord, Kraemer,
Kazdin, Jensen, & Harrington, 1998), oleh sebab itu program berbasis populasi dengan
jangkauan yang besar dapat lebih menurunkan resiko gangguan kejiwaan (Brown and Liao,
1999, cited in Sochet & Ham, 2004). Hal ini juga menurunkan stigma dan mengatasi masalah
rendahnya perekrutan serta tinginya penolaka selama fase skrining yang sering terjadi pada
intervensi target seperti ini. Di sisi lain, kerugian dari program ini diantaranya kecilnya
manfaat bagi individu, karena sulit mendeteksi keuntungan akibat kecilnya efek yang
ditimbulkan. Hal ini sangat mengkhawatirkan jika efek utama terlihat pada mereka yang
beresiko rendah, sementara efek terkecil adalah pada mereka yang beresiko tiggi. Intervensi
universal juga cukup sulit dan mahal untuk dievaluasi, terutama pada kasus insidensi yang
rendah atas pertimbangan ukuran sampel (Cuijpers, 2003).
Informasi mengenai pencegahan selektif dan terindikasi pada psikosis telah di artikulasi di
berbagai tempat (McGlashan, 1996) dan semakin mendapat dukungan yang luas (Killackey &
Yung, in press)
berguna jika dibagi berdasarkan indikator risiko, yaitu risiko yang membantu meningkatkan
risiko namun bukan penyebab, dan risiko yang telah dimodifikasi yang berhubungan dengan
penyebab (Tarrant & Jones, 1999). Sebagai contol, anomali fisik minor, seperti kelainan
dismorfik dan abnormalitas kulit merupakan indikator risiko, menjelaskan kemungkinan
beberapa aspek abnormalitas perkembangan otak (Buckley, 1998; McNeil & Cantor-Graae,
2000). Paparan ibu terhadap influenza (Adams, Kendell, Hare, & Munk, 1993) dan
kerusakan otak saat perinatal kemungkinan menjadi prekursor risiko modifikasi yang
mempengaruhi tingkat risiko yang dialaminoleh individu yang terkena. Alternatif istilah yang
serupa telah dikemukakan oleh Kraemer dkk (1997), kraemer membedakan faktor reisko
berdasarkan kemampuan mereka yang dapat dirubah atau tidak. Faktor risiko yang tidak bisa
dirubah disebut Tanda Tetap (fixed marker). Risiko ini merupaka produk atau mekanisme
yang dapat atau tidak dapat menjadi penyebab (seperti kelainan fisik minor, riwayat keluarga,
komplikasi kehamilan dan gangguan perkembangan). Faktor risiko yang dapat diubah disebut
Faktor risiko variabel, yang dibagi berdasarkan kemungkinan manipulasi tersebut dapat
merubah outcome, atau tidak. Jika manipulasi dari faktor risiko dapat merubah outcome,
disebut Faktor risiko penyebab. Jika merubah faktor tidak merubah outcome, disebut tanda
variable. Sebagai contoh faktor risiko penyebab penggunaan narkoba dan deprivasi sosial,
(seteng).
