Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NYERI
2.1.1 Fisiologi Nyeri
Nyeri menurut International Association for the Study of Pain adalah pengalaman
sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan baik
aktual maupun potensial.22 Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan
yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang
cultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan
bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes laboratorium mengarahkan kita pada
kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi seperti orangtua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.23
Kata nosisepsi berasal dari kata noci dari bahasa Latin yang artinya harm atau injury
dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk menggambarkan respon
neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan nyeri meskipun
tidak ada stimulus noksius.24 Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun sensitisasi dari
nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius.
Berdasarkan lamanya nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri
akut dapat didefinisikan sebagai nyeri karena stimulus noksius karena ada kerusakan jaringan,
proses penyakit ataupun fungsi abnormal dari otot atau organ dalam (viscera). Biasanya bersifat
nosiseptif. Merupakan bentuk nyeri yang paling sering yang dihasilkan dari pasca trauma, paska
operasi dan nyeri obstetrik seperti halnya nyeri yang diasosiasikan dengan kondisi medis kritis
yang akut seperti miokard infark, pancreatitis dan calculi renal. Kebanyakan nyeri akut bersifat
terbatas atau akan sembuh dalam beberapa hari atau minggu. Apabila nyeri gagal untuk sembuh
karena atau akibat abnormal penyembuhannya atau karena pengobatan yang tidak adekuat, nyeri
menjadi kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap dialami lebih 3 bulan atau 6 bulan dari
sejak mulai dari dirasakan nyeri. Dapat bersifat nosiseptiv atau neuropatik ataupun gabungan
keduanya.25 Sedangkan tipe nyeri dapat dibagi menjadi nyeri somatik, nyeri visceral, dan nyeri
neuropatik. Nyeri somatik dideskripsikan sebagai sakit, menggerogoti, dan tajam dalam hal
kualitas. Secara umum dapat dilokalisasi dan diinisiasi oleh aktivasi nosiseptor di jaringan kulit
10

dan jaringan dalam. Contoh nyeri somatic termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang.
Nyeri visceral juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, khususnya infiltrasi, kompresi dan
distensi dari organ dalam. Biasanya dideskripsikan sebagai nyeri yang tumpul dan sukar
dilokalisasi dan bisa menyebar ke tempat lain. Misalnya nyeri perut yang disebabkan oleh
konstipasi. Sedangkan nyeri neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat
maupun periferl. Tertembak, sengatan listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan dengan latar
belakang timbulnya sensasi nyeri dan terbakar. Contohnya, neuropati diabetik dan neuralgia post
herpetic.26

2.1.2 Mekanisme Nyeri


A. Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut
Secara klinis nyeri dapat diberi label nosiseptif jika melibatkan nyeri yang berdasarkan
aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik (
seperti hal-hal yang mempengaruhi sensistisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif
terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses
yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.27
Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena
pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena
terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia
oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah
prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan
ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis.
Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang mempengaruhi di medula
spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan anterolateral dorsal horn untuk memulai
respon refleks segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui tract
spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal.
Respon refeks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan
spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam laktat.
Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan curah jantung sekuncup, kerja
jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih.

11

Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi


hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan meningkat.28

Gambar 1 Mekanisme Nyeri


B. Sensitisasi Perifer
Sensitivitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktivasinya dapat
dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui perubahan komposisi kimia dari
terminal dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi
perifer.29

C. Sensitisasi Sentral dan Modulasi


Sebagai akibat perubahan pada sensitivitas terminal nosiseptor perifer, penambahan
sinaps transmisi nosiseptif di dorsal horn dari medulla spinalis terjadi. Dan ini berkontribusi
untuk meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, yang dikenal sebagai sensitisasi sentral. Input
yang intensif dari nosiseptor ke medula spinalis memicu sensasi segera dari nyeri yang berakhir
selama waktu stimulus noksius dan merefleksikan aktivasi langsung dari hasil potensial aksi dari
saraf yang diproyeksikan. Beberapa input, bagaimanapun juga menginduksi aktivitas yang
bergantung kepada modulasi proses sensori di dorsal horn yang menghasilkan hipersensitivitas
terhadap nyeri.

12

D. Nosiseptor 26
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral
dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious
yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal,
nosiseptor tidakb aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk
melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak
(skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan
saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak
dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi.
Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa
menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah
kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut
berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas
kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu
dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya
bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk
transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan
produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan)
dihasilkan mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai
reseptor nyeri karena organ interj,gnal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak
stimulus yang merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan
pada struktur viseralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme
viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses
patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

13

E. Perjalanan Nyeri 30
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi.
1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik
yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia,
ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri.
2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi
sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi
dari satu neuron ke neuron berikutnya
3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada
sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini
dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).
4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga
mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa
tanggapan terhadap nyeri tlersebut.

Gambar 2 Perjalanan Nyeri

14

F. Analgesia Preemptif
Pemberian analgesik sebelum dan saat dilakukan pemberian rangsang nyeri yang
bertujuan untuk mencegah berkembangnya status hipersensitifitas terhadap nyeri

27

.Usaha ini

diantaranya dapat berupa memberikan lokal anestesi, blokade neural sentral, ataupun pemberian
opioid, obat anti inflamsi non steroid, ataupun ketamin. Uji eksperimental menunjukkan bahwa
preemptif analgesia dapat secara efektif menghalau sensitisasi perifer maupun sentral terhadap
nyeri 27.

