Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengalaman
Pengalaman ialah sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung dan
sebagainya) bisa berupa peristiwa yang baik maupun peristiwa yang buruk (KBBI,
2005). Pengalaman adalah guru yang terbaik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini
mengandung maksud bahwa pengalaman dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan,
atau pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.
Oleh sebab itu, pengalaman pribadi yang dialami oleh seseorang dapat digunakan
sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan dan informasi.
Biasanya, orang akan lebih mudah

mengingat peristiwa atau hal-hal yang

dianggap paling berkesan atau bermakna dalam hidupnya. Hal ini dilakukan dengan cara
mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa yang lalu atau mengingat peristiwa yang pernah dialami. Semua
pengalaman pribadi tersebut dapat merupakan sumber kebenaran pengetahuan.
B. Persalinan
1. Defenisi Persalinan
Setelah ibu menjalani proses kehamilan, maka ibu akan mengalami proses yang
kedua yaitu melahirkan. Pada proses persalinan ibu akan mengeluarkan bayi yang
dikandungnya

selama

sembilan

bulan

dalam

keadaan

hidup.

Menurut

Prawirihardjo (2002) partus adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yaitu bayi
dan plasenta yang dapat hidup dari dalam uterus melalui jalan lahir vagina ke dunia luar.
Pada persalinan rahim ibu akan mengalami kontraksi, sehingga akan merasakan
mules yang menjalar dari perut sampai ke pinggang. Respon tubuh tidak akan sama
dirasakan pada setiap ibu, karena diakhir kehamilan terjadi peningkatan hormon
oksitosin yang menyebabkan respon aktif his pada rahim ibu, yang akan menimbulkan
proses pergerakan keluar janin, plasenta dan membran dari dalam rahim melalui jalan
lahir (Bobak, lowdermilk & Jensen, 2004).
Persalinan adalah proses yang diawali dengan membuka dan menipisnya serviks,
dan janin akan turun kedalam jalan lahir. Bayi akan melalui jalan lahir lunak dan jalan
lahir keras. Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban didorong keluar melalui
jalan lahir. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi
pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentase kepala
yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi ataupun kelainan baik pada ibu
maupun pada janin, dan keduanya dinyatakan sehat dan normal (Saifuddin, 2006).
2. Jenis persalinan
Kehamilan dan persalinan merupakan proses yang normal dan alamiah, yang
akan dialami oleh setiap wanita sepanjang siklus kehidupannya. Namun, dalam beberapa
kasus kehamilan yang tadinya berjalan normal dan fisiologis, bisa berubah menjadi
kehamilan yang patologis dan harus mendapatkan perawatan yang khusus, seperti pada
kasus ibu hamil dengan solutio plasenta.
Demikian juga dengan proses persalinan, pada awalnya kita hanya mengenal
proses persalinan yang normal melalui jalan lahir normal yaitu persalinan pervaginam,
tetapi karena ada masalah yang menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan normal, maka

dokter akan menganjurkan persalinan melalui proses pembedahan di bagian perut ibu
yang disebut persalinan perabdominal.
Menurut Saifuddin (2000) jenis persalinan ada dua, yaitu persalinan melalui jalan
lahir (persalinan pervaginam) dan persalinan melalui jalan lain (persalinan
perabdominal).
a. Persalianan melalui jalan lahir (Persalinan pervaginam)
Menurut Manuaba (1998) bentuk persalinan berdasarkan proses terjadinya
terbagi tiga yaitu, persalinan spontan, persalinan buatan, dan persalinan anjuran.
Persalinan spontan adalah bila persalinan seluruhnya berlangsung dengan kekuatan ibu
sendiri tanpa intervensi apapun. Persalinan buatan adalah bila proses persalinan dengan
bantuan tenaga dari luar, seperti ekstraksi vakum, dan ekstraksi cunam, sedangkan
persalinan anjuran adalah bila kekuatan yang diperlukan untuk persalinan ditimbulkan
dari luar dengan jalan rangsangan.
Persalinan anjuran dapat dilakukan dengan jalan, memecahkan ketuban yang
bertujuan mengurangi keregangan otot rahim sehingga, kontraksi segera dapat dimulai,
persalinan

anjuran

juga

dapat

dilakukan

dengan

induksi

persalinan

secara

hormonal/kimiawi. Induksi persalinan secara hormonal dilakukan dengan menggunakan


oksitosin drip atau dengan prostaglandin. Induksi persalinan mekanis dilakukan dengan
cara memakai batang laminaria dan menggunakan kateter foley.
b. Persalian melalui jalan lain (Persalinan perabdominal)
Menurut Saifuddin (2006), persalinan melalui jalan lain (persalinan
perabdominal) yang juga disebut seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan
bayi, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Pada proses persalinan

perabdominal atau yang disebut persalinan seksio sesarea, sebelum janin dikeluarkan
terlebih dahulu ibu akan dibius, sehingga ibu tidak akan merasakan sakit pada saat
dokter melakukan pembedahan pada dinding perut ibu. Seksio sesarea atau kelahiran
sesarea adalah melahirkan janin melalui irisan pada dinding perut (histerotomi)
(Pritchard, MacDonald & Gant, 1991).
Seksio sesarea adalah pembedahan yang dilakukan untuk melahirkan janin
dengan cara membuka dinding perut dan dinding uterus (Prawirohardjo, 2002). Seksio
sesarea merupakan prosedur bedah untuk melahirkan janin dengan insisi melalui
dindding perut dan uterus (Liu, 2007). Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin
dengan membuat sayatan pada dinding uterus (rahim) melalui dinding depan perut atau
vagina, juga dapat diartikan suatu histerektomia untuk melahirkan janin dari dalam
rahim (Mochtar, 1998).
3.