Prilaku abnormalitas perkembangan anak, seperti sikap berlebihan pada anak laki dan sikap
yang tidak reaktif atau perilaku menyendiri pada anak perempuan (Davidosn et al., 1999;
Done, Sacker, & Crow, 1994; Done, Crow, Johnstone, & Sacker 1994; Reichenberg et al.,
2000; 2002) dapat dipikirkan sebagai kedua indikator risiko (manifestasi gangguan otak) dan
risiko termodifikasi atau faktor risiko variabel, mereka mungkin ditempa dan pengobatan
mereka dapat mengubah hasil berkutnya. Pola perilaku tersebut dapat mengakibatkan
lingkungan yang berubah dan memberikan dampat pada nak anak yang lain. Sebagai
contoh, perilaku reaksi berlebihan pada anak usia 11 tahun dan menyebabkan anak menjadi
nakal dan dapat meubah perilaku anak disekelilingnya. Anak seperti ini dapat terikat dan
menyebabkan perilakunya semakin berbahaya, termasuk penggunaan narkoba. Pengalaman
ini dapat menyebabkan abnormaltian perkembangan yang berkelanjutan. Perilaku over-aktif
abnormal (risiko indikator) menjadi faktor pertama dalam seri modifier risiko (yung &
McGurry, 2004)
Walaupun telah ada beberapa kemungkinan faktor risiko skiofrenia, tidak ada risiko yang
memiiki efek kuat dam terdapat asumsi bahwa gangguan yang disebabkan oleh faktor
biologis, psiko, dan sosial. Spesifisitas pada kebanyakan faktor resiko adalah rendah, yang
berarti bahwa subjek yang telah terpapar oleh faktor risiko tidak mengembangkan gangguan
ini (Cuijpers, 2003)
Selain itu, marker risiko tidak sesuai untuk onset gangguan psikotik. Stress lingkungan
dibutuhkan mungkin untuk mengubah kerentanan manifestasi gangguan dan mekanisme
interaksi antara stressor dan kewajiban (Spauwen et al., 2006). Pencegahan selektif dilakukan
terhadap kelompok yanag memiliki resiko berdasarkan tanda risiko dan menjadikan mereka
sebagai sasaran intervensi. Bagaimanapun, menggunakan tanda risiko ini saja terlalu semput
untuk dasar penatalaksanaan skrining dan intervensi pencegahan. Karena individu bisa
bersifat asimpotmatis, sekalipun dapay menunujukan tanda dari beberap tipe (setidaknya
berhubungan dengan gejala psikotik) , jenis intervensi yang dilakukan juga tidak jelas. Pada
tahap ini, intervensi selektif tidak dapat dilaksanakan sebagai strategi pencegahan yang
efektif pada skizofrenia.
Sammpai saat ini, mayoritas intervensi dini telah dilaksanakan terhadap individu yanag
menunjukkan manifestasi awal daari gangguan (Mrazek & Haggerty, 1994). Strategi ini
biasanya disebut sebagai strategi intervensi terindikasi.
Salah satu kunci tantangan dalam percobaan pelaksanaan intervensi terindikasi pada
skizofrenia adalah untuk mrngukur mana yang merupakan tanda dan gejala yang merupakan
perkursor ambang gangguan sepenuhnya. Sampai sekarang, ilmu pengetahuan mengenai hal
ini didapatkan dari pengambilan riwayat dan penelitian retrospektif pasien skizofrenia
(Muller & Husby, 2000; Yung & McGorry, 1996; 1997). Hal ini mengungkapkan bahwa fase
prodromal sering menjadi bukti untuk kejadian gejala psikotik yang nyata. Gejala prodromal
diantaranya perasaan depresi, cemas, iritabilitas, dan perilaku agresif, pemikiran dan
percobaan bunuh diri, penggunaan zat ( Yung & McGorry, 1996), yang disertai dengan
penurunan fungsi kognitif, afektif dan gangguan fungsi sosial. Hal ini disebut sebagai gejala
dasar (Gross & Huber, 1996; Klosterkotter, Ebel, Schultze-lutter, & Steinmeyer 1996).
Gejala lain yang jelas menunjukkan psikotik, perkembangan gejala subambang seperti, ide
yang berlebihan . Gangguan persepsi baik visual maupun auditorik juga dapat muncul.
Deteorientasi gejala fungsi dan perilaku telah lama diteliti (Bowers, 1965; Chapman &
Chapman, 1987; Docherty, Van Kammen, Siris, Marder, 1978; Donlon & Blacker, 1973;
Heinrics & Carpentes, 1985; Herz & Melville, 1980; Mmeares, 1959).
Identifikasi fase prodromal, sebagai cara untuk pelaksanaan intervensi, merupakan esensi dari
pencegahan terindikasi, menyediakan kemungkinan untuk (1) meminimalisir kecacatan dan
efek kesehatan serta akibat sosial yang berhubungan dengan fase prodromal, (2) memberikan
perbaikan sebelum gejala dan fungsi yang buruk bertambah parah, dan (3) mencegah,
menunda, atau memperbaiki onset untuk mendiagnosis gangguan psikotik.
