10100104015
Preceptor :
Hj. Ummie Wasitoh, dr., SpPD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Penyakit jantung koroner ialah suatu penyakit yang sangat umum terjadi dan
merupakan penyebab kematian nomor satu di negara-negara maju. Di Indonesia dengan
makin berkembangnya tingkat kesejahteraan masyarakat sejalan dengan lajunya
pembangunan, sudah dapat diramalkan penyakit ini juga akan menjadi penyebab
kematian nomor satu.
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1992 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama di Indonesia
terutama di kota besar adalah penyakit kardiovaskuler. Sedangkan SKRT yang dilakukan
pada tahun 1972, penyakit kardiovaskuler baru menduduki urutan ke 11.
Operasi jantung koroner yang dilakukan di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta
mencapai lebih dari 200 kasus pada tahun 1992 dibandingkan hanya 20-30 kasus pada
tahun 1984. Ini belum termasuk kasus-kasus yang berobat di luar negeri dan angioplasti.
Di Rumah Sakit Jantung Rajawali Bandung, kasus penyakit jantung koroner yang
berupa infark miokard pada tahun 1992 meningkat menjadi rata-rata 1,5-2 kasus per hari,
dibandingkan 0,5-1 kasus per hari pada tahun 1990.
1.2. Epidemiologi
Data penelitian Framingham di Amerika Serikat yang didapat pada tahun 1950
dan 1960 menunjukkan bahwa dari empat pria dengan angina, satu orang akan
mengalami infark miokard dalam waktu 5 tahun. Sedangkan untuk wanita resikonya
hanya setengah dari itu.
Penelitian menunjukkan pula bahwa penderita yang simtomatis prognosisnya
lebih daripada yang penderita yang asimtomatis. Data saat ini menunjukkan bahwa bila
penderita asimtomatis atau dengan simtom ringan, kematian tahunan pada penderita
dengan pada satu dan dua pembuluh darah koroner adalah 1,5 % dan kira-kira 6 % untuk
lesi pada tiga pembuluh darah koroner. Kalau pada golongan terakhir ini kemampuan
latihan (exercise capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini tidak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi
Sindroma koronaria akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan
iskemia miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
(ST segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi
segmen ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina
pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan
erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum
yang mengalami nekrosis.
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP)
dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi
yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium,
sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.
2.2.
Faktor Resiko
Dewasa ini ditemukan banyak faktor yang saling berkaitan dalam mempercepat
proses aterogenik. Telah ditemukan beberapa faktor yang dikenal sebagai faktor risiko
yang meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya aterosklerosis koroner pada individu
tertentu. Ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu : usia, jenis
kelamin, ras dan riwayat keluarga. Faktor-faktor risiko tambahan lainnya masih dapat
diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor risiko
tersebut adalah merokok, peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, gangguan toleransi
glukosa, dan obesitas.
2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal
dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida
adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang penting
sehubungan dengan aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak
larut dalam plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein,
yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya,
sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi
terdapat pada HDL.
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit
jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor
pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata
bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam darah mempunyai makna
klinis untuk terjadinya aterosklerosis.
3. Hipertensi
Peningkatan
tekanan
darah
sistemik
meningkatkan
resistensi
terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah.
Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan
tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan
hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung.
Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan
oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi,
akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark.
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah
akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).
4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di
bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar
menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya
LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada
umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.
2.3. Faktor Predisposisi
1. Hipertensi
Di samping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah
akibat tekanan tinggi yang lama. Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah.
2. Anemia
Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk
ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk
meningkatkan cardiac output. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di
jantung
meningkat.
Ketidakseimbangan
kebutuhan
dan
suplai
oksigen
berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis
bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang dapat
mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma
iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut
merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner.
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi
dengan
mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang
dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I.
Penyebab lain dapat berupa peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen
serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal.
LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi
sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi mauk ke dalam tunika
intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung
oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan
membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding
pembuluh darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak
memproduksi radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan
inflamasi dan imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih progresif. Kemudian
terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di
atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi
termasuk growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh
darah dan menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga,
sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication intermitten).
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala
klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi
inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga
menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan
berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur.
Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung
menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi
dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture)
terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple,
sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika
rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade
pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut
dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.
Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat
mencetuskan terjadinya infark.
Stable plaque
Stable angina
Trancient
ischemia
Unstable angina
Stunned myocytes
Hibernating myocytes
Myocardial remodeling
Sustained
ischemia
Myocardial
infarction
Myocardial
inflammation
and necrosis
berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang
menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut
berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan
dalam memulai trombosis yang intermitten, pada angina tak stabil.