Proses persalinan melalui jalan lahir (persalinan pervaginam)


Pada proses persalinan normal, ibu akan mengalami berbagai tahapan sebelum

janin benar-benar keluar ke dunia. Menurut Prawirohardjo (2002), partus (persalinan)


dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I seviks membuka sampai terjadi pembukaan 10 cm.
Kala I dinamakan pula kala pembukaan. Kala II disebut pula kala pengeluaran, oleh
karena his yang adekuat dan kekuatan mengedan ibu janin didorong ke luar sampai
lahir. Dalam kala III atau kala uri, plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan.
Kala IV mulai dari lahirnya plasenta dan lamanya 1 jam. Pada kala IV ibu akan lebih
diawasi dan dipantau, apakah ada ancaman terjadi perdarahan postpartum atau tidak.
a. Kala I
Secara klinis dinyatakan partus dimulai bila timbul his dan wanita tersebut
mengeluarkan lendir yang bercampur darah (bloody show). Lendir yang bercampur

darah ini berasal dari lendir kanalis servikalis karena serviks mulai membuka atau
mendatar. Sedangkan darahnya berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yang berada di
sekitar kanalis servikalis itu pecah karena pergeseran-pergeseran ketika serviks
membuka. Proses membukanya serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase, yaitu fase
laten : berlangsung selama 8 jam. Pembukaan berlangsung sangat lambat sampai
mencapai ukuran diameter 3 cm, fase aktif : dibagi dalam 3 fase lagi, yakni fase
akselerasi, dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi menjadi 4 cm, fase dilatasi
maksimal dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9
cm, fase deselerasi pembukaan menjadi lambat kembali, dalam waktu 2 jam pembukaan
dari 9 cm menjadi lengkap. Fase-fase ini dijumpai pada primigravida. Pada multigravida
pun terjadi demikian, akan tetapi fase laten, fase aktif dan fase deselerasi terjadi lebih
pendek dan lebih cepat.
b. Kala II
Kala II disebut juga kala pengeluaran, pada kala II merupakan tahap dimana
bayi akan dilahirkan sehingga kondisi yang terjadi pada kala II ini his akan menjadi
lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira 2 sampai 3 menit sekali. Karena biasanya dalam hal
ini kepala janin sudah masuk diruang panggul, maka pada his dirasakan tekanan pada
otot-otot dasar panggul, yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan, semakin
kuat dan teraturnya his, maka akan mendorong janin untuk dilahirkan dengan pimpinan
persalinan oleh bidan atau dokter kebidanan. Pada primigravida kala II berlangsung ratarata 1,5 jam dan pada multigravida kala II berlangsung rata-rata 0,5 jam.
c. Kala III
Kala III merupakan kala pengeluaran uri atau plasenta. Setelah bayi lahir,
maka pada perabaan uterus akan terasa keras dengan fundus uteri agak di atas pusat.

Beberapa menit kemudian uterus akan berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta atau
uri, yang ditandai dengan tersemburnya darah tiba-tiba

dan pada saat dilakukan

peregangan tali pusat akan bertambah panjang, biasanya plasenta akan keluar setelah 15
menit secara spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta
disertai dengan pengeluaran darah.
d. Kala IV
Pada kala ini perlu diamati apakah ada perdarahan postpartum, sehingga kala
IV disebut juga kala pengawasan, ibu akan diobservasi selama 2 jam, memperbaiki
keadaan umum ibu dengan pemberian cairan yang cukup, pemeriksaan vital sign dan
pengawasan kontraksi uterus, dan ibu juga bisa melakukan pemberian ASI pertama bagi
bayinya.
C. Persalinan seksio sesarea
1. Istilah-istilah dalam seksio sesarea
Proses seksio sesarea ada yang direncanakan dan ada yang dilakukan karena
tindakan gawat darurat. Menurut Mochtar (1998), seksio sesarea memiliki beberapa
istilah, diantaranya yang sering digunakan untuk membedakan antara yang direncanakn
dan yang darurat yaitu, seksio sesarea primer (elektif): dari semula telah direncanakan
bahwa janin akan dilahirkan secara seksio sesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa,
misalnya pada panggul sempit (CV kecil dari 8 cm). Seksio sesarea sekunder : dalam hal
ini kita akan mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan), bila tidak ada
kemajuan persalinan atau partus percobaan gagal, baru dilakukan seksio sesarea. Seksio
sesarea ulang adalah ibu pada kehamilan yang lalu mengalami seksio sesarea (previous
caesarean section) dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan seksio sesarea ulang.
Seksio sesarea histerektomi adalah suatu operasi setelah janin dilahirkan dengan seksio

sesarea, langsung dilakukan histerektomi (pengangkatan rahim) oleh karena sesuatu


