A. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RSUD Haji Makassar mulai tanggal 10 Maret
sampai dengan 10 April 2014. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui
memberikan penjelasan tentang kuesioner yang akan diisi. Setelah itu, selama
proses penelitian, peneliti memberikan penjelasan kepada kepala ruangan dan
perawat pelaksana yang sedang tidak sibuk dan meminta kesediaannya untuk
menjadi responden.
Hasil penelitian ini dianalisis melalui dua tahap, yaitu analisis univariat
dan cross tabulasi. Analisis univariat untuk melihat gambaran karakteristik
responden dan gambaran umum variabel-variabel yang diteliti. Sedangkan
cross tabulasi untuk melihat lebih jelas antara variabel dependen dan
independen yang diteliti.
terbagi atas
Tabel 5.b
Distribusi Frekuensi Karateristik Responden (Kepala Ruang) di
Instalasi Rawat Inap RSUD Haji Tahun 2014
Kepala Ruang
No Karateristik Responden
n
%
Jenis Kelamin
1 Laki-Laki
4
50
2 Perempuan
4
50
Usia
20-29
1
12,5
1
1
12,5
2 30-39
40-49
6
75
3
Pendidikan
1 D3 Keperawatan
2
25
2 S1 Keperawatan
6
75
Status Kepegawaian
1 PNS
8
100
Masa Kerja
3
37,5
1 >1
5
62,5
2 <1
Pelatihan
7
87,5
1 Pernah
1
12,5
2 Tidak Pernah
Total
8
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.b menunjukkan bahwa kepala ruang dari 8
responden
No
Tabel 6
Kategori Mengenai Kepemimpinan Efektif
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
Kepemimpinan
Efektif
1
2
Tinggi
Rendah
Total
Sumber : Data Primer
N
7
1
8
87,5
12,5
100
75
25
100
%
75
25
100
jawaban
perawat
pelaksana
sebagian
besar
Kepemimpinan
efektif
merupakan
variabel
independen
Pengetahuan
Proporsi jawaban pernyataan mengenai pengetahuan diperoleh
No
Tabel 7
Kategori Mengenai Variabel Pengetahuan
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
Pengetahuan
%
n
N
%
1
2
Cukup
Kurang
Total
Sumber : Data Primer
8
0
8
100
0
100
90
10
100
90
10
100
Kesadaran Diri
No
Tabel 8
Kategori Mengenai Variabel Kesadaran Diri
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
Kesadaran Diri
%
n
n
%
1
2
Baik
Buruk
Total
Sumber : Data Primer
6
2
8
75
25
100
59
41
100
59
41
100
Komunikasi
Proporsi jawaban pernyataan mengenai
komunikasi kepala
Tabel 9
Kategori Mengenai Variabel Komunikasi
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
No
Komunikasi
%
n
n
%
1
Baik
5
62,5
73
73
2
Buruk
3
37,5
27
27
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 8
responden kepala ruang sebagian besar memiliki komunikasi baik
5 responden (62,5%) dan 3 responden (37,5%) memiliki
komunikasi buruk. Dari jawaban perawat pelaksana mengenai
komunikasi kepala ruangan yang baik 73 responden (73%) dan
yang termasuk komunikasi buruk 27 responden (27%).
4)
Penggunaan Energi
Proporsi jawaban pernyataan mengenai Penggunaan Energi
kepala ruang pada pertanyaan 10, 11,dan 12 yang berada pada tabel
lampiran. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 10
Kategori Mengenai Variabel Penggunaan Energi
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat
Kepala Ruang
Pelaksana
No Penggunaan Energi
N
%
n
%
1
Baik
7
87,5
69
69
2
Buruk
1
12,5
31
31
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Penentuan Tujuan
Proporsi jawaban pernyataan mengenai penentuan tujuan
kepala ruang pada pertanyaan 13, 14,15, dan 16 yang berada pada
tabel lampiran. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 11
Kategori Mengenai Variabel Penentuan Tujuan
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala Ruang Perawat Pelaksana
No Penentuan Tujuan
%
n
n
%
1
Baik
6
75
61
61
2
Buruk
2
25
39
39
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang memiliki penentuan tujuan baik adalah
sebanyak 6 responden (75%) dan yang memiliki penentuan tujuan
buruk 2 responden (25%). Adapun jawaban dari perawat pelaksana
mengenai penentuan tujuan kepala ruangan yang termasuk baik
Pengambilan Tindakan
Proporsi jawaban pernyataan mengenai pengambilan tindakan
kepala ruang pada pertanyaan 17, 18,19, dan 20 yang berada pada
tabel lampiran.. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 12
Kategori Mengenai Variabel Pengambilan Tindakan
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat Pelaksana
Kepala Ruang
Pengambilan
No
Tindakan
%
N
n
%
1
2
Baik
Buruk
Total
Sumber : Data Primer
7
1
8
87,5
12,5
100
77
23
100
77
23
100
kepala ruangan
(75%)
termasuk
dalam
kategori
kepemimpinan
kategori
Berdasarkan
kepemimpinan
jawaban
perawat
transformasional
pelaksana
sebagian
rendah.
besar
(32%)
masuk
dalam
kategori
kepemimpinan
transformasional rendah.
