Nama
Adam
Usia
930 tahun
Periode sejarah
5872 4942 SM
Tempat wafat
Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah [2]: 31,32)
Allah berfirman: Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
nama-nama benda itu, Allah berfirman: Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit
dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan ? Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir. (QS. Al-Baqarah [2]: 33,34)
Dan Kami berfirman: Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi
baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini. yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: Turunlah kamu!
sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu
yang ditentukan. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Kami berfirman: Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]: 35-38)
Kemudian pada Surat Thaahaa [20] : ayat 115-123, Firman Allah SWT :
Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya
kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka mereka sujud kecuali
iblis. Ia membangkang. Maka Kami berkata: Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka
sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu
tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan
ditimpa panas matahari di dalamnya. (QS. Thaahaa [20]: 115-119)
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon
khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa? Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya auratauratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan
sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: Turunlah
kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk
daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS. Thaahaa [20]: 120-123)
Sponsored Links
Asal-Usul Para Wali: NASAB PARA PELOPOR DAI YANG MASUKKAN ISLAM KE PULAU JAWA
10 Januari, 2007 Kurtubi Tinggalkan komentar Go to comments
Abu Salam Jumad gelar SUSUHUNAN ATAS ANGIN, bin Makhdum Kubra bin Jumad al-Kubra bin Abdallah bin Tajaddin bin
Sinanaddin bin Hasanaddin bin Hasan bin Samaim Bin Nadmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zaid Zain al-Kabir alMadani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin
al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
Naim gelar SUSUHUNAN WALI ALLAH, bin Abdul-Malik Asafrani bin Husain Asfarani bin Muhammad Asfarani bin Abibakar
Asfarani bin Ahmad bin Ibrahim Asfarani bin Tuskara, imam Yamen, bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin
Jasmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain
al-Alim al-Makki bin Walid Zaid al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN TEMBAJAT bin Muhammad Mawla al-Islam bin Ishaq gelar WALI LANANG DARI BALAMBANGAN, bin Abu
Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jamad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahnul al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah
al-Baghdad bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain alKabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Wahid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain
al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN GIRI bin Islam gelar WALI LANANG DARI BELAMBANGAN, bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin
Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abudrahman bin Abdullah al-Baghdad bin Askar bin Hasan bin
Sama-un bin Najmadin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain alHusain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Zali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain
bin al-Imam Ali k.w.
Hasanaddin gelar PANGERAN SABAKINKING bin Ibrahim gelar SUSUHUNAN GUNUNG JATI bin Yaqub gelar Sutomo Rojo
bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin
Abdallah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid
Zain al-Kabir al-Madani al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali
k.w.
KIAHI AGENG LURUNG TENGAH bin Syihabuddin bin Nuradin Ali bin Ahmad al-Kubra al-Madani bin Hamid bin Jumad alKabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin
Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain
al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali
k.w.
SUSUHUNAN DRAJAT bin SUSUHUNAN AMPEL bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin
Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah al-Baghadadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin
Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain alAlim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin Al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN BONANG bin SUSUHUNAN AMPEL bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin
Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin
Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain alHakim bin Walid Zain al-Alim al Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN KALINYAMAT bin Haji Usman bin Ali gelar RAJA PENDETA GERSIK, bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi
bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un
bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zainal-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin
Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alimbin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam
Ali k.w.
Ibrahim gelar SUSUHUNAN PUGER bin askhian bin Malik bin Jafar al-Sadiq bin Hamdan al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin
Abdurrahman bin Abdallah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain
al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al Makki bin Walid
Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN PAKALA NANGKA dari Banten bin Makhdum Jati, Pangeran Banten, bin Abrar bin Ahmad Jumad al-Kubra bin
Abid al-Kubra bin Wahid al-Kubra bin Muzakir Zain al-Kubra bin Ali Zain al-Kubra bin Muhammad Zain al-Kabir bin Muhammad
al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin alKabir bin Zain al-husain bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim alMakki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN KUDUS bin SUSUHUNAN NGUDUNG bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husain
bin Askib bin Muhammad Wahid bin Hasan bin Asir bin Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Jafar al-Sadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husein bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN GESENG bin Husain bin Al-Wahdi,etc. lihat diatas.
SUSUHUNAN PAKUAN bin al-Ghaibi bin al-Wahdi,etc. lihat diatas.
SUSUHUNAN KALIJOGO bin TUMENGGUNG WILO TIRTO, Gubernur Jepara, bin ARIO TEJO KUSUMO, Gubernur Tuban, bin
Ario Nembi bin Lembu Suro, Gubernur Surabaya, bin Tejo Laku, Gubernur Majapahit, bin Abdurrahman gelar ARIO TEJO Gubernur
Tuban, bin Khurames bin Abdallah bin Abbas bin Abdallah bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin bin Arifin bin Maruf bin Abdallah
bin Mubarak bin Kharmis bin Abdallah bin Muzakir bin Wakhis bin Abdallah Azhar bin ABBAS r.a. bin Abdulmuttalib.
August 26, 2005
.:: Sembilan Wali ( WALI SONGO ) ::.
Filed under: bintang - H @ 10:42 AM
Walisongo berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan.
Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik
Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti
juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus
murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para
Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15
hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa
Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka
mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu.
Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama,
namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih
terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun
peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat
secara luas serta dakwah secara langsung, membuat sembilan wali ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Masing-masing
tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai tabib bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai paus dari Timur hingga Sunan
Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan
Budha .
Maulana Malik Ibrahim (Wafat 1419)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad
14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy,
berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia
bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak
adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro
diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di
Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra.
Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan
misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi
menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang
masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer
utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu
menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati
masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia
merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati
masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan
tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik,
Jawa Timur.
Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan
nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama
bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo
sekarang).Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho,
sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh
ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang
dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri
seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya
adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan
Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu
Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren.
Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri
tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dialah yang mengenalkan istilah Mo Limo (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk tidak
berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina. Sunan Ampel diperkirakan
wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir
diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar
agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa.
Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia
kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia
membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula
sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang
tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah
terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di
Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang
lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu
fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari
sumber air di tempat-tempat gersang.Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat cinta('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan
Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau
haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan
Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau
tembang tamsil. Salah satunya adalah Suluk Wijil yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Said Al Khayr (wafat pada
899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu
Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan
instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam
malakut). Tembang Tombo Ati adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang
yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan isbah (peneguhan).
Sunan Kalijaga
Dialah wali yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya
Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh
Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya.Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang
pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini
untuk berendam (kungkum) di sungai (kali) atau jaga kali. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab qadli
dzaqa yang menunjuk statusnya sebagai penghulu suci kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari
100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang tatal
(pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf -bukan
sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada
budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada,
lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya
Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah
Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di
Kadilangu -selatan Demak
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan
Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim
(Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji
(Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta
Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan
dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Nama-nama Walisongo
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya
terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
* Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
* Sunan Ampel atau Raden Rahmat
* Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
* Sunan Drajat atau Raden Qasim
* Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
* Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
* Sunan Kalijaga atau Raden Said
* Sunan Muria atau Raden Umar Said
* Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila
tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau
terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad
ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap
As-Samarqandy.[1] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara
baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir
kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat.
Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat adalah putra Maulana
Malik Ibrahim dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari
Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya
bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia
menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah
anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan
Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui
kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan
tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan
memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah
karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya
Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan
Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada
masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat,
sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan,
bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya.
Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat
diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan
Kudus adalah keturunan ke-14 dari Husain bin Ali. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam
pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di
kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa
Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara
Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari
Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik;
yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke
kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke
wilayah Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid
Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain
kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai
hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
Sunan Muria
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah
dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin
Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga
Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan
kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan
Banten.
Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah
seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari
Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu
cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama
dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan
Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian
tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan
demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya;
sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya
pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah,
selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan),
Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]
Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam
di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh
yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian
Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya
adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut:
Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Jafar ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa arRummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal
Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar
ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim asSamarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati
yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan)
memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara.
Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di
Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat Makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber
sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh
Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada
tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar
agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam
selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di
daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang
cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja
Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang
selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon
sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran
Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa
Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah,
cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.
Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia
diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di
Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden
Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar
Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan
Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di
Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]
Teori keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau
tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada
merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang
diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo
adalah keturunan Hadramaut:
Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan
Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatanjabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu
di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan
pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu
pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran
sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat
kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus,
Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafii, sama seperti mayoritas di Srilangka,
pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan
seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafii bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan
Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya
terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafii
Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapatpendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut,
karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafii dengan pengamalan
tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama
menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar
Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul
Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini
terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan
cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan
banyak lainnya.
Teori keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan
menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[7] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras
masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat
melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini
masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang
berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk
kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui
identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C.
van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van
Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan
banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the
15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang
Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya
yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [8].
Sumber tertulis tentang Walisongo
1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya
Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan
Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alw b. Thir b. `Abdallh al-Haddd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan
yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan
diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi
sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar
Sakran, Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat
pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan
Gresik.
Ditulis oleh Pensilkoe at 10:47 PM
Labels: Khasanah Islam
Topic: Sanggahan bahwa Walisongo yang bermarga AZMATKHAN AL-HUSAINI adalah keturunan langsung Tionghoa
Displaying all 9 posts.
Nurfadhil AzmatKhan
Tanpa mengurangi rasa hormat.. tulisan ini hanya hendak meluruskan anggapan bahwasanya Walisongo adalah
keturunan "langsung" etnis Tionghoa. Sebagai salah satu keturunan langsung Walisongo ( Sunan Gunung Jati
Azmatkhan Al-Husaini) yang memegang data silsilah garis laki & garis perempuan secara turun temurun, mewakili
keluarga besar, kami hendak meluruskan masalah ini. Seraya mengakui terdapatnya hubungan kekerabatan dari
garis perempuan antara zuriat Walisongo dengan etnis Tionghoa. Keluarga Azmatkhan adalah keluarga yang
menggunakan pernikahan sebagai media dakwah. Abdullah Azmatkhan leluhur para Walisongo dr India mrupakan
salah satu pendakwah Islam ke China yang semasa dengan Marcopolo yang disinyalir menjalin kekerabatan dgn
etnis Tionghioa... begitu pula dgn pernikahan Sunan Gunung Jati dgn putri Ong Tien Nio, lantas kekerabatan
walisongo dengan ulama cina yang bergelar Syaikh Bantong alias Tan Go Hwat dll... dengan tulisan ini kami harap
para etnis Tionghoa tidak lagi menganggap walisongo sebagai keturunan "langsung" dari China, secara patrienal
garis ayah, namun memang berkerabat secara tautan garis ibu / perempuan. Seraya menghormati data sejarah &
silsilah yang kluarga besar kami pegang secara turun temurun bahkan sudah diteliti, disahkan & diyakini oleh Ahli
Ilmu Nasab internasional dari Yaman, Turki, Malaysia, Thailand, Mesir, Jordan, Lebanon, India, dll. Semoga tulisan
ini dapat dipahami dengan baik untuk menumbuhkan sikap toleransi & tenggang rasa serta kekeluargaan.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat
ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik
yang berasal dari Slamet Muljana, (Muljana, Slamet (2 Agustus 2010). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan
timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. LkiS. hlm. xxvi + 302 hlm.. ISBN 9799798451163.
Buku tsb merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya
serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den
Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen,
bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak
dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in
the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan
seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan
mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan* *Russell Jones, review on Chinese Muslims in
Java in the 15th and 16th Centuries written by H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the
School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987), hlm. 423-424.
Prof. Dr. Tujimah, Guru Besar dalam Bahasa Arab dan Sejarah Islam di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, juga
tidak sependapat atas kesimpulan yang mengatakan bahwa para wali adalah keturunan Cina. Beberapa alasan yang
dikemukakan adalah:
1. Sumber-sumber dari kesimpulan itu dari Babad Tanah Jawi, Serta Kanda, Kronik Cinta Semarang dan Talang
yang belum banyak dipakai sarjana.
2. Prof. Slamet Mulyana mendapat sumber dari tangan ketiga (dua orang) yaitu lewat Residen Poortman dan Ir.
Parlindungan.