G. Analgesia Preventif
Konsep daripada preventif analgesia sebenarnya adalah mencegah terjadinya nyeri paska
operasi, dimana nyeri kronik yang persisten bisa terjadi pada 10-50% kasus yang tidak mendapat
adekuat analgetik setelah operasi.31 Sehingga preventif analgesia ini berdasarkan pada asumsi
bahwa satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya sensitisasi sentral adalah dengan secara
lengkap memblokade sinyal nyeri apapun dari luka operasi, mulai dari saat insisi hingga
penyembuhan luka sempurna. Diharapkan melalui pemberian analgetik secara menyeluruh
sebelum nyeri timbul dan sesudah operasi, maka dapat mengurangi intensitas dan durasi nyeri
pada nyeri akut paska operasi, yang pada akhirnya mencegah timbulnya nyeri persisten.32

2.1.3 Pengukuran Intensitas Nyeri


Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang secara kultur mempengaruhi,
sehingga latar belakang mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri. Nyeri
merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon
emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu dan persepsi
terhadap nyeri. Definisi nyeri sendiri dalam asuhan keperawatan adalah ketika seseorang
merasakan nyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan kepada pasien yang tidak
mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif, respon
emosional terhadap persepsi (misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku
sebagai respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa
seseorang sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri
kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau
ras. Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat
15

melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik
karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator.33
A. Skala Nyeri Verbal (Self Reported)
Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini dibagi atas
skala kategorik (tidak sakit,sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat). Ataupun penggunaan
skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau vertical yang ujung-ujungnya diberi nilai
0 menandakan tidak ada nyeri dan 10 menandakan nyeri yang hebat.
Verbal Rating Scale. 33
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat nyeri pada
pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya. Peneliti memilih nomor
dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat
poin yaitu :

0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya

1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya

2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya

3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah merintih
atau menangis

Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat kebenaran dan
keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala nyeri verbal ini sulit
digunakan.
Visual Analogue Scale
Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS).
34

Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan

penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka
10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri
berat.

Gambar 3 Skala Visual Analog

Gambar 3 Visual Analogue Scale


16

Wong Baker Faces Pain Scale 35


Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan verbal. Dijelaskan
kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai
rasa nyeri yang dirasakannya.

Gambar 4 Wong Baker Faces Pain Scale


Gambar 4 Wong Baker Faces Pain Scale
B. Skala Nyeri Non Verbal
Biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal baik karena usia,
kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di dalam mesin ventilator.
Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan AHCPR tahun 1992 menyatakan penggunaan baik
fisiologis dan respon tingkah laku terhadap nyeri untuk dilakukan penilaian ketika self-report
tidak bisa dilakukan.36
Skala FLACC 37
Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap
kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk
mendapatkan total 0-10

17

Tabel 1. Skala FLACC

Behavioral Pain Scale 38


Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien dewasa
yang tidak responsive, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen pada tahun 2001. Payen
membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam mekanikal ventilator yang mendapat
sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur
yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah
divalidasi. BPS terdiri dari tiga penilaian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan
komplians dengan mesin ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4
(respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor
BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat diterima
(unacceptable pain).

18

Tabel 2 The Behavioral Pain Scale


Item

Description

Facial expression

Upper Limbs

Compliance with ventilation

Score

Relaxed

Partially tightened

Fully tightened

Grimacing

No movement

Partially bent

Fully bent with finger flexion

Permanently retracted

Tolerating movement

Coughing

but

tolerating

ventilation for most of the


time
Fighting ventilator

Unable to control ventilation

Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)


CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai nyeri pada
pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik endoskopi maupun
kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih mudah, tanpa harus
menggunakan ekspresi verbal.Skala CBNPS dibentuk berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai
dengan penilaian nyeri oleh Agency of Health Care (USA) tahun 1992.39 CBNPS menilai
tingkah laku yang dideskripsikan dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri.
Pada penelitian Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak
ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat.40

Tabel 3 Colorado Behavioral Numerical Pain Scale


Skor

Tingkah Laku
19

Rileks, tidak ada ekspresi wajah

Mengeluh, mengerutkan dahi, gelisah/tidak tenang

Wajah meringis, memproteksi posisi tubuh

Menangis, Resistif

Menjerit, melempar sesuatu

Melawan

2.2 Mekanisme Kerja Obat Analgetik


Obat analgetik pada dasarnya terbagi dua, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja
di sentral. Golongan obat AINS (anti inflamasi non steroid) berkerja di perifer dengan cara
menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi.25 Pada golongan opioid, bekerja di sentral dengan cara menempati
reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter
dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.30

2.2.1 Mekanisme kerja AINS


Enzim siklooksigenase (COX) adalah enzim yang mengkatalisa sintesa prostaglandin dari
asam arakhidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah proses ditubuh termasuk proteksi lambung
dari sekresi yang dirangsang inflamasi dan nyeri, mempertahankan perfusi ginjal dan agregasi
trombosit. Obat AINS menghambat produksi dari enzim COX yang selanjutnya menurunkan
induksi prostaglandin. Hasilnya ada dua yaitu, positif (analgesia, antiinflamasi) dan negative
(ulkus lambung, penurunan perfusi ginjal dan perdarahan).41
2.2.2 Mekanisme Kerja Opioid 30
Ada empat tempat yang telah diidentifikasi dimana opioid dapat bekerja untuk
menghilangkan nyeri. Ketika morfin atau jenis opioid lain diberikan kepada pasien maka terjadi :
1. Aktivasi reseptor opioid di midbrain dan turning on sistem desending (melalui
disinhibisi).
2. Aktivasi reseptor opioid pada transmisi sel second-order untuk mencegah transmisi
ascending dari sinyal nyeri.

20

3. Aktivasi reseptor opioid di sentral terminal C-fiber di medula spinalis, mencegah


pelepasan neurotranmiter nyeri
4. Aktivasi reseptor opioid di perifer untuk menghambat aktivasi dari nosiseptor yang dapat
melepaskan mediator inflamasi.
Ketamin dinyatakan dalam Stoelting tahun 2006 dapat berinteraksi dengan reseptor
opioid yaitu, mu, delta, dan kappa. Meskipun mekanisme pastinya belum sepenuhnya
dimengerti, ketamin sebagai non kompetitif antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-Aspartat)
berperan dalam menghambat sentisisasi sentral. Pada proses sensitisasi sentral, salah satu
neurotransmiter yang berperan adalah glutamate. Glutamat merupakan asam amino dan berperan
sebagai neurotranmiter eksitatori. Melekatnya glutamat di membran post synaps akan
menyebabkan transmisi impuls saraf dan menyebabkan saraf turun ambang nyerinya. Keadaan
ini menyebabkan timbulnya allodinia dan hiperalgesia. Ketamin akan menduduki reseptor
NMDA dan bukannya glutamat, sehingga mengurangi fase awal dari sensitisasi sentral.42

2.3 Nyeri Pada Abortus


Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan nekrosis jaringan
sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus.
Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi korialis belum menembus desidua secara
dalam jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu,
penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan
banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu
daripada plasenta hasil konsepsi keluar dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda
kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes ovum),janin lahir mati, janin masih hidup, mola
kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.43
Kesemua proses memicu uterus berkontraksi dan menghasilkan nyeri. Disamping itu
kerusakan atau luka pada jaringan akan menyebabkan pelepasan dari mediator inflamasi,
sehingga nosiseptor akan berekasi terhadap pelepasan mediator ini dan menghasilkan sensasi
nyeri.