indikasi. Operasi porro adalah suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri
(tentunya janin sudah mati), dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada
keadaan infeksi rahim yang berat.
2. Indikasi persalinan seksio sesarea
Banyak indikasi yang dapat menyebabkan seorang ibu harus melahirkan
secara seksio sesarea. Untuk itu, perlu adanya pengawasan dan pemeriksaan yang
lengkap selama kehamilan.
Menurut Liu (2007), seksio sesarea dilakukan untuk mengatasi disproporsi
sefalo-pelvik dan aktifitas uterus yang abnormal, mempercepat kelahiran untuk
keselamatan ibu atau janin, mengurangi trauma janin (misalnya presentasei bokong
prematur kecil) dan infeksi janin (misalnya resiko tertular infeksi herpetik atau HIV),
mengurangi resiko pada ibu (misalnya gangguan jantung tertentu, lesi intrakranial atau
keganasan pada serviks), memungkinkan ibu untuk menjalankan pilihan sesuai
keinginan.
Penyebab utama dilakukan tindakan seksio sesarea bisa berasal dari ibu
sendiri, atau berasal dari janin. Menurut Saifuddin (2006), indikasi dilakukan seksio
sesarea dibagi 2 antara lain, indikasi pada ibu yaitu, disproporsi sefalo-pelvik (CPD),
disfungsi uterus, distosia jaringan lunak dan plasenta previa. Sedangkan indikasi pada
janin yaitu, janin besar, gawat janin, letak lintang.
Pada ibu, keadaan yang paling sering menghambat persalinan normal adalah
bentuk dan ukuran panggul yang tidak sesuai dengan ukuran janin, sehingga janin tidak
dapat melewati jalan lahir keras. Hal ini karena pada saat hamil ibu sering dikusuk pada
bagian perutnya oleh dukun, padahal akibat dari pengusukan perut yang terlalu sering

dan kuat akan mengakibatkan kondisi rahim ibu terganggu. Persalinan yang panjang dan
lama yang tidak menunjukkan kemajuan karena tidak adanya pembukaan pada servik
juga dapat menyebabkan ibu harus dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan
pembedahan.
Menurut Mochtar (1998), indikasi dilakukan seksio sesarea pada ibu antara
lain panggul sempit, ruptura uteri yang mengancam, partus yang berlangsung lama
(prolonged labor), partus tak maju (obstructed labor),

pre-eklamsi dan hipertensi.

Sedangkan indikasi pada janin yaitu malpresentasi janin seperti letak lintang, letak
bokong, presentase dahi dan muka, presentase rangkap dan gamelli (bayi kembar).
Penyebab operasi sesarea dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor janin
antara lain bayi terlalu besar yang mungkin saja ibu memiliki riwayat diabetes mellitus
atau kencing manis. Pertumbuhan janin terhambat karena adanya gangguan
pembentukan jaringan, kelainan letak janin (letak sungsang dan letak lintang), ancaman
gawat janin (fetal distress) akan ditemukan pada pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ)
jumlahnya kurang dari 120 dan atau lebih dari 160 kali permenit, janin abnormal
(misalnya gangguan Rh, kerusakan genetik, dan hidrosephalus atau kepala besar karena
otak berisi cairan).
Faktor yang berasal dari plasenta antara lain plasenta previa yaitu letak
plasenta yang abnormal yang menutupi jalan lahir, solutio plasenta yaitu terlepasnya
plasenta sebelum bayi lahir, plasenta yang tertanam terlalu dalam atau plasenta akreta
(plesenta menempel sampai ke otot rahim), biasanya terjadi pada ibu berusia rawan
untuk hamil yaitu diatas 35 tahun, dan ibu yang mempunyai riwayat persalinan yang lalu
dengan operasi yang operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya

plasenta, vasa previa (keadaan pembuluh darah diselaput ketuban berada di mulut rahim,
jika pecah dapat menimbulkan perdarahan.
Kelainan pada tali pusat antara lain prolapsus tali pusat (tali pusat
menumbung) pada saat ketuban dipecahkan teraba tali pusat sehingga menghambat janin
untuk turun, terlilit tali pusat biasanya ditemukan pada leher bayi akibat pergerakan
janin yang terlalu aktif, bayi kembar (gamelli).
Dari faktor ibu yang menyebabkan dilakukan bedah sesarea antara lain usia
(ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35 tahun memiliki resiko
melahirkan dengan operasi. Apalagi dengan usia 40 tahun ke atas, karena berisiko
adanya penyakit penyerta seperti jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan pre-eklamsi.
Untuk itu, ibu-ibu yang berusia diatas 35 tahun, tidak dianjurkan untuk hamil. Tulang
panggul (cephalopelvic disproportion/CPD) tidak sesuai ukuran panggul dengan kepala
bayi, persalinan sebelumnya dengan operasi, faktor hambatan jalan lahir (jalan lahir
yang kaku, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir (distosia). Kelainan
kontraksi rahim (kontraksi yang lemah dan tidak terkoordinasi), ketuban pecah dini
/KPD yaitu robeknya kantung ketuban sebelum waktunya, akan membuka rahim
sehingga memudahkan masuknya bakteri lewat vagina menyebabkan terjadinya infeksi
(Kasdu, 2003).
3. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan seksio sesarea
Agar proses persalinan secara seksio sesarea dapat berjalan dengan baik, perlu
adanya kerjasama yang baik antara ibu dan petugas kesehatan. Menurut Prawirohardjo
(2002), dalam melakukan seksio sesarea perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain :

a. Seksio elektif
Seksio sesarea ini direncanakan lebih dahulu karena sudah diketahui bahwa
kehamilan harus diselesaikan dengan cara operasi, ibu hamil memang selayaknya harus
melakukan pemeriksaan selama kehamilan minimal empat kali, sehingga akan dapat
diketahui apakah kehamilan ibu nantinya dapat diakhiri dengan normal tanpa komplikasi
atau harus melalui persalinan seksio, keuntungannya seksio elektif adalah waktu
pembedahan dapat ditentukan dan direncanakan oleh dokter yang akan menolongnya
dan dapat dilakukan persiapan yang lebih baik. Kerugiannya ialah oleh karena
persalinan belum mulai, segmen bawah uterus belum terbentuk dengan baik sehingga
menyulitkan pembedahan, dan lebih mudah terjadi atonia uteri dengan perdarahan
karena uterus belum mulai berkontraksi.
b. Anestesia
Sebelum dilakukan proses operasi ibu terlebih dahulu akan dibius, ada yang
menggunakan bius umum, yang membuat ibu akan tertidur dan tidak akan mengetahui
apapun yang terjadi. Ada juga yang menggunakan bius lokal yang membuat tubuh ibu
hanya sebagian saja yang dibius, sehingga ibu dapat mendengar dan bahkan dapat
melihat bayinya.
Anestesia atau pembiusan umum mempunyai pengaruh depresif pada pusat
pernafasan janin, sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan apnea yang tidak
dapat diatasi dengan mudah. Selain itu ada pengaruh terhadap tonus uterus sehingga
kadang-kadang timbul perdarahan postpartum karena atonia uteri. Akan tetapi, bahaya
terbesar pada pemberian anestesia umum sedang lambung penderita tidak kosong. Pada
wanita yang tidak sadar karena anestesia ada kemungkinan isi lambung masuk kedalam
jalan pernapasan, dan ini merupakan hal yang berbahaya. Anestesia spinal aman untuk

