Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN
A. Judul
Line Intercept Transect (LIT)
B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu melakukan pengambilan data dari sampling terumbu
karang dengan metode LIT.
2. Mahasiswa mengetahui rata-rata panjang kategori pada tiap kedalaman.
3. Mahasiswa mengetahui presentase cover paling besar pada tiap kedalaman.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Metode LIT adalah metode pengamatan ekosistem terumbu karang yang
menggunakan transek berupa meteran dengan prinsip pencatatan substrat dasar
yang menyinggung transek (Saleh, 2009). Metode LIT merupakan metode yang
paling umum digunakan, metode ini memerlukan alat selam scuba lengkap. Pada
titik yang telah ditentukan dengan metode manta tow dilakukan transek garis
menyinggung garis pantai yang dipasang parallel dengan kontur kedalaman dan
sejajar garis pantai (Fachrul, 2007). Menurut Razak dan Simatupang (2005),
metode LIT memiliki keuntungan yaitu :
1. Kategori lifeform memungkinkan didapatkannya informasi yang berguna
oleh pengamat dengan pengetahuan terbatas dalam identifikasi komunitas
benthik terumbu karang.
2. Data kuantitatif sehingga lebih akurat
3. Merupakan metode sampling data yang gampang dan efisien untuk
memperoleh persentase penutupan kuantitatif.
4. Dapat menyajikan informasi secara detail terhadap pola spasial.
5. Jika dapat diulang pada waktu yang diinginkan, maka akan menyediakan
informasi perubahan temporal.
6. Bisa mendapatkan ukuran koloni karang, yang merupakan indikator
stabilitas komunitas
7. Memerlukan peralatan minimal dan relatif sederhana.
8. Dapat mengukur kerapatan relatif
9. Dapat dikombinasikan dengan teknik serupa, misalnya belt dan video
transect maupun sensus ikan.
10. Informasi mengenai ukuran koloni dapat diperoleh.
Kekurangan metode LIT yaitu:
1. Sangat sulit untuk standarisasi beberapa ketegori lifeform di antara
sejumlah pengamat.
2. Tujuannya hanya terbatas pada data persentase penutupan dan atau
kelimpahan relatif.
3. Pengamat haruslah penyelam yang baik.

4. Tidak dapat digunakan untuk masalah-masalah demografi seperti


pertumbuhan, rekrutmen dan mortalitas.
5. Tidak bagus digunakan untuk pendugaan kuatitatif persentase penutupan
spesies yang jarang atau kecil.
6. Memerlukan waktu yang lebih lama sehingga biaya juga meningkat.
7. Membutuhkan keahlian khusus sesuai dengan tingkat presisi data dan
informasi yang diinginkan.
8. Tidak bisa digunakan untuk biota yang jarang ditemukan atau terlalu kecil.
Menurut Saleh (2009), metode LIT merupakan metode pengamatan
ekosistem terumbu karang. Persentase tutupan untuk masingmasing kategori
lifeform karang dapat dicari dengan persamaan berikut:

Persentase tutupan untuk seluruh kategori lifeform karang hidup dapat dicari
dengan persamaan berikut :

Ekosistem perairan merupakan suatu sistem lingkungan perairan yang


merupakan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara jasad hidup
perairan (komponen biotik0 dengan lingkungan fisik perairan (komponen abiotik),
dan antar komponen itu sendiri, serta merupakan tatanan kesatuan secara utuh
menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi
dalam membentuk keseimbangan dan produktivitas lingkungan hidup (Haruddin
dkk., 2011).
Terumbu karang suatu ekosistem merupakan organisme yang hidup di
dasar perairan dan berupa bentuk batuan gamping (CaCO3) yang cukup kuat
menahan gelombang laut. Terumbu karang merupakan endapan massif kalsium
karbonat yang dihasilkan dari organisme karang pembentuk terumbu karang
(karang hermatiik) dari filum Coridaria ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose
dengan Zooxanthellae dan sedikit tambahan alga berkapur serta serta organisme

