Anda di halaman 1dari 39

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RSUD Haji Makassar mulai tanggal 10 Maret
sampai dengan 10 April 2014. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui

gambaran kepemimpinan efektif dan transformasional kepala

ruang dalam penerapan budaya keselamatan pasien di Instalasi Rawat Inap.


Pengumpulan data yang diperoleh oleh peneliti secara langsung dari
responden dengan menggunakan pembagian kuesioner. Secara teknis, sebelum
dilakukan penyebaran kuesioner kepada seluruh responden, peneliti menghadap
kepala ruangan tiap

unit perawatan untuk meminta izin penelitian serta

memberikan penjelasan tentang kuesioner yang akan diisi. Setelah itu, selama
proses penelitian, peneliti memberikan penjelasan kepada kepala ruangan dan
perawat pelaksana yang sedang tidak sibuk dan meminta kesediaannya untuk
menjadi responden.
Hasil penelitian ini dianalisis melalui dua tahap, yaitu analisis univariat
dan cross tabulasi. Analisis univariat untuk melihat gambaran karakteristik
responden dan gambaran umum variabel-variabel yang diteliti. Sedangkan
cross tabulasi untuk melihat lebih jelas antara variabel dependen dan
independen yang diteliti.

1. Deskripsi Karateristik Umum Responden


Responden penelitian berjumlah 108 yang terdiri dari 100 perawat dan
8 kepala ruang. Gambaran karateristik dapat dilihat pada tabel diberikut ini:
Tabel 5.a
Distribusi Frekuensi Karateristik Responden (Perawat) di
Instalasi Rawat Inap RSUD Haji Tahun 2014
Perawat Pelaksana
No Karateristik Responden
n
%
Jenis Kelamin
1 Laki-Laki
6
6
2 Perempuan
94
94
Usia
1 20-24 Tahun
20
20
2 25-29 Tahun
45
45
3 30-34 Tahun
20
20
4 35-39 Tahun
15
15
Pendidikan
1 SPK
4
4
2 D3 Keperawatan
85
85
3 DIV Keperawatan
2
2
4 S1 Keperawatan
9
9
Status Kepegawaian
1 PNS
37
37
2 Sukarela
26
26
3 Outsorcing
37
37
Masa Kerja
1 1-4
51
51
2 5-9
36
36
3 10-14
9
9
4 15-19\
4
4
Pelatihan
1 Pernah
64
64
2 Tidak Pernah
36
36
Total
100
100
Sumber : Data Primer

Tabel 5.a menunjukkan bahwa dari 100 responden terdiri dari


jenis kelamin laki-laki, yakni berjumlah 6 responden (6%) dan
mayoritas responden, yakni berjumlah 94 (94%) berjenis kelamin
perempuan. Kemudian responden ditinjau menurut usia responden
paling banyak berusia 25-29 Tahun, yakni berjumlah 45 responden
(45%), sedangkan paling sedikit responden berada dalam rentang
usia 35-39 tahun yaitu sebanyak 15 responden (15%).
Pendidikan formal yang dicapai oleh perawat

terbagi atas

empat, yakni SPK, DIII Keperawatan,DIV Keperawatan dan S1


Keperawatan. Pendidikan yang paling banyak dicapai oleh
responden adalah DIII Keperawatan, yakni berjumlah 85 responden
(85%) dan paling sedikit 2 responden (2%) memiliki pendidikan
formal terakhir DIV Keperawatan. Dilihat dari status Kepegawaian
responden terbanyak adalah PNS dan Outsorcing sebanyak 37
responden (37%), dan yang berstatus kepegawaian sukarela
sebanyak 26 responden (26%).
Kemudian ditinjau dari lama kerja responden menunjukkan
bahwa dari 100 orang responden mayoritas memiliki mama kerja 1-4
tahun sebanyak 51 responden (51%) dan paling sedikit memiliki
lama kerja 15-19 tahun sebanyak 4 responden (4%). Berdasarkan
tabel 6.1 ditinjau dari pelatihan keselamatan yang telah mengikuti,
yakni sebanyak 64 responden (64%) dan yang belum mengikuti
sebanyak 36 responden (36%).

Tabel 5.b
Distribusi Frekuensi Karateristik Responden (Kepala Ruang) di
Instalasi Rawat Inap RSUD Haji Tahun 2014
Kepala Ruang
No Karateristik Responden
n
%
Jenis Kelamin
1 Laki-Laki
4
50
2 Perempuan
4
50
Usia
20-29
1
12,5
1
1
12,5
2 30-39
40-49
6
75
3
Pendidikan
1 D3 Keperawatan
2
25
2 S1 Keperawatan
6
75
Status Kepegawaian
1 PNS
8
100
Masa Kerja
3
37,5
1 >1
5
62,5
2 <1
Pelatihan
7
87,5
1 Pernah
1
12,5
2 Tidak Pernah
Total
8
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.b menunjukkan bahwa kepala ruang dari 8
responden

yang berjenis kelamin laki-laki, yakni berjumlah 4

responden (4%), dan 4 responden (4%) berjenis kelamin perempuan.


Kemudian ditinjau dari pendidikan formal yang dicapai oleh perawat
terbagi atas dua yakni DIII Keperawatan, dan S1 Keperawatan.
Pendidikan yang paling banyak dicapai oleh responden adalah S1
Keperawatan, yakni berjumlah 6 responden (75%) dan paling sedikit
2 responden (25%) memiliki pendidikan formal terakhir DIII
Keperawatan.

Kemudian ditinjau dari pelatihan keselamatan pasien yang


pernah diikuti bahwa sebagian besar telah mengikuti pelatihan,
yakni sebanyak 7 responden (87,5%), dan 1 responden (12,5%) tidak
pernah mengikuti pelatihan.
2. Deskripsi Jawaban Responden Menurut Variabel Penelitian
a.

Menurut Kepemimpinan Efektif


Adapun distribusi responden untuk kepemimpinan efektif
dapat dilihat pada tabel berikut :

No

Tabel 6
Kategori Mengenai Kepemimpinan Efektif
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
Kepemimpinan
Efektif

1
2

Tinggi
Rendah
Total
Sumber : Data Primer

N
7
1
8

87,5
12,5
100

75
25
100

%
75
25
100

Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebagian besar kepala ruangan 7


responden (87,5%) termasuk dalam kategori kepemimpinan efektif
tinggi dan sebanyak 1 responden (12,5%) termasuk dalam kategori
kepemimpinan efektif rendah. Kepemimpinan efektif kepala ruang
berdasarkan

jawaban

perawat

pelaksana

sebagian

besar

menunjukkan bahwa sebanyak 75 responden (75%) masuk dalam


kategori kepemimpinan efektif tinggi dan sebanyak 25 responden
(25%) masuk dalam kategori kepemimpinan efektif rendah.