Hambatan utama dalam mengidentifikasi individu yang beresiko psikosis adalah relatifnya
gejala non-spesifik yang berhubungan dengan status risiko. Sebagai contoh, Hafner et al.
(2005) menunjukkan bahwa fase prodromal skizofrenia tidak dapat dibedakan dari depresi
mayor. Kriteria gejala non-spesifik dapat menyebabkan identifikasi negatif-palsu )individu
yang tidak akan pernah memiliki gangguan psikotik), yang dapat merugikan individu yang
beresiko dan menyebabkan intervensi yang tidak optimal. Sangat sulit untuk membedakan ini
dari kelompok positif-palsu (Young et al., 2003) yang dapat berkembang menjadi gangguan
psikotik jika lingkungan mereka tidak diubah seperti intervensi, menurunkan level stres, atau
penghentian penggunaan narkoba. Meski begitu, optimisme telah tumbuh dengan adanya
perkembangan kriteria indikasi untuk mendeteksi siapa saja yang bernar benar berada pada
risiko tinggi (Risiko Sangat Tinggi; Ultra High Risk-UHR) gangguan psikotik dan seiring
dengan hal tersebut uga menurunkan agka positif palsu (Yung et al., 2003).
Pada bagian berkitu kami akan menambah pencapaian hasil dari penelitian yang berbeda
untuk mendefinisikan kriteria Populasi dengn resiko sangat tinggi atau prodromal yang
digunakan secara internasional (McGorry, Yung, & Phillips, 2003)
Usia termasuk dalam faktor risiko tambahan, dimana usia dewasa dan dewasa muda memiliki
insidensi psikosis tertinggi *Hafber et al., 1993). Pengalaman gejala mirip psikosis
merupakan bukti pada populas umum yang tidak berhubungan dengan distres dan pencarian
pengobatan (Van Os, 2003), kebutuhan akan psikiater termasuk ke dalam kriteria untuk
menidentifikasi Resiko Sangat Tinggi/UHR. Deksripsi detail mengenai kriteria operasionl
resiko sangat tinggi/UHR telah ada di suatu tempat (Yung et al., 2003; Yung, Phillips, &
McGorry, 2004; Yung, Phillips, Yuen, & McGorry, 2004), namun kriteria original diantaraya
yaitu individu pada usia muda antara 14 30 tahun dianggap memmiliki gangguan pada
kesehatan jiwanya jika ditemukan satu atau lebih kriteria berikut (1) Attunuated Psychotics
Symptom Group (APS), telah memiliki gejala psikotik yang tidak terlalu menonjol semalam 2
tahun terakhir; 2)Brief Limittent Psychotics Symptoms Group (BLIPS); telah mengalami
episode gejala psikotik yang jelas yang bertahan lebih dari 1 minggu dan telah berkurangs
ecara spontan; atau 3) Trait ad State Risk Factor Group, berada pada derajat 1 relatif dengan
gangguan psikotik atau identifikasi skizofrenia secara personal dan mereka telah mengaami
penurunan fungsi yang signifikan selama 1 tahun terakhir.
Rasionalisasi untuk grup ini, sebagian besar secara empiris berdasarkan pada hal beriut:
Grup 1 (APS): subambang, gejala psikosis lemah yang menghilang secara spontan telah
ditemukan pada seseorang yang kemudian mengalami gangguan psikotik (Yung & McGorry,
1996).
Grup 2 (BLIPS): episode transien gejala psikotik yang telah menghilang secara spontan
ditemukan pada psien yang kemudian mengalami gangguan psikotik (Faegerman, 1963;
Jauch & Carpenter, 1988).
Grup 3 (Trait Plus State): sementara gangguan kepribadian skizotipal dan sifat skizotipal
(Yung et al., 1996; 2003; 2004) dan riwayat keluarga dengan gangguan psikotik (Murray &
McGuffin, 1993) dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan psikotik,n penurunan fungsi
juga termasuk sebagai alasan tahapan diatas untuk iinetifikasi efektif dalam jangka waktu
yang pendek.