lain yang mensekresikan kalsium karbonat. Terumbu karang merupakan suatu


komunitas biologi yang tumbuh pada dasar batu gamping yang resisten terhadap
gelombang (Haruddin dkk., 2011).
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks
dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, mengingat kondisi atau aspek
biologis, ekologis dan morfologis yang sangat khas. Maka merupakan suatu
ekosistem yang sangat sensitif terhadap berbagai gangguan baik yang ditimbulkan
secaran alamiah maupun akibat kegiatan manusia. Berdasarkan geomorfologinya,
ekosistem terumbu karang di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 tipe yaitu :
terumbu karang tepi atau pantai (Fringging Reef) tumbuh sepanjang tepian pantai
dengan kedalaman mencapai 40 meter, tingkat pertumbuhan terbaik di daerah
yang cukup ombak. Terumbu karang penghalang berada pada jarak yang cukup
jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai oleh goba (lagone) dengan kedalaman
antara 45- 47 meter dengan lebar puluhan kilometer (Haruddin dkk., 2011).
Terumbu karang penghalang berakar pada kedalaman yang melebihi
kedalaman maksimum, dimana bentuk organisme penyusun terumbu karang bisa
hidup. Terumbu karang cincin berada pada jarak yang lebih jauh dari pantai
dengan kedalaman mencapai 45 meter bahkan ada yang mencapai 100 meter,
berbentuk melingkar seperti cincin atau oval dan melingkari goba. Terumbu
karang Takat merupakan terumbu karang yang berada diantara perpotongan
terumbu karang atol (cincin) yang merupakan daerah lekukan (patahan) pada
karang atol, dapat tumbu pada kedalaman yang sama pada pada karang atol
(Haruddin dkk., 2011).
Menurut English dkk (1994), berdasarkan bentuk pertumbuhannya,
karang batu terbagi atas karang acropora dan non-acropora. Karang jenis acropora
lebih mudah dibedakan dan memiliki jumlah jenis dan penyebaran sangat luas
dibandingkan dengan jenis lainnya. Perbedaan karang acropora dengan nonacropora terletak pada struktur skeletonnya, dimana acropora memiliki bagian
yang disebut axial koralit dan radikal koralit, sedangkan non acropora hanya
memiliki radial. Berikut kategori bentuk substrat dasar yaitu :

a. Acropora :
1.) Acropora bercabang ( Acropora branching) (ACB) : bentuk bercabang
seperti ranting pohon. Contoh Acropora palmata, Acropora Formosa.

Gambar 1. Acropora Bercabang(English dkk., 1994).


2.) Acropora meja (Acropora tabulate) (ACT) : bentuk bercabang dengan
arah mendatar, rata seperti meja. Contoh : Acropora hyacinthus.

Gambar 2. Acropora Meja (English dkk., 1994).


3.) Acropora merayap (Acropora encrusting) (ACE) : bentuk merayap,
biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna. Contoh : Acropora
palifera dan Acropora cuneata.

Gambar 3. Acropora Merayap (English dkk., 1994).


4.) Acropora submasif (Actopora submassive) (ACS) : percabangan bentuk
gada/lempeng dan kokoh. Contoh : Acropora palifera, karang ini banyak
dijumpai hidup kedalaman 9-15 meter.

Gambar 4. Acropora Submasif (English dkk., 1994).


5.) Acropora berjari (Acropora digitate) (ACD) : bentuk percabangan rapat
dengan cabang seperti jari-jari tangan. Contoh : Acropora humilis,
Acropora digitifera, dan Acropora gemmifera.

Gambar 5. Acropora Berjari (English dkk., 1994).


b. Non-Acropora :
1.) Karang bercabang (coral branching) (CB) : bentuk bercabang, seperti
ranting pohon. Contoh : Seriatopora hystrix.

Gambar 6. Karang Bercabang (English dkk., 1994).


2.) Karang massif (coral massive) (CM) : bentuk seperti batu besar yang
padat. Contoh : Platygyra daedalea.

Gambar 7. Karang Massif (English dkk., 1994).


3.) Karang merayap (coral encrusting) (CE) : bentuk merayap, hampir
seluruh bagian menempel pada subtract. Contoh : Porites vaughani dan
Montipora undata.

Gambar 8. Karang Merayap (English dkk., 1994).


4.) Karang submasif (coral submassive) (CS) : bentuk kokoh dengan
tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil. Contoh : Porites lichen dan
Psammocora digitata.

Gambar 9. Karang Submasif (English dkk., 1994).


5.) Karang lembaran (coral foliose) (CF) : bentuk menyerupai lembaran
daun. Contoh : Merulina ampliata dan Montipora aequituberculata.

Gambar 10. Karang Lembaran (English dkk., 1994).