21

2.3.1 Inervasi Uterus 44


Rasa nyeri pada alat-alat tubuh di daerah pelvis, terutama pada daerah traktus genitalia
interna disalurkan melalui susunan saraf simpatik dan untuk sebagian melalui sistem
parasimpatik. Aksi kerja saraf simpatik menyebabkan kontraksi dan vasokonstriksi. Sebaliknya
aksi kerja saraf parasimpatik mencegah kontraksi dan menyebabkan vasodilatasi. Oleh karena itu
efeknya terhadap uterus, yaitu saraf simpatik menjaga tonus uterus, sedangkan saraf
parasimpatik mencegah kontraksi uterus, jadim menghambat tonus uterus.
Pengaruh dari kedua jenis persarafan ini menyebabkan terjadinya kontraksi uterus yang
intermiten. Rangkaian susunan saraf simpatik daerah pelvic terdiri dari tiga rangkaian, yaitu
rantai sakralis, pleksus hipogastrika superior, dan pleksus hipogastrika inferior.
Sistem saraf simpatik masuk ke rongga panggul sebagai pleksus hipogastrika superior
(nervus presakralis) dan melalui promontorium terus kebawah sebagai nervus hipogastrika
inferior (pleksus hipogastrika inferior) dan pleksus frankenhauser (pleksus uterovaginalis).
Rasa sakit yang disalurkan melalui pleksus hipogastrika superior diteruskan melalui
rantai torakal bagian bawah dan rantai lumbal, untuk kemudian disalurkan melalui saraf spinalis
ke otak. Pleksus hipogastrika superior menerima sebagaian besar saluran rasa sakit dari traktus
genitalia interna, terutama uterus dan serviks.

2.3.2 Kuretase
Prosedur ini adalah serangkaian proses pelepasan jaringan yang melekat pada dinding
kavum uteri. Salah satu cara dengan dilatasi serviks dengan busi hegar dan pelepasan jaringan
dengan sendok kuret yang dimasukkan ke dalam kavum uteri. Sendok kuret akan melepaskan
jaringan tersebut dengan teknik pengerokan secara sistematik. Prosedur kuretase bisa
mengakibatkan komplikasi seperti perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan, dan infeksi.7
Selain rasa nyeri akibat kontraksi uterus pada abortus, rasa nyeri juga timbul pada saat proses
dilatasi dan kuretase. Terutama adanya sharp pain pada saat pengerokan dengan sendok kuret
tajam.
Disamping rasa tidak nyaman dan cemas. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi
ini termasuk dengan memberikan anestesi total intravena.

2.4 Anestesi Total Intravena (TIVA)


22

Anestesi total intravena adalah teknik anestesi dimana induksi dan rumatan anestesi
dicapai melalui obat-obatan yang diberikan lewat jalur intravena saja; menghindari pemakaian
agen volatile ataupun N2O. Pada teknik ini pasien dibiarkan bernafas spontan atau diberikan
ventilasi dengan campuran oksigen dan air.45 TIVA sendiri pertama kali muncul pada awal tahun
1900 dan mulai popular digunakan di seluruh dunia sejak akhir abad 20, sekitar tahun 1990an.46
Konsep TIVA sendiri telah mengalami perkembangan dari induksi untuk anestesi umum
menuju TIVA modern dimana sudah lebih dipahami farmakokinetik dan farmakodinamik obatobatan yang digunakan, dimana obat dapat secara akurat dititrasi dan diberikan lewat jalur
intravena.
Kriteria Obat Untuk TIVA :18
1. Larut di dalam air sehingga penggunaan pelarut/solvent dapat dihindari
2. Obat tetap stabil meskipun terlarut dan terpapar cahahaya matahari
3. Tidak adsorpsi terhadap bahan-bahan plastik seperti infuse set
4. Tidak iritan terhadap vena (baik nyeri pada penyuntikan, vena phlebitis atau thrombosis)
atau merusak jaringan ketika diberikan intravena maupun intraarterial
5. Menghasilkan hipnotik/tertidur dalam one arm circulation time
6. Mula kerja obat cepat dan diinaktifkan oleh metabolisme baik hati, darah maupun
jaringan lain
7. Minimal efek terhadap kardiovascular dan respirasi
Dari pemaparan diatas, jelas bahwa belum ada satu obat pun yang mampu memenuhi semua
kriteria diatas.
Indikasi Anestesi Total Intravena :
1. Sebagai alternative agen volatil.
2. Untuk situasi dimana anestesi konvensional sulit untuk dikerjakan, misalnya pada operasi
di medan perang, ataupun pada setting daerah yang kurang peralatan anestesi dan obat obat anestesi
3. Pada keadaan dimana gas N2O tidak diperbolehkan atau kontraindikasi relatif, misalnya
pada operasi yang membutuhkan konsentrasi inspirasi O2 yang tinggi, middle ear surgery
Keuntungan TIVA :
1. O2 konsentrasi tinggi dapat diberikan
2. Menghindari penggunaan N2O
23

3. Bermanfaat pada kondisi setting terbatas


4. Menghindari efek tidak diinginkan dari anestesi volatile
5. Mengurangi polusi udara
6. Sedikit efek yang mencetus terjadinya hipertermi maligna
7. Day care surgeries, cepat pulit sadar
Kesulitan dan keterbatasan TIVA :
1. Untuk menghasilkan konsentrasi obat dalam darah secara cepat dan mempertahankan
jumlah yang diinginkan terkadang dibutuhkan peralatan yang lebih kompleks seperti zero
order infusion
2. Tidak terprediksinya hubungan antara dosis dan respons pasien yang bervariasi terhadap
obat, premedikasi dan bolus.
3. Tidak terprediksinya pulih dari anesthesia dan efek samping pasca anestesi berdasarkan
variasi distribusi, eliminasi dan farmakokinetik obat, usia, jenis kelamin, dan lain-lain.
4. Akumulasi obat-obat TIVA yang berakibat pada pemanjangan waktu pulih
5. Interaksi obat
6. Definisi yang tidak tegas tentang berakhirnya masa anestesi
7. Ada kemungkinan tidak bisa mengontrol kedalaman anestesi
8. Kebutuhan untuk menciptakan jalur intravena terpisah
Beberapa obat anestesi intravena yang sering digunakan dalam praktek sehari-hari adalah
propofol, ketamin, midazolam, dan dikombinasi dengan golongan opioid maupun ketamin dosis
rendah.

