1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Cedera kepala menyumbangkan 50% kematian pada kasus-kasus trauma.
Prognosis dari cedera kepala tergantung dari derajat kerusakan otak primer dan
systemic
insults
yang
menyebabkan
kerusakan
otak
sekunder
(proses
biomolekular). Cedera otak primer adalah kerusakan fisik yang terjadi pada
parenkim otak sesaat setelah trauma, menyebabkan regangan dan kompresi.
Cedera otak sekunder adalah hasil suatu proses kompleks, yang merupakan
penyerta dan komplikasi cedera otak primer yang dapat terjadi dalam hitungan
jam dan hari setelah cedera kepala. Meskipun cedera otak primer tidak dapat
dikurangi, namun cedera sekunder dapat diminimalisir dengan mengatasi segera
systemic dan intracranal insults. Adapun lesi-lesi spesifik yang dapat dijumpai
pada cedera kepala diantaranya : fraktur tulang tengkorak (kalvaria/basis kranii),
SDH, EDH, kontusio, luka tembus, dan cedera pembuluh darah otak 1,2,3
Epidural Hematom (EDH) merupakan akumulasi darah di ruang epidural
(antara tabula interna dan duramater) yang dapat terjadi di intrakranial ataupun di
medula spinalis (SEDH). EDH terjadi pada lebih kurang 2% dari pasien dengan
cedera kepala, dan 5-15% EDH terjadi pada cedera kepala berat. EDH merupakan
komplikasi serius dari cedera kepala yang memerlukan diagnosis dan intervensi
bedah yang segera. Berdasarkan progresifitasnya, EDH terbagi menjadi akut
(58%), subakut (31%), dan kronik (11%).4
Tujuan penanganan dari cedera kepala baik dari sisi anastesi maupun
bedah adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Derajat keparahan
cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan glasgow coma scale (GCS). Dari
gambaran CT-Scan adanya midline shifting > 5 mm, kompresi ventrikel
merupakan indikator peningkatan angka morbiditas.1
1.2
Tujuan
Manfaat
Dengan laporan kasus ini diketahui aspek definisi, patosiologi, klinis, dan
penanganan yang dipandang dari sudut anastesi dan bedah. Dalam laporan kasus
ini berfokus pada konsep anastesi pada cedera kepala.
2.
LAPORAN KASUS
2.1.
Anamnesis
Identitas Pribadi
Nama
: RA
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 11 Tahun
Suku Bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
Alamat
: Medan
Status
: Belum kawin
Pekerjaan
: Di Bawah Umur
Tanggal Masuk
2.2.
KU
: Penurunan kesadaran
Telaah
Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda motor menuju sekolah pasien, tibatiba ada sepeda motor lainnya dari arah yang berlawanan menabrak sepeda motor
pasien, pasien kemudian terjatuh dengan posisi kepala duluan menyentuh aspal.
Pasien pingsan sesaat, kejang (-), kemudian oleh masyarakat setempat pasien
dibawa ke puskesmas dan diberi makan dan minuman. Setelah pasien diberi
makan dan minuman pasien muntah sebanyak 3x dan kemudian dibawa ke RS
Ranitidine, Kalnex
2.3. Primary Survey
A (Airway)
B (Breathing)
20 gtt/i,
Frekuensi Nadi 141 x/i, t/v kuat dan cukup, Tekanan Darah
100/70 mmHg, Akral teraba hangat, merah, dan kering, t/v
kuat/cukup, Temperatur 36,8 C.
D (Disability)
1.
2.
Head up 300
3.
inj. Lidocain 60 mg IV
4.
5.
6.
7.
Maintenance
1. Rocuronium 5 mg/20 menit
2. Fentanyl 25 mcg/30 menit
2.5
Pemeriksaan Fisik
Primary Survey
B1 : Airway : unclear , snoring/ gurgling/ crowing : (+)/ (-)/ (-), SP
vesikuler ka=ki, ST Rh (+) pada lapangan paru kanan tengah bawah.