Kepemimpinan

efektif

merupakan

variabel

independen

(variabel bebas) dalam penelitian ini yang terdiri dari pengetahuan,


kesadaran diri, komunikasi, penggunaan energi, penentuan tujuan,
dan pengambilan tindakan. Untuk mengetahui distribusi jawaban
responden untuk masing-masing pertanyaan pada setiap komponen
kepemimpinan efektif dapat dilihat pada tabel-tabel berikut
dibawah ini :
1)

Pengetahuan
Proporsi jawaban pernyataan mengenai pengetahuan diperoleh

bahwa pada pernyataan 1, dan 2, 3, dan 4 yang berada dalam tabel


lampiran. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No

Tabel 7
Kategori Mengenai Variabel Pengetahuan
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
Pengetahuan
%
n
N
%

1
2

Cukup
Kurang
Total
Sumber : Data Primer

8
0
8

100
0
100

90
10
100

90
10
100

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa 8 responden


kepala ruang (100%) memiliki pengetahuan yang cukup. Untuk
100 responden perawat pelaksana 90 responden (90%) meyakini
kepala ruang memiliki pengetahuan yang cukup dan 10 responden
(10%) meyakini kepala ruang memiliki pengetahuan kurang.
2)

Kesadaran Diri

Proporsi jawaban pernyataan mengenai kesadaran diri kepala


ruang pada pertanyaan 5,6, dan 7 yang berada pada tabel lampiran.
Dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No

Tabel 8
Kategori Mengenai Variabel Kesadaran Diri
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
Kesadaran Diri
%
n
n
%

1
2

Baik
Buruk
Total
Sumber : Data Primer

6
2
8

75
25
100

59
41
100

59
41
100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 8


responden kepala ruang sebagian besar memiliki kesadaran diri
baik 6 responden (37,5%) dan 2 responden (25%) memiliki
kesadaran diri buruk. Untuk 100 responden perawat pelaksana
sebagian besar 59 responden (59%) meyakini kepala ruangan telah
memilki kesadaran diri yang baik dan 41 responden (41%)
meyakini kepala ruangan memilki kesadaran diri yang buruk.
3)

Komunikasi
Proporsi jawaban pernyataan mengenai

komunikasi kepala

ruang pada pertanyaan 7, 8,dan 9 yang berada dalam tabel


lampiran. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 9
Kategori Mengenai Variabel Komunikasi
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
No
Komunikasi
%
n
n
%
1
Baik
5
62,5
73
73
2
Buruk
3
37,5
27
27
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 8
responden kepala ruang sebagian besar memiliki komunikasi baik
5 responden (62,5%) dan 3 responden (37,5%) memiliki
komunikasi buruk. Dari jawaban perawat pelaksana mengenai
komunikasi kepala ruangan yang baik 73 responden (73%) dan
yang termasuk komunikasi buruk 27 responden (27%).
4)

Penggunaan Energi
Proporsi jawaban pernyataan mengenai Penggunaan Energi

kepala ruang pada pertanyaan 10, 11,dan 12 yang berada pada tabel
lampiran. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 10
Kategori Mengenai Variabel Penggunaan Energi
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat
Kepala Ruang
Pelaksana
No Penggunaan Energi
N
%
n
%
1
Baik
7
87,5
69
69
2
Buruk
1
12,5
31
31
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden kepala ruang yang memiliki penggunaan energi baik
adalah sebanyak 7 responden (87,5%) dan 1 responden (12,5%)
memilki penggunaan energi buruk. Adapun jawaban dari perawat
pelaksana mengenai penggunaan energi kepala ruangan yang
termasuk baik adalah sebanyak 69 responden (69%), dan
penggunaan energi kepala ruang yang buruk adalah sebanyak 31
responden (31%).
5)

Penentuan Tujuan
Proporsi jawaban pernyataan mengenai penentuan tujuan

kepala ruang pada pertanyaan 13, 14,15, dan 16 yang berada pada
tabel lampiran. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 11
Kategori Mengenai Variabel Penentuan Tujuan
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala Ruang Perawat Pelaksana
No Penentuan Tujuan
%
n
n
%
1
Baik
6
75
61
61
2
Buruk
2
25
39
39
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang memiliki penentuan tujuan baik adalah
sebanyak 6 responden (75%) dan yang memiliki penentuan tujuan
buruk 2 responden (25%). Adapun jawaban dari perawat pelaksana
mengenai penentuan tujuan kepala ruangan yang termasuk baik

adalah sebanyak 61 responden (61%) dan penentuan tujuan kepala


ruang yang buruk adalah sebanyak 39 responden (39%)
6)

Pengambilan Tindakan
Proporsi jawaban pernyataan mengenai pengambilan tindakan

kepala ruang pada pertanyaan 17, 18,19, dan 20 yang berada pada
tabel lampiran.. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 12
Kategori Mengenai Variabel Pengambilan Tindakan
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
Pengambilan
No
Tindakan
%
N
n
%
1
2

Baik
Buruk
Total
Sumber : Data Primer

7
1
8

87,5
12,5
100

77
23
100

77
23
100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden kepala ruang yang memiliki pengambilan tindakan baik
adalah sebanyak 7 responden (87,5%) dan yang memiliki penentuan
tujuan buruk adalah sebanyak 1 responden (12,5%). Adapun
jawaban dari perawat pelaksana sebagian besar

kepala ruangan

memilki pengambilan tindakan termasuk baik adalah sebanyak 77


responden (77%), dan pengambilan tindakan kepala ruang yang
buruk adalah sebanyak 23 responden (23%).

b. Menurut Kepemimpinan Transformasional


Adapun distribusi responden untuk kepemimpinan efektif
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 13
Kategori Mengenai Kepemimpinan Transformasional
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat
Kepala Ruang
Kepemimpinan
Pelaksana
No
Transformasional
%
n
n
%
1
Tinggi
6
75
68
68
2
Rendah
2
25
32
32
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Tabel 13 dapat dilihat bahwa sebagian besar kepala ruangan 6
responden