janin, akan tetapi selalu ada kemungkinan tekanan darah penderita turun dengan akibat
yang buruk bagi ibu dan janin. Cara yang paling aman adalah anestesia lokal, akan
tetapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental penderita.
c. Transfusi darah
Pada umumnya perdarahan pada seksio sesarea lebih banyak dari pada persalinan
pervaginam. Perdarahan tersebut akibat insisi pada uterus, ketika pelepasan plasenta,
mungkin juga karena terjadinya atonia uteri postpartum. Oleh sebab itu pada setiap akan
dilakukan tindakan seksio sesarea perlu diadakan persediaan darah. Namun, tidak semua
rumah sakit mempunyai persediaan darah.
d. Pemberian antibiotika
Walaupun pemberian antibiotika sesudah seksio sesarea yang direncanakan
sering tidak diberikan, biasanya pada seksio yang elektif sebelum operasi pasien sudah
diberikan antibiotik. Namun, pada umumnya pemberiannya sangat dianjurkan.
Mengingat terjadinya infeksi sangat rawan pada ibu yang post seksio.
4.

Jenis-jenis seksio sesarea


Menurut Liu (2007), berdasarkan jenis insisi pada perut dan rahim, maka seksio

sesarea dibagi 2, yaitu insisi abdominal dan insisi uterus.


a. Insisi abdominal
Pada dasarnya insisi ini adalah garis tengah subumbilikal dan insisi abdominal
bawah transversa. Insisi garis tengah subumbilikal, insisi ini mudah dan cepat. Akses
mudah dengan perdarahan minimal. Berguna jika akses ke segmen bawah sulit,
contohnya jika ada kifosklerosis berat atau fibroid segmen bawah anterior. Walaupun
bekas luka tidak terlihat, terdapat banyak ketidaknyamanan pascaoperasi dan luka
jahitan lebih cenderung muncul dibandingkan dengan insisi transversa. Insisi transversa

(pfannenstiel) insisi ini merupakan pilihan saat ini, secara kosmetik sangat memuaskan,
lebih sedikit menimbulkan luka jahitan dan lebih sedikit ketidaknyamanan,
memungkinkan mobilitas pascaoperasi lebih baik, insisi secara teknik lebih sulit
terutama pada operasi berulang.
b. Insisi uterus
Jalan masuk ke dalam uterus dapat melalui insisi garis tengah atau insisi
segmen bawah transversa. Seksio sesarea segmen bawah, keuntungannya adalah lokasi
tersebut memiliki lebih sedikit pembuluh darah sehingga kehilangan darah yang
ditimbulkan lebih sedikit, mencegah penyebaran infeksi ke rongga abdomen, merupakan
bagian uterus yang sedikit berkontraksi sehingga sedikit kemungkinan terjadinya ruptur
pada bekas luka di kehamilan berikutnya, penyembuhan lebih baik dengan komplikasi
pascaoperasi yang lebih sedikit seperti pelekatan, implantasi plasenta di atas bekas luka
uterus kurang cenderung terjadi pada kehamilan berikutnya.
Kerugiannya meliputi akses mungkin terbatas, lokasi uterus yang berdekatan
dengan kandung kemih meningkatkan resiko kerusakan khususnya pada prosedur
pengulangan., perluasan ke sudut lateral atau dibelakang kandung kemih dapat
meningkatkan kehilangan darah.
Seksio sesarea klasik, insisi ini di tempatkan secara vertikal di garis tengah
uterus, indikasi penggunaannya meliputi jika akses ke segmen bawah terhalang oleh
pelekatan fibroid uterus, jika janin terimpaksi pada posisi transversa, pada keadaan
segmen bawah vaskular karena plasenta previa anterior, jika ada karsinoma serviks, jika
kecepatan sangat penting, contohnya setelah kematian ibu.

Kerugiannya meliputi hemostasis lebih sulit dengan insisi vaskulat yang tebal,
pelekatan ke organ sekitarnya lebih mungkin, plasenta anterior dapat ditemukan selama
pemasukan, penyembuhan terhambat karena involusi miometrial, terdapat lebih besar
resiko ruptur uterus pada kehamilan berikutnya. Insisi kronig-gellhom-beck, insisi ini
adalah insisi pada garis tengah pada segmen bawah yang digunakan pada pelahiran
prematur apabila segmen bawah terbentuk dengan buruk atau dalam keadaan
terdapatnya perluasan ke segmen uterus bagian atas yang dilakukan untuk memberi lebih
banyak akses, insisi ini lebih sedikit komplikasi seksio sesarea klasik, insisi ini tidak
menutup kemungkinan pelahiran pervaginam.
5.