B2 : A: H/M/K, TD : 100/70 mmHg, HR 141 x/mnt, T/V : kuat/cukup ,
reg, Temp : 36,8 C
B3 : Sens: GCS 7, pupil anisokor , 5 mm/ 4mm,
B4 : BAK (+), Volume : cc/jam, warna:
B5 : Abd soepel, peristaltik (+)
B6 : Edema (-), Fraktur()
Secondary Survey
B1 : Airway clear, terintubasi dgn ETT no 6,0, cuff (+), RR : 25x/mnt,
dengan manual bagging, SP: vesikuler, ST: Rh+ kanan tengah bawah/ Rh-,
S/G/C: -/-/-, Riw. Asma (-), Sesak (-), Alergi (-), Batuk (-)
B2 : A: H/M/K, TD 120/80mmHg, HR 87 x/mnt, T/V : kuat/cukup, reg
B3 : Sens: GCS DPO, pupil anisokor, ki>ka, : 5mm/4mm, RC -/-,
Otorrhea (-), Rhinorrhoea (-), Battle Sign (-), Racoon eyes (-)
Hasil
10,4 g/dL
31,7
10.640 / mm3
218.000 / mm3
20,5 (13,6)
45,2 (32,8)
22,2 (16,3)
1,55
149 mEq/L
4,1 mEq/L
116 mEq/L
22,9
0,60
7,369
31,4
188,9
17,7
18,6
-6,3
99,2%
76,9 mg/dl
Suction ETT
Head up 300
Inj. Rocuronium 20 mg
Maintenance
Sevoflurane 0.5 1 %
Durante Operasi
TD : 90-105/55-70 mmHg
HR : 65 75 x/mnt
Perdarahan : 400 cc
Cairan :
Pre op
: R Sol 300 cc
: 2 jam 30 menit
Post Operasi
Pemeriksaan Post Operasi :
B1 : Airway : clear , terintubasi dengan ETT no 6, CMV, TV 250 ml,
FiO2 50%, SP vesikuler ka=ki, ST Rh+ minimal pada lapang paru kanan/
Rh - , RR 20x/mnt , SpO2 98-99 %
Diet SV 1200 kkal + 50gr protein /H jika Hemodinamik stabil dan NGT
jernih
Cek Darah Rutin, AGDA, KGD ad random, Elektrolit, HST, RFT, LFT
2. Durante Operasi
3.
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Epidural Hematom
3.1.1. Definisi
Epidural Hematom (EDH) merupakan akumulasi darah yang potensial di
ruangan epidural (antara tabula interna dan duramater) yang dapat terjadi di
intrakranial atau di medula spinalis (SEDH). EDH terjadi lebih kurang 2% dari
pasien dengan cedera kepala, dan 5-15% EDH terjadi pada cedera kepala berat.
EDH merupakan komplikasi serius dari cedera kepala yang memerlukan diagnosis
dan intervensi bedah yang segera. Berdasarkan progresifitas, EDH terbagi menjadi
akut (58%), subakut (31%), dan kronik (11%).4
3.1.2. Anatomi
Duramater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen fibrosa
karena tebal dan kuat dan mengandung serabut kolagen. Pada duramater dapat
diamati adanya serabut elastis , fibrosit, saraf, pembuluh darah dan limfe. Lapisan
dalam duramater terdiri dari beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel luar dari
lapisan arachnoid.4
3.1.3.
Patofisiologi
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat meningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Meningkatnya TIK dapat menurunkan perfusi darah di otak
yang dapat mengakibatkan atau memperberat iskemia di otak. TIK normal dalam
keadaan istirahat sebesar 10 mmHg, peningkatan TIK lebih dari 20 mmHg
terutama bila menetap, prognosis yang didapat bisa menjadi lebih buruk.2, 3, 5
kebutuhan
metabolism
otak
segera
trauma,
sehingga
akan
10
3.1.4. Diagnosis6
3.1.4.1.