(75%)

termasuk

dalam

kategori

kepemimpinan

transformasional tinggi dan sebanyak 2 responden (25%) termasuk


dalam

kategori

Berdasarkan

kepemimpinan

jawaban

perawat

transformasional
pelaksana

sebagian

rendah.
besar

menunjukkan bahwa sebanyak 68 responden (68%) masuk dalam


kategori kepemimpinan transformasional tinggi dan sebanyak 32
responden

(32%)

masuk

dalam

kategori

kepemimpinan

transformasional rendah.
Kepemimpinan

transformasional

merupakan

variabel

independen (variabel bebas) dalam penelitian ini yang terdiri dari


motivasi inspirasional dan kosiderasi/pertimbangan individu. Untuk
mengetahui distribusi jawaban responden untuk masing-masing

pertanyaan pada setiap komponen kepemimpinan transformasional


dapat dilihat pada tabel-tabel berikut dibawah ini :
1) Motivasi Inspirasional
Proporsi jawaban pernyataan mengenai motivasi inspirasional
pada pertanyaan 21,22, dan 23 yang berada pada tabel lampiran.
Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 14
Kategori Mengenai Variabel Motivasi Inspirasional
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala Ruang Perawat Pelaksana
Motivasi
No
Inspirasional
n
%
n
%
1
Tinggi
7
87,5
76
76
2
Rendah
1
12,5
24
24
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang yang memiliki motivasi inspirasional yang
tinggi sebanyak 7 responden (87,5%), dan 1 responden (12,5%)
memiliki motivasi inspirasional yang rendah. Adapun jawaban dari
perawat pelaksana sebagian besar kepala ruangan memiliki motivasi
inspirasional yang termasuk dalam kategori tinggi adalah sebanyak
76 responden (76%), dan motivasi inspirasional kepala ruang yang
termasuk buruk adalah sebanyak 24 responden (24%).
2) Pengaruh Ideal
Proporsi jawaban pernyataan mengenai motivasi inspirasional
pada pertanyaan 24,25,26 dan 27 yang berada pada tabel lampiran.
Dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No
1
2

Tabel 15
Kategori Mengenai Variabel Konsiderasi Individu
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala Ruang Perawat Pelaksana
Konsiderasi
Individu

Tinggi
Rendah
Total
Sumber : Data Primer

n
6
2
8

75
25
100

63
37
100

%
63
37
100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden kepala ruangan sebanyak 6 responden (75%) memiliki
konsiderasi individu yang tinggi dan 2 responden (25%) memiliki
konsiderasi individu buruk. Adapun jawaban dari perawat pelaksana
sebagian besar kepala ruangan memiliki konsiderasi individu yang
termasuk dalam kategori tinggi adalah sebanyak 63 responden
(63%), dan konsiderasi indivdu kepala ruang yang termasuk buruk
adalah sebanyak 37 responden (37%)

c.

Menurut Penerapan Budaya Keselamatan Pasien


Adapun

distribusi

responden

untuk

penerapan

budaya

keselamatan pasien dapat dilihat pada tabel berikut :


Tabel 16
Kategori Mengenai Penerapan Budaya Keselamatan
Pasien di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat
Penerapan Budaya Kepala Ruang
Pelaksana
No
Keselamatan
%
n
n
%
1
Tinggi
6
75
65
65
2
Rendah
2
25
35
35
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Tabel 16 dapat dilihat bahwa kepala ruang terdapat 6
responden (75%) termasuk dalam kategori

penerapan budaya

keselamatan pasien tinggi dan sebanyak 2 responden (25%)


termasuk dalam kategori penerapan budaya keselamatan pasien
rendah. Berdasarkan jawaban perawat pelaksana menunjukkan
bahwa sebanyak 65 responden (65%) masuk dalam kategori
penerapan budaya keselamatan pasien tinggi dan sebanyak 35
responden (35%) masuk dalam kategori penerapan budaya
keselamatan pasien rendah.
Penerapan budaya keselamatan pasien merupakan variabel
dependen (variabel terikat) dari penelitian ini. Dimensi-dimensi
yang digunakan sebagai patokan pengukuran penerapan budaya
keselamatan pasien, antara lain kerja sama, komunikasi terbuka,

respon tidak menghukum terhadap kesalahan, dan pelaporan


kejadian.
Untuk mengetahui distribusi jawaban responden untuk masingmasing pertanyaan pada setiap dimensi dapat dilihat pada tabeltabel berikut dibawah ini :
1) Kerjasama
Proporsi jawaban pernyataan mengenai kerjasama pada
pertanyaan 1,2,3,4, dan 5 yang berada pada tabel lampiran. Dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 17
Kategori Mengenai Variabel Kerjasama
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala Ruang Perawat Pelaksana
No
Kerjasama
n
%
n
%
1
Tinggi
6
75
62
62
2
Rendah
2
25
38
38
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang terdapat 5 responden (75%) memiliki
kerjasama yang tinggi, dan 3 responden (25%) memiliki kerjasama
yang rendah. Adapun dengan jawaban dari perawat pelaksana
mengenai kerjasama terdapat yang termasuk dalam kategori tinggi
adalah sebanyak 62 responden (62%) dan kerjasama yang termasuk
rendah adalah sebanyak 38 responden (38%).

2) Komunikasi Terbuka
Proporsi jawaban pertanyaan mengenai komunikasi terbuka
pada pertanyaan 6,7,8,9, dan 10 yang berada pada tabel lampiran.
Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 18
Kategori Mengenai Variabel Komunikasi Terbuka
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala Ruang Perawat Pelaksana
Komunikasi
No
Terbuka
n
%
N
%
1
Tinggi
7
87,5
71
71
2
Rendah
1
12,5
29
29
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang 7 responden (87,5%) memilki komunikasi
terbuka yang tinggi dan 1 responden (12,5%) memiliki komunikasi
rendah. Adapun dengan jawaban dari perawat pelaksana mengenai
komunikasi terbuka terdapat yang termasuk kategori tinggi adalah
sebanyak 71 responden (71%) dan

komunikasi yang termasuk

rendah adalah sebanyak 29 responden (29%)


3) Respon Tidak Menghukum Terhadap Kesalahan
Proporsi jawaban pertanyaan mengenai kerjasama pada
pertanyaan 11,12,13,14, dan 15 yang berada pada tabel lampiran.
Dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 19
Kategori Mengenai Variabel Respon Tidak
Menghukum Terhadap Kesalahan di Instalasi Rawat
Inap
RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala
Perawat
Respon Tidak
Ruang
Pelaksana
No
Menghukum
%
n
Terhadap Kesalahan
n
%
1
Tinggi
5
62,5
52
52
2
Rendah
3
37,5
48
48
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang terdapat 5 responden (62,5%) memiliki
respon tidak menghukum terhadap kesalahan yang tinggi, dan 3
responden (37,5%) memiliki respon tidak menghukum terhadap
kesalahan rendah. Adapun jawaban dari perawat pelaksana mengenai
respon tidak menghukum terhadap kesalahan yang termasuk dalam
kategori tinggi adalah sebanyak 52 responden (52%) dan respon
tidak menghukum terhadap kesalahan yang termasuk rendah adalah
sebanyak 48 responden (48%).
4) Pelaporan Kejadian
Proporsi

jawaban

pertanyaan

mengenai

kerjasama

pada

pertanyaan 16,17,18,19, dan 20 yang berada pada tabel lampiran.


Dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 20
Kategori Mengenai Variabel Pelaporan Kejadian
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat
Kepala Ruang
Pelaporan
Pelaksana
No
Kejadian
n
%
n
%
1
Tinggi
6
75
51
51
2
Rendah
2
25
49
49
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang terdapat 6 responden (75%) yang memiliki
pelaporan kejadian yang tinggi dan 2 responden (25%) memiliki
pelaporan kejadian yang rendah. Adapun jawaban dari perawat
pelaksana mengenai pelaporan kejadian yang termasuk dalam
kategori tinggi adalah sebanyak 51 responden (51%), dan sebanyak
49 responden (49%) yang termasuk dalam pelaporan kejadian
rendah.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas pada setiap
variabel yang diteliti maka dilakukan tabulasi silang antara
kepemimpinan efektif dengan penerapan budaya keselamatan
pasien dan kepemimpinan transformasional dengan penerapan
budaya keselamatan pasien.
1) Kepemimpinan Efektif Dengan Penerapan Budaya Keselamatan
Pasien

Adapun hasil tabulasi silang antara variabel kepemimpinan


efektif dengan penerapan budaya keselamatan pasien dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 22
Hasil Tabulasi Silang Antara Kepemimpinan Efektif
Dengan Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Instalasi
Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Penerapan Budaya Keselamatan Pasien
Perawat
Kepemimpinan
Kepala Ruang
Efektif
T
R
T
R
Tinggi
Rendah
Sumber : Data Primer

n
2
0

%
66,7
0

n
1
5

%
33,3
100

n
29
23

%
59,2
451

n
20
28

%
40,8
54,9

Pada tabel diatas menunjukkan bahwa responden kepala


ruangan dengan penerapan budaya keselamatan rendah ada pada
responden dengan kepemimpinan efektif rendah sebesar 100%
dan untuk penerapan budaya keselamatan tinggi ada pada
responden dengan kepemimpinan efektif tinggi sebesar 66,7%.
Kemudian responden perawat pelaksana yang meyakini kepala
ruang mempunyai penerapan budaya keselamatan tinggi ada
pada responden dengan kepemimpinan efektif tinggi sebesar
52% dan untuk penerapan budaya keselamatan rendah ada pada
responden dengan kepemimpinan efektif rendah sebesar 48%.
2) Kepemimpinan Transformasional Dengan Penerapan Budaya
Keselamatan Pasien.

Adapun hasil tabulasi silang antara variabel kepemimpinan


efektif dengan penerapan budaya keselamatan pasien dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 23
Hasil Tabulasi Silang Antara Kepemimpinan
Transformasional Dengan Penerapan
BudayaKeselamatan Pasien di
Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Penerapan Budaya Keselamatan Pasien
Perawat
Kepemimpinan
Kepala Ruang
Transformasional
T
R
T
R
Tinggi
Rendah
Sumber : Data Primer

N
1
1

%
50
16,7

N
1
6

%
50
83,3

n
%
26 63,4
26 44,1

N
15
33

%
36,6
55,9

Pada tabel diatas menunjukkan bahwa responden kepala


ruangan dengan penerapan budaya keselamatan rendah ada pada
responden dengan kepemimpinan transformasional rendah
sebesar 83,3% dan untuk penerapan budaya keselamatan tinggi
ada pada responden dengan kepemimpinan transformasional
tinggi sebesar 50%. Kemudian responden perawat pelaksana
yang meyakini kepala ruang

mempunyai penerapan budaya

keselamatan tinggi ada pada responden dengan kepemimpinan


transformasional tinggi sebesar 63,4% dan untuk penerapan
budaya keselamatan rendah ada pada responden dengan
kepemimpinan efektif rendah sebesar 55,9%.

B. PEMBAHASAN PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
kepemimpinan yang efektif dan transformasional kepala ruangan dalam
penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di Instalasi
Rawat Inap RSUD Haji. Rumah sakit sebagai penyedia jasa pelayanan
kesehatan dituntut untuk senantiasa memperhatikan mutu pelayanan yang
diberikan dengan mengedepankan upaya peningkatan keselamatan pasien.
Implementasi budaya keselamatan pasien yang merupakan langkah awal
yang harus dilakukan untuk mencapai keselamatan pasien (WHO, 2009). Hal
ini dipertegas oleh Ginsburg (2010) kepemimpinan mendukung peningkatan
upaya keselamatan pasien yang diperlukan dalam rangka untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan mengurangi kejadian tidak diharapkan, serta
kepemimpinan merupakan salah satu dimensi yang paling menonjol dalam
mengukur budaya keselamatan pasien. Jika keselamatan adalah dilihat sebagai
prioritas strategis bagi semua staf, maka kepemimpinan harus membuatnya
menjadi fokus utama. Pemimpin memainkan peran luar biasa dalam
keselamatan pasien, pertama dan terpenting, dia menjelaskan, pemimpin harus
memberikan fokus, membuat keselamatan pasien bukan sekedar program tapi
menjadi tujuan prioritas organisasi. Pemimpin dapat membuat semua orang di
organisasinya memahami bahwa keselamatan adalah bagian dari deskripsi
pekerjaan (IHI, 2005).

1. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ditinjau dari jenis kelamin responden
sebagian besar adalah berjenis kelamin perempuan yakni kepala ruang 4
responden (50%) dan perawat pelaksana 94 responden (94%). Sebagian besar
perawat dihampir semua tatanan pelayanan kesehatan didominasi oleh jenis
kelamin perempuan. Kondisi ini

umum terjadi, sebab menurut sejarahnya

keperawatan muncul dari peran caretaking (memberi perawatan) secara


tradisional dari seorang wanita di dalam keluarga maupun masyarakat (Rollison
dan Kish dalam Marpaung 2005). Hal ini sejalan dengan (Bea, 2013)
mengemukakan bahwa produk utama rumah sakit berupa pemberian jasa
perawatan kesehatan yang tentu saja banyak diperankan oleh wanita.
2. Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan usia kepala ruangan yang
menjadi responden paling banyak berada dalam rentang usia 40-49 tahun yaitu,
sebesar 75% dan perawat pelaksana yang menjadi responden paling banyak
berada dalam rentang usia 25-29 tahun yaitu, sebesar 45%. Rentang usia
produktif seseorang berkisar antara 19-59 (Shawky, 2010). Usia memiliki
hubungan dengan produktivitas seseorang, tingkat absensi, dan kepuasaan kerja
individu Diharapkan individu yang berada dalam rentang usia produktif dapat
memberikan performance yang maksimal saat bekerja yang berdampak positif
pada pemberian pelayanan yang berorientasi keselamatan pasien.
3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang patut


dipertimbangkan dalam mengalokasikan sumber daya manusia (Pujilestari,
2013). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pendidikan formal terakhir
yang paling banyak dicapai responden kepala ruangan adalah S1 Keperawatan
yakni sebesar 75%, dan pendidikan formal terakhir yang paling banyak dicapai
responden perawat pelaksana adalah D3 Keperawatan yakni sebesar, 85%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian
ini dengan jenjang pendidikan D3 dan S1 Keperawatan. Menurut Tribowo
(2013) latar belakang pendidikan minimal kepala ruangan perawatan adalah ahli
madya keperawatan/kebidanan dan mempunyai pengalaman kerja perawat
pelaksana 3-5 tahun dan kondisi fisik, sehat jasmani dan rohani. Sejalan dengan
pendapat diatas dalam Kepmenkes No.129 2008 mengenai standar pelayanan
minimal bahwa tenaga perawat yang dianggap berkompeten dalam memberikan
pelayanan adalah perawat dengan jenjang pendidikan minimal D3.
4. Status Kepegawaian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden kepala ruang
berstatus PNS, yakni sebesar 100% dan responden perawat pelaksana paling
banyak berstatus PNS dan tenaga kerja outsourcing, yakni masing-masing
sebesar 37%, sehingga dapat dikatakan sebagian besar respoden bekerja sebagai
PNS dan outsorcing. Dalam PMK No. 1999 tahun 2004 tentang pedoman
pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja disarana milik pemerintah
tujuannya sebagai acuan untuk meningkatkan pelayanan. Melihat banyaknya

kebutuhan rumah sakit akan tenaga kesehatan menuntut rumah sakit melakukan
pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian.
5. Masa Kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar respoden kepala
ruang dengan masa kerja <1, yakni sebesar 62,5% dan responden perawat
pelaksana sebagian besar dengan masa kerja 25-29 tahun, yakni sebesar 45%.
Masa kerja turut menentukan bagaimana perawat menjalankan fungsi seharihari, semakin lama seseorang bekerja, semakin terampil dan berpengalaman
melaksanakan pekerjaanya, kualitas yang dihasilkan tergantung dari individu
itu sendiri dan dapat diasumumsikan bahwa lama kerja individu dalam suatu
profesi akan semakin meningkatkan kinerja dan disiplin kerja individu
(Marpaung, 2005).

Seseorang dengan masa kerja akan memberikan

pengalaman kerja lebih banyak (Setiowati, 2010).


6. Pelatihan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
responden kepala ruang pernah mengikuti pelatihan terkait masalah
keselamatan pasien, yakni sebesar 87,5% dan responden perawat pelaksana
sebagian besar pernah mengikuti pelatihan yang terkait keselamatan pasien,
yakni sebesar 64%. Pelatihan mengenai keselamatan pasien yang diberikan
kepada perawat pelaksana diharapkan dapat membantu kemampuan staf dalam
hal pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam menerapkan keselamatan
pasien. Kepala ruang sebagai atas langsung staf perawat diruang rawat inap
diharapkan dapat menjalankan fungsi manajerial sehingga memungkinkan

menciptakan kondisi lingkungan kerja yang mendukung perawat untuk dapat


menerapkan budaya keselamatan bagi dalam bekerja (Dewi, 2011).
7. Kepemimpinan Efektif
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepemimpinan efektif untuk
responden kepala ruang sebagian besar menunjukkan kepemimpinan efektif
tinggi sebesar 87,5% dan begitupun dengan responden perawat pelaksana
menunjukkan kepemimpinan efektif kepala ruang tinggi sebesar 75%. Persepsi
seseorang dapat mempengaruhi perilakunya. Seorang yang memberikan
penilaian atau memiliki persepsi baik terhadap orang lain akan memiliki
kecenderungan untuk mengikuti arahan dari orang yang dipersepsikan baik
tersebut (Dewi, 2011).
Drennan (Budhiardjo, 2008) mengemukakan bahwa pembentukan
budaya organisasi dipengaruhi oleh pemimpin, sejarah dan tradisi organisasi,
teknologi, produk dan layanan, industri dan persaingan, pelanggan, ekspektasi
organisasi, sistem informasi dan kendali, aturan-aturan dan lingkungan
organisasi, prosedur dan kebijaksanaan, sistem penggajian, organisasi dan
sumber daya, sasaran serta nilai-nilai perlu dipertimbangkan untuk melakukan
penanaman dan sosialisasi budaya organisasi. Kepemimpinan dalam sebuah
organisasi penting sehingga dapat menjadi salah satu pembentuk budaya, yang
akan dianut oleh seluruh anggota organisasi. Untuk menciptakan budaya
organisasi yang berorientasi keselamatan pasien diperlukan seorang pemipin
yang efektif dalam melakukan tanggung jawab tugas dan wewenang, pemimpin

yang dimaksud adalah kepemimpinan pada manajer lini pertama seperti kepala
ruangan.
Kepemimpinan adalah bagian terpenting dari praktek keperawatan
(Curtis et al,2011).Pemimpin yang efektif mampu mempengaruhi dan
mengikutsertakan bawahannya dalam kegiatan organisasi dengan tujuan yang
jelas berdasarkan target waktu yang sudah ditetapkan (Dollan et al, 2008).
Dengan demikian, dapat dikatakan pemimpinan yang efektif mampu
mengarahkan anggota dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama.
Kepala ruang merupakan pimpinan langsung dari perawat pelaksana
yang berhubungan langsung dengan proses penanganan pasien di ruang rawat
dan memiliki peran yang kritis dalam mendukung budaya keselamatan pasien
dengan kepemimpinan efektif untuk menciptakan lingkungan yang positif bagi
keselamatan pasien (Setiowati, 2010). Hal ini juga dikemukakan Dewi (2011)
bahwa terdapat hubungan bermakna antara fungsi manajemen kepala ruangan
dengan penerapan keselamatan pasien. Sejalan dengan itu, Nursalam (2014)
mengemukakan bahwa perawat sebagai pemberi jasa keperawatan merupakan
ujung tombak pelayanan di rumah sakit sebab perawat berada selama 24 jam
memberikan asuhan keperawatan, dimana perawat memainkan peran dalam proses
implementasi keselamatan pasien.