2.4.1 Propofol
Propofol (2,6-diisopropylophenol) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977,
dilarutkan dalam kremofor karena sifatnya yang tidak larut dalam air. Kemudian propofol ini
ditarik dari peredaran karena pernah dilaporkan terjadinya insiden reaksi anafilaktik pada saat
penyuntikan. Pelarut yang adekuat untuk propofol ditemukan berdasarkan penelitian klinis pada
tahun 1983 dan dipakai diseluruh dunia sampai saat ini.10
Propofol menjadi obat pilihan induksi anesthesia, khususnya ketika bangun yang cepat
dan sempurna diperlukan. Kecepatan onset sama dengan barbiturate intravena, masa pemulihan
lebih cepat dan pasien dapat pulang berobat jalan lebih cepat setelah pemberian propofol.
24

Kelebihan lainnya, pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah disbanding anestesi
intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang karena propofol mempunyai efek
anti muntah.10,47,48,49

A. Struktur Kimia
Propofol mengandung satu cincin fenol dengan dua ikatan grup isoprofil dengan berat
moleku 178 Da. Panjang ikatan alkilfenol ini mempengaruhi potensi, induksi, dan karakteristik
pemulihan. Propofol tidak larut dalam air, tetapi 1% larutan air (10mg/mL) dapat digunakan
sebagai obat intravena dalam larutan emulsi minyak dalam air yang mengandung 10% minyak
kedelai, 2,25 % gliserol dan 1.2% lesitin telur.43 Riwayat alergi telur tidak langsung dijadikan
kontraindikasi penggunaan propofol karena kebanyakan alergi telur melibatkan reaksi dengan
putih telur (contoh albumin) sedangkan lesitin diekstraksi dari kuning telur.
Formula ini menyebabkan nyeri pada saat penyuntikan yang dapat dikurangi dengan
penyuntikan pada vena besar dan dengan pemberian injeksi lidokain 0,1 mg/kgBB sebelum
penyuntikan propofol atau dengan mencampurkan 2 mL lidokain 1% dengan 18 mL propofol
dapat menurunkan pH dari 8 menjadi 6,3. Propofol adalah obat yang tidak larut dan
membutuhkan lemak untuk emulsifikasi. Formulasi propofol saat ini menggunakan minyak
kedelai sebagai fase minyak dan lesiti telur sebagai zat emulsifikasi yang terdiri dari trigliserida
cincin panjang. Formulasi ini mendukung pertumbuhan bacterial dan meningkatkan konsentrasi
trigliserida plasma khususnya ketika penggunaan infuse intravena yang lama.10,45,47

Gambar 5 Rumus Bangun Propofol

25

B. Mekanisme Kerja
Propofol adalah modulator selektif dari reseptor gamaa amino butyric acid (GABAA) dan
tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada kosentrasi yang relevan secara klinis.
Propofol memberikan efek sedative hipnotik melalui intraksi reseptor GABAA. Resepor ini
adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA
diaktifkan,

maka

konduksi

klorida

transmembran

akan

meningkat,

mengakibatkan

hiperpolarisasi membrane sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi
propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan laju
disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu meningkatkan lama waktu dari
pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari
membrane sel.45,48

C. Farmakokinetik
Pemberian propofol 1.5-2.5 mg/kg IV (setara dengan thiopental 4-5 mg/kg IV atau
metoheksital 1,5 mg/kg (IV) sebagai injeksi IV (< 15 detik), mengakibatkan ketidaksadaran
dalam 30 detik. Sifat kelarutannya yang tinggi di dalam lemak menyebabkan mulai masa
kerjanya sama cepatnya dengan thiopental (satu siklus sirkulasi dari lengan ke otak) konsentrasi
puncak di otak diperoleh dalam 30 detik.

Sifat kelarutannya yang tinggi dalam lemak

menyebabkan mulai masa kerjanya sama cepatnya dengan thiopental (satu siklus sirkulasi dari
lengan ke otak) konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik dan efek maksimum
diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga cepat disebabkan waktu paruh
distribusinya (2-8) menit. Lebih cepat bangun atau sadar penuh setelah induksi anestesi
disbanding semua obat lain yang digunakan untuk induksi anestesi IV yang cepat. Pengembalian
kesadaran yang lebih cepat dengan residu minimal dari system saraf pusat (CNS) adalah salah
satu keuntungan yang penting dari propofol dibandingkan dengan obat alternatif lain yang
diberikan untuk tujuan yang sama.10,45,48
Rasa sakit karena injeksi terjadi pada sebagian besar pasien ketika propofol diinjeksikan
ke dalam vena tangan yang kecil. Ketidaknyamanan ini dapat dikurangi dengan memilih vena
yang lebih besar atau dengan pemberian 1% lidokain (menggunakan lokal injeksi yang sama
seperti propofol) atau opioid kerja jangka pendek.