3. Sumber-sumber babad itu penuh dengan dongeng dan legenda.
4. Sumber-sumber Portugis yang ada digunakan
5. Lebih memberatkan dan menerima 100% sumber Cina, atau membesar-besarkan pengaruh Cina.
6. Mungkin ada nama-nama pribumi asli yang dibaca atau ditulis menurut Lidah Cina. Pengaruh setiap bahasa dan
lidah sesuatu bangsa lain memungkinkan terjadi penyesuaian ejaan, seperti khabar menjadi kabar (bahasa Arab),
lebih-lebih pendatang baru bangsa Cina yang disebut tokelja, sabar menjadi sabal, dan sebagainya. Akhirnya
terjadilah seperti yang dikira, terdapat nama-nama yang berubah dari nama asalnya, seperti di dalam naskah
Poortman, Kertabumi menjadi King ta Bu Mi, Su Hi Ta menjadi Su King Ta, Trenggana menjadi Tung Ka Lo,
Mukmin (putra Trenggana) menjadi Muk Ming, Sunan Bonang menjadi Be Nang, Ki Ageng Gribig menjadi Na Pao
Cing, Aceh menjadi Ta Cih, Bintoro menjadi Bing To Lo, Bangil menjadi Jiaotung, Majakerta menjadi Jangki,
Palembang menjadi Ku Kang, Sultan tayyib menjadi Too Yat, dan sebagainya. Ternyata banyak nama-nama
Indonesia yang diberi nama dengan bahasa Tionghoa.
7. Salah satu kelemahan, antara lain ialah Sunan Gunung Jati diidentifikasikan dengan Toh A Bo, dalam bukunya
Prof. Slamet Mulyana hal. 219. tetapi pada halaman 220 dikatakan bahwa Tung Ka Lo (trenggana mempunyai dua
orang putra, yaitu muk Ming (Pangeran Mukin atau Pangeran Prawoto) dan putra kedua pangeran A Bo dinyatakan
dalam Babat Tanah Jawi bahwa dia menjadi Bupati Madiun. Jika Panglima Perang Demak pada tahun 1526, yang
berhasil membawa kemenangan sama dengan Panglima Perang yang dikirim ke Majapahit pada tahun 1527, maka
Panglima Perang yang memimpin armada Demak ke Cirebon dan ke Sunda Kelapa adalah Toh A Bo Putra Tung Ka
Lo sendiri. Dengan demikian, maka Toh A Bo identik dengan Fatahillah. Demikianlah tulis Prof. Dr. Slamet Mulyana.
Tetapi pada halaman 224 Prof. Slamet Mulyana menulis lagi bahwa Fatahillah sebagai Sultan Banten / Cirebon dan
Ipar sultan Trenggana, dan pula menjadi Sultan Cirebon / Banten. Inilah kejanggalannya, bahwa Fatahillah
disamakan dengan Toh A Bo, yang menjadi putra Sultan Trenggana dan sekali itu juga menjadi ipar Sultan
Trenggana. Juga menjadi Bupati Madiun dan juga menjadi Sultan Cirebon / Banten. Apakah bisa? Aneh bukan, satu
oknum menjadi putra dan sekaligus menjadi ipar Sultan Trenggana, juga menjadi Bupati Madiun dan juga menjadi
Sultan Cirebon / Banten.
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa
atau tempat lainnya, namun tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada
merupakan asal-muasal kturunan langsung mereka yang adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi
yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut:
* L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya
Le Hadhramout et les colonies arabes dans larchipel Indien (1886)[6] mengatakan:
Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan
perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini,
walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh
pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).
* van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan
Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai
jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesarpembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar
mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut)
membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti
jejak nenek moyangnya.
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran
sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat
kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus,
Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafii, sama seperti mayoritas di Srilangka,
pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan
dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafii bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti
mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan
lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan
Indonesia. Kitab fiqh Syafii Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari
Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut
mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah
Islam yang menggabungkan fiqh Syafii dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama
menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar
Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin
Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13.
Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan
mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim
Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Para Ulama Ahli Nasab Bani Alawi merupakan ulama yang terpercaya & hanya mengesahkan data yang valid dalam
penulisan kitab nasab & sejarah mereka. Mereka mempunyai tanggung jawab yang berat di hadapan Allah dalam
menjaga nasab para keturunan Nabi Muhammad. Mereka sudah meneliti & mengesahkan nasab walisongo
bersambung ke Rasul.
Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar
Sakran, Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga
terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang
dan Sunan Gresik.
Bahkan ada 27 Kitab kuning Nasab yang membahas tentang jalur keluarga Walisongo yakni keluarga
masyarakat. Program pengentasan kemiskinan yang dilakukannya didasari pada tujuh prinsip yang dilambangkan pada jumlah
anak tangga ke makamnya. Ia juga menggunakan simbol-simbol Jawa dalam tembang "Pangkur" untuk berdakwah.
Sunan Kalijaga-lah yang dianggap paling lekat namanya dengan kebudayaan Jawa. Nama kecilnya adalah Raden Said. Ia
memelopori dihentikannya penggunaan simbol-simbol Arab dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa. Ia selalu memakai kain
panjang dari batik dan baju surjan dari lurik, serta blangkon yang khas Jawa.
Ajaran-ajarannya yang sarat dengan simbol budaya Jawa membuat Sunan Kalijaga sering "dituduh" sebagai pengajar
sinkretisme. Doa yang dibalut dalam tembang "Dandanggula" berjudul "Rineksa ing Wengi" sangat Islami, tetapi juga sangat
n-Jawa-ni. Ia sealiran dengan kakak iparnya, Sunan Bonang, dalam hal ajaran sufi berbasis salafi. Karya budayanya yang lain
adalah cerita wayang "Petruk Jadi Ratu", tradisi Grebeg Maulud, dan Layang Kalimasada.
Sunan Kalijaga yang berusia lebih dari 100 tahun mengalami masa akhir Majapahit dan awal Kerajaan Mataram. Ia
membangun Masjid Demak dan membantu Sunan Gunung Jati membangun Masjid Cirebon.
