Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

Pre Operatif pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus

Disusun Oleh:
Zulkarnain
Pembimbing:
dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An

SMF ILMU ANESTESI


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014

Pendahuluan

penyakit tersebut selain dokter, perawat, ahli gizi serta tenaga kesehatan lain, peran
pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya
guna memahami lebih jauh tentang perjalanan penyakit DM, pencegahan, penyulit
DM, dan penatalaksanaannya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan
mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan. Dalam konteks ini keberadaan
organisasi perkumpulan penyandang diabetes seperti PERSADIA, menjadi sangat
dibutuhkan, yang akan membantu meningkatkan pengetahuan mereka tentang DM
dan memikirkan kepentingan mereka sendiri semaksimal mungkin.

Diabetes sering dihubungkan dengan anestesia dan dengan pembedahan berdasarkan


atas jumlah mutlak pasien dengan DM dan banyaknya komplikasi dari penyakit DM
(misalnya vaskuler, opthalmologik, ginjal, jantung) yang membutuhkan intervensi
pembedahan. Suatu laporan belakangan ini diperkirakan bahwa hampir 50% individu
dengan DM akan menjalani pembedahan dalam hidup mereka

Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan


suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut
WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan
akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.

Klasifikasi

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berubahnya
homeostasis glukosa yang disebabkan karena kurangnya produksi insulin (DM tipe I)
atau karena resistensi insulin (DM tipe II)

Klasifikasi DM lainnya menurut konsensus pngelolaan DM tipe 2 Perkemi


2002 adalah sebagai berikut (Perkemi, 1998):
a. DM tipe 1, destruksi sel beta yang umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut yang bersifat autoimun dan idiopatik.
b. DM tipe 2, bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin.
c. DM tipe lainnya:
-

Defek genetic fungsi sel beta

Defek genetic kerja insulin

Penyakit eksokrin pancreas

Endokrinopati

Karena obat atau zat kimia

Infeksi

Sebab imunologi yang jarang

Sindroma genetic lain yang berkaitan dengan DM

d. Diabetes melllitus gestasional

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar 3 kriteria yaitu:


a. Terdapat simptom DM dengan hasil pemeriksaan kadar gula darah plasma
sewaktu 11,1 m mol/l (200 mg%) atau
b. Kadar gula darah plasma puasa 7m mol/l (126 mg%) atau
c. Kadar gula plasma 2 jam pp 1,1 m mol/l dengan OGTT

PATOFISIOLOGI REGULASI GLUKOSA DARAH


Pada non-DM regulasi glukosa darah dapat dilihat pada gambar 1, yang
menunjukkan hubungan kerja antara insulin dan glukogon pada keadaan istirahat. SelA dari pancreas menghasilkan glukagon, sedangkan sel B mensekresi insulin, yang
keduanya dikendalikan oleh SSP (Susunan Saraf Pusat).

Kedua hormon ini mengatur regulasi glukosa agar selalu normaglikemia. Pada
keadaan istirahat, hepar menghasilkan 10 gram glukosa per jam yang dibagikan 6
gram per jam ke otak (tana perlu insulin) dan 4 gram per jam untuk hepar, otot dan
jaringan adipose dengan bantun insulin (Unger, 1982).
Glukagon mempunyai efek positif untuk merangsang sekresi insulin,
sebaliknya insulin mempunyai pengaruh menekan sekresi glukagon. Glukagon
melalui hepar mempunyai fungsi produksi glukosa, dan insulin merangsang ambilan
glukosa di hepar, otat dan jaringan adipose. Apabila makanan yang mengandung
karbohidrat diberikan maka timbul sekresi insulin yang sekaligus menekan sekresi
glukagon, sehingga tidak timbul hiperglikemia. Sebaliknya, pada waktu olah raga,
amilan glukosa meningkat, tubuh memerlukan glukosa dengan jalan meningkatkan
sekrei glukagon agar produksi glukosa dari hepar meningkat; sekresi insulin menurun
karena ditekan oleh katekolamin sehingga hipoglikemia dapat diindarkan.
Pada DM tipe 2. Sekresi sel-B terganggu dan mungkin juga terdapat kelainan
reseptor di perifer, maka ambilan glukosa di hepar, otot dan jaringan adipose
menurun, sehingga hiperglikemia tidak dapat dihindarkan. Pada waktu anestesi dan
operasi kadar hormon-hormon kontra meningkat (ACTH, Growth hormon,
Vasopressin, Prolaktin, TSH, Peningkatan aktivitas saraf simpatis) sehingga