Kepemimpinan efektif yang dimaksud dalam penelitian merupakan


kemampuan kepala ruang di masing-masing instalasi rawat inap dalam
menggunakan enam komponen kepemimpinan efektif. Berdasarkan penilaian
responden

kepala

ruangan

yang

menilai

dirinya

sendiri

mengenai

kepemimpinan efektif berada pada kategori tinggi pada aspek pengetahuan,


kesadaran diri, penggunaan energi, penentuan tujuan, dan pengambilan
tindakan telah diterapkan baik oleh kepala ruangan. Hanya saja pada aspek
komunikasi, hal ini diakibatkan responden menilai masih ada kelemahan
pendapatnya meyinggung perasaan staf. Komunikasi merupakan bagian
penting dalam keberhasilan penerapan budaya keselamatan pasien (Ruchlin et
al, 2003). Komunikasi merupakan salah satu bentuk fungsi pengarahan dalam
fungsi manajemen keperawatan (Setiowati, 2010). Komunikasi yang dilakukan
secara efektif mampu mengurangi kesalahpahaman, dan akan memberikan
perasamaan pandangan arah dan pengertian diatara pegawai dalam suatu
tatanan organisasi. Namun, secara keseluruhan keenam komponen dinilai baik
oleh kepala ruangan. Siagian (Marpaung, 2005) mengungkapkan bahwa dalam
menilai sendiri seseorang akan cenderung menonjolkan ciri- ciri positif
mengenai dirinya.
Kemudian berdasarkan penilaian responden perawat pelaksana terhadap
kepala ruangan ditinjau dari kepemimpinan efektif diperoleh bahwa kepala
ruangan dalam melakukan kepemimpinan di ruang rawat telah efektif termasuk
dalam kategori tinggi dalam kategori pengetahuan, komunikasi, pemggunaan
energi, dan pengambilan tindakan. Hanya saja untuk kesadaran diri dan
penentuan tujuan presentasenya masih termasuk rendah, hal ini karena
responden perawat pelaksana menilai kesadaran diri masih ada yang
beranggapan bahwa kemampuan kepala ruang dapat mengatasi masalah tanpa
bantuan orang lain. Padahal membangun kesadaran termasuk akan nilai

keselamatan pasien, diperlukan dalam menciptakan budaya terbuka dan adil


yang merupakan langkah pertama dalam menerapkan keselamatan pasien
rumah sakit (Depkes, 2008). Pemimpin harus mempunyai integritas, prinsip,
komitmen, dan kejujuran dalam menjalankan peran dan fungsinya (Dollan dan
Sellwood, 2008). Sejalan dengan penelitian IHI (2005) mengungkapkan bahwa
organisasi perawatan kesehatan membantu meningkatkan kesadaran staf akan
masalah keselamatan pasien. Dengan demikian, kesadaran diri baik seorang
kepala ruangan akan membentuk rasa kedekatan dan kepercayaan dari perawat
pelaksana yang dapat membangun kerja sama tim di ruang rawat.
Untuk sub variabel penentuan tujuan responden perawat pelaksana
menganggap bahwa kepala ruangan dalam menginformasikan kurang jelas
tujuan program kerja maka tidak sepenuhnya bawahan dapat memahami
dengan jelas tujuan yang telah ditetapkan. Penentuan tujuan kepala ruang
seharusnya dapat mengkomunikasikan dan mensosialisasikan tujuan yang ingin
dicapai. Hal ini sebagai pedoman perawat pelaksana dalam bekerja (Marpaung,
2005). Menurut (Dollan dan Sellwood, 2008) peran pemimpin adalah sebagai
orang yang memberikan pengaruh dalam pencapaian tujuan. Hal itu sejalan
dengan (IHI, 2005) bahwa pemimpin memberikan fokus yang membuat
keselamatan pasien bukan sekadar program tapi menjadi tujuan prioritas, serta
membuat semua staf memahami bahwa keselamatan adalah bagian dari
deskripsi pekerjaan. Dengan demikian, perencanaan yang jelas, matang dan
dikomunikasikan kepala ruangan pada perawat pelaksana akan menentukan

keberhasilan suatu kegiatan di ruang rawat yang terutama terkait dengan


keselamatan pasien.
8. Kepemimpinan Transformasional
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepemimpinan transformasional
untuk responden kepala ruang menilai dirinya tinggi sebesar 75% dan
begitupun dengan responden perawat pelaksana menunjukkan kepemimpinan
transformasional kepala ruang tinggi sebesar 68%.
Pemimpin transformasional kemampuan untuk memotivasi dan mengubah
pengikut melakukan melampaui apa yang diharapkan (Curtis et al, 2011). Hal
ini diperkuat dengan hasil penelitian Beginta (2012) yang mengungkapkan
bahwa kepemimpinan transformasional sebagai kemampuan memotivasi orang
lain untuk mencapai standar tinggi dan tujuan jangka panjang. Dimana
kepemimpinan

transformasional

memiliki

hubungan

penting

dengan

menciptakan budaya keamanan, yang berhubungan dengan penerapan


keselamatan pasien. (Mc Fadden et.al, 2006). Rachmawati (2011) juga
mengungkapkan terdapat hubungan positif dan bermakna antara kepemimpinan
transformasional dengan penerapan budaya keselamatan pasien, adapun faktorfaktor yang mempengaruhi keselamatan pasien diantaranya dapat dilihat dari
tingkat manajemen dan organiasi diperlukan tim yang bisa melibatkan anggotaanggotanya berkoordinasi, dan berkomunikasi di setiap level dalam organisasi.
Kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang dapat
diaplikasikan dalam lingkungan keperawatan (Huber dalam Linda,2010).