Generasi keempat adalah putera dari Sunan Kalijaga yaitu Sunan Muria dan putera dari Sunan Ngudung yaitu Sunan Kudus.
Sunan Kudus yang bernama kecil Raden Jaffar Siddiq hingga sekarang meninggalkan jejak kuliner yang dianut warga Kudus
dan Pati, yaitu berbagai makanan khas yang dibuat dari daging kerbau. Soalnya, pada waktu itu Sunan Kudus melarang
penyembelihan sapi, satwa yang diberhalakan oleh warga Hindu. Pada perayaan Idul Adha pun yang disembelih sebagai
hewan kurban bukanlah sapi, melainkan kerbau. Kemungkinan dari sinilah asal usul sate dan soto Kudus yang berdaging
kerbau.
Sunan Muria yang bernama kecil Raden Umar Said mengikuti jejak ayahnya menjadi Wali yang sangat akrab dengan
masyarakat. Ia bahkan dipuja sebagai Wali-nya kaum papa. Ia hidup di tengah rakyat jelata, dan mengajari mereka cara
bercocok tanam yang lebih produktif. Ia juga merupakan jurudamai yang andal pada masanya. Ketika terjadi konflik internal di
Kerajaan Demak, ialah jurudamainya. Seperti ayahnya, ia juga menciptakan tembang-tembang Jawa "Sinom" dan "Kinanti"
untuk berdakwah.
Satu-satunya Wali yang tidak memiliki hubungan darah dengan Wali yang lain adalah Sunan Gunung Jati. Nama kecilnya
adalah Syarif Hidayatullah, putra Jamaluddin Akbar, seorang saudagar dari Gujarat yang dikenal sebagai seorang Sufi Agung
di Nusantara dengan nama Syekh Maulana Akbar. Ia menikah dengan Nyai Rara Santang, putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Pajajaran. Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya Walisongo yang berdarah Sunda.
Sunan Gunung Jati adalah perintis berdirinya Kerajaan Islam Banten yang kemudian dipimpin oleh putranya sebagai Sultan
Banten yang pertama. Sunan Gunung Jati sendiri kemudian hijrah ke Cirebon untuk melanjutkan syi'ar Islam, dan mendirikan
Kasultanan Cirebon sebagai Sultan Cirebon yang pertama.
Demikianlah secara ringkas yang sempat dikompilasi dari berbagai macam sumber seperti koran, buku, browsing internet
bahkan sekedar obrolan. Masih banyak para ulama bahkan sudah berda'wah sebelum jamannya para Walisongo.
Wali Songo : Benarkan mereka keturunan Nabi saw ?
Bermula silsilah wali songo ditemukan oleh sayid Ali bin Jafar Assegaf pada seorang keturunan bangsawan Palembang. Dalam
silsilah tersebut tercatat tuan Fakih Jalaluddin yang dimakamkan di Talang Sura pada tanggal 20 Jumadil Awal 1161 hijriyah, tinggal
di istana kerajaan Sultan Muhammad Mansur mengajar ilmu ushuluddin dan alquran. Dalam silsilah tersebut tercatat nasab seorang
Alawiyin bernama sayid Jamaluddin Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath,
yang mempunyai tujuh anak laki. Di samping itu tercatat pula nasab keturunan raja-raja Palembang yang bergelar pangeran dan raden,
nasab Muhammad Ainul Yaqin yang bergelar Sunan Giri.
Mendengar adanya silsilah wali songo tersebut, Dr. Gobbe dari Voor Inlandsche Zaken mendesak akan mengambilnya, tetapi sayid Ali
bin Jafar Assegaf mengelak dan mengatakan bahwa silsilah tersebut tidak ada. Sebelum wafat, beliau berpesan agar apapun yang
berkenaan dengan silsilah dan hasil sensus Alawiyin yang telah dilaksanakannya agar dijaga dengan baik.
Sebagaimana telah diketahui bahwa keturunan Alawiyin yang berada di Indonesia berasal dari Hadramaut. Imam Alwi bin
Muhammad Shahib Mirbath dijuluki Ammu al-Faqih, dikaruniai 4 orang anak lelaki, masing-masing bernama Abdul Malik, Abdullah,
Abdurahman dan Ahmad. Dari Abdul Malik inilah, yang keturunannya dikenal dengan al-Azhamat Khan, menurunkan leluhur wali
songo di Indonesia.
Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam pada tahun 574 hijriyah. Ia meninggalkan Hadramaut pergi ke India bersama para sayid
Alawiyin. Di India ia bermukim di Nashrabad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki, diantaranya sayid Amir Khan Abdullah.
Sayid Amir Khan mempunyai anak bernama Amir al-Muazhom Syah Maulana Ahmad. Beliau dikarunia anak bernama Jamaluddin
Husein yang datang ke pulau Jawa dari Kamboja., Jamaluddin Husein hijrah ke Jawa bersama ketiga saudaranya yaitu syarif
Qamaruddin, syarif Majduddin dan syarif Tsanauddin pada akhir abad ke 7 hijriyah.
Di Kamboja Jamaluddin Husein menikahi anak seorang raja di negeri itu dan mempunyai anak yang diantaranya bernama Ali Nurul
Alam dan Ibrahim al-Ghazi (Ibrahim Asmoro). Menurut sayid Ahmad bin Abdullah Aseggaf dalam kitabnya Chidmah al-Asyirah, Ali
Nurul Alam dikarunia anak bernama Abdullah. Dari Abdullah inilah dikarunia anak bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Sedangkan Ibrahim al-Ghazi bersama ayahnya meninggalkan negerinya ke tanah Aceh. Di Aceh beliau menggantikan ayahnya
dalam kegiatan menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Sedangkan ayahnya Jamaluddin Husein meneruskan perjalanan ke
tanah Jawa. Mereka mendarat di pesisir pantai Semarang, kemudian melalui jalan darat tiba di Pajajaran. Saat itu adalah akhir masa
raja-raja Pajajaran yang kekuasaannya berpindah ke tangan Majapahit. Dari Pajaran Jamaluddin Husein melanjutkan perjalanannya ke
Jawa Timur dan tiba di Surabaya. Ketika itu Surabaya masih merupakan sebuah desa kecil, tidak banyak penduduknya, dikelilingi
oleh hutan dan sungai. Pada masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel. Di desa itulah sayid Jamaluddin Husein menetap.