6.) Karang jamur (coral mushroom) (CMR) : soliter, bentuk seperti jamur.
Contoh : Fungia repanda.

Gambar 11. Karang Jamur (English dkk., 1994).


7.) Karang api (Millepora) (CME) : semua jenis karang api, dapat dikenali
dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti
terbakar bila tersentuh.

Gambar 12. Karang Api (English dkk., 1994).


8.) Karang biru (Heliopora) (CHL) : karang biru dapat dikenali dengan
adanya warna biru pada skeletonnya.

Gambar 13. Karang Biru ((English dkk., 1994).


c. Karang mati (Dead scleractina) terdiri dari :
1.) Karang mati (DC) : karang yang baru mati, berwarna putih.
2.) Karang mati yang ditutupi alga (DCA) : karang mati yang masih
tampak bentuknya, tapi sudah mulai ditumbuhi alga halus.
d. Alga terdiri dari :
1.) Alga makro (macro algae) (MA) : alga berukuran besar.
2.) Alga rumput (turf algae) (TA) : alga berukuran halus, menyerupai
rumput-rumput halus.
3.) Alga koralin (coralline algae) (CA) : alga mempunyai struktur kapur.

4.) Halimeda (HA) : alga dari marga Halimeda sp, mendiami berbagai
habitat laut dari daerah bawah berpasir dengan struktur karang berbatu,
dan dapat hidup hingga kedalaman 150 meter (500 kaki).
5.) Kumpulan alga (alga assemblage) (AA) : terdiri dari satu jenis alga.
e. Fauna lain :
1.) Karang lunak (soft corals) (SC) : karang dengan tubuh lunak, Sinularia
sp
2.) Sepon (sponges) (SP) : Clathria sp
3.) Zoanthids (ZO) : Palythoa sp
4.) Lain-lain (OT) : Anemon, teripang, dll. Menurut Hadi dan Sumadiyo
(1992), pada umumnya anemon banyak dijumpai pada daerah terumbu
karang yang dangkal, di goba atau di lereng terumbu.

Gambar 14. Fauna Lain (English dkk.,1994).

Gambar 15. Fauna Lain-lain (English dkk., 1994).


Karang Acropora biasanya ditemukan di tempat dangkal di seluruh
perairan Indonesia, memiliki bentuk percabangan yang sangat bervariasi dari
corimbose, arborescent, kapitosa dan lain-lainnya. Karang Acropora biasanya
ditemukan di tempat dangkal di seluruh peraiaran Indonesia, memiliki bentuk

percabangan yang sangat bervariasi dari corimbose, arborescent, kapitosa dan


lain-lainnya (Syarifuddin, 2011).
Menurut Amin (2009),

ekosistem terumbu karang dikatakan buruk

apabila mempunyai karang hidup sebesar 0 24,9 %, sedang apabila tutupan


karang hidup 25 49,9 %, dikatakan bagus apabila tutupan karang hidup 50
74,9 % dan dikatakan sangat bagus apabila mempunyai tutupan karang hidup > 75
%. Terumbu karang tidak dapat hidup di air tawar atau muara ataupun hidup
disemua tempat, akan tetapi hidup di perairan laut yang memiliki syarat-syarat
tertentu yaitu :
1. Perairan yang bertemperatur di antara 18 30oC.
2. Kedalaman air kurangnya dari 50 meter.
3. Salinitas air laut 30 36 per mil ().
4. Laju sedimentasi relatif rendah dengan perairan yang relatif jernih.
5. Pergerakan air/arus yang cukup.
6. Perairan yang bebas dari pencemaran.
7. Substrat yang keras.
Pecahan ombak yang besar pada sisi yang terbuka (windward) suatu atol
menciptakan perkembangan pematang algae dan rataan terumbu. Pada daerah ini
perkembangan karangnya minimal. Sebaliknya pada sisi yang terlindung
(leeward), perkembangan pematang algae berkurang dan perkembangan karang
dominan (Suryanti dkk., 2011).
Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu
rata-rata tahunan berkisar 23 25 0C dan memiliki toleransi suhu sampai 36
40 0C. Salinitas 32-35 0/00 merupakan salinitas dimana terumbu karang dapat
bertahan hidup. Faktor selanjutnya adalah cahaya dan kedalaman, faktor ini
berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang
terdapat di jaringan karang. Kecerahan berhubungan dengan penetrasi cahaya,
kecerahan yang tinggi membuat penetrasi cahaya menjadi tinggi. Tingginya
penetrasi cahaya menyebabkan produktivitas perairan menjadi tinggi. Paparan
udara (aerial exposure) merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan
jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya (Suryanti dkk., 2011).