Untuk menguji validitas prediktif kriteria ini, pelayanan terlatih untuk kelompok Resiko
Sangat Tinggi/UHR telah dibentuk di Melbourne 1994; Personal Assessment and Crisis
Evaluation (PACE) klinis. Pelayanan ini merupakan pusat penelitian dan pelayanan
internasional untuk penanganan individu yang diperkirakan memiliki resiko psikotik dalam
jangka waktu singkat (Yung, McGorry, McFarlane, & Patton, 1995; 1996) yang tidak pernah
memiliki riwayat psikotik sebelumnya. Intrumen untuk Comprehensive Assessment of At-Risk
Mental States (CAARMS) telah dikembangkan untuk membantu mengidentikasi kelompok
Resiko Sangat Tinggi/UHR, diantaranya untuk penilaian intensitas, frekuensi, durasi, dan
gejala psikotik yang baru terjadi (Yung et al., 2005). Hasil utama dari uji kriteria UHR pada
PACE klinis adalah untuk mencegah terjadinya episode psikotik pertama. Hal ini
didefinisikan sebagai gejala psikotik yang jelas dan persisten selama lebih dari 1 minggu.
Definisi ini berakiat pada terapi yang diaplikasi secara adil pada gejala psikotik akibat
oenggunaan zat, gejala akibat mood baik depresi ataupun mania, dan sgangguan spektrum
skizofrenia.
Menggunakan kriteria UHR, memmungkinkan untuk mendeteksi anak usia muda yang
memiliki resiko terjadinya gejala psikotik yang jelas dalam waktu dekat, dengan demonstrasi
kebutuhan klinis dan diagnosis sindromal lainnya (Yung et al., 1996, 1998, 2003, 2004). Rata
rata transisi gangguan psikosis yang terdiagnosis dalam 12 bulan sekitar 35% (Yung et al.,
2003; 2004), rata rata iniribuan kali lipat dari rata rata insidensi episode psikosis pertama
yang diharapkan pada suatu populasi. Hal ini tetap terjadi walaupun dukungan konseling
minimal, managemen kasus, dan obat obatan antidepresan telah diberikan. Hasil diagnostik
primer dari grup yang kasus psikotik berkembang menjadi skizofrenia (65%).
Kriteria PACE UHR telah diadaptasi secara internasional (Haroun, Dunn, Haroun, &
Cadenhead, 2006). Mencegah melalui indentifikasi risiko, managemen dan pendidikan
(PRIME) klinis di universitas Yale, USA, melaporkan rata rata transisi 54% (7 dari 13
subjek) dalam 12 bulan (Miller et al., 2002). Psychological Assistance Service (PAS) di
Newcastle, Australia, menggunakan kriteria yang sama juga menunjukkan 50% rata rata
transisi selama lebih dari 12 bulan (Mason et al., 2004). TOPP klinik di Norway melaporkan
trata rata transisi selama 12 bulan adalah 43 % (Larsen, 2002), sementara Early
Identification and Intervention Evaluation (EDIE) klinik di Manchesterm Inggris menujukkan
rata rata transisi 22% selama 6 12 bulan (Morrison et al., 2002) dan cognitive assessment
and Risk Evaluatin (CARE) klinik di San Diego melaporkan rata rata transisi 15% dalam 12
bulan (Haroun et al., 2006). Hasil kombinasi dari ini dan penelitian lain menunjukkan hasil
rata rata transisi adalah 36.7% pada subjek yang tidak mendapkan antipsikosis (Ruhrmann,
schultze-Lutter, & Kolsterkotter, 2003). Nilai transisi telah menurun pada beberapa penelitian
yang dilakukan baru baru ini, untuk asalannya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut (Yung
et al, 2006).
skizofrenia. Hanya 2 pasien yang mengalami skizofrenia tanpa dilaporkan memiliki gejala
dasar. Dengan demikian ada atau tidaknya gejala dasar prediksi terjadinya skizofrenia sebesar
78.1% (Klosterktter et al., 2001).
Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa 10 gejala dasar kognitif-perseptif dari gangguan
proses pengolahan informasi (a) yang dilapirkan dalam ambang meliputi seperempat dari
kelompok yang kemudian menderita skizofrenia dan (b) menunjukkan nilai prediktif postif
(minimal 0.70). Ini meliputi; gangguan pikir, perseverasi, tekanan, atau hambatan gangguan
menerima bahasa, menurunkan keampuan untuk membedakan ide dan persepsi atau fantasi
denngan memori, ide yang tidak stabil, derealisasi; gangguan persepsi visual atau auditorik.
Subgrup dari gejala dasar membentuk basis prodromal Eropa pertama, atau pusat UHR pada
1997, di departemen psikiatrik universitas Cologne, Jerman, The Freh-Erkennungs-&
Therapie-Zentrum for psychische Krisen (FETZ). Tiga pusat lainnya bentuk di Jerman secara
terus menerus berdasarkan pada moda FETZ, di Bonn, Dsseldorf, dan Munich. Pelayanan ini
juga menggunakan strategi tertutup, namun membedakan tahap awala intial prodromal
(EIPS), tanpa manifestasi dari gejala mirip psikotik dan tahap lambat insial prdromal (LIPS)
dengan gejala psikotik yang tidak jelas, digunakan kriteria PACE, APS, dan BLIPS
(Ruhrmann et al., 2003).
Intrumen penilaian menggunakan Schizophrenia Proneness Instrument, Adult Version (SPIA; Shcultze-Lutter et al., 2004), yang menilai keparahan, frekuensi, dan gejala dasar yang
baru saja terjadi. Sedikit perubahan ada kriteris gejala dasar (2 dari 9 gejala dasar) telah
digunakan untuk mengevaluasi EIPS dan LIPS di beberapa tempat European Predictio of
Psychosis Stydt (EPOS); Klosterktter et al., 2005), dengan transisi nilai 23.9% dalam tahun
pertama, 22.4% pada tahun kedua, 14.9% pada tahu ketiga, dan 17.9 % untuk lebih dari 3
tahun.
KRITERIA RAP
Menilai dari keahlian penelitian genetik beresiko tinggi dan menggunana skizofrenia sebagai
target, program Hillside Recognition and Prevention (Hillside-RAP) di New York (Cornblatt,
Lencz, Obuchowski, 2002) meliputi 3 kelompok: (1) Kelompok resiko tinggi secara klinis
(CHR) (negative), dengan gejala negatid yang tidak jelas seperti isolasi sosial, avolisi, dan
deteriorasi fungsi (akademik); (2) kelompok (CHR) (positif) dengan gejala positfi psikotik
(sesuai dengan kor SIPS); dan (3) Kelompok psikosis mirip skizofrenia (SLP) dengan gejala
osikotik namun tidak memenuhi kriteria skizofrenia. Teori dari investigator RAP
menerangkan bahwa progresi dari CHR ke CHR + ke SLP ke skiofrenia dengan gangguan
kognitif mendahului onset skizofrenia dan mekanisme CHR kelompok dengan resiko tinggi.
Nilai transisi dari CHR + ke gangguan psikotik adalah 26.5% (9 dari 34 pasien) dalam 6
bulan (Lencz, Smith, Auther, Correll, & Cornblatt, 2003). Nilai transisi dari kelompok SLP
ke skizofrenia adalah 33 % (Cornblatt et al., 2002)
Beberapa penelitian mengungkapkan hasi sesuai yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
mungkin untuk mengidentifikasi kelompok resiko tinggi dengan psikosis yang baru saja
terjadi. Tujuan mengidentifikasi kelompok dengan kemungkinan tinggi mengalami episode
psikosis yang utuh, meskipun telah diberikan layanan psikososial, kadang dikombinasikan
dengan pemberian antidepresan, adalah untuk menemukan intervensi yang lebih spesifik
untuk memperbaiki, menunda, atau bahkan mencegah terjadinya onset kejadian psikotik.