mekanisme regulasi glukosa akan lebih sulit (Elliott et al, 1983) (Hawkins et al, 1983)
(Lee HA, 1983).
IIA. Pada DM tipe-1 keadaan berbeda dengan DM tipe-2, karena sel B pada
DM tipe-1 tidak lagi bekerja (Gambar 2). Akibatnya sel-A mengeluarkan glukagon
berlebihan (supresi oleh insulin tidak ada) yang selanjutnya akan meningkatkan
sekresi glukosa dari hepar lebih dari 20 gram/jam. Karena kekurangan insulin absolut,
ambilan glukosa di hepar, otot dan jaringan adipose menurun (kurang dari 1
gram/jam) sedangkan untuk otak tetap dapat dipenuhi 6 gram per jam (tidak
diperlukan insulin). Akibat dari ini semua adalah hiperglikemia yang disertai ekskresi
glukosa lewat urine melebihi 14 gram/jam (glukosuria).

IIB. Pada DM tipe-1 dengan regulasi baik, mekanisme regulasi glukosa dapat
dipahami melalui Gambar-3. Apabila penderita mendapatkan injeksi insulin, maka
sumber insulin bersifat otonom. Hambatan insulin eksogen terhadap sekresi glukagon
tetap ada meskipun pada waktu hipoglikemia (karena ambilan glukosa oleh jaringan
perifer berjalan terus).

Respon endokrin terhadap operasi


- Insulin
Sekresinya menurun waktu operasi karena peningkatan noradrenalin; tetapi sekresi
insulin ini dapat ditingkatkan dengan adrenergik bloker. Periode supresi ini
sangat erat berhubungan dengan Acute phase of injury dan Ebb phase. Apabila
tidak ada komplikasi, sekresi insulin akan menjadi normal pada hari ke-7.
- Kortisol
Meningkat cepat dan dalam beberapa jam sudah mencapai kadar puncak. Kadar
kortisol ini menggambarkan besar kecilnya operasi dan dapat dipakai sebagai
petunjuk adanya penyulit. Karena itu kadar kortisol disebut juga Sepsis score.
Peningkatan kortisol ini akan memberi pengaruh metabolic. Kortisol mulai normal
pada hari ke-4.
- Glukagon
Glukagon juga meningkat sekresinya pada waktu operasi yang terjadi 18-48 jam
sesudah operasi. Glukagon akan merangsang glukoneogenesis dan glikogenolisis
dan juga meningkatkan ambilan asam amino (hepatic amino acid uptake) dalam
hepar. Glukagon akan normal kembali pada hari ke-5.
- Hormon Tiroid

Tidak terlalu jelas peningkatan sekresinya pada waktu operasi. Yang jelas rasio T3r T3 turun disebabkan karena peningkatan kortisol, atau oleh karena adaptasi
terhadap peningkatan aktivitas metabolic. Namun demikian analgesia epidural
yang menekan peningkatan sekresi kortisol akibat operasi, tidak mempengaruhi
rasio T3-rT3 tersebut.
- Katekolamin
Mempunyai efek yang menonjol pada metabolisme karbohidrat. Adrenalin
meningkatkan glikogenolisis di hepar, otot dengan akibat peningkatan keluarnya
laktat dari otot.
Pada waktu operasi atau puasa, glukosa harus diproduksi oleh tubuh sendiri
(terutama hepar) dengan kecepatan 180-240 gr/24 jam ( 10 gr/jam) untuk
mempertahankan hidup jaringan yang essensial (otak: 6 gr/jam); sebagian besar
energi untuk otot dipenuhi oleh asam lemak dan keton bodies. Hepar dan ginjal
adalah organ penghasil glukosa, tetapi pada keadaan puasa 90% kebutuhan glukosa
dapat dipenuhi oleh hepar.
Glukosa ini berasal dari glikogenolisis (short term) dan glukoneogenesis.
Enzim fosforilase akan diaktifkan dan menghasilkan G-6-P (Glucose-6-Phosphate)
dan dari sinilah glukosa dilepaskan. Enzim G-6-P ini hanya terdapat di hepar dan
ginjal, tidak terdapat dalam otot. Bahan glukoneogenik yang perlu diketahui,
antara lain: (Elliott et al, 1983).
1. Piruvat
2. Laktat ( 50% dari seluruhnya)
3. Alanin, Glutamin dan Glisin
4. Gliserol (5-10%)
Meskipun otot tidak memiliki enzim G-6-P, secara indirek otot dapat
menghasilkan glukosa melalui bahan glukoneogenik.