Faktor terakhir yang berperan di dalam ekosistem terumbu karang adalah


gelombang dan arus. Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang
yang besar dapat merusak struktur terumbu karang, sedangkan arus dapat
berdampak positif yaitu membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang
diperlukan oleh karang dan zooxanthellae dan juga berdampak negatif yaitu
menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan
karang sehingga berakibat pada kematian karang (Suryanti dkk., 2011).
Menurut Suryanti dkk (2011), metode sampling komunitas terumbu
karang dengan menggunakan metode line transect digunakan pada kedalaman 3
dan 10 meter. Hal tersebut dilakukan karena pada kedalaman 3 m dianggap
mewakili daerah reef flat, sedangkan 10 m mewakili daerah slope. Jenis karang
yang dominan disuatu habitat tergantung lingkungan atau kondisi dimana karang
tersebut hidup. Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup dapat didominasi oleh
suatu jenis karang tertentu, pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi
karang-karang kecil yang umumnya berbentuk massive dan submassive. Lereng
terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang bercabang, karang massive lebih
banyak tumbuh di terumbu terluar dengan perairan berarus.
Karang yang hidup di daerah terlindung dari gelombang (leeward zones)
memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang, berbeda pada gelombang
yang kuat (windward zones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk percabangan
pendek, kuat, merayap atau submasif. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui
bahwa kedalaman tidak berpengaruh terhadap morfologi karang, hal ini karena
pada kedalaman yang berbeda jenis karang berdasarkan morfologi yang
ditemukan relatif tidak terdapat perbedaan nyata, hanya jumlah yang
mendominasinya saja yang berbeda (Suryanti dkk., 2011).

III. METODE
A. Alat dan Bahan
Alat :
1. Roll meter
2. Kategori lifeform
3. Lembar data LIT
4. Alat tulis
5. Penggaris
B. Cara Kerja
Roll meter sepanjang 20 meter dibentangkan, lalu kategori lifeform
diletakkan secara acak pada roll meter dengan kedalaman 3 M dan 10 M.
Panjang dari setiap kategori yang diperoleh dicatat di lembar data LIT (Line
Intercept Transect). Kemudian presentasi cover tiap kategori per kedalaman
dihitung. Hasil setiap kedalaman dibandingkan dan data dianalisis.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Dari praktikum yang telah dilakukan mengenai Line Intercept Transect
(LIT) pada kedalaman 3 meter dan 10 meter, maka diperoleh hasil sebagai
berikut :
Tabel 1. Hasil Perhitungan Panjang Kategori Lifeform Di Tiap Kedalaman
Kedalaman

Rata-rata

3 M (transek 1 dan 2)

310,75 cm

10 M (transek 3 dan 4)

338,55 cm

B. Pembahasan
Metode pengamatan ekosistem terumbu karang yang menggunakan
transek berupa meteran dengan prinsip pencatatan substrat dasar yang
menyinggung transek (Saleh, 2009). Pada titik yang telah ditentukan dengan
metode manta tow dilakukan transek garis menyinggung garis pantai yang
dipasang parallel dengan kontur kedalaman dan sejajar garis pantai (Fachrul,
2007).
Menurut Suryanti dkk (2011), metode sampling komunitas terumbu
karang dengan menggunakan metode line transect digunakan pada kedalaman
3 dan 10 meter. Hal tersebut dilakukan karena pada kedalaman 3 m dianggap
mewakili daerah reef flat, sedangkan 10 m mewakili daerah slope dengan kata
lain tujua dilakukan sampling pada kedalaman 3 dan 10 meter untuk melihat
perbedaa keragaman terumbuh karang di kedalaman yang berbeda. Jenis
karang yang dominan disuatu habitat tergantung lingkungan atau kondisi
dimana karang tersebut hidup.
Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup dapat didominasi oleh suatu
jenis karang tertentu. Pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi karangkarang kecil yang umumnya berbentuk massive dan submassive. Lereng
terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang bercabang, karang massive
lebih banyak tumbuh di terumbu terluar dengan perairan berarus (Suryanti
dkk., 2011).