Perawatan praoperasi
Menurut Liu (2007), perawatan praoperasi yang harus dikerjakan sebelum

tindakan bedah dimulai terdiri atas : pastikan alasan untuk pembedahan adalah valid dan
tepat. Dokter, bidan atau perawat yang bersangkutan harus mengemukakan alasan ini
dan mendiskusikannya secara jelas dengan ibu dan pasangannya. Riwayat obstetri dan
riwayat medis harus ditinjau ulang. Diskusikan jenis anestesia dengan dokter anestesia
dan ibu, beritahu dokter pediatri pada saat yang tepat, pemeriksaan laboratorium darah,
tersedianya 2 unit darah untuk keadaan darurat, berikan antasida, dapatkan persetujuan
tertulis, berikan antibiotika profilaksis. Ibu dianjurkan untuk puasa, perawat akan
melakukan persiapan pada ibu, seperti pemasangan kateter, pemasangan infus,
pemeriksaan vital sign yang lengkap. Kesemua hal tersebut sangat penting diperhatikan,
agar proses operasi dapat berjalan dengan baik.

6.

Perawatan pascaoperasi
Menurut Liu (2007) ibu yang mengalami komplikasi obstetri atau medis

memerlukan observasi ketat setelah seksio sesarea, perawatan umum untuk semua ibu
meliputi : kaji tanda-tanda vital baik tekanan darah, pernapasan, frekuensi jantung
maupun suhu tubuh, dengan interval teratur (15 menit), pastikan kondisinya stabil. Lihat
tinggi fundus pastikan rahim berkontraksi dengan baik, adanya perdarahan dari luka dan
jumlah lokia, pertahankan keseimbangan cairan, pastikan analgesia yang adekuat,
tangani kebutuhan khusus dengan indikasi langsung untuk seksio sesarea, misalnya
diabetes mellitus. Sebelum pemulangan harus diberikan kesempatan sesuai dengan
keadaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien tentang hal-hal yang berhubungan
dengan perawatan luka seksio dan lainnya, jadwalkan untuk melakukan pengkajian
ulang pasca melahirkan guna memastikan penyembuhan total, mendiskusikan kehamilan
berikutnya dan pemakain alat kontrasepsi, dan memastikan tindak lanjut perawatan
untuk kondisi medisnya.
7. Risiko operasi seksio sesarea
Operasi seksio sesarea sebaiknya dilakukan karena pertimbangan medis, bukan
karena keinginan pasien yang tidak mau menanggung rasa sakit, hal ini karena risiko
operasi sesarea lebih besar dari pada persalinan alami. Demikian teori yang disebutkan
dalam buku Obstetrics and Gynecology (dalam Kasdu, 2003). Didalamnya dijelaskan,
dalam kondisi ibu dan bayi yang sehat dan tidak ada kesulitan, bedah sesarea memiliki
risiko . Misalnya, kondisi pasien yang tidak dapat diduga sebelumnya. Menurut Peel dan
Chamberlain, indikasi untuk melakukan operasi dengan berbagai penyebabnya
mengakibatkan angka kematian ibu 17% (sebelum dikoreksi) dan 0,58% (sesudah

dikoreksi), sedangkan kematian janin 14,5%. Pada 774 persalinan berikutnya, terjadi
1,03% rupture uteri (rahim yang robek). Risiko ini bisa menimpa ibu maupun bayinya.
Persalinan dengan operasi memiliki kemungkinan risiko lima kali lebih besar
terjadi komplikasi dibandingkan persalinan normal. Faktor risiko paling banyak dari
operasi sesarea adalah akibat dari tindakan anestesi, jumlah darah yang dikeluarkan oleh
ibu

selama

operasi

berlangsung,

komplikasi

penyulit,

endometritis

(radang

endometrium), tromboplebilitis (pembekuan darah pembuluh balik), embolisme


(penyumbatan pembuluh darah), paru-paru, dan pemulihan bentuk serta letak rahim
menjadi tidak sempurna.
Berikut ini adalah risiko-risiko yang mungkin dialami oleh wanita yang melahirkan
dengan operasi seksio sesarea yang dapat mengakibatkan cedera pada ibu maupun bayi,
dan risiko ini bersifat individual, yaitu tidak terjadi pada semua orang.
a. Alergi
Biasanya risiko ini terjadi pada pasien yang alergi terhadap obat tertentu, seperti
antibiotik, oleh sebab itu perlu dilakukan skin tes. Pada awalnya, yaitu pada saat
pembedahan, segalanya bisa berjalan lancar sehingga bayi pun lahir dengan selamat.
Namun, beberapa jam kemudian, ketika dokter sudah pulang, obat yang diberikan baru
bereaksi sehingga jalan pernapasan pasien dapat tertutup. Perlu diketahui, penggunaan
obat-obatan pada pasien dengan operasi sesarea lebih banyak dibandingkan dengan cara
melahirkan alami. Jenis obat-obatan ini beragam, mulai dari antibiotik, obat untuk
pembiusan, penghilang rasa sakit, serta beberapa cairan infus. Oleh karena itu, biasanya
sebelum operasi akan ditanyakan kepada pasien apakah mempunyai alergi tertentu.