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah
dan menyebabkan spasm. Spasm yang terlokalisir seperti pada angina Prinzmetal
juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasm seringkali terjadi pada
plak yang tak stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus.
Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel;
adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat
menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.
2.5.2. Infark miokard
Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi
nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas
plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti
yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI
trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang
lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan
kematian miosit. Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal
yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada
langsung di bawah endokardium (subendocardial MI).
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka
infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi
jantung yang parah (transmural MI). Secara klinis, MI transmural harus
diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus
mendapat terapi yang segera.
Jejas Selular
Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit
sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik
setelah hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non
fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit. Penelitian
menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai
oksigen. Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik
penurunan aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih
dingin. Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari
kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada metabolisme
aerob. Ion hidrogen dan asam laktat kemudian berakumulasi sehingga terjadi
asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang rendah dan
memiliki sistem buffer yang lemah. Asidosis menyebabkan miokardium menjadi
rentan terhadap kerusakan lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi
kontraktilitas dan fungsi konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung.
Kekurangan oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara
normal miokardium berespon terhadap kadar katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada sumbatan arteri yang signifikan, sel
miokardium melepaskan katekolamin sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi
simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung. Katekolamin merupakan
mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak dari sel tubuh.
Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma
dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid)
beban
jantung,
akibatnya
memperparah
penurunan
peningkatan
kadar
katekolamin
dan
memperparah
vasospasme koroner.
Kematian selular
Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas
hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan.
Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim
intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal.
Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke
pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.
Perubahan fungsional dan structural
Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan struktural
jantung. Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini.
Waktu
Perubahan Jaringan
setelah MI
6-12 jam
Tidak
ada
inflamasi;
slight pallor
2-4 hari
pelepasan
intraseluler
Tampak nekrosis; kuning-coklat di Enzim
enzim
proteolitik
glukosa
Area
soft,
lemak
10-14 hari
dengan
di
tengah,
6 minggu
Jaringan
parut
biasanya
komplit
berlanjut
Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi
sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa perubahan
EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau
adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam,
maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan
dari NSTEMI.
3.1.
keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma,
yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki terutama berusia > 35 tahun
atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih
lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh
makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas,
ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian
tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan
satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau
kedua lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau
pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina
yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih
lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal.
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai
muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali
tidak ada yang khas.
Pada tahun 1989, Braunswald menganjurkan dibuat kalsifikasi supaya ada
keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
Beratnya angina :
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya
nyeri dada.
Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi
tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
Klas III. Adanya serangan angina dalam waktu istirahat dan terjadinya secara akut
baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan Klinis :
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, ineksi lain atau
febris.
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor extra cardiac.
(ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24
jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat
kenaikan troponin.
CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam
48jam.
3.2.
pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan
dapat menetap sampai 3-4minggu.
3.2.3. Stratifikasi Risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan
penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan
terapi awal yang segera. Beberapa pendekatan untuk stratifikasi telah tersedia.
3.2.3.1.Skor TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi
risiko, dan angka faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini
berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada
empat penelitian dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah terobservasi
manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan low molecular weight
heparin (LMWH) versus unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP Iib/IIIa
receptor blocker tirofiban versus palcebo, dan strategi nivasif versus konservatif.
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel
menunjukkan penurunan keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam
memprediksi keluaran yang buruk pada pasien yang pulang.
Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
Usia 65 tahun
3 faktor risiko PJK
Stenosis sebelumnya 50%
Deviasi ST
2 kejadian angina 24 jam
Aspirin dalam 7 hari terakhir
Peningkatan petanda jantung
Tabel 1: Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
3.2.3.2.Penanda biologis (Biomarker) multipel untuk penilaian risiko
Inflamasi vaskular
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan
prekordial yang berdampingan atau 1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is
muscle.
3.3.1. Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari
jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi
hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas.
CKMB: menigkat setelah 3 jam bial ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat
pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 48 jam.
Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Biomarker
Berat molekul
Rentang waktu
Rerata waktu
Waktu kembali
(Da)
untuk
evaluasi
ke rentang
meningkat
puncak
normal
(nonreperfusi)
Sering di praktek klinik
CKMB
86000
3-12jam
24jam
48-72jam
cTnI
23500
3-12jam
24jam
5-10hari
cTnT
33000
3-12jam
12jam-2hari
5-14hari
Myoglobin
17800
1-4jam
6-7jam
24hari
86000
2-6jam
18jam
tidak diketahui
CKMB Tissue
Isoform
CKMM Tissue
Isoform
86000
1-6jam
12jam
3jam
Tabel 2. Biomarker Molekuler Untuk Evaluasi Pasien Infark Miokard dengan
Elevasi ST
Komplikasi STEMI
1. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara
klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri
mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark. Selanjutnya terjadi
pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan yang disproporsional dan
elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi
dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering
terjadi gagal jantung dengan prognosis yang buruk.