Setelah satu setengah tahun di Ampel, bersama para pengikutnya beliau melakukan perjalanan ke Sulawesi dan setibanya di tanah
Bugis, beliau wafat di kota Wajo.
Ibrahim al-Ghazi yang berada di Aceh sering melakukan perjalanan ke negeri Kamboja dan menikah di sana. Beliau dikarunia dua
orang anak yaitu Maulana Ishaq dan Maulana Rahmatullah (Sunan Ampel). Maulana Ishaq kemudian menyebarkan agama Islam di
tanah Malaka, Penang dan Riau. Sayid Maulana Ishaq kemudian pindah ke Banyuwangi. Beliau dinikahkan oleh salah seorang puteri
raja Blambangan. Dari perkawinannya Maulana Ishaq mempunyai seorang anak bernama sayid Ainul Yakin (Sunan Giri/Raden Paku).
Di antara keturunan beliau adalah KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Sunan Ampel dikarunia anak bernama Maulana Hasyim (Sunan Drajat), Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Maulana Jafar
Shadiq (sunan Kudus) dan Ahmad Hisan (Sunan Lamongan)
Adapun wali songo yang lain seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Kali Jaga dan Sunan Muria, menurut beberapa pendapat
bukanlah keturunan Muhammad Shahib Mirbath. Menurut beberapa pendapat dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim keturunan
dari Zainal Abidin bin Husein. Pendapat lain mengatakan beliau dari kota Kasyan, Persia. Begitu pula dengan silsilah Sunan Kali Jaga
terdapat perbedaan di kalangan para pakar sejarah wali songo. Sebagian mengatakan, bahwa ia seorang dari suku Jawa asli. Sebagain
pakar lain mengatakan bahwa ia bernama Zainal Abidin putra Sunan Ampel. Sama halnya dengan Sunan Muria, ada yang mengatakan
ia anak dari Sunan Kali Jaga dan penfapat lain mengatakan bahwa ia berasal dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib.
Berkata al-Hafidz al-Sakhawi dalam kitab al-Ajwibah al-Mardhiyah, diriwayatkan oleh Abu Musab dari Malik bin Anas, : Siapa
yang menyambung nasabnya kepada keluarga Nabi saw (dengan cara yang bathil) maka orang tersebut harus diberi hukuman
dengan pukulan yang membuat dia bertobat karenanya.
Dari Said bin Abi Waqqas, Rasulullah saw bersabda :
Siapa yang mengaku bernasab kepada yang bukan ayahnya di dalam Islam, sedangkan ia mengetahui bahwa itu bukan
ayahnya, maka surga haram baginya.
Dalam kitab Nihayah al-Arab, syekh al-Qalqasyandi berkata :
Bukan rahasia lagi bahwa mempelajari ilmu nasab, ada hal yang difardhukan bagi setiap orang, ada yang tidak, dan ada
pula yang dianjurkan. Misalnya mengenali nasab nabi kita, mengenali nasab-nasab orang lain dan agar tidak salah dalam
memberlakukan hukum waris, wakaf maupun diyat. Seseorang yang tidak mempelajari ilmu nasab, sudah pasti ia akan salah
bertindak terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas.
Dengan demikian jelaslah bahwa ilmu nasab adalah suatu ilmu yang agung yang berkaitan dengan hukum-hukum syara. Siapa saja
yang mengatakan bahwa mempelajari ilmu nasab itu tidak memberi manfaat dan tidak mengetahuinya pun tidak membawa mudarat,
maka sesungguhnya mereka telah menghukum diri mereka sendiri melalui syetan yang selalu memperdayanya dengan menghiasi
amalan mereka.
Ditulis dalam Nasab/Silsilah
Istilah di kalangan ulama ahli nasab
Dalam kitab Risalah al-Mustholahat al-Khossoh bi al-Nassabin fi Bayan Isthilahat al-Nasabah li Badi Ulama al-Nasab dan
kitab lainnya seperti Jami al-Duror al-Bahiyah karangan syaikh Dr. Kamal al-Huut ketua perkumpulan Sadah al-Asyraf
Libanon[1], dijelaskan beberapa istilah yang digunakan oleh para ulama nasab, yaitu :
a. Shahih al-Nasab.
Nasab yang telah ditetapkan kebenarannya di sisi ulama nasab berdasarkan bukti-bukti dan naskah-naskah asli yang
terkumpul pada ulama ahli nasab yang amanah, wara dan jujur.
b. Makbul al-Nasab.
Nasab yang telah ditetapkan kebenarannya pada sebagian ulama nasab tetapi sebagian lain menentangnya. Maka syarat
diterimanya nasab tersebut harus melalui kesaksian dua orang yang adil.
c. Masyhur al-Nasab.
Nasab yang dikenal melalui gelar atau kedudukannya, akan tetapi nasabnya tidak dikenal. Di sisi ulama, nasabnya dikenal
sedangkan pada kebanyakan orang nasabnya tidak dikenal karena adanya perselisihan satu sama lain.
d. Mardud al-Nasab.
Nasab yang disandarkan kepada satu qabilah/family, pada kenyataannya orang itu tidak menyambung nasabnya kepada
qabilah/family tersebut, dan qabilah/family tersebut menolaknya. Maka statusnya termasuk golongan nasab yang ditolak di
sisi ulama nasab.
e. Fulan Daraja.
Wafat tanpa meninggalkan anak.
f. Aqbuhu min Fulan/al-aqbu min Fulan.
Anak cucunya berasal dari fulan.
g. Fulan aqab min fulan.
Anak cucunya tidak berasal dari fulan tetapi dari anak yang lain.
h. Fulan aulad/walad.
Fulan mempunyai keturunan.
i. Fulan Inqorodh.
Fulan tidak mempunyai anak cucu/terputus.
j. Fulan Ariq al-Nasab.
Fulan ibu dan neneknya (dari ibu) berasal dari keluarga ahlu bait Rasulullah saw.
k. Huwa lighoiri Rosydah.