Kepemimpinan
transformasional
merupakan
variabel
No
1
2
Tabel 15
Kategori Mengenai Variabel Konsiderasi Individu
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala Ruang Perawat Pelaksana
Konsiderasi
Individu
Tinggi
Rendah
Total
Sumber : Data Primer
n
6
2
8
75
25
100
63
37
100
%
63
37
100
c.
distribusi
responden
untuk
penerapan
budaya
penerapan budaya
2) Komunikasi Terbuka
Proporsi jawaban pertanyaan mengenai komunikasi terbuka
pada pertanyaan 6,7,8,9, dan 10 yang berada pada tabel lampiran.
Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 18
Kategori Mengenai Variabel Komunikasi Terbuka
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala Ruang Perawat Pelaksana
Komunikasi
No
Terbuka
n
%
N
%
1
Tinggi
7
87,5
71
71
2
Rendah
1
12,5
29
29
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang 7 responden (87,5%) memilki komunikasi
terbuka yang tinggi dan 1 responden (12,5%) memiliki komunikasi
rendah. Adapun dengan jawaban dari perawat pelaksana mengenai
komunikasi terbuka terdapat yang termasuk kategori tinggi adalah
sebanyak 71 responden (71%) dan
Tabel 19
Kategori Mengenai Variabel Respon Tidak
Menghukum Terhadap Kesalahan di Instalasi Rawat
Inap
RSUD Haji
Tahun 2014
Kepala
Perawat
Respon Tidak
Ruang
Pelaksana
No
Menghukum
%
n
Terhadap Kesalahan
n
%
1
Tinggi
5
62,5
52
52
2
Rendah
3
37,5
48
48
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang terdapat 5 responden (62,5%) memiliki
respon tidak menghukum terhadap kesalahan yang tinggi, dan 3
responden (37,5%) memiliki respon tidak menghukum terhadap
kesalahan rendah. Adapun jawaban dari perawat pelaksana mengenai
respon tidak menghukum terhadap kesalahan yang termasuk dalam
kategori tinggi adalah sebanyak 52 responden (52%) dan respon
tidak menghukum terhadap kesalahan yang termasuk rendah adalah
sebanyak 48 responden (48%).
4) Pelaporan Kejadian
Proporsi
jawaban
pertanyaan
mengenai
kerjasama
pada
Tabel 20
Kategori Mengenai Variabel Pelaporan Kejadian
di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji
Tahun 2014
Perawat
Kepala Ruang
Pelaporan
Pelaksana
No
Kejadian
n
%
n
%
1
Tinggi
6
75
51
51
2
Rendah
2
25
49
49
Total
8
100
100
100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden kepala ruang terdapat 6 responden (75%) yang memiliki
pelaporan kejadian yang tinggi dan 2 responden (25%) memiliki
pelaporan kejadian yang rendah. Adapun jawaban dari perawat
pelaksana mengenai pelaporan kejadian yang termasuk dalam
kategori tinggi adalah sebanyak 51 responden (51%), dan sebanyak
49 responden (49%) yang termasuk dalam pelaporan kejadian
rendah.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas pada setiap
variabel yang diteliti maka dilakukan tabulasi silang antara
kepemimpinan efektif dengan penerapan budaya keselamatan
pasien dan kepemimpinan transformasional dengan penerapan
budaya keselamatan pasien.
1) Kepemimpinan Efektif Dengan Penerapan Budaya Keselamatan
Pasien
n
2
0
%
66,7
0
n
1
5
%
33,3
100
n
29
23
%
59,2
451
n
20
28
%
40,8
54,9
N
1
1
%
50
16,7
N
1
6
%
50
83,3
n
%
26 63,4
26 44,1
N
15
33
%
36,6
55,9
B. PEMBAHASAN PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
kepemimpinan yang efektif dan transformasional kepala ruangan dalam
penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di Instalasi
Rawat Inap RSUD Haji. Rumah sakit sebagai penyedia jasa pelayanan
kesehatan dituntut untuk senantiasa memperhatikan mutu pelayanan yang
diberikan dengan mengedepankan upaya peningkatan keselamatan pasien.