Klinis
a. Adanya
riwayat trauma kepala yang mengakibatkan kehilangan kesadaran
b. Adanya lucid interval
c. Perdarhan epidural ada fossa posterior dapat mengakibatkan kematian
dalam hitungan menit
Perubahan klinis pada epidural hematom akibat cedera kepala berat dapat berupa:
a. Nyeri kepala, penurunan GCS
b. Muntah proyektil
11
c.
d.
e.
f.
g.
Kejang
Bradikardi dengan atau tanpa hipertensi menandakan peningkatan TIK
Adanya fraktur pada cranium, hematom, atau laserasi.
Pupil unisokor
Hemiparese
3.1.5. Penatalaksanaan
3.1.5.1. ATLS5
Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin
ada gejala sisa yang ringan. Bagaimanapun, lebih kurang 3% mengalami
perburukan yang tidak terduga seperti perubahan neurologis yang berat.
Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan, atau terdapat gejala
neurologis yang abnormal, penderita harus di bawa ke rumah sakit dan di
konsulkan ke ahli bedah saraf. Bila penderita asimtomatis, sadar, neurologis
normal, observasi tetap dilakukan beberapa jam, jika kondisi tetap normal
dikatakan aman. Bila dalam perjalanan dijumpai nyeri kepala, penurunan
kesadaran atau terdapat defisit neurologis fokal maka penderita dikembalikan ke
unit gawat darurat.
12
namun masih mampu menuruti perintah. Sepuluh persen dari penderita cedera
kepala di UGD menderita cedera otak sedang. Lakukan pemeriksaan awal seperti
biasa diikuti pemeriksaan penunjang.
ABCDE
Hiperventilasi
dilakukan
untuk
menurunkan
PCO2
dan
akan
terpenting
adalah
membersihkan
luka
sebelum
melakukan
14
3.2
15
dan vena.
Intracranial Pressure (ICP) atau tekanan intrakranial (TIK): menjaga atau
menurunkan ke nilai normal yaitu 10 mmHg merupakan poin penting di
dalam neuroanastesia. Nilai TIK diatas 20 mmHg, akan terjadi penurunan
CBF yang akan menyebabkan iskemia serebral global. Hal ini dikaitkan
hiperventilasi
yang
menyebabkan
hipokarbi
akan
16
osmolaritas seum > 320 mOsm/L atau bila ada gagal ginjal. Kontraindikasi
pemberian mannitol adalah hipovolemia, hipotensi, dan gagal ginjal.
(2)Hypertonic Saline adalah alternatif selain mannitol, dengan dosis 4
ml/kg cairan NaCl 7,2-7,5% diinfuskan dalam 20 menit, pemberian ini
efektif terhadap yang resisten mannitol dan tidak memiliki efek samping
terhadap ginjal.
Hiperventilasi ringan hingga hipokarbia (PaCO2 30-35 mmHg) secara
transien terbukti terbukti
resiko
iskemia
daerah
penumbra
dan
kehilangan
yang sempit.
Hipotermia : oleh karena aliran darah otak terganggu pada kebanyakan
pasien cedera kepala berat, khususnya jam-jam pertama trauma, tindakan
mengurangi metabolisme serebral dan kebutuhan energi otak dipercaya
bermanfaat untuk mempertahankan keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen. Hipotermia menyebabkan metabolisme serebral menurun, selain
juga meningkatkan pelepasan asam amino eksitatorik dan memberikan
proteksi substansial terhadap cedera otak sekunder.
17
cepat dengan kateter yang besar oleh karena dapat menyebabkan herniasi.
Kraniektomi dekompresi dan hemikraniektomi : merupakan pilihan untuk
hipertensi intrakranial yang tidak dapat diatasi secara medikamentosa.
Kraniektomi dekompresi menurunkan mortalitas pada pasien dengan
peningkatan TIK refrakter. Prosedurnya adalah dengan pengangkatan
sementara sebagian tulang tengkorak dan duroplasti ekstensif.