Fulan dilahirkan dari nikah yang rusak. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Baihaqi dari Ibnu
Abbas, Rasulullah saw bersabda : Siapa yang bersambung nasabnya kepada anak yang nikahnya rusak, maka dia tidak
berhak mewarisi dan diwarisi.
l. Huwa min al-Adiyah.
Fulan adalah anak angkat seorang lelaki. Nasabnya kembali kepada bapak aslinya.
m. Ummuhu Ummu al-Walad.
Ibu dari fulan adalah seorang jariyah (budak wanita).
n. La Baqiyah Lahu.
Keturunan fulan habis/musnah.
o. Usqith.
Fulan tidak ditemukan nasabnya sebagai ahlu bait dikarenakan nasabnya tidak menyambung.
[1] Syaikh Dr. Kamal al-Huut, Jami al-Duror al-Bahiyah li Ansab al-Qurosyiyin fi al-Bilad al-Syamiyah, hal. 19.
d. Istiqamah (konsisten) dalam menghadapi setiap masalah, jika ia telah menetapkan nasab seseorang keturunan Rasulullah saw
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan dan tidak melanggar aturan agama, mengkaji pendapat lingkungan, apalgi
pendapat tersebut tidak mempunyai dasar dan fakta, serta tidak dapat dipertanggungjawabkan.
d. Seorang yang berkecimpung di bidang nasab haruslah orang yang benar-benar mengetahui ilmu nasab dan mempunyai ingatan
yang kuat dan baik, mempunyai analisa yang luas dan mendalam seputar nasab, selalu menguasai dan menyandarkan
pengetahuannya kepada syariat dan hukum Islam terutama hukum-hukum yang berkenaan dengan ahlu bait Rasusulullah
saw.
e. Bersikap penuh dengan kehati-hatian, cermat dan teliti dalam berpikir, tidak tergesa-gesa dan mudah membuat keputusan
tanpa pertimbangan yang matang.
f. Mempunyai jiwa yang besar dan tegar, agar tidak mudah cemas dalam menghadapi persoalan nasab, supaya tidak
membawanya kearah kebatilan dan menjauhkan diri dari kebenaran.
g. Mempunyai tulisan yang bagus, karena seorang ahli nasab tidak pernah jauh dari urusan tulis menulis seputar silsilah keluarga
Rasulullah saw.
Cara menetapkan nasab
a. Yang bersangkutan adalah anak kandung, anak hasil hubungan perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang sah menurut
agama Islam. Rasulullah saw bersabda, Dinamakan anak kandung karena hasil dari hubungan sah laki-laki dan perempuan
berdasarkan syariat, sedangkan untuk anak hasil zina/pelacuran maka nasabnya adalah batu.
b. Kesaksian yang didapat berdasarkan syariat yaitu kesaksian dari dua orang laki-laki, beragama Islam, sehat rohani, mampu
berpikir, dikenal keadilannya. Khusus untuk syarat dua orang saksi yang adil, ia menyaksikan bahwa benar anak itu adalah
anak kandung orang tuanya, atau menyaksikan bahwa anak itu adalah hasil dari perkawinan yang sah, atau menyaksikan
bahwa anak itu sudah dikenal dan tidak diragukan lagi oleh masyarakat bahwa ia adalah anak kandung orang tuanya.
c. Adanya ketetapan atau keputusan dalam majlis hukum yang menyatakan bahwa anak tersebut benar anak kandung dari orang
tuanya.
d. Sudah terkenal dan tersiar luas, sebagaimana Imam Abu Hanifah berkata, Dengan terkenal dan tersiar luas maka nasab,
kematian dan pernikahan dapat ditetapkan. Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata, Telah sepakat ulama atas sahnya kesaksian
mengenai nasab dan kelahiran seseorang, karena nasab atau kelahirannya dikenal atau tersiar luas di kalangan masyarakat.
Berkata Ibnu Mundzir, Saya tidak mengetahui ada ulama yang menolak hal itu.
e. Datangnya seorang pemohon nasab dengan membawa nama ayah dan kakeknya dengan berbagai keterangan dari sisi sejarah
dengan kesaksian yang terkenal dari para ulama atau hakim yang tsiqat mengenai kebenaran nasabnya.
Ibnu Qudamah. Al-Mughni, jilid 12 hal. 21.
Perhatian Khalifah terhadap silsilah keturunan Nabi saw
Yang pertama menuliskan silsilah keturunan di dalam buku khusus mengenai nasab ialah khalifah Umar bin Khattab yang
mencatat dengan urutan pertama mulai dari keturunan bani Hasyim satu persatu baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian
barulah berikutnya khalifah Umar bin Khattab menggolongkan bangsa Arab, kemudian bangsa-bangsa lainnya yang masih
mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah saw.
Dalam kitab Ahkam al-Sulthaniyah karangan Mawardi dan kitab Futuh al-Buldan karangan Baladzuri, yang diriwayatkan oleh
al-Syabi bahwa :
Umar bin Khattab berkata, bahwa sesungguhnya sudah seharusnya bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang
memang berhak menerimanya. Maka berkata orang-orang yang hadir, Betul, engkau telah berbuat itu pada tempatnya, hai
amirul muminin. Lalu Umar bin Khattab bertanya : kepada siapakah aku harus memulai ? Mereka menjawab : mulailah
dengan dirimu sendiri. Berkata Umar bin Khattab : Tidak, tetapi aku akan menempatkan diriku di tempat yang Allah telah
tetapkan baginya, dan aku akan mulai pertama kali dengan keluarganya Rasulullah saw. Maka ia melaksanakan hal itu.