Implementasi budaya keselamatan pasien yang merupakan langkah awal
yang harus dilakukan untuk mencapai keselamatan pasien (WHO, 2009). Hal
ini dipertegas oleh Ginsburg (2010) kepemimpinan mendukung peningkatan
upaya keselamatan pasien yang diperlukan dalam rangka untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan mengurangi kejadian tidak diharapkan, serta
kepemimpinan merupakan salah satu dimensi yang paling menonjol dalam
mengukur budaya keselamatan pasien. Jika keselamatan adalah dilihat sebagai
prioritas strategis bagi semua staf, maka kepemimpinan harus membuatnya
menjadi fokus utama. Pemimpin memainkan peran luar biasa dalam
keselamatan pasien, pertama dan terpenting, dia menjelaskan, pemimpin harus
memberikan fokus, membuat keselamatan pasien bukan sekedar program tapi
menjadi tujuan prioritas organisasi. Pemimpin dapat membuat semua orang di
organisasinya memahami bahwa keselamatan adalah bagian dari deskripsi
pekerjaan (IHI, 2005).
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ditinjau dari jenis kelamin responden
sebagian besar adalah berjenis kelamin perempuan yakni kepala ruang 4
responden (50%) dan perawat pelaksana 94 responden (94%). Sebagian besar
perawat dihampir semua tatanan pelayanan kesehatan didominasi oleh jenis
kelamin perempuan. Kondisi ini
kebutuhan rumah sakit akan tenaga kesehatan menuntut rumah sakit melakukan
pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian.
5. Masa Kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar respoden kepala
ruang dengan masa kerja <1, yakni sebesar 62,5% dan responden perawat
pelaksana sebagian besar dengan masa kerja 25-29 tahun, yakni sebesar 45%.
Masa kerja turut menentukan bagaimana perawat menjalankan fungsi seharihari, semakin lama seseorang bekerja, semakin terampil dan berpengalaman
melaksanakan pekerjaanya, kualitas yang dihasilkan tergantung dari individu
itu sendiri dan dapat diasumumsikan bahwa lama kerja individu dalam suatu
profesi akan semakin meningkatkan kinerja dan disiplin kerja individu
(Marpaung, 2005).
yang dimaksud adalah kepemimpinan pada manajer lini pertama seperti kepala
ruangan.
Kepemimpinan adalah bagian terpenting dari praktek keperawatan
(Curtis et al,2011).Pemimpin yang efektif mampu mempengaruhi dan
mengikutsertakan bawahannya dalam kegiatan organisasi dengan tujuan yang
jelas berdasarkan target waktu yang sudah ditetapkan (Dollan et al, 2008).
Dengan demikian, dapat dikatakan pemimpinan yang efektif mampu
mengarahkan anggota dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama.
Kepala ruang merupakan pimpinan langsung dari perawat pelaksana
yang berhubungan langsung dengan proses penanganan pasien di ruang rawat
dan memiliki peran yang kritis dalam mendukung budaya keselamatan pasien
dengan kepemimpinan efektif untuk menciptakan lingkungan yang positif bagi
keselamatan pasien (Setiowati, 2010). Hal ini juga dikemukakan Dewi (2011)
bahwa terdapat hubungan bermakna antara fungsi manajemen kepala ruangan
dengan penerapan keselamatan pasien. Sejalan dengan itu, Nursalam (2014)
mengemukakan bahwa perawat sebagai pemberi jasa keperawatan merupakan
ujung tombak pelayanan di rumah sakit sebab perawat berada selama 24 jam
memberikan asuhan keperawatan, dimana perawat memainkan peran dalam proses
implementasi keselamatan pasien.
kepala
ruangan
yang
menilai
dirinya
sendiri
mengenai
transformasional
memiliki
hubungan
penting
dengan
dalam melihat staf sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda.
Padahal sebagai seorang perilaku pemimpin harus menunjukkan penerimaan
atas perbedaan individu dan menciptakan interaksi dengan pengikut yang
bersifat pribadi (Beginta, 2011). Menurut Bass (1999) Pemimpin memiliki
tanggung jawab moral untuk mengurus bawahannya dan mendengar nasihat
staf tentang masalah pribadi dengan memberikan perhatian khusus terhadap
kebutuhan masing-masing pengikut sebagai individu untuk dengan bertindak
sebagai penasihat, pelatih atau mentor pada akhirnya bawahan memiliki
kewajiban moral untuk membalas dengan loyalitas. Sejalan dengan hasil
penelitian diatas Middleton (2011) pemimpin harus fokus pada kebutuhan staf
individu dan penggunaan strategi motivasi yang tepat untuk masing-masing
orang dan situasi. Mereka harus berusaha untuk menginspirasi staf yang
kehilangan motivasi dan memelihara motivasi mereka yang sudah termotivasi.