- Laktat
Pada olah raga atau hipotensi, laju produksi laktat meningkat tajam dan
menghasilkan ion hydrogen yang berlebihan, sehingga dapat mengakibatkan
asidemia (asidosis laktat).
Hepar yang normal, perharinya dapat mengambil 400 gr laktat. Organ yang dapat
menggunakan laktat adalah jantung.

- Gliserol
Merupakan bahan glukoneogenik yang dilepaskan dari jaringan adipose (sekitar 510% dari seluruhnya). Sebagian besar (80-90%) gliserol mengalami metabolisme
di dalam hepar dan bahan ini diutamakan untuk glukoneogenesis sewaktu puasa.
- Alanin
Merupakan sumber utama bahan glukoneogenik yang berasal dari protein. Apabila
keadaan puasa berlangsung terus maka glikogenolisis hepatik menurun sedangkan
glukoneogenesis meningkat. Cadangan glikogen di hepar hanya 72 gr dan di otot
245 gr, sedangkan kebutuhan glukosa untuk jaringan tubuh yang essensial adalah
180-240 gr/24 jam. Cadangan glikogen tubuh hanya cukup untuk sekitar 24 jam,
maka selanjutnya kekurangan akan dipenuhi melalui glukoneogenesis. Bila
kebutuhan glukosa masih berlangsung terus maka protein tubuh akan dibongkar
oleh kortisol. Proteolisis ini dapat meningkatkan mortalitas, apabila tidak segera
diatasi. Tetapi kadar keton bodies akan meningkat melalui proses lipolisis,
sedangkan pada waktu puasa proses ini meningkat pula. Susunan Saraf Pusat (SSP)
akan menggunakan keton bodies ini sebagai sumber energi (sebagai oxidative
fuel). Pada saat ini kebutuhan glukosa total akan turun separuhnya dan ginjal akan
menjadi sumber produksi glukosa.

Fase Respon Metabolik terhadap Operasi


Menurut Cathberson (1942) respon metabolik terhadap injuri (operasi) dapat
dibagi dalam 2 fase:

1.

Ebb-Phase (Shock phase)


- Fase awal, fase shock
- Berlangsung 24-36 jam tergantung berat ringannya operasi
- Timbul mobilisasi cadangan energi tanpa adanya kenaikan proses metabolik.
- Timbul peningkatan aktivitas susunan saraf simpatis dan menyebabkan sekresi
adrenalin dari medulla adrenal meningkat timbul glikogenolisis otot dan
lipolisis jaringan adipose, terjadilah hiperglikemia.
- Aktvasi saraf simpatis dan hipersekresi adrenalin ini merangsang glukagon,
dan menekan sekresi insulin, laju glukoneogenesis meningkat dan terjadi
hiperglikemia.

- Karena stress operasi berlangsung terus, maka terjadi peningkatan ACTH,


GH, vasopressin dan kortisol yang mana kortisol akan meningkatkan
proteolisis dan lipolisis, laju glukoneogenesis meningkat dan terjadi
hiperglikemia.
- Pada fase ini, laju metabolik tidak meningkat, bahkan cenderung menurun
sehingga hiperglikemia dan peningkatan kadar asam lemak dapat berlangsung
lama.
- Oksigenasi-ventilasi harus dilaksanakan secara optimal pada Ebb-Phase ini
dan pemantauan hemodinamik harus dikerjakan secara intensif.
- NPE (Nutrisi Par Enteral) jangan diberikan pada fase ini karena laju metabolik
rendah dan hormon-hormon kontra masih tinggi.
2.

Flow-Phase (Hypermetabolik Phase)


- Pada fase ini timbul peningkatan laju metabolik dan proses katabolik.
- Status hemodinamik dan respirasi mulai stabil.
- Pada fase ini lipolisis dan proteolisis masih aktif.
- NPE dapat dimulai dengan karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi,
sedangkan asam amino untuk regenerasi dan sintesis protein visceral (jangan
diperhitungkan sebagai sumber energi).