b. Perdarahan
Perdarahan dapat mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan darah pada
pembuluh darah balik di kaki dan rongga panggul. Oleh karena itu, sebelum operasi
seorang wanita harus melakukan pemeriksaan darah lengkap. Salah satunya untuk
mengetahui masalah pembekuan darahnya. Selain itu, perdarahan banyak bisa timbul
pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri uteri ikut terbuka atau karena atonia
uteri. Kehilangan darah yang cukup banyak dapat menyebabkan syok secara mendadak.
Kalau perdarahan tidak dapat diatasi, kadang perlu tindakan histerektomi atau
pengangkatan rahim, terutama pada kasus atonia uteri yang berlanjut.
c. Cedera pada organ lain
Jika tidak

dilakukan

secara hati-hati,

kemungkinan

pembedahan

dapat

mengakibatkan terlukanya organ lain, seperti rektum atau kandung kemih. Penyembuhan
luka bekas bedah sesarea yang tidak sempurna dapat menyebabkan infeksi pada organ
rahim atau kandung kencing. Selain itu, dapat pula berdampak pada organ lain dengan
menimbulkan perlekatan pada organ-organ didalam rongga perut untuk kehamilan risiko
tinggi yang memerlukan penanganan khusus.
d. Parut dalam rahim
Seorang wanita yang sudah pernah mengalami pembedahan akan memiliki parut
dalam rahim. Oleh karena itu, pada tiap kehamilan dan persalinan berikutnya
memerlukan pengawasan yang cermat sehubungan dengan bahaya rupture uteri,
meskipun jika opersai dilakukan secara sempurna risiko ini sangat kecil terjadi. Sekitar
1-3% angka kejadian akibat operasi menyebabkan rupture uteri. Biasanya, kondisi ini
terjadi apabila menggunakan sayatan klasik atau vertikal.

e. Demam
Kadang-kadang, demam setelah operasi tidak bisa dijelaskan penyebabnya.
Namun, kondisi ini bisa terjadi karena infeksi. Komplikasi ringan yang sering terjadi
adalah kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari dalam masa nifas, sedangkan
komplikasi berat, seperti peritonitis (radang selaput perut), sepsis (reaksi umum disertai
demam karena kegiatan bakteri), atau disebut juga terjadi infeksi puerperal. Infeksi
pascaoperasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi
intrapartum atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu.
Misalnya, persalinannya berlangsung lama, khususnya setelah ketuban pecah, telah
diupayakan tindakan vaginal sebelumnya.
f. Mempengaruhi produksi ASI
Efek pembiusan dapat mempengaruhi produksi ASI jika dilakukan pembiusan
total (narkose). Akibatnya, kolostrum (air susu yang keluar pertama kali) tidak bisa
dinikmati oleh bayi dan bayi tidak dapat segera menyusui begitu ia dilahirkan. Namun,
apabila dilakukan dengan pembiusan regional (misalnya spinal) tidak banyak
mempengaruhi produksi ASI .
8. Menghindarkan bedah sesarea yang tidak perlu
Berkaitan dengan pencanangan Departemen Kesehatan, IDI, dan POGI mengenai
upaya penurunan angka bedah sesarea di Indonesia, ada enam langkah yang harus
ditempuh agar angka bedah sesarea dapat dikendalikan, yaitu: (1) pendidikan dan
evaluasi terhadap pasien secara cermat; (2) telaah (review) eksternal; (3) penyebarluasan
informasi kepada masyarakat mengenai tingginya angka bedah sesarea bagi setiap
dokter atau RS; (4) reformasi terhadap horonarium dokter yang melakukan bedah
sesarea; (5) reformasi pembayaran bagi RS; dan (6) reformasi terhadap tuntutan

malpraktik, di mana (selain pasien) organisasi profesi seperti IDI atau POGI (dalam hal
ini) dapat mengajukan tuntutan malpraktik kepada dokter yang bertindak melanggar atau
menyalahi etika maupun ketentuan-ketentuan yang telah disepakati, termasuk mengenai
masalah bedah sesarea.
Keenam langkah ini memang jelas berpihak kepada pasien, sedangkan dokter
(kebidanan) harus benar-benar back to basic untuk dapat menerimanya dengan tulus.
Apabila diterapkan, maka keenam langkah tersebut akan mereduksi serta mengurangi
hak istimewa dan arogansi dokter secara bermakna. Sebaliknya, memberikan hak yang
lebih luas, adil dan proporsional kepada para pasien. Dengan begitu, diperoleh suatu
jaminan bahwa bedah sesarea benar-benar merupakan tindakan yang profesional dan
sesuai dengan etika medis. Selain itu, terdapat keseimbangan dengan hak pasien dalam
proses pengambilan keputusan untuk pembedahan sesarea, sesuatu yang belakangan ini
semakin diabaikan dalam hubungan profesional dokter-pasien (Dewi dan Fauzi, 2007).
9.

Partisipasi pasien untuk pengendalian angka bedah seksio sesarea


a.

Sebelum persalinan : para ibu harus dianjurkan untuk banyak membaca

dan mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, kalau
perlu ikut mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh bidan, dokter, ataupun
Rumah Sakit. Selain itu disarankan pula (bila memungkinkan) untuk melihat fasilitas
tempatnya bersalin kelak, lalu bertanya kepada lebih dari satu orang tenaga kesehatan
yang mengetahui mengenai persalinan. Jika direncanakan untuk bedah sesarea, mintalah
dokter untuk menjelaskan dan membuktikan indikasi medisnya.
b.

Dalam persalinan : diusahakan untuk dapat tinggal selama mungkin

dirumah, sampai dirasakan bahwa kontraksi rahim sudah sedemikian sering dan kuat
sehingga tidak memungkinkan untuk berjalan-jalan atau melakukan aktivitas.