Percobaan pertama, dilaukan di klinik PACE di Melbourne, menunjukkan bagwa onset
psikosis dapat tertunda bahkan mungkin dicegah dengan intervensi spesifik. Penelitian ini
membandingkan antara CBT dan pengobatan antipsikosis atipikal dosis rendah (risperidon)
(n = 31) dengan managemen kasus seperti biasa (n = 28). Subjek dipilih secara random, baik
pasien investigator sama sekali tidak tahu intervensi mana yang diberikan. Rata rata onset
psikosis pada kelompok yang diberikan pengobatan lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol setelah 6 bulan fase terapi (9.7% VS 35%, p = 0.026). Pemantauan lebih
dari 6 bulan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan lagi, hal ini terjadi karena pasien
yang tidak mendapatkan anti psikosis mulai menunjukkan gejala psikosis kembali (McGorry
et al., 2002).
Penelitian yang terus menerus telah dilakukan untuk mencari komponen aktif untuk
pencegahan terindikasi yang efektif. Sebagai contoh, olanzapin dosis rendah (n=31) telah
dibandingkan degan placebo (n=29) pada penelitian randomisasi-double blind oleh
McGlashan dkk (2003) dari universitas Yale. Enam puluh persen participan, 16 (26.6%)
mengalami gangguan psikotik selama 12 bulan pengobatan, dengan 50% diantaranya berubah
dalam 1 bulan pertama. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada nilai konversi antara kedua
kelompok; 5 bersal dari kelompok olanzapin, dan 11 dari kelompok placebo. Dalam 12 bulan
monitoring, 2 dari kelompok olanzapin dan 11 dari kelompok plasebo berkembang menjadi
gangguan psikosis (McGlashan et al., 2006).
Penelitian yang dilakukan di Manchester, UK, secara randomisasi dengan peserta (n=58)
untuk terapi kognitif atau monitoring status mental saja. Setelah 6 bulan terapi kognitif,
ditemuka=n transisi yang lebih rendah dibandingkan plasebo (6% VS 26%, p< 0.05). pada 12
bulan follow up, kelompok terapi kognitif juga menunjukkan penurunan gejala psikiatri yang
signifkan (P<0.02; Morrison et al., 2004).
Berbagai macam jenis intervensi yang berbeda telah diteliti untuk kelompok dini dan akhir
prodromal (EIPS dan LIPS) Jerman. Salah satu pemimpin penelitian yang tidak terkontrol
telah menguji keefektivan intervensi multimodal kognitif-perilaku untuk kelompok EIPS
(Bechdolf et al., 2005). Analisis data intervensi CBT selama 12 bulan dibandingkan dengan
konseling pendukung pada penelitian randomisasi menunjukkan keuntungan yang signifikan
pada kelompok CBT dalam transisi LIPS dan Psikosis (Bechdolf et al., 2005; 2006).
Bagi kelompok LIPS, penelitian dilakukan untuk mengetahu keefektifan managemen klinis
dan amisulpride dibandingkan dengan managemen klinis saja (Ruhrmann, Schultze-lutter,
maier, & Klosterkotter, 2005). Analisis pada 124 partisipan pertama setelah 12 minggu
intervensi, amisulpride menunjukkan perbaikan gejala dasar, gejala psikotik, gejala negatif
dan gejala afektif serta fungsi global (Ruhrmann et al., 2006). Peelitian RCT selanjutnya
meneliti asam eikosapentaenoat dibandingkan dengn plasebo, dilakukan di Vienna pada
peserta UHR dan akan dilaporkan segera.
Pencegahan tidak hanya untuk menurunkan insidensi saja, tetapi juga memnimalisir
kecacatn, penyuluhan kesembuhan, dan pencegahan morbiditas sekunder. Semua hal ini
dapat diraih melalui intervensi dini kepada penderita yang telah mengalami gangguan
psikosis episode pertama.