BEBERAPA HAL YANG PERLU DIKETAHUI UNTUK DM ANESTESIOPERASI


Perlu diketahui bahwa penderita DM mudah mengalami infeksi karena
beberapa faktor di bawah ini (Askandar T, 2002).
1. Hiperglikemia (glukosa darah lebih dari 200 mg/dl).
2. Adanya dehidrasi, asidosis, defisiensi (albumin, elektrolit, mineral dll).
3. Status nutrisi yang kurang
4. Angiopathy
5. Neuropathy
6. Faktor hormonal
Oleh karena itu faktor-faktor tersebut di atas harus benar-benar diperhatikan
karena dapat mencetuskan resiko DM yang berat seperti sepsis dan lain-lain.
Beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh hiperglikemia (lebih dari 200
mg/dl) antara lain: (Askandar T, 2002) (Stevens A et al., 1987)
1.

Faal leukosit menurun (faal hemotaksis, fagositosis, bakterisida intraseluler


menurun; demikian pula fungsi limfosit dan monosit. Akibatnya penderita DM

mudah mengalami infeksi. Infeksi merupakan penyulit pada post operasi


tersering pada DM (1/3 kasus) dan menyebabkan 20% kasus kematian post
operasi.
2.

Gangguan Reologi:
- Viskositas darah meningkat
- Mudah terjadi agregasi trombosit, demikian pula akan mudah timbul agregasi
eritrosit dan lekosit, yang memudahkan terjadinya trombosis.

3.

Faal endotel juga terganggu, yang merupakan predisposisi timbulnya agregasi


tromosit dan kemudian trombosis.

4.

Status immunology humoral dan selluler menurun: kemunduran fungsi sel Tsuppresor dan lain-lain.

5.

Pembentukan jaringan: granulasi terhambat (sintesis fibroblast dan kolagen


tertekan pada hiperglikemia), luka sukar sembuh.
Beberapa faktor yang menunjukkan prognosis kurang baik untuk penderta

DM yang mengalami operasi adalah:


1.

Regulasi DM yang tidak optimal (glukosa darah > 200 mg/dl)

2.

Umur lebih dari 60 tahun

3.

Hepar (hepatopati diabetik)

4.

Ginjal (nefropati diabetik)

Terapia insulin pada pasien perioperatif


Beberapa persiapan sebelum operasi, antara lain melakukan pengendalian metabolik
(kadar glukosa darah puasa < 140 mg/dL, kadar glukosa darah 2 jam setelah makan
<200 mg/dL), serta menentukan keadaan kardiovaskular, neurologi, dan fungsi ginjal.
Penatalaksanaan pasien DM perioperatif tergantung dari berat ringannya tindakan
pembedahan.
A. Operasi kecil
Penggunaan obat antidiabetik oral atau insulin dapat diteruskan bila kadar glukosa
darah sudah terkendali dengan baik. Pasien-pasien ini tidak memerlukan persiapan
khusus seperti puasa dan sesudah tindakan dapat makan seperti biasa.
B. Operasi sedang
Operasi sedang yang elektif merupakan kasus yang paling sering ditemukan oleh para
spesialis penyakit dalam saat persiapan prabedah seperti operasi laparatomi, bedah
tumor kandungan, bedah tulang, dan bedah saraf. Persiapannya sama dengan operasi