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata panjang kategori lifeform pada
kedalaman 3 M (transek 1 dan 2) yaitu 310,75 cm dan rata-rata panjang
kategori lifeform pada kedalaman 10 M (transek 3 dan 4) yaitu 338,55 cm.
Rata-rata panjang kategori lifeform pada kedalaman 10 M lebih besar
dibandingkan dengan kedalaman 3 M.
Pada transek 1 dengan kedalaman 3 M diperoleh kategori jenis ZO
dengan persen cover sebesar 12,53%, CME dengan persen cover sebesar
4,53%, CMR dengan persen cover sebesar 7,55%, ACD dengan persen cover
sebesar 21,14%, OT dengan persen cover sebesar 6,34%, CM dengan persen
cover sebesar 3,17%, SP dengan persen cover sebesar 10,12%, ACB dengan
persen cover sebesar 4,98%, ACS dengan persen cover sebesar 18,58%, CB
dengan persen cover sebesar 4,22%, CF dengan persen cover sebesar 6,79%.
Jenis kategori yang paling dominan yaitu ACD dengan persen cover sebesar
21,14%, dikarenakan ACD termasuk dalam acrospora menurut Syarifuddin
(2011) karang Acropora biasanya ditemukan di tempat dangkal di seluruh
perairan Indonesia serta dapat pula dikarenakan kondisi pada transek 1
merupakan kondisi yang paling baik bagi pertumbuhan ACD.
Pada transek 2 dengan kedalaman 3 M diperoleh kategori jenis SC
dengan persen cover sebesar 7,57% , ACE dengan persen cover sebesar 9,29%,
CME dengan persen cover sebesar 6,37%, TA dengan persen cover sebesar
17,56%, OT dengan persen cover sebesar 22,03%, CE dengan persen cover
sebesar 7,57%, CS dengan persen cover sebesar 14,8%, CHL dengan persen
cover sebesar 3,79%, ACS dengan persen cover sebesar 6,71%, dan CMR
dengan persen cover sebesar 4,3%. Jenis kategori yang paling dominan yaitu
OT dengan persen cover sebesar 22,03%, menurut Hadi dan Sumadiyo (1992),
pada umumnya anemon (salah satu jenis OT) banyak dijumpai pada daerah
terumbu karang yang dangkal, di goba atau di lereng terumbu serta dapat pula
dikarenakan kondisi pada transek 2 merupakan kondisi yang paling baik bagi
pertumbuhan OT.
Pada transek 3 dengan kedalaman 10 M diperoleh kategori jenis OT
dengan persen cover sebesar 9,77%, ACB dengan persen cover sebesar 9,52%,

CMR dengan persen cover sebesar 9,55%, ACE dengan persen cover sebesar
8,24%, HA dengan persen cover sebesar 1,06%, ZO dengan persen cover
sebesar 11,61%, CHL dengan persen cover sebesar 9,72%, ACS dengan persen
cover sebesar 13,28%, CD dengan persen cover sebesar 4,90%, CME dengan
persen cover sebesar 3,65%, SP dengan persen cover sebesar 2,65%, dan CM
dengan persen cover sebesar 4,32%. Jenis kategori yang paling dominan yaitu
ACS dengan persen cover sebesar 13,28% salah satu contoh ACS yaitu
Acropora palifera karang ini banyak dijumpai hidup kedalaman 9-15 meter
(English dkk., 1994) serta dapat pula dikarenakan kondisi pada transek 3
merupakan kondisi yang paling baik bagi pertumbuhan ACS.
Pada transek 4 dengan kedalaman 10 M diperoleh kategori jenis CS
dengan persen cover sebesar 6,60%, SP dengan persen cover sebesar 7,70%, C
dengan persen cover sebesar 4,09%, CB dengan persen cover sebesar 6,45%,
CME dengan persen cover sebesar 5,19%, ACS dengan persen cover sebesar
11,32%, ACT dengan persen cover sebesar 7,70%, CF dengan persen cover
sebesar 3,77%, ZO dengan persen cover sebesar 3,46%, ZM dengan persen
cover sebesar 5,35%, OT dengan persen cover sebesar 6,45%, HA dengan
persen cover sebesar 12,42%, ACE dengan persen cover sebesar 6,45%, SC
dengan persen cover sebesar 7,70%, ACB dengan persen cover sebesar 3,77%.
Jenis kategori yang paling dominan yaitu HA dengan persen cover sebesar
12,42%, Halimeda sp (HA) mendiami berbagai habitat laut dari daerah bawah
berpasir dengan struktur karang berbatu, dan dapat hidup hingga kedalaman
150 meter (500 kaki) (English dkk., 1994) serta dapat pula dikarenakan kondisi
pada transek 4 merupakan kondisi yang paling baik bagi pertumbuhan HA.
Menurut Greenpeace Southeast Asia (Indonesia) (2013), data terbaru
(2012) Pusat Penelitian Oseanografi LIPI mengungkap hanya 5,3% terumbu
karang Indonesia yang tergolong sangat baik. Sementara 27,18% digolongkan
dalam kondisi baik, 37,25% dalam kondisi cukup, dan 30,45% berada dalam
kondisi buruk. Hal ini berarti terumbu karang di Indonesia sudah termasuk ke
dalam kategori kondisi buruk. Terumbu karang (coral reef) Indonesia
merupakan yang terkaya di dunia. Luas terumbu karang di Indonesia ini