9. Penerapan Budaya Keselamatan Pasien
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepemimpinan transformasional
untuk responden kepala ruang menilai dirinya tinggi
kesehatan (rumah sakit), tidak akan dapat menjamin bahwa pasien yang
dilayani terbebas dari cedera. Menurut teori perubahan, individu, kelompok,
atau organisasi akan mengalami perubahan atau tidak tergantung pada dua
faktor, yaitu faktor kekuatan tekanan (driving force) dan factor keengganan
(resistences). Perubahan baru akan terjadi apabila kekuatan tekanan melebihi
kekuatan kengganan (driving force>resistences). Sejalan dengan pendapat
diatas Flemming (2006) mengatakan budaya keselamatan pasien merupakan
suatu hal yang penting karena membangun budaya keselamatan pasien
merupakan suatu cara untuk membangun program keselamatan pasien secara
keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus pada budaya keselamatan pasien
maka akan menghasilkan hasil keselamatan pasien yang lebih apabila
dibandingkan hanya memfokuskan pada programnya saja.
Menurut Institute of Medicine, keselamatan pasien merupakan langkah
kritis pertama untuk memperbaiki kualitas pelayanan (safety is critical first
step in improving qualiy care). Cedera medis yang terjadi karena kesalahan
dala perawatan medis jelas mencerminkan pelayanan yang kurang bermutu,
sedangkan keselamatan pasien menjadi prasyarat utama dalam proses
pelayanan (Cahyono, 2008).
Head nurse sebagai kepala ruang berperan dan ikut dalam keberhasilan
penerapan budaya keselamatan pasien diruang rawat. Hal ini perlu mendapat
perhatian dalam pengelolaan SDM karena Head Nurse sebagai manajer tingkat
pertama dan menjadi perantara antara pihak manajemen dengan staf (Setiowati,
2011). Sejalan dengan penelitian diatas Dewi (2011) mengungkapkan bahwa
yang kondusif untuk bisa berbagi isu tentang keselamatan pasien dalam suatu
lingkungan terbuka dan perlakuan yang adil (Setiowati, 2011).
Menurut Buerhaus et al (2011) bahwa faktor individu atau patugas sangat berpengaruh
terhadap budaya keselamatan pasien seperti, beban kerja, tingkat stress, tingkat
kelelahan, perasaan takut disalahkan, perasaan malu, dan keterlibatan keluarga/pasien.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di RS Unhas, bahwa responden masih merasa
cemas dan takut jika melaporkan kesalahan. Mereka masih beranggapan bahwa hal ini
akan memberikan dampak negatif bagi pekerjaannya. Lingkungan kerja yang masih
rendah respon tidak menghukum terhadap kesalahan juga ikut mempengaruhi.
Anggapan bahwa pekerjaannya akan terganggu jika melaporkan kejadian terkait
keselamatan pasien juga menjadi salah satu penyebabnya. Sehingga, budaya pelaporan
kejadian terkait keselamatan pasien belum menjadi kebiasaan atau budaya di lingkup
perawat pelaksana Instalasi Rawat Inap RS Unhas.
Setiowati, 2011
Pemimpin bertangung jawab menciptakan suasana kerja yang
kondusif untuk bisa berbagi isu tentang keselamatan pasien dalam
suatu lingkungan terbuka dan perlakuan yang adil.
Hal ini didukung oleh marpaung yang menyatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan tentang pelatihan perawat pelaksana dengan budaya kerja.
Pengembangan SDM dapat berupa pendidikan informal melalui on the job training
dan out of the job training. On the job training pelatihan/ bimbingan secara terus
menerus sambil bekerja. Out of the job training yaitu pelatihan yang
yang langsung
baik konflik peran maupun konflik dengan orang lain (pihak manajemen
maupun staf).
Budaya keselamatan pasien merupakan suatu hal yang penting karena membangun
budaya keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk membangun program
keselamatan pasien secara keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus pada budaya
keselamatan pasien maka akan lebih menghasilkan hasil keselamatan yang lebih
apabila dibandingkan hanya memfokuskan pada programnya saja (Flemming,
2006).
Canadian Nurse Association yang menyatakan respon tidak menghukum
terhadap
kesalahan
masih
menjadi
faktor
yang
menghambat
penerapannya
dengan
pelatihan
kembali,
perlombaan