26

Klirens propofol dari plasma melebihi aliran darah hepatik, menegaskan bahwa ambilan
jaringan (mungkin ke dalam paru), sama baiknya dengan metabolisme oksidatif hepatik oleh
sitokrom P-450, dan ini penting dalam mengeluarkan obat ini dari plasma. Dalam hal ini,
metabolisme propofol pada manusia dianggap bersifat hepatic dan ekstrahepatik. Metabolisme
hepatik cepat dan luas, menghasilkan sulfat yang tidak aktif dan larut dalam air serta metabolit
asam glukoronik yang diekskresikan oleh ginjal. Propofol juga menjalani hidroksilasi cincin oleh
sitokrom P-450 membentuk 4-hidroksipropofol yang kemudian di glukoronidasi atau sulfat.
Meskipun glukoronida dan konjugasi sulfat dari propofol terlihat tidak aktif secara farmakologi,
4-hidroksipropofol memiliki sepertiga aktivitas hipnotik dari propofol. Kurang dari 0,3% dari
dosis yang diekskresikan tidak berubah dalam urine.10,48
Induksi Anestesi
Dengan kadar darah 2-6 g/mL yang menghasilkan ketidaksadaran tergantung pada
pengobatan dan pada usia pasien. Onset hypnosis propofol sangat cepat (one arm-brain
circulation) dengan durasi hypnosis 5-10 menit. Seperti halnya dengan barbiturate, anak
membutuhkan dosis induksi dari propofol yang lebih tinggi per kilogram badan, kemungkinan
berhubungan dengan volume distribusi sentral lebih besar dan juga angka bersihan yang tinggi.
Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih rendah (25% hingga 50% terjadi
penurunan) akibat penurunan volume distribusi sentral dan juga penurunan laju bersihan. Pasien
sadar biasanya terjadi pada konsentrasi propofol plasma 1,0 hingga 1,5 g/mL.48
Rumatan Anestesi
Dosis khusus dari propofol untuk pemeliharaan anestesia adalah 100-300 g/kgBB/menit
IV, seringkali dikombinasikan dengan opioid kerja jangka pendek. Anestesia umum
menggunakan propofol mempunyai efek mual dan muntah paska operasi yang minimal dan
kesadaran yang lebih cepat dengan efek residual yang minimal.10

D. Farmakodinamik
Sistem Saraf Pusat
Propofol mengurangi laju metabolik otak untuk oksigen (CMRO2), aliran darah ke otak
(CBF), dan tekanan intracranial (ICP). Pemberian propofol untuk menghasilkan sedasi pada
pasien dengan SOL (space occupying lesion) intracranial tidak meningkatkan ICP. Dosis yang
besar dari propofol ini dapat mengurangi tekanan darah sistemik dan juga mengurangi tekanan
27

perfusi otak (CPP). Pada level sedasi yang sama, propofol menghasilkan gangguan memori pada
derajat yang sama seperti midazolam. Peningkatan toleransi terhadap obat dalam menekan
system saraf pusat sering terjadi pada pasien yang sering menggunakan opioid, obat hipnotik
sedatif, ketamin dan nitrous oksida.48

Sistem Kardiovaskular
Propofol menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang lebih besar dibandingkan
dosis thiopental pada saat induksi. Pada keadaan dimana tidak ada gangguan kardiovaskuler,
dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 25-40%.
Perubahan yang sama terlihat juga terhadap tekanan arteri rerata (MAP) dan tekanan darah
diastolic. Penurunan tekanan darah ini mengikuti penurunan curah jantung sebesar 15% dan
penurunan resistensi vascular sistemik sebesar 15-25%. Relaksasi otot polos vascular dihasilkan
oleh propofol adalah terutama berkaitan dengan hambatan aktivitas saraf simpatik. Menurut
Dhungana Y, propofol menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi perifer yang diakibatkan oleh
peningkatan produksi endothelial dan lepasnya nitric oxide.47,49
Efek inotropik negative dari propofol dapat dihasilkan dari penurunan kalsium
intraselular akibat hambatan influks kalsium trans sarkolema. Efek tekanan darah akibat propofol
dapat diperburuk pada pasien hipovolemi, pasien lanjut usia, dan pasien dengan gangguan fungsi
ventrikel

kiri

yang

berkaitan

dengan

penyakit

arteri

koroner

10,48

Disamping penurunan tekanan darah sistemik, peningkatan denyut jantung seringkali


tidak berubah secara nyata. Bradikardi dan asistol juga telah diamati setelah induksi anestesi
dengan propofol, yang menghasilkan rekomendasi dimana obat antikolinergik diberikan ketika
stimulasi vagal terjadi berkaitan dengan pemberian propofol. Propofol dapat mengurangi
aktivitas sistem saraf simpatik pada cakupan yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas
sistem saraf parasimpatik, dengan menghasilkan dominasi aktivitas parasimpatik. Refleks
baroreseptor yang mengontrol denyut jantung juga didepresi oleh propofol sehingga mengurangi
refleks takikardi yang selalu mengikuti hipotensi. 48

Sistem Respirasi
Propofol menghasilkan depresi ventilasi tergantung pada dosis, kecepatan pemberian dan
premedikasi, dengan apnu yang berlangsung pada 25% hingga 35% pasien setelah induksi
28

dengan propofol. Pemberian opioid pada pengobatan preoperative dapat meningkatkan efek
depresi ventilasi. Pemakaian infus rumatan propofol akan mengurangi volum tidal dan frekuensi
pernafasan. Propofol mengurangi respon ventilasi pada karbon dioksida dan juga hipoksemia.
Propofol dapat mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan insidensi sesak pada pasien asma.
Konsentrasi sedasi dari propofol akan menekan respon ventilasi terhadap hiperkapnia disebabkan
efek dari kemoreseptor sentral. Berbeda dengan anestesi inhalasi dosis rendah, respon
kemorefleks perifer pada karbondioksida masih tetap ada ketika dirangsang oleh karbondioksida
dengan adaanya propofol.48

Efek-efek Lain
Propofol tidak mempengaruhi fungsi ginjal atau hepar sebagaimana dinyatakan oleh
konsentrasi enzim transaminase liver atau kreatinin. Propofol tidak mempengaruhi sintesis
kortikosteroid atau mempengaruhi respon normal terhadap stimulasi ACTH. Propofol dalam
formula emulsi tidak mempengaruhi fungsi hematologi atau fibrinolisis.
Propofol juga mempunyai efek antiemetic yang signifikan pada dosis subhipnotik (10
mg) dan telah digunakan untuk mengatasi mual muntah paska operasi (PONV). Peningkatan
tekanan bola mata dicegah setelah pemberian propofol. Oleh sebab itu propofol ideal digunakan
pada operasi mata.48