Selanjutnya al-Syabi meriwayatkan :
Maka Umar bin Khattab memanggil Aqil bin Abi Thalib, Mahramah bin Naufal dan Zubair bin Muthim, yang ketiganya
terkenal sebagai ahli nasab bangsa Quraisy. Berkata Umar kepada mereka : Tuliskanlah olehmu menurut tingkatannya
masing-masing. Lalu mereka mulai menulisnya pertama kali dari keturunan bani Hasyim, kemudian Abubakar dan
kaumnya, kemudian Umar bin Khattab dan kaumnya sebagaimana susunan khilafat. Tatkala Umar melihat itu, maka berkata
: Demi Tuhan, sebenarnya saya lebih menyukai penulisan keturunan yang semacam ini, tetapi lebih baik lagi jika engkau
mulai dari keluarga Nabi Muhammad saw saja, dan yang paling dekat, dan yang paling terdekat, hingga engkau letakkan
Umar di tempat yang Allah swt telah tentukan baginya.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab berkata :
Demi Allah, kita tidak sampai kepada kesempurnaan di dunia ini, dan kita tidak mengharap balasan pahala atas perbuatan
kita, melainkan sebab Muhammad saw, karena beliau yang menjadikan kemuliaan pada diri kita, dan kaumnya adalah yang
paling mulia di antara bangsa Arab, kemudian yang paling dekat dan paling terdekat. Demi Tuhan, meskipun yang bukan
Arab jika datang dengan membawa amal, sedang kita datang tanpa membawa amal, niscaya mereka (yang bukan Arab)
lebih utama bagi Muhammad saw daripada kita di hari kiamat, karena siapa saja yang mengurangkan amal atas dirinya,
tidaklah keturunannya akan bisa mengejar kepadanya.
Khalifah selanjutnya berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab hingga kepada pemerintahan Abbasiyah
yang mengkhususkan urusan nasab dengan mendirikan kantor dalam hal pencatatan nasab yang dipimpin oleh seorang kepala
(Naqib). Bani Abbas, bani Thalibiyin yaitu keturunan dari Abi Thalib masing-masing dipimpin oleh seorang Naqib. Begitu pula
untuk keturunan para syarif, yaitu keturunan dari Hasan dan Husein di setiap kota dipimpin pula oleh seorang Naqib yang salah
satu kewajibannya adalah menjaga dengan sebenar-benarnya keturunan nabi Muhammad saw.
Syabki al-Nasab karangan Tajuddin Ibnu Majjah, dan kitab Umdah al-Thalib al-Sughra karangan sayid Ahmad bin Anbah alHuseini, kitab Tuhfah al-Tholib, al-Mujdi, dan Tuhfah al-Azhar Fi Ansab Aali Nabiy al-Mukhtar karangan sayid Dhamin bin
Sadqam. Begitu juga dengan kitab Umdah al-Thalib al-Kubra karangan sayid Ahmad bin Anbah al-Huseini telah dicetak. Kitab
Raudah al-Albab Fi Marifah al-Ansab karangan syarif Abi Alamah al-Muayyad al-Yamani merupakan kitab yang sangat penting
berisi uraian tentang asal usul keturunan sayid dan bangsa Arab di Yaman dan Hadramaut.
Lebih dari seratus ahli sejarah, ahli fiqih dan ulama di Yaman Hadramaut yang telah menulis keturunan ahli bait, khususnya
keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir. Diantaranya Imam Abu Hafs bin Sumrah al-Yamani dengan kitanya yang berjudul Tabaqat
Fuqaha al-Yaman, Imam Husein bin Abdurrahman al-Ahdal dengan kitabnya Tuhfah al-Zaman Fi Tarikh al-Yaman, Abbas bin
Ali al-Rasuli dengan kitabnya al-Athaya al-Saniyah, syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Chatib al-Anshari dengan kitabnya
al-Jauhar al-Syaffaf.
Di kalangan Alawiyin terdapat kitab al-Jawahir al-Saniyyah Fi Nasab al-Ithrah al-Huseiniyyah karangan sayid Ali bin
Abubakar al-Seqqaf, sayid Ahmad bin Husein bin Abdurrahman al-Alawi, sayid Abdullah bin Syech bin Abdullah Alaydrus,
kitab-kitab karangan mereka disempurnakan lagi melalui kitab yang dikarang oleh sayid Abdullah bin Ahmad bin Husein
Alaydrus, sayid Abdurrahman bin Muhammad Alaydrus, sayid Abdullah bin al-Faqih Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi,
sayid Abdullah bin Ahmad al-Faqih, sayid Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih dalam kitabnya al-Ithaf Bi Nasab al-Sadah alAsyraf, sayid Ali bin Syech bin Syahabuddin, sayid Abdullah bin Husein Bin Thahir, sayid Ali bin Abdullah bin Husein Bin
Syahab, sayid Umar bin Abdurrahman bin Syahab dan yang paling akhir adalah kitab Syamsu al-Zhahirah karangan sayid
Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur yang terdiri dari tujuh jilid. Kebanyakan dari kitab tersebut masih dalam bentuk
tulisan tangan dan hanya beberapa saja yang sudah dicetak seperti kitab Syamsu al-Zhahirah.
Perhatian Ulama terhadap silsilah keturunan Nabi saw
Ahlu Bait Rasulullah saw menurut bahasa dan istilah
di sebelah Tenggara, dan Val Demone di bagian Timur Laut. Beberapa kotanya yang penting adalah Syracuse, Castrogiovanni, dan
Palermo. Kota-kota di pulau ini serta di wilayah Eropa lainnya pada masa itu umumnya berbenteng, untuk berjaga-jaga dari
kemungkinan serangan musuh.
Sejarah pulau ini telah dimulai beberapa abad sebelum masehi. Pada awalnya pulau ini dihuni oleh orang-orang yang
menyeberang dari Selatan Italia. Mereka disebut sebagai orang-orang Siculi atau Sicani. Dari sinilah berkembang nama Sisilia
(Sicily). Penguasaan pulau ini berpindah-pindah dalam beberapa abad mulai dari Yunani, Cartage, Romawi, Vandals, dan Byzantium,
sebelum kemudian dikuasai oleh kaum Muslimin.
Serbuan bangsa Gothic dan Hunic pada abad ke-5 dan setelahnya telah meruntuhkan Imperium Romawi Barat dan melemahkan
Romawi Timur atau Byzantium. Sementara itu, sebuah kekuatan baru, yaitu Islam, muncul dan menyebar dengan cepat dari Jazirah
Arabia sejak abad ke-7. Pada saat penyebaran kaum Muslimin mencapai Afrika Utara, Semenanjung Italia dikuasai oleh bangsa
Lombard, sementara Sisilia tetap berada di bawah kekuasaan Byzantium.