mencapai 2,5 juta hektar. Selain luas, terumbu karang Indonesia pun
memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, sedikitnya 750 jenis karang
yang termasuk ke dalam 75 marga terdapat di Indonesia.
Kerusakan terumbu karang disebabkan dua faktor utama, yaitu kerusakan
oleh alam atau bencana alam dan kerusakan akibat aktivitas manusia.
Kerusakan oleh faktor alam seperti akibat terjadinya badai, tsunami, dan gempa
bumi di laut. Sedangkan kerusakan oleh manusia seperti diakibatkan oleh cara
penangkapan ikan di sekitar terumbu karang yang sifatnya merusak
(menggunakan bahan peledak, racun sianida, muro-ami dan perangkap
ikan), pencemaran laut, pemanasan global, penambangan batu karang dan
sedimentasi. Kerusakan akibat manusia ini jauh lebih beresiko (Greenpeace
Southeast Asia (Indonesia), 2013).

Gambar 16. Kondisi Terumbu Karang Indonesia (Greenpeace Southeast Asia


(Indonesia), 2013).

V. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan mengenai Line Intercept
Transect (LIT), maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Prinsip metode LIT adalah menggunakan transek berupa meteran dengan
prinsip pencatatan substrat dasar yang menyinggung transek.
2. Panjang rata-rata kategori lifeform pada kedalaman 3 M (transek 1 dan 2) yaitu
sebesar 310,75 cm dan pada kedalaman 10 M sebesar 338,55 cm.
3. Pada transek 1 jenis kategori yang paling dominan yaitu ACD dengan persen
cover sebesar 21,14%. Pada transek 2 jenis kategori yang paling dominan yaitu
OT dengan persen cover sebesar 22,03%. Pada transek 3 jenis kategori yang
paling dominan yaitu ACS dengan persen cover sebesar 13,28%. Pada transek
4 jenis kategori yang paling dominan yaitu HA dengan persen cover sebesar
12,42%.

DAFTAR PUSTAKA
Amin. 2009. Terumbu Karang: Aset Yang Terancam (Akar Masalah dan
Alternatif Solusi Penyelamatan). Jurnal Region. 1(2):2-3.
English, S. C., Wilkinson dan Baker, V. 1994. Survey Manual For Tropical
Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Queensland. Hal
380-386.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT Bumi Aksara, Jakarta. Hal
124-126.
Greenpeace Southeast Asia (Indonesia). 2013. Laut Indonesia Dalam Krisis.
www.greenpeace.or.id. 26 Oktober 2014.
Hadi, N. dan Sumadiyo. 1992. Anemon Laut (Coelenterata, Actiniaria), Manfaat
dan Bahayanya. Jurnal Oseana. 27(4):170.
Haruddin, A., Purwanto, E. dan Budiastuti, S. Dampak Kerusakan Ekosistem
Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara
Tradisional Di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.
Jurnal EKOSAINS. 3(3):31-32.
Razak, T. B. dan Simatupang, K. L. M. 2005. Buku Panduan Pelestarian
Terumbu Karang: Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Yayasan
Terang, Jakarta. Hal 113-115.
Saleh. 2009. Teknik Pengukuran dan Analisis Kondisi Ekosistem Terumbu
Karang. www.coremap.or.id. 26 Oktober 2014.
Suryanti., Supriharyono dan Roslinawati, Y. 2011. Pengaruh Kedalaman
Terhadap Morfologi Karang Di Pulau Cemara Kecil, Taman Nasional
Karimun Jawa. Jurnal Saintek Perikanan. 7(1):68.
Syarifuddin, A. A. 2011. Studi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Karang
Acropora Formosa Menggunakan Teknologi Biorock Di Pulau Barrang
Lompo Kota Makassar. Naskah Skripsi S-1. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.