Sindroma Infus Propofol


Sindroma infus propofol adalah kejadian yang jarang terjadi dan merupakan suatu
keadaan yang kritis pada pasien dengan penggunaan propofol yang lama (lebih dari 48 jam) dan
dosis yang tinggi (lebih dari 5 mg/kgBB/jam). Biasanya terjadi pada pasien yang mendapat
sedasi di unit perawatan intensif.
Sindroma ini ditandai dengan terjadinya kegagalan jantung, rhabdomiolisis, asidosis
metabolik, dan gagal ginjal. Penanganannya adalah oksigenasi yang adekuat, stabilisasi
hemodinamik, pemberian dekstrosa, dan hemodialisa.51

2.4.2 Fentanil
Fentanil adalah suatu agonis opioid sintetik derivatif-phenylpiperidine yang secara
struktural terkait dengan meperidin. Sebagai analgesik, fentanil 75-125 kali lebih kuat dari
29

morfin.Opioid agonis menghasilkan analgesia melalui ikatannya dengan reseptor spesifik yang
terdapat di otak dan medula spinalis dan terlibat dalam transmisidan modulasi nyeri. Terdapat
beberapa kategori reseptor opioid antara lain reseptor mu (), delta () dan kappa ().52,53

Gambar 6 Rumus Bangun Fentanil


A. Farmakokinetik 54
Fentanil yang diberikan dosis tunggal intravena memiliki onset yang lebih cepat dan
masa kerja obat yang lebih pendek daripada morfin. Meskipun secara klinis fentanil mempunyai
onset yang cepat, terdapat perbedaan waktu antara puncak konsentrasi fentanil di plasma dan
puncak penurunan gelombang pada EEG. Efek fentanil yang diberikan via darah terhadap otak
membutuhkan waktu sekitar 6,4 menit. Potensi yang lebih besar dan onset yang lebih cepat
merupakan wujud kelarutan lemak yang lebih besar dari fentanil terhadap morfin, dalam hal
fasilitasi hantaran obat melewati barier sawar darah otak. Demikian juga, lama kerja obat yang
singkat dari pemberian fenta nil dosis tunggal merefleksikan redistribusi yang cepat pada
jaringan tempat obat ini tidak aktif seperti pada jaringan lemak dan otot-otot rangka. Hal ini
berhubungan degan penurunan konsentrasi obat di plasma.
Pada paru juga merupakan tempat penyimpanan obat inaktif sekitar 75% dari fentanil
yang diberikan sebagai akibat ambilan first pass jaringan paru;
Ketika pemberian fentanil intravena secara multiple atau saat pemberian obat melalui
infuse kontinyu dapat terjadi penurunan konsentrasi obat inaktif pada jaringan paru. Singkatnya,
konsentrasi fentanil di plasma tidak akan menurun dengan cepat dan kerjanya sebagai analgetik
sama halnya dengan depresi dari ventilasi yang dapat terjadi lebih lama. Pada operasi bypass
jantung dapat menyebabkan efek fentanil yang menurun yang disebabkan oleh hemodilusi,
hipotermi dan aliran darah yang tidak fisiologis, serta respon inflamasi sistemik oleh batang otak
didaerah nucleus solitaries, nucleus dorsal vagal, nuckleus ambigus, dan nucleus parabrachial,
terutama reseptor mu, sehingga bila diberikan agonis akan menyebabkan hipotensi dan
30

bradikardi. Selain itu juga terdapat mekanisme analgesia yang dimiliki oleh daerah ventrolateral
periaqueductal gray. Reseptor yang terdapat pada jalur hipotalamus-pituitary-adrenal yang
dimodulasi oleh opioid juga berperan pada stess response.

B. Metabolisme
Fentanil

kebanyakan

dimetabolisme

oleh

N-demethylation

yang

menghasilkan

norfentanil, hidroxyproprionil-fentanil dan hidroxyproprionil-norfentanil. Norfentanil secara


struktur sama dengan normoperidin dan prinsip metaboliknya sama pada manusia. Fentanil
diekskresikan oleh ginjal dan didapati pada urin dalam waktu 72 jam setelah pemberian fentanil
intravena dosis tunggal. Sekitar 10% fentanil yang tidak termetabolisme diekskresikan melalui
urin. Fentanil berikatan dengan enzim hati P-450 dan interaksi obat yang terjadi berhubungan
dengan aktivitas enzim ini.

C. Waktu Paruh
Meskipun masa kerja fentanil singkat, waktu paruhnya lebih lama dari morfin. Waktu
paruh yang lebih lama ini menunjukkan volume distribusi fentanil lebih besar. Besarnya volume
distribusi ini berhubungan dengan besarnya kelarutannya dalam lemak. Setelah pemberian bolus
intravena, fentanil akan terdistribusi dengan cepat dari plasma ke jaringan-jaringan yang kaya
akan pembuluh darah, seperti : otak, jantung, dan paru. Lebih dari 80% obat yang masuk ke
intravascular akan tinggal di plasma dalam kurang dari 5 menit. Konsentrasi plasma dari fentanil
akan dipertahankan oleh ambilan obat dari jaringan inaktif secara perlahan dimana jumlah efek
obat yang menetap sesuai dengan perpanjangan waktu paruh.
Lamanya waktu paruh pada orangtua berhubungan dengan clearance dari opioid. Hal ini
disebabkan oleh volume distribusi obat ini tidak berubah dibandingkan dengan golongan dewasa
muda. Perubahan ini juga menunjukkan factor umur dapat menurunkan aliran darah hepatik,
aktivitas enzim mikrosomal ataupun produksi albumin, sementara fentanil berikatan kuat pada
protein sekitar 79-87%.