3.2.3
Manajemen Pre-operatif
Penanganan anastesi pada trauma kepala sudah dimulai sejak awal di
Kasus-kasus
trauma kepala sering terjadi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoxemia (sering
disebabkan bersamaan dengan kelainan lain seperti masalah di paru) sehingga
pemberian oksigen harus segera dimulai dengan pemantauan. Semua pasien
dengan trauma kepala harus dianggap fraktur servikal sampai terbukti secara
radiologis.1
Indikasi pemasangan intubasi pada trauma kepala diantaranya :
hipoventilasi, refleks muntah tidak ada, GCS dibawah 8 yang menetap. Apabila
direncanakan tindakan intubasi pada seorang pasien, maka harus dipertimbangkan
bahwa lambung pasien dalam keadaan penuh, adanya fraktur servikal sehingga
dilakukan inline-stabilization, setelah itu dilakukan pre-oksigenasi, obat induksi
18
propofol dengan dosis 1,5-3 mg/kg, obat relaksan otot non-depolarisasi dengan
pilihan rocoronium.1
Kasus trauma kepala sering didapati bersamaan dengan trauma di tempat
lainya (multiple trauma) dengan sumber perdarahan yang banyak (terutama
intraabdomen), laserasi kepala (pada anak-anak), selain itu dapat terjadi cedera
medula spinalis sehingga terjadi simpatektomi. Ketiga hal ini akan menyebabkan
hipotensi (TDS < 90 mmHg), yang harus diatasi dengan resusitasi cairan tidak
boleh mengandung glukosa atau hipotonis. Pilihan resusitasinya adalah kristaloid,
koloid, ataupun darah.1
Pemantauan kondisi pasien dengan tindakan invasif bermanfaat seperti
arterial line, tekanan vena sentral, tekanan intrakranial. Tetapi tidak boleh
menunda diagnosa dan tatalaksana awal. Pada pemantauan EKG sering ditemukan
abnormalitas yang bisa jadi tanpa kelainan jantung, tetapi terjadi akibat disfungsi
autonom/neurogenik.1
Evaluasi diagnostik pada pasien trauma kepala harus dipastikan terlebih
dahulu bahwa pasien dalam kondisi stabil, dan harus dilakukan pendampingan
pada kondisi yang critically ill. Sedangkan pada pasien yang gelisah dapat
diberikan agen sedasi.1
3.2.4
Manajemen Intra-operatif
Pada prinsipnya manajemen anastesi durante operasi tetap memegang
prinsip neuroanastesia secara umum, yaitu cegah peningkatan TIK dan cedera
otak sekunder. Setelah dilakukan penanganan airway (seperti intubasi di preoperatif), monitoring harus dilakukan untuk memastikan tidak terdapat kondisikondisi yang menyebabkan cedera otak sekunder.1
Teknik anastesi dan obat-obat anastesi yang digunakan harus menjaga CPP
dan mengurangi TIK. Hipotensi dapat terjadi setelah induksi akibat vasodilatasi
dan hipovolemi dan hal ini harus segera diatasi dengan pemberan agonist reseptor
alfa dan resusitasi cairan. Sedangkan pada saat pembedahan dapat terjadi respon
berupa hipertensi dan takikardi, tetapi dapat pula terjadi bradikardi akibat TIK
yang meningkat (refleks cushing).1
Hipertensi dapat diatasi dengan penambahan dosis agen induksi (efek dari
vasodilatasi ataupun inhalasi). Sediaan beta-blocker dapat pula digunakan pada
kondisi hipertensi yang disertai takikardi. CPP yang diharapkan adalah 70-110
19
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien anak laki-laki berusia 11 tahun, masuk ke
IGD RSUP HAM pada tanggal 29 januari 2014 pukul 17.15 WIB dengan keluhan
utama Penurunan kesadaran yang dialami pasien 7 jam SMRS. Awalnya pasien
sedang mengendarai sepeda motor menuju sekolah pasien, tiba-tiba ada sepeda
motor lainnya dari arah yang berlawanan menabrak sepeda motor pasien, pasien
kemudian terjatuh dengan posisi kepala duluan menyentuh aspal. Pasien pingsan
sesaat, kejang (-), kemudian oleh masyarakat setempat pasien dibawa ke
puskesmas dan diberi makan dan minuman. Setelah pasien diberi makan dan
minuman pasien muntah sebanyak 3x dan kemudian dibawa ke RS Swasta di
Siantar. Karena peralatan terbatas, pasien kemudian dirujuk ke RSUP HAM.