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
roentgen sering dijumpai kongesti paru.
3. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90%
ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivessel.
4. Infark ventrikel kanan
Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurangkurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas
primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda
gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmauls,
hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi
kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark
ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload
ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi
takanan arteri pulmonalis.
5. Aritmia pasien pasca STEMI
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam
mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi
ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan
hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI,
Definisi
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif
+ S3 dan / atau ronkhi basah
Edema paru
Syok kardiogenik
Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA
BAB IV
PENATALAKSANAAN
Mortalitas (%)
6
17
30-40
60-80
4.1.
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700
pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko infark sebesar
13% (p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi
seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol,
metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang
serupa.
4.1.2.3.Antagonis Kalsium
dihidropiridin
mempunyai
efek
vasodilatasi
lebih
kuat
dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif
juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan mengurangi infark
pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang,
pengurangan
afterload
memberikan
keuntungan
pada
golongan
nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis
kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi dengan beta-bloker.
4.1.2.4.Obat antiagregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan satu dasar dalam pengobatan UA maupun NSTEMI.
Tiga golongan obat antiplatelet seperti aspirin, tienopiridin dan GPIIb/IIIa inhibitor telah
terbukti bermanfaat.
4.1.2.4.1.
Aspirin
Tiklopidin
Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan
UA bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek
samping granulositopenia, dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang
lebih aman pemakaian tiklopidin mulai ditinggal.
4.1.2.4.3.
Klopidogrel
Glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir
pada proses agregasi platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3
macam obat golongan ini yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu
siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Tirofiban dan eptifibatid harus
diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-menerus atau
pasien risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab
disetujui untuk pasien dengan UA dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan
invasif di mana PCI direncanakan dalam 12 jam.
4.1.2.5.Obat antitrombin
4.1.2.5.1.
Unfractionated Heparin
pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak
ada serangan
Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu
istirahat
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan,
maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko
rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi
yang
membutuhkan
tindakan
invasif
segera,
revaskularisasi.
4.2.
dengan
kemungkinan
tindakan
Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi semen T dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
Terapi antiiskemia
Terapi antiplatelet/antikoagulan
4.2.2.1.Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah
dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin
menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaaan UN/NSTEMI. Sindrom resistensi
aspirin muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi dengan bervariasi sebagai
kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk
memperpanjang waktu pendarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi
aspirin. Pasien-pasien dengan resisitensi aspirin mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren.
Walaupun penelitian prospektif secara acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien
ini, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel, wlaaupun aspirin sebaiknya juga
tidak dihentikan.
4.2.2.2.Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada
permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya
pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina To
Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for The reduction of Events
During Observation (CREDO). Efek bermanfaat ditemukan unutk semua subkelompok,
termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST dan kelompok yang memiliki skor risiko
TIMI rendah. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan pendarahan mayor dan
minor, sejalan dengan kecenderungan peningkatan pendarahan yang mengancam jiwa
(life-threatening bleeding).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi sebagai obat
lini pertama (first-line drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi
pendarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan
pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi:
antbodi
antiheparin
mungkin
berhubungan
dengan
heparin-induced
Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih.
4.3.3.2.Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat
diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika
nyeri dada terus berlansungdapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan
untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat.
4.3.3.3.Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada
Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Morfin
Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-4mg dan
dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total 320mg.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2
dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan
EMG. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.
Penyekat Beta
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0.24detik
dan ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan
dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif
bila dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang
teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan
panjang yang lebih baik.
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan
dalam 30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat
patensi arteri koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu:
- Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh dinerikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens pendarahan
intracranial yang rendah.
- tissue plasmibnogen activator (tPA, alteplase)
Keuntungannya menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari
sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK.
Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan resiko pendarahan
intracranial lebih tinggi.
- Reteplase ( Retavasemencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan
resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1)
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Hanafi B. Trisnohadi, Idrus Alwi, S. Harun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
3.
Antman Elliot M., Braunwald Eugene. Chapter 227: Unstable Angina and nonST-Elevation Myocardial Infarction in Harrisons Principles of Internal
Medicine 16th edition. Braunwald, Fauci,Hauser, Jameson, Longo, Kasper.
2005. USA: McGraw Hill
4.
Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. Buku Ajar Kardiologi. 2004. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
5.
Shen, Demin. Penyakit Jantung Koroner. 1997. Bandung : Rumah Sakit Rajawali
6.