D. Penggunaan Klinis
Fentanil secara klinis dapat digunakan dengan rentang dosis yang besar, sebagai contoh
pemberian fentanil dosis rendah 1-2 g/kgBB intravena memberi efek analgetik. Fentanil dosis
31

2-20 g/kgBB intravena dapat menumpulkan respon simpatetik, contohnya pada tindakan
laringoskopi untuk intubasi trakea ataupun pada stimulasi akibat pembedahan. Waktu yang
dibutuhkan oleh penyuntikan fentanil intravena dan pencegahan berhubungan dengan waktu
yang dibutuhkan saat tercapainya obat ke target organ hingga memberi efek. Penyuntikan
fentanil 1,5-3 g/kgBB intravena 5 menit sebelum induksi anestesi akan menurunkan kebutuhan
gas inhalasi anestesi serta respon simpatetik akibat stimulasi pembedahan. Pemberian dosis besar
fentanil 50-150 g/kgBB intravena dapat digunakan secara tunggal untuk anestesia pembedahan.
Keuntungan pemberian dosis besar fentanil bagi anestesi, antara lain : efek depresi miokard,
yang langsung lebih sedikit, pengeluaran histamine tidak dijumpai dan stress respon pembedahan
dapat ditekan. Kerugian penggunaan fentanil sebagai anestesi tunggal, antara lain : kegagalan
pencegahan respons simpatetik terhadap stimulasi pembedahan, khususnya pada pasien dengan
fungsi ventrikel kiri yang baik kemungkinan pasien bangun dan penurunan fungsi ventilasi paska
operatif.

E. Efek Samping
Efek samping fentanil menyerupai opioid morfin. Depresi ventilasi yang menetap atau
berulang merupakan masalah pascaoperatif yang potensial. Kosentrasi puncak sekunder fentanil
di plasma dapat berhubungan dengan sisa fentanil yang ada pada cairan asam lambung (ion
trapping). Sisa fentanil akan diabsorbsi sehingga konsentrasi opioid di plasma akan meningkat.
Sisa fentanil akan diabsorbsi sehingga konsentrasi opioid di plasma akan meningkat.
Perbandingan morfin dengan fentanil pada dosis besar adalah tidak terjadinya pengeluaran
histamin. Hipotensi yang diakibatkan oleh dilatasi dari venous capacitanta akibat pemberian
morfin tidak terjadi pada pemberian fentanil. Fentanil yang diberikan 10 g/kgBB intravena pada
neonates akan menyebabkan terangsangnya refleks baroreseptor di sinus carotid yang dapat
secara nyata menurunkan laju jantung. Bradikardi adalah efek fentanil yang dapat menimbulkan
penurunan tekanan darah dan cardiac output. Reaksi alergi sangat jarang terjadi pada pemberian
fentanil.
Pemberian fentanil pada pasien trauma kepala akan meningkatkan tekanan intracranial 69 mmHg dan tidak terdapat perubahan PaCO2. Peningkatan tekanan intracranial biasanya
berhubungan dengan penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) serta tekanan perfusi otak (CVP).

32

Peningkatan tekanan intracranial yang dipicu oleh pemakaian opioid dapat mengganggu
autoregulasi serebral biasanya akibat terjadinya vasodilatasi.

2.4.3 Ketamin
Ketamin,

2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanonehydro-chloride,

suatu

arylcycloalkylamine yang secara struktural berhubungan dengan phencyclidine (PCP) dan


cyclohexamine. Ketamin adalah obat yang menghasilkan anestesi disosiasi, yang kemudian
ditandai dengan disosiasi diantara talamikortikal dan sistem limbik. Anestesi disosiasi meyerupai
kondisi kataleptik dimana mata masih tetap terbuka dan adanya nistagmus yang lambat. Pasien
tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar. Refleks-refleks masih dipertahankan
seperti refleks kornea, refleks batuk dan refleks menelan, namun semua refleks ini tidak boleh
dianggap sebagai suatu proteksi terhadap jalan nafas. Variasi tingkat hipertonus dan gerakan otot
rangka tertentu seringkali terjadi dan tidak tergantung dari stimulasi bedah. Ketamin mempunyai
efek sedatif dan analgetik yang kuat. Pada dosis subanestesi ketamin menghasilkan efek
analgetik yang memuaskan.48

Gambar 7 Rumus Bangun Ketamin

A. Mekanisme Aksi
Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat terikatnya phencyclidine pada
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suatu subtype dari reseptor glutamate, yang berlokasi
di saluran ion.Ketamin menghambat aliran ion transmembran. Reseptor NMDA adalah suatu
resptor saluran kalsium. Agonis endogen dari reseptor ini adalah neurotransmiter eksitatori
seperti asam glutamate, asam aspartat, dan glisin. Pengaktifan dari reseptor mengakibatkan
terbukanya saluran ion dan depolarisasi neuron. Reseptor NMDA ini terlibat dalam input
sensoris pada level spinal, talamik, limbik, dan kortikal. Ketamin menghambat atau
33

menginterferensi input sensoris ke sentral yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat, dimana
terdapat respon emosional terhadap stimulus dan pada tempat untuk proses belajar dan memori.
Ketamin menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA oleh glutamate, mengurangi pelepasan
glutamate di presinaps dan meningkatkan efek dari neurotransmiter inhibisi GABA.10,48,49
Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor mu, delta, dan kappa opioid. Efek analgesi
ketamin mungkin disebabkan oleh pengaktifan reseptor ini di sentral dan spinal.
Beberapa efek ketamin dapat disebabkan karena kerjanya pada sistem katekolamin,
dengan meningkatkan aktivitas dopamin. Efek dopaminergik ini mungkin berhubungan dengan
efek euphoria, adiksi dan psikomimetik dari ketamin. Kerja dari ketamin ini juga disebabkan
oleh efek agonis pada reseptor adrenergik dan , efek antagonis pada reseptor muskarinik di
sistem saraf pusat, efek agonis pada reseptor .48
B. Farmakokinetik 48,55
Absorpsi
Ketamin dapat diberikan melalui oral, rectal, intranasal, intramuscular, ataupun intravena.
Untuk operasi dan dan manajemen nyeri paska bedah ketamin dapat diberikan secara intratekal
dan epidural. Konsentrasi puncak biasanya dicapai dalam waktu 1 menit setelah penyuntikan
intravena dan dalam lima menit setelah penyuntikan intramuscular.
Distribusi
Ketamin tidak secara signifikan berikatan dengan plasma protein dan meninggalkan
plasma darah secara cepat dan terdistribusi ke jaringan. Awalnya, ketamin didistribusikan kepada
daerah yang high perfusion seperti otak, dimana konsentrasi puncak mencapai 4-5 kali daripada
di plasma. Kelarutan ketamin yang tinggi dalam lemak menjadikannya cepat berpindah melewati
sawar darah otak. Lebih lanjut lagi ketamin menginduce peningkatan aliran darah otak dan
kardiak output, dan juga cepat masa kerjanya sehubungan dengan redistribusi obat dari daerah
yang high perfusion ke kompartemen lain yang low perfusion.
Metabolisme
Ketamin dimetabolisme di hepar menjadi beberapa metabolit, beberapa diantaranya
norketamin yang dapat memperpanjang masa kerja ketamin (sebagai analgesik), terutama pada
pemberian secara kontinyu intravena ataupun dosis berulang. Ketamin dimetabolisme oleh enzim
sitokrom P-450 yang menghasilkan norketamin. Norketamin akhirnya dihidroksilasi dan
34