Kedatangan yang terlalu dini ke tempat bersalin seringkali justru menimbulkan stres.
Para ibu akan mengalami nyeri atau rasa sakit, tetapi sebaiknya tidak meminta untuk
dibius (regional maupun umum). Dalam kaitan ini, dukungan dari suami menjadi salah
satu faktor penting. Dukungan tersebut harus diarahkan kepada dorongan agar sang istri
yang sedang bersalin itu berusaha sekuat tenaga untuk menghindari bedah sesarea.
Semua pihak harus menyadari bahwa persalinan atau kelahiran yang alamiah adalah
yang terbaik, sedangkan bedah sesarea sebenarnya merupakan alternatif (Dewi & fauzi,
2007).
D. Metode Penelitian Kualitatif Fenomenologi
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti
kata-kata, laporan terinci dari pandangan partisipan, dan melakukan studi pada situasi
yang alami (Bungin, 2007)
Bogdan dan Taylor (1975, dalam Moleong, 2007) mengemukakan bahwa
metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi yang alamiah dan bersifat penemuan.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya pengalaman, perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Menurut Denzin dan Lincoln (1987 dalam Moleong, 2006, hal. 5) menyatakan
bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan

maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, latar alamiah dengan maksud agar
hasilnya dapat digunakan untuk dapat menafsirkan fenomena dan yang dimanfaatkan
untuk penelitian kualitatif adalah berbagai macam metode penelitian, dalam penelitian
kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan
pemanfaatan dokumen.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai intrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik
pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif,
dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiono,
2009).
Bogdan dan Biklen (1982, dalam Sugiono, 2009, hal.21) mengemukakan bahwa
penelitian kualitatif memiliki karakteristik, yaitu : dilakukan pada kondisi yang alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen), langsung ke sumber data dan peneliti adalah
instrumen kunci, penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif, data yang terkumpul
berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka. Penelitian
kualitatif lebih menekankan pada proses dari pada produk atau outcome. Penelitian
kualitatif melakukan analisis data secara induktif. Penelitian kualitatif lebih menekankan
makna (data dibalik yang teramati).
Menurut (Creswell, 1998) penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau
mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran
yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami,

sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji.
Menurut Moleong (2006) penelitian fenomenologi diartiakan sebagai : 1) Pengalaman
subjektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari
perspektif pokok dari seseorang. Ada beberapa ciri pokok fenomenologi yang dilakukan
oleh peneliti fenomenologis, yaitu: fenomenologis cenderung mempertentangkannya
dengan naturalisme yaitu yang disebut objektivisme dan positivisme. Secara pasti,
fenomenologis cenderung memastikan kognisi yang mengacu pada apa yang dinamakan
kesadaran tentang sesuatu benda itu sendiri secara jelas dan berbeda dengan yang
lainnya dan mencakup dari segala segi. Fenomenologi cenderung percaya bahwa bukan
hanya sesuatu benda yang ada dalam dunia alam nyata dan budaya.

E. Etika Penelitian
Peneliti lapangan adalah mereka yang banyak berjumpa dengan masyarakat dan
rekan sejawat. Mereka adalah tenaga profesional . Demikian juga peneliti kebidanan
yang profesional dibidangnya, salah satu ciri profesi adalah bahwa dalam
menyelenggarakan pekerjaan, penyandang profesi harus terikat pada kode etik, yaitu
kode etik penelitian. Kode etik penelitian atau lebih tepat disebut kode etik peneliti
semakin terasa diperlukan, terutama dikalangan peneliti masalah kebidanan dan
kemanusiaan.
Peneliti masalah kebidanan dan kemanusiaan selalu berinteraksi dengan manusia
dan produk kerja mereka diperuntukkan bagi kepentingan manusia yaitu pemecahan
masalah kebidanan. Tanpa dikuasai oleh kode etik, kerja penelitian akan berhasil dengan
penuh resiko, seperti keretakan hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian
seperti populasi atau sampel, menjatuhkan harga diri populasi dan sampel, menghambat

kerja penelitian peneliti lain yang menggunakan populasi dan sampel yang sama,
meskipun berbeda fokus kajian, hasil penelitian tidak dapat diimplementasikan,
kalaupun berhasil dalam proses. Dapat membangkitkan rasa tidak puas dalam diri
peneliti, dapat menimbulkan rasa tidak aman dalam diri populasi dan sampel, hasil
sampel bisa saja tidak objektif karena sumber data tidak menyampaikan data
sebagaimana adanya.
Dalam melakukan penelitian, peneliti telah mengajukan surat permohonan untuk
memperoleh persetujuan penelitian. Setelah memperoleh persetujuan penelitian, peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta akibat yang mungkin terjadi selama dan
sesudah pengumpulan data. Dan setelah dijelaskan semua partisipan bersedia untuk
dijadikan sampel penelitian. Untuk menjaga kerahasiaan identitas semua informasi yang
diberikan partisipan pada lembar pengumpulan data (kuesioner) hanya nomor kode yang
digunakan, sehingga kerahasiaan identitas semua informasi yang diberikan tetap terjaga
dan seluruh informasi yang diperoleh hanya akan digunakan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dan tetap menjaga kerahasiaannya.
F. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri merupakan alat atau pengumpul data
utama. Hal itu dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia maka
sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan
yang ada dilapangan. Selain itu hanya manusia sebagai alat sajalah yang dapat
berhubungan dengan partisipan atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu
memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrumen
pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga
apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