Kemampuan kepala ruangan sebagai pemimpin keperawatan lini pertama


memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan perawatan yang
berkualitas dan memperhatikan keselamatan pasien melalui kinerja perawat
pelaksana sebagai bawahannya. Sehingga dapat diterapkan budaya keselamatan
dinyatakan dengan keyakinan, sikap dan nilai-nilai dari staf mengenai
keselamatan pasien (JCI, 2009).
Kepemimpinan transformasional dalam penelitian merupakan kemampuan
kepala ruang di masing-masing instalasi rawat inap dalam aspek motivasi
inspirasional dan konsiderasi individu. Berdasarkan penilaian diri sendiri
responden kepala ruangan mengenai kepemimpinan transformasional berada
pada kategori tinggi pada aspek motivasi inspirasional dan konsiderasi
individu. Siagian (Marpaung, 2005) mengungkapkan bahwa dalam menilai
sendiri seseorang akan cenderung menonjolkan ciri- ciri positif mengenai
dirinya. Menurut Setiowati (2010) penilaian diri pemimpin itu sendiri
cenderung bersifat subjektif dan kurang objektif. Sejalan dengan hal diatas
Wardhani (2013) bahwa penilaian bawahan dapat dijadikan umpan balik dan
masukan pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya.
Kemudian berdasarkan jawaban responden perawat pelaksana terhadap
kepala ruangan ditinjau dari kepemimpinan transformasional diperoleh bahwa
kepala ruangan dalam melakukan kepemimpinan di ruang rawat termasuk
dalam kategori tinggi dalam motivasi inspirasioanal. Namun, untuk
konsiderasi individu masih terbilang rendah, hal ini karena responden perawat
pelaksana masih ada yang beranggapan bahwa kepala ruang belum maksimal

dalam melihat staf sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda.
Padahal sebagai seorang perilaku pemimpin harus menunjukkan penerimaan
atas perbedaan individu dan menciptakan interaksi dengan pengikut yang
bersifat pribadi (Beginta, 2011). Menurut Bass (1999) Pemimpin memiliki
tanggung jawab moral untuk mengurus bawahannya dan mendengar nasihat
staf tentang masalah pribadi dengan memberikan perhatian khusus terhadap
kebutuhan masing-masing pengikut sebagai individu untuk dengan bertindak
sebagai penasihat, pelatih atau mentor pada akhirnya bawahan memiliki
kewajiban moral untuk membalas dengan loyalitas. Sejalan dengan hasil
penelitian diatas Middleton (2011) pemimpin harus fokus pada kebutuhan staf
individu dan penggunaan strategi motivasi yang tepat untuk masing-masing
orang dan situasi. Mereka harus berusaha untuk menginspirasi staf yang
kehilangan motivasi dan memelihara motivasi mereka yang sudah termotivasi.
9. Penerapan Budaya Keselamatan Pasien
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepemimpinan transformasional
untuk responden kepala ruang menilai dirinya tinggi

sebesar 75% dan

begitupun dengan responden perawat pelaksana menunjukkan kepemimpinan


transformasional kepala ruang tinggi sebesar 65%.
Menurut Cahyono (2008) Budaya keselamatan pasien merupakan fondasi
keselamatan pasien. Mengubah budaya keselamatan pasien dari blaming
culture menjadi safety of culture merupakan kata kunci dalam peningkatan
mutu dan keselamatan pasien. Sebaik apapun SDM, selengkap dan secanggih
apa pun teknologi informasi dan kesehatan yang dimiliki oleh unit pelayanan

kesehatan (rumah sakit), tidak akan dapat menjamin bahwa pasien yang
dilayani terbebas dari cedera. Menurut teori perubahan, individu, kelompok,
atau organisasi akan mengalami perubahan atau tidak tergantung pada dua
faktor, yaitu faktor kekuatan tekanan (driving force) dan factor keengganan
(resistences). Perubahan baru akan terjadi apabila kekuatan tekanan melebihi
kekuatan kengganan (driving force>resistences). Sejalan dengan pendapat
diatas Flemming (2006) mengatakan budaya keselamatan pasien merupakan
suatu hal yang penting karena membangun budaya keselamatan pasien
merupakan suatu cara untuk membangun program keselamatan pasien secara
keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus pada budaya keselamatan pasien
maka akan menghasilkan hasil keselamatan pasien yang lebih apabila
dibandingkan hanya memfokuskan pada programnya saja.
Menurut Institute of Medicine, keselamatan pasien merupakan langkah
kritis pertama untuk memperbaiki kualitas pelayanan (safety is critical first
step in improving qualiy care). Cedera medis yang terjadi karena kesalahan
dala perawatan medis jelas mencerminkan pelayanan yang kurang bermutu,
sedangkan keselamatan pasien menjadi prasyarat utama dalam proses
pelayanan (Cahyono, 2008).
Head nurse sebagai kepala ruang berperan dan ikut dalam keberhasilan
penerapan budaya keselamatan pasien diruang rawat. Hal ini perlu mendapat
perhatian dalam pengelolaan SDM karena Head Nurse sebagai manajer tingkat
pertama dan menjadi perantara antara pihak manajemen dengan staf (Setiowati,
2011). Sejalan dengan penelitian diatas Dewi (2011) mengungkapkan bahwa

kepala ruangan merupakan manajer keperawatan yang langsung berhubungan


dengan kegiatan pelayanan kesehatan pada pasien.
Budaya keselamatan yang dimaksud dalam penelitian ini memberikan
pelayanan aman bebas dari risiko cedera kepada pasien di rumah sakit, baik
pada aspek kerja sama, komunikasi terbuka, respon tidak menghukum pada
kesalahan dan pelaporan kejadian. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
penerapan budaya keselamatan pasien sudah tinggi menurut kepala ruangan
pada keempat aspek budaya keselamatan. Berdasarkan jawaban responden
perawat pelaksana dalam penerapan budaya dirawat inap termasuk dalam
kategori tinggi, hanya saja pada aspek respon tidak menghukum terhadap
kesalahan dan pelaporan kejadian masih terdapat kelemahan dalam
pengaplikasiannya.
Hal ini dapat terjadi paradigma menyalahkan saat ada rekan sesama perawat
melakukan kesalahan, padahal saat terjadi kesalahan hal yang pertama
dillakukan bukan mencari individu tetapi mendiskusikan untuk perbaikan
sistem yang lebih aman bagi pasien di masa depan. Respon tidak menghukum
terhadap kesalahan masih menjadi faktor yang menghambat pelaksanaan
pemberian asuhan keperawatan yang aman bagi pasien dimana perawat
berperan dalam melaporkan kejadian kesalahan (ICN, 2002). Frekuensi
pelaporan kejadian dalam buku keselamatan juga belum maksimal, padahal
pelaporan dalam bentuk catatan kejadian keselamatan pasien yang akan
membantu untuk mengidentifikasi masalah dan sebagai dasar untuk sistem
pembelajaran dalam organisasi. Sejalan dengan penelitian Wardhani (2013)