besar, yang pada dasarnya harus dilakukan sebaik mungkin sebelum menjalani
tindakan operasi. Perlu dicatat kepentingan pemantauan kadar glukosa darah selama
operasi. Untuk hal tersebut petugas cukup menggunakan reflectance meter yang dapat
digunakan di kamar operasi. Operasi yang lama dapat meningkatkan kadar glukosa
darah. Bila kadar glukosa darah tinggi maka perlu diberikan insulin.
C. Operasi besar
Bagi pasien yang akan menjalani operasi besar yang memerlukan anestesi umum dan
dipuasakan, dibutuhkan infus insulin dan glukosa serta pemantauan kadar glukosa
darah setiap jam. Pemberian infus insulin dan glukosa dapat diberikan secara terpisah,
misalnya insulin kerja singkat dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,9% dengan
konsentrasi 0,5 unit/ml dan larutan dekstrose 5% atau 10% tergantung keperluan.
Infus insulin ditambahkan pada infus dekstrosa dan kecepatan infus disesuaikan
dengan kadar glukosa darah. Pada operasi yang memerlukan pembatasan cairan
seperti pada pasien gagal ginjal dan penyakit jantung kongestif, sebagai asupan
karbohidrat dapat digunakan dekstrosa 50%.
Tindakan operasi jantung dan pintas kardiopulmonar seringkali memerlukan dosis
insulin yang tinggi untuk mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik.
Pengendalian kadar glukosa darah yang baik selama operasi akan menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas pasien DM. Kadar glukosa darah yang baik pada persiapan
dan selama operasi dipertahankan pada kadar 100125 mg/dL. Hal yang perlu
mendapat perhatian pada pasien DM yang memerlukan tindakan operasi darurat
adalah waktu terakhir mendapat suntikan insulin dan penilaian status metabolik
melalui pemantauan kadar glukosa darah.
Bagi pasien yang akan menjalani operasi elektif, pemberian insulin umumnya dimulai
apabila ditemukan kadar glukosa darah lebih dari 140 mg/dL. Sementara itu, bagi
pasien DM di ruang intensif yang akan menjalani operasi, insulin dapat mulai
diberikan bila kadar glukosa darah lebih dari 110 mg/dL. Target kadar glukosa darah
yang diinginkan untuk pasien kritis yang akan menjalani operasi adalah 80 110
mg/dL, sementara untuk pasien dengan operasi lainnya, target kadar glukosa darah
adalah 90-140 mg/dL.
D. Penatalaksanaan pasca tindakan operasi
Pada operasi besar, infus dekstrosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien bisa
makan, kemudian dimulai dengan pemberian insulin subkutan sesuai kebutuhan. Bagi
pasien yang memerlukan nutrisi enteral tetap dianjurkan pemberian insulin kerja

singkat setiap enam jam dan perlu pengawasan untuk menghindari terjadinya
hipoglikemia. Pasien yang tidak bisa makan dan harus mendapat nutrisi parenteral
dapat mengalami gangguan metabolik yang berat. Penggunaan infus insulin pada
pasien-pasien tersebut mengikuti aturan dosis seperti yang ditunjukkan pada table.
Kadar glukosa darah dipertahankan pada kisaran 80 110 mg/dL untuk pasien kritis
dan kisaran 90 140 mg/dL untuk pasien operasi lainnya.

Respon penderita DM terhadap anestesi-operasi


Anestesi-operasi menimbulkan suatu stress dimana stress ini akan memperberat
adanya hiperglikemia. Hal tersebut karena terjadi penurunan toleransi karbohidrat
dimana penderita DM manifestasinya berupa meningkatnya kebutuhan insulin 5.
Stress

pembedahan

lebih

besar

pengaruhnya

daripada

stress

anestesinya.

Besar/beratnya pembedahan mempengaruhi tingginya kenaikan kadar glukosa darah,


makin besar pembedahan makin tinggi hiperglikemia yang terjadi

Evaluasi dan Persiapan Pra Bedah


Setelah penderita terdiagnosis sebagai penderita DM maka diperlukan
penilaian dan persiapan pra bedah agar dicapai kondisi yang optimal untuk dilakukan
suatu tindakan anestesi-pembedahan. Salahsatu yang dinilai adalah bahwa pada
seorang penderita DM diberlakukan penilaian umur fungsional yaitu umur kronologis
ditambah dengan lamanya orang tersebut menderita DM. Karena ada kemungkinan
penyakit pembuluh darah yang menyeluruh, baik makroangiopati maupun
mikroangiopati dimana proses makroangiopati melibatkan proses aterosklerosis
dengan manifestasi penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit pembuluh darah
perifer. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu adanya disfungsi endotel yaitu suatu

ketidakseimbangan antara faktor relaksasi dan faktor konstraksi vaskuler, antara


antikoagulasi dan prokoagulasi, faktor proliferasi dan menghambat proliferasi.
Dimana hal tersebut akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas anestesipembedahan. Seperti kita ketahui bahwa pembuluh darah penderita diabetes jauh
lebih tua dibandingkan dengan penderita non DM dari umur kronologis yang sama.
Pemeriksaan meliputi keadaan sirkulasi/jantung, faal ginjal, keseimbangan elektrolit
dan keadaan metabolik disamping pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan
kemungkinan adanya infeksi, keadaan asidosis, bagaimana regulasinya dll, sehingga
pasien dalam keadaan stabil/optimal.
Secara ringkas maka perlu diadakan suatu pendekatan lebih sistematis untuk
menilai keadaan klinis penederita
1. Menentukan tipe diabetesnya
2. Penilaian beratnya penyakit ( DM )

Umur dan onset DM

Pengobatan yang sedang dijalani/diperlukan ( diet, OAD, Insulin )

Adanya kondisi yang menunjukkan ketidakstabilan DM, misalnya


ketosis, hipoglikemi berulang karena insulin.