Pengertian instrumen atau alat penelitian tepat karena ia menjadi segalanya dari
keseluruhan proses penelitian. Adapun ciri-ciri umum manusia sebagai instrumen
mencakup : segi responsif yaitu manusia sebagai instrumen responsif terhadap
lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan. Sebagai
manusia ia harus bersifat interaktif

terhadap orang dan lingkungannya. Selain itu

manusia sebagai instrumen juga harus dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi
pengumpulan data. Kemampuan lainnya yang ada pada peneliti ialah kemampuan
mengikhtisarkan informasi yang begitu banyak yang diceritakan partisipan dalam
wawancara.
Selain peneliti sebagai instrumen, dalam penelitian ini digunakan juga kuesioner
data demografi dan panduan wawancara. Kuesioner data demografi yang digunakan
yaitu: umur, agama, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan penghasilan ibu. Panduan
wawancara berisi pertanyaan yang akan diajukan, mengenai pengalaman ibu primipara
yang melahirkan secara seksio sesarea.
Adapun jenis-jenis pertanyaan dalam wawancara dapat digolongkan pada enam
jenis pertanyaan yang saling berkaitan antara lain : pertanyaan yang berkaitan dengan
pengalaman, yaitu pertanyaan ini digunakan un tuk mengungkapkan pengalaman yang
telah dialami oleh partisipan atau subjek yang diteliti dalam hidupnya. Pertanyaan yang
berkaitan dengan pendapat, yaitu adakalanya peneliti ingin minta pendapat kepada
informan terhadap data yang diperoleh dari sumber tertentu. Pertanyaan yang berkaitan
dengan perasaan yaitu pertanyaan yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan
seseorang menggunakan pertanyaan yang tidak langsung. Pada awalnya dilakukan
percakapan yang biasa, dan lama-lama diarahkan pada pertanyaan yang digunakan untuk
mengungkapkan

perasaan.

Pertanyaan

tentang

pengetahuan

digunakan

untuk

mengungkapkan pengetahuan informan suatu kasus atau peristiwa yang mungkin


diketahui. Pertanyaan yang berkenaan dengan indera digunakan untuk mengungkapkan
data atau informasi karena yang bersangkutan melihat, mendengarkan, meraba dan
mencium suatu peristiwa.
Agar wawancara menjadi efektif ada beberapa cara yang dilakukan oleh peneliti
yaitu : menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan, yaitu ibu-ibu yang
melahirkan anak pertama secara seksio sesarea, menyiapkan pokok-pokok masalah
yang akan menjadi bahan pembicaraan, mengawali atau membuka alur wawancara,
melangsungkan alur
mengakhirinya,

wawancara, mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan

menuliskan

hasil

wawancara

ke

dalam

catatan

lapangan,

mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh.


G. Tingkat Keabsahan Data
Hasil penelitian diharapkan mempunyai data yang akurat dan dapat dipercaya,
sehingga hasil penelitian tersebut benar-benar dapat menjadi sebuah karangan ilmiah
yang bisa dipertanggung jawabkan tanpa adanya manipulasi atau pemalsuan data. Untuk
itu perlu adanya cara agar penelitian tersebut memenuhi keabsahan data. Ada beberapa
kriteria yang harus dipenuhi, sebagaimana menurut Lincoln dan Guba (1985) bahwa
tingkat kepercayaan hasil penelitian dapat dicapai jika peneliti berpegang pada empat
prinsip, meliputi : pertama, credibility yaitu apakah hasil penelitian dapat dipercaya atau
tidak, hal ini dapat dilakukan dengan cara triangulasi, member chek dan wawancara atau
pengamatan secara terus-menerus (prolonged engangement), kedua, Dependability yaitu
apakah hasil penelitian memiliki keandalan atau reliabilitas, dimana hasil penelitian
tersebut nantinya harus memiliki kekonsistenan terhadap data yang dikumpulkan,
dianalisis dan pada saat dilakukan kesimpulan. Ketiga, confirmability yaitu keyakinan

akan kebenaran terhadap data yang diperoleh. Dengan meminta bantuan kepada orang
lain yang berkompeten untuk memeriksa dan mengoreksi hasil penelitian yang diperoleh
dan dikumplkan oleh peneliti. Keempat, transferability yaitu : mengandung makna
apakah hasil penelitian ini nantinya akan dapat dipergunakan pada situasi yang lain.
H. Pengalaman Ibu yang Melahirkan Seksio Sesarea
Pada proses persalinan tidak selamanya berjalan sesuai rencana, ditengah
perjalanannya sangat memungkinkan terjadi beberapa masalah yang tidak dapat diduga
sebelumnya. Seperti yang dialami oleh seorang ibu yang akan melahirkan anak
pertamanya, berikut ini kisahnya:
Bedah cesar datang begitu mengejutkan. Maksud saya, walaupun persalinan saya
perlu waktu yang panjang untuk dimulai, saya terus berusaha ketika persalinan saya
mulai terasa sulit. Lalu, ketika tiba saatnya mendorong, saya merasa senang karena
saya piker saya akan segera bertemu Tommy kecil. Yah,saya mendorong dan
mendorong untuk sekian lama, saya tidak tahu berapa lama. Perawat terus memeriksa
saya sementara saya mengejan-memasukkan jarinya kedalam tubuh saya untuk
merasakan kepala bayi. Tak lama kemudian, dokter melakukan hal yang sama. Ia
berkata bayi saya terjepit dan tidak turun. Ia sangat baik ketika berkata, Anda telah
bekerja dengan sangat keras dan melakukannya dengan sangat baik. Tetapi kami harus
melakukan sesuatu tindakan yang lain, demi keselamatan bayi anda, kami sebaiknya
akan melakukan bedah cesar. Saya sulit mempercayainya!, bagaimana bisa?saya
sudah begitu dekat dengan bayi, kenapa malah tidak bisa keluar? Saya menangis,
namun saya tahu mereka benar, jadi saya berkata, Baiklah, setidaknya persalinan
akan segera berakhir.

Dari kisah pengalaman ibu tersebut, dapat dinilai bahwa persalinan yang awalnya
fisiologis dapat berubah menjadi persalinan yang patologis dan membutuhkan
penanganan segera yaitu dengan cara seksio sesarea (Whalley, J.,Simkin, P., & Keppler,
A. 2009)

Anda mungkin juga menyukai