Di IGD RSUP HAM pasien ditangani Elevasi kepala 30, Pasang Guedel,
NGT terpasang, O2 8 L/mnt via NRB, intubasi ETT no 6, pasang IV Line 18G
tangan kanan dan tangan kiri + transfusi set + three way + IVFD Rsol 20 gtt/mnt
pastikan lancer, pasang Urine Cateter nilai kecukupan volume, periksa Lab,
20
Ambil sampel darah untuk Crossmatch PRC 2 bag, Inj. Ceftriaxone 500 gr/ 12
jam, Inj. Ranitidine 25 mg/ 8 jam, persiapan Burre Hole di IGD
Dari pemeriksaan fisik dijumpai airway unclear, Snoring (+), respirasi
spontan dengan RR 36 x/ menit, SP vesikuler, ST : Rh (+) pada lapangan paru
kanan tengah bawah, Akral : H/ M/K, TD = 100/70 mmHg, HR = 141 x/ menit, t/v
kuat/cukup, reguler, temp : 36,8 C, GCS = 7 (E1 V2 M4), pupil anisokor kiri
> kanan, 5mm/ 4mm, RC = -/-. Pasien di intubasi di IGD dan dilakukan burre
hole di IGD karena belum tersedianya kamar operasi. Setelah dilakukan
pemeriksaan menyeluruh pasien didiagnosa dengan EDH o/t (R) Frontal dan
digolongkan PS-ASA 2E akan dilakukan kraniotomi evakuasi EDH dengan teknik
anastesi GA-ETT posisi supine dengan teknik : suction ETT, ETT terpasang
pastikan suara nafas kanan = kiri, head up 300, hubungan ETT dengan mesin
nyalakan agen inhalasi Sevofluran 0,5%, inj. fentanyl 80 mcg, inj. Rocuronium 20
mg. Maintenance sevoflurane 0.5 1 %, rocuronium 10 mg/15 menit, fentanyl 25
mcg/30 menit. Setelah operasi, pasien dirawat di pediatric intensive care unit
(PICU).
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. 5th Ed. New York: Lange Medical Publishing; 2012. Hh
593-604
2. Sastrodiningrat A.G. Head Injury. Bahan Kuliah Ilmu Bedah Saraf FK
USU Blok Emergensi ; Medan Mei 2012. FK USU
3. Ben Selladural, Peter Reily. Comprehensive Guide on Head Injury : AANS
Comitte on Trauma
4. Liebeskind DS. Epidural HematomaMedscape
Reference
2014.
Background, Epidemiology.
Available
from
http://emedicine.medscape.com/article/
5. American College of Surgeon Committee of Trauma,2004. Advanced
Trauma Life Support Seventh Edition. Indonesia: Ikabi Barret-Nerin, JP &
Herndon, DN. Cedera Kepala. New York: Marcel Dekker, 2004. Hh 167186
6. Rull Gurvinder. Extradural Hematoma. Patient.co.uk. Available from :
www.patient.co.uk/doctor/extradural-haematoma
7. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. 5th Ed. New York: Lange Medical Publishing; 2012. Hh
575-588
8. Chander Divya. Anasthesia for Neurosurgery. Departmen of Anasthesia
and Perioperative Care University of California, San Francisco, USA.Hh
1-19
22