bahwa masih ada responden beranggapan bahwa pekerjaannya akan terganggu


jika melaporkan kejadian terkait keselamatan pasien juga menjadi salah satu
penyebabnya. Peran pemimpin bertangung jawab menciptakan suasana kerja

yang kondusif untuk bisa berbagi isu tentang keselamatan pasien dalam suatu
lingkungan terbuka dan perlakuan yang adil (Setiowati, 2011).

Wardhani Sedangkan aspek respon tidak menghukum terhadap kesalahan dan


pelaporan kejadian yang masih tergolong lemah dan masuk dalam kategori rendah,
karena paradigma yang terbentuk bahwa dengan mendiskusikan masalah keselamatan
pasien, pekerjaannya tidak menjadi lebih baik. Alasannya adalah ketika mendiskusikan
permasalahan keselamatan pasien, seringkali tidak didapatkan penyelesaian masalah.

Menurut Buerhaus et al (2011) bahwa faktor individu atau patugas sangat berpengaruh
terhadap budaya keselamatan pasien seperti, beban kerja, tingkat stress, tingkat
kelelahan, perasaan takut disalahkan, perasaan malu, dan keterlibatan keluarga/pasien.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di RS Unhas, bahwa responden masih merasa
cemas dan takut jika melaporkan kesalahan. Mereka masih beranggapan bahwa hal ini
akan memberikan dampak negatif bagi pekerjaannya. Lingkungan kerja yang masih
rendah respon tidak menghukum terhadap kesalahan juga ikut mempengaruhi.
Anggapan bahwa pekerjaannya akan terganggu jika melaporkan kejadian terkait
keselamatan pasien juga menjadi salah satu penyebabnya. Sehingga, budaya pelaporan
kejadian terkait keselamatan pasien belum menjadi kebiasaan atau budaya di lingkup
perawat pelaksana Instalasi Rawat Inap RS Unhas.

Setiowati, 2011
Pemimpin bertangung jawab menciptakan suasana kerja yang
kondusif untuk bisa berbagi isu tentang keselamatan pasien dalam
suatu lingkungan terbuka dan perlakuan yang adil.
Hal ini didukung oleh marpaung yang menyatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan tentang pelatihan perawat pelaksana dengan budaya kerja.

Pengembangan SDM dapat berupa pendidikan informal melalui on the job training
dan out of the job training. On the job training pelatihan/ bimbingan secara terus
menerus sambil bekerja. Out of the job training yaitu pelatihan yang

diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu (misalnya pelatihan 4 hari/ lebih)


peraawat harus meninggalkan pekerjaanya sementara. Pelatihan yang diikuti oleh
perawat harus meninggalkan pekerjaanya sementara.
Teori diatas memaparkan hal yang memperkuat dan juga bisa bertolak belakang
dengan hasil penelitian. Latar belakang pelatihan yang pernah didikuti perawat
merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan SDM . Pelatihan
ini dapat ditingkatkan dengan job training maupun out the job agar proses transfer
ilmu dengan diskusi akan semakin meningkatkan pemahaman perawat pelaksana
tentang konsep dan aplikasi penerapan budaya keselamatan pasien.
Head nurse sebagai kepala ruang berperan dan ikut dalam keberhasilan penerapan
budaya keselamatan pasien diruang rawat. Hal ini perlu mendapat perhatian dalam
pengelolaan SDM karena Head Nurse sebagai manajer tingkat pertama dan menjadi
perantara antara pihak manajemen dengan staf, sehingga bisa memiliki kelebihan
dan kekurangan.
Dewi Kepala ruangan merupakan manajer keperawatan

yang langsung

berhubungan dengan kegiatan pelayanan kesehatan pada pasien.

Kelebihan ini membuat Head Nurse dapat menjadi fasilitator terbaik,


sedangkan kekurangannya pada peran ganda dan berisiko mengalami konflik,

baik konflik peran maupun konflik dengan orang lain (pihak manajemen
maupun staf).
Budaya keselamatan pasien merupakan suatu hal yang penting karena membangun
budaya keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk membangun program
keselamatan pasien secara keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus pada budaya
keselamatan pasien maka akan lebih menghasilkan hasil keselamatan yang lebih
apabila dibandingkan hanya memfokuskan pada programnya saja (Flemming,
2006).
Canadian Nurse Association yang menyatakan respon tidak menghukum
terhadap

kesalahan

masih

menjadi

faktor

yang

menghambat

pelaksanaan pemberian asuhan keperawatam yang aman bagi pasien.


Perawat pelapor berperan dalam melaporkan kejadian kesalahan (ICN,
2002).

Perawat pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatan pasien sudah


baik. Budaya keselamatan pasien murupakan komitmen bersama semua
komponen dalam organiasi termasuk perawat pelaksan. Budaya keselamatan
merupakan pondasi dasar dalam mewujudkan keberhasilan sistem
keselamatan pasien. Buadaya keselamatan perlu dipertahankan dan
ditingkatkan

penerapannya

dengan

pelatihan

kembali,

perlombaan

penerapan budaya keselamatan pasien pada masing-masing unit pelayanan


keperawatan di rumah sakitm, supervisi, diskusi antar unit kerja tentang
budaya keselamatan pasien, peningkatan budaya keselmatan yang lainnya

seperti pembelajaran daei kejadian, dukungan dari puhak dan manajemen


dan lain-lain.

KERJA SAJA DULU SAMBIL CARI JURNALL shaw, huber .


BISMILLAH
PENERAPAN BUDAYA SELESAIKAN
KIRIMKAN KAK ADI TABEL DAN PERPETANYAAN YANG
DIANGGAP RENDAH.
INGAT BESOK JAM 06:30 HARUS ADA DIKAMPUS

Anda mungkin juga menyukai