LAMPIRAN
A. Perhitungan

1. Panjang transek 1 kedalaman 3 meter


% Cover (ZO)

= 41,5/331 x 100

= 12,53%

% Cover (CME)

= 15/331 x 100

= 4,53%

% Cover (CMR)

= 25/331 x 100

= 7,55%

% Cover (ACD)

= 70/331 x 100

= 21,14%

% Cover (OT)

= 21/331 x 100

= 6,34%

% Cover (CM)

= 10,5/331 x 100

= 3,17%

% Cover (SP)

= 33,5/331 x 100

= 10,12%

% Cover (ACB)

= 16,5/331 x 100

= 4,98%

% Cover (ACS)

= 61,5/331 x 100

= 18,58%

% Cover (CB)

= 14/331 x 100

= 4,22%

% Cover (CF)

= 22,5/331 x 100

= 6,79%

2. Panjang transek 2 kedalaman 3 meter


% Cover (SC)

= 22/290,5 x 100

= 7,57%

% Cover (ACE)

= 27/290,5 x 100

= 9,29%

% Cover (CME)

= 18,5/290,5 x 100

= 6,37%

% Cover (TA)

= 51/290,5 x 100

= 17,56%

% Cover (OT)

= 64/290,5 x100

= 22,03%

% Cover (CE)

= 22/290,5 x 100

= 7,57%

% Cover (CS)

= 43/290,5 x 100

= 14,8%

% Cover (CP)

= 11/290,5 x 100

= 3,79%

% Cover (ACS)

= 19,5/290,5 x 100

= 6,71%

% Cover (CMR)

= 12,5/290,5 x 100

= 4,3%

3. Panjang transek 3 kedalaman 10 meter


%Cover (OT)

= 35,1/359,1 x 100

= 9,77%

%Cover (ACB)

= 34,2/359,1 x 100

= 9,52%

%Cover (CMR)

= 34,3/359,1 x 100

= 9,55%

%Cover (ACE)

= 29,6/359,1 x 100

= 8,24%

%Cover (HA)

= 3,8/359,1 x 100

= 1,06%

%Cover (ZO)

= 41,7/359,1 x 100

= 11,61%

%Cover (CHL)

= 34,9/359,1 x 100

= 9,72%

%Cover (ACS)

= 47,7/359,1 x 100

= 13,28%

%Cover (CD)

= 17,6/359,1 x 100

= 4,90%

%Cover (CME)

= 13,1/359,1 x 100

= 3,65%

%Cover (SP)

= 9,5/359,1 x 100

= 2,56%

%Cover (CM)

= 15,5/359,1 x 100

= 4,32%

4. Panjang transek 4 kedalaman 10 meter


% Cover (CS)

= 21/318 x 100

= 6,60%

% Cover (SP)

= 24,5/318 x 100

= 7,70%

% Cover (C)

= 13/318 x 100

= 4,09%

% Cover (CB)

= 20,5/318 x 100

= 6,45%

% Cover (CME)

= 16,5/318 x 100

= 5,19%

% Cover (ACS)

= 36/318 x 100

= 11,32%

% Cover (ACT)

= 24,5/318 x 100

= 7,70%

% Cover (CF)

= 12/318 x 100

= 3,77%

% Cover (ZO)

= 11/318 x 100

= 3,46%

% Cover (ZM)

= 17/318 x 100

= 5,35%

% Cover (OT)

= 20,5/318 x 100

= 6,45%

% Cover (HA)

= 39,5/318 x 100

= 12,42%

% Cover (ACE)

= 20,5/318 x 100

= 6,45%

% Cover (SC)
% Cover (ACB)

= 24,5/318 x 100

= 7,70%

= 12/318 x 100

= 3,77%

5. Rata rata ketegori lifeform


a. Kedalaman 3 M

b. Kedalaman 10 M

Anda mungkin juga menyukai