Pada bagian akhir paruh pertama abad ke-7, pasukan Muslim dengan kecepatan yang tinggi berhasil mengambil alih Iraq, Syria,
dan Mesir dari tangan Byzantium. Secara bertahap tapi pasti, Islam terus menyebar ke seluruh wilayah Afrika Utara. Antara tahun
642-643, penduduk Sisilia ikut merasakan kuatnya gelombang penaklukkan Islam yang dipimpin oleh Amr bin Ash, karena
banyaknya orang-orang Kristen yang mengungsi ke pulau ini dari Tripoli.
Pada tahun 652, Muawiyyah bin Abu Sufyan yang pada saat itu merupakan Gubernur Syria mengutus Muawiyyah bin Khudaij
untuk menyerang Sisilia. Sejak itu, lebih dari sepuluh kali serangan dilakukan oleh kaum Muslimin terhadap pulau ini tanpa ada hasil
yang signifikan. Sayangnya, banyak serangan awal ke pulau ini lebih ditujukan untuk mendapatkan pampasan perang ketimbang
upaya untuk menguasai serta membangun peradaban di atasnya. Bagaimanapun juga, kaum Muslimin dan pihak Byzantium pada
masa itu memang sedang dalam keadaan aktif berperang.
Pada tahun 750, Dinasti Umayyah berganti dengan Dinasti Abbasiyyah. Terhadap wilayah Tunisia dan sekitarnya, pihak
Abbasiyyah menunjuk Dinasti Aghlabiyyah sebagai gubernur di sana. Pada tahun 827, Sisilia mengalami konflik internal. Euphemius,
seorang komandan Angkatan Laut dan bangsawan Sisilia bersitegang dengan Kaisar Byzantium. Ia pergi ke Tunisia ketika itu
bernama Ifriqiyya dan mengundang kaum Muslimin untuk masuk dan merebut pulau tersebut dari tangan Byzantium. Upaya
penaklukkan segera dijalankan. Asad bin Furat, seorang fuqaha masyhur madzhab Maliki, dipercaya untuk memimpin sekitar 10.000
mujahidin bagi penaklukkan pulau ini. Pasukan mendarat di kota Mazara dan penaklukkan pun dimulai.
Penaklukkan wilayah yang tidak terlalu besar ini rupanya tidak berjalan mudah. Dibutuhkan waktu 75 tahun sebelum Sisilia
takluk sepenuhnya ke tangan Islam. Hal ini antara lain terjadi karena gigihnya pertahanan penduduk Kristen setempat di balik
benteng-benteng kota mereka. Kondisinya jauh berbeda dengan Andalusia yang berhasil ditaklukkan dalam waktu yang begitu
singkat.
Kaum Muslimin kemudian menjadikan Palermo sebagai ibu kota mereka. Pemerintahan yang relatif independen dijalankan dan
peradaban Islam mulai dibangun di pulau ini, sementara proses penaklukkan masih terus berjalan. Bukan hanya Sisilia, sebagian
Semenanjung Italia, terutama bagian Selatan dan Utaranya, juga sempat jatuh ke tangan kaum Muslimin. Bahkan di wilayah Bari dan
sekitarnya, antara tahun 841 dan 871, Mufarraj bin Salam sempat menegakkan sebuah pemerintahan Islam yang independen.
Beberapa Paus di Roma pada masa-masa ini, antara lain John VIII, mau tak mau harus membayar jizyah kepada kaum Muslimin.
Tahun 909 terjadi revolusi Syiah Ismailiyyah di Afrika Utara dan Dinasti Fathimiyyah pun berdiri. Pada tahun yang sama Sisilia
juga berhasil direbut oleh Fathimiyyah. Namun beberapa tahun kemudian, Dinasti Kalbite dipercaya sebagai gubernur yang otonom di
pulau ini. Kendati politik pemerintahan di Sisilia dikendalikan oleh kaum Syiah, namun tradisi intelektual dan keagamaan tetap
didominasi oleh kaum Sunni. Banyak ulama dan ilmuwan dalam berbagai bidang, seperti Fiqh, Tafsir Al-Quran, Hadits, Bahasa
Arab, Sastra, dan lainnya, datang menetap atau lahir di pulau ini.
Sumbangan kaum Muslimin di bidang pertanian dan pertambangan juga sangat signifikan. Mereka membangun sistem irigasi
yang sangat bagus. Orang-orang Kristen di pulau tersebut serta orang-orang Eropa secara umum mempelajari dari mereka cara
membudidayakan beberapa jenis tanaman seperti tebu, mulberi, papyrus, kapas, jeruk dan anggur. Keberadaan kaum Muslimin di
Sisilia telah mendorong terjadinya sebuah perubahan revolusioner dalam bidang agraria serta ekonomi industri di pulau tersebut.
Mereka menjadikan Sisilia sebagai sebuah pasar internasional dan orang-orang Kristen dari Italia diperlakukan sama dengan para
pedagang dan konsumen dari wilayah-wilayah Muslim lainnya. Di bidang industri, mereka memproduksi emas, belerang, raksa,
antimoni, dan tawas.
Sayangnya mulai tahun 1040-an, terjadi kekacauan politik di pulau ini dan kekuasaan kaum Muslimin terpecah-pecah di antara
beberapa bangsawan setempat. Pada tahun 1060, Ibn Thumna yang berambisi menguasai seluruh Sisilia mengalami kekalahan. Persis
sebagaimana yang pernah dilakukan Euphemius, ia mengundang penguasa baru di Italia, yaitu Roger dan Rober Guiscard yang
berasal dari Norman, untuk masuk dan merebut Sisilia. Maka kekuasaan kaum Muslimin secara politik pun berakhir di pulau tersebut.
Tapi apakah kebudayaan mereka serta merta lenyap dengan masuknya penguasa Kristen? Kita akan membahas ini pada pembahasan
berikutnya insya Allah.
Tags: artikel
Prev: Sisilia: Sultan-Sultan yang Dibaptis [Bagian 2-Selesai]
Next: Silsilah Nabi saw. dan Sahabat ra.
Diambil dari: Sang Penakluk Andalusia oleh Alwi Alatas (Penerbit Zikrul Hakim, 2007)
Tags: artikel
Prev: Silsilah Nabi saw. dan Sahabat ra.
Next: Kasus Jilbab (Bagian 3 - Habis)
reply share