berkonjugasi untuk membentuk ikatan yang lebih larut air dan menghasilkan metabolit
glukoronida yang inaktif dan dikresikan melalui ginjal. Ambilan ketamin yang besar di hepar dan
dimetabolisme di sana menjelaskan waktu paruh yang singkat pada ketamin (sekitar 2 jam).
Ekskresi
Setelah pemberian intravena, kurang dari 4% dosis ketamin yang diberikan dapat
dikeluarkan dari urine dalam bentuk utuh. Ekskresi melalui feses sekitar 5% dari dosis yang
diberikan.
C. Farmakodinamik 48,55
Susunan Saraf Pusat
Ketamin menghasilkan stadium anetesi yang disebut anestesi disosiasi. Karakteristik pada
EEG ditandai dengann disosiasi antara thalamokortikal dan sitem limbik. Disosiatif anestesi
menghasilkan status kataleptikus dimana mata tetap terbuka dengan lambat dan nistagmus.
Ketamin menyebabkan reaksi psikis yaitu emergence reaction. Manifestasi dari reaksi ini
bervariasi tingkat keparahannya, berupa mimpi buruk, perasaan melayang, ilusi yang bisa
tampak dalam bentuk hysteria, bingung, euphoria, dan rasa takut. Mimpi dan halusinasi ini dapat
terjadi sampai 24 jam setelah pemberian. Mekanisme delirium emergence kemungkinan terjadi
sebagai sekunder dari ketamin meng-induce depresi terhadap kolikulus inferior dan nucleus
medial genikulat yang menyebabkan misinterpretasi dari rangsang suara dan visual. Insidennya
adalah 5-30% pada orang dewasa pada pemberian ketamin sebagai obat tunggal anestesi. Faktor
yang mempengaruhi adalah umur, dosis, jenis kelamin, dan status psikis. Wanita dan pemimpi
lebih mudah mengalaminya. Golongan benzodiazepin terbukti paling efektif dalam mencegah
emergence reaction ini, dengan midazolam lebih efektif dari diazepam.

Sistem Kardiovaskular
Berbeda dengan agen anestetik lainnya, ketamin meningkatkan tekanan darah, laju
jantung, dan kardiak output. Hal ini tidak terjadi secara langsung pada kardiovaskular melainkan
karena stimulasi sentral terhadap sistem saraf simpatis dan inhibisi reuptake terhadap
norepinefrin. Bersamaan dengan perubahan ini adalah peningkatan tekanan arteri pulmonal dan
kerja miokard. Untuk itulah ketamin harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung
koroner, hipertensi tak terkontrol, penyakit jantung kongestif, dan aneurisma arteri. Efek dosis
35

besar ketamin berakibat depresi langsung terhadap miokard mungkin disebabkan karena inhibisi
sementara kalsium tidak tertutupi, mungkin karena simpatis blockade atau exhaustion dari
pelepasan katekolamin. Disisi lain, efek stimulasi tidak langsung ketamin sering menguntungkan
pada pasien dengan akut syok hipovolemik.

Respirasi
Mekanisme ventilasi biasanya minimal dipengaruhi oleh dosis induksi ketamin, meskipun
begitu penyuntikan bolus intravena yang cepat ataupun pretereatment dengan opioid sebelumnya
walaupun jarang dapat menyebabkan apnu. Ketamin adalah bronkodilator poten, menjadikannya
agen anestetik pada pasien asma. Meskipun refleks jalan nafas atas sebagaian besar tetap ada,
pasien dengan peningkatan resiko aspirasi pneumonia tetap harus diintubasi. Peningkatan
produksi air ludah sehubungan dengan ketamin dapat dihindari dengan pemberian premedikasi
dengan antikolinergik.
Interaksi 48
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin. Durasi henti nafas setelah
pemberian suksinil kolin dapat memanjang, kemungkinan karena inhibisi aktivitas plasma
kolinesterase oleh ketamin. Kejang dilaporkan terjadi pasien asma setelah pemberian aminofilin
diikuti pemberian ketamin.
Kontraindikasi 48
Ketamin dikontraindikasikan pada keadaan-keadaan seperti pasien dengan peningkatan
tekanan intracranial, operasi mata, ataupun pasien yang diduga cenderung mengalami delirium
paska operasi atau riwayat ganguan psikiatri.

36

2.5 KERANGKA TEORI


KURETASE

Merangsang nosiseptor dan


inflamasi
KETAMIN
Lepas prostaglandin, bradikinin,
serotonin, histamin

DORSAL HORN

NOSISEPTOR A dan C

MEDULA SPINALIS

R. NMDA
DORSAL HORN
MEDULA SPINALIS

OPIOID FENTANIL
BRAINSTEM

BRAINSTEM
OPIOID FENTANIL

THALAMUS, HIGHER BRAIN


AREA

THALAMUS, HIGHER BRAIN


AREA

NYERI

NILAI CBNPS

Keterangan :
R. NMDA : Reseptor N-methyl-D-aspartate
CBNPS : Colorado Behavioral Numerical Pain Scale

37

2.6 KERANGKA KONSEP

KURETASE

PROPOFOL + FENTANIL

NYERI DAN
TIDAK
NYAMAN

CBNPS

Keterangan :
CBNPS : Colorado Behavioral Numerical Pain Scale

38

PROPOFOL + KETAMIN

Anda mungkin juga menyukai