Masalah metabolik lainnya.

Komplikasi-komplikasi target/end organ misalnya polineuropati,


nefropati, penyulit jantung atau penyulit pembuluh darah perifer.

3. Penggolongan penderita DM dalam 3 kelas


Kelas 1 : DM dengan terapi diet atau diet dan OAD.
Kelas 2 : DM dengan terapi insulin sampai 40 unit/hari
Kelas 3 : DM dengan terapi insulin lebih dari 40 unit/hari atau juvenile DM.

Hari persiapan

Penderita kelas 1
Pada penderita DM yang diterapi / terkontrol dengan diet atau diet dan OAD
tergantung pada macam pembedahannya apakah OAD perlu diganti dengan RI. Bila
setelah pembedahan penderita diharapkan dapat segera diberikan intake peroral, maka
OAD tidak perlu diganti dengan RI. Tetapi pada pembedahan besar dimana beberapa

hari intake harus melalui per infus maka OAD harus segera diganti dengan RI.
Pengantian ini perlu waktu untuk monitoring.
Bila didapatkan acetonuria tanpa

glukosuria, hal

ini

kemungkinan

menggambarkan ketosis karena puasa, sehingga perlu diberi karbohidrat IV atau


peroral. Hal tersebut dapat dicegah dengan pemberian karbohidrat 100-150 gram/hari
( BB 70 kg ). Adapula yang mengatakan / menggunakan 50-75 gram/24jam pada hari
pembedahan.
Penderita kelas 2 dan 3
Bila penderita menggunakan long acting insulin maka dilakukan penggantian
dengan RI, dimonitor beberapa hari untuk mendapatkan dosis yang sesuai. Bila ada
gangguan elektrolit dan asam basa harus dikoreksi dahulu.
Hari Pembedahan
Pasien sebaiknya dijadwalkan operasi pagi hari. Pagi hari sebelum operasi
diambil contoh darah untuk mengetahui baseline data glukosa darah puasa, setelah itu
pasang infus dengan cairan yang mengandung glukosa, sebaiknya tidak menggunakan
cairan yang mengandung RL. Tentukan dosis maksimal insulin pada hari pembedahan
yaitu 2/3 dari dosis yang biasa diberikan, kemudian 1/3 dosis maksimal tersebut
diberikan subcutan pagi hari setelah infus terpasang, dan 2/3 nya direncanakan
diberikan pasca bedah dengan dua kali pemberian sampai keesokan harinya. Sebelum
pemberian insulin berikutnya dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah dahulu, dan
pemantauan sebaiknya setiap 3 jam pasca operasi.
Roisen dkk ( 1990 ) melakukan suatu control metabolic, dimana tujuan dasarnya
adalah:
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan, elektrolit prabedah.
2. Memberikan karbohidrat yang cukup untuk menghambat metabolisme
katabolic dan ketoasidosis.
Regimen kontrol tidak ketat klasik.
Tujuannya untuk mencegah hipoglikemi, ketoasidosis dan keadaan hiperosmoler.

Hari sebelum operasi pasien jangan diberi makanan padat selama 24 jam

sebelum waktu operasi yang direncanakan dan puasa setelah tengah malam.

Pada jam 06.00 hari operasi berikan cairan IV dengan larutan yang

mengandung D 5 % dengan laju infus 125 ml/jam/kg.

Setelah infus terpasang berikan insulin separo dosis pagi biasanya secara

subcutan.

Infus D5% dapat diteruskan selama operasi dengan paling sedikit 125

ml/jam/kg dan pasca operasi pantau kadar glukosa darah tiap 1 2 jam, tangani
dengan sliding scale.
Regimen kontrol ketat I

Tujuannya untuk mempertahankan kadar glukosa plasma antara 79-240

mg/dL. Dalam praktek dapat memperbaiki penyembuhan luka operasi dan mencegah
infeksi luka.

Sore hari sebelum operasi ukur kadar glukosa darah preprandial

Beri infus D5% dengan laju 50 ml/jam/70 kg.

Infus RI ( 50 Unit dalam 250 ml 0,9 % NaCl ) lewat pompa infus. Sebelumnya

bilas jalur IV dengan campuran infus 60 ml, 1,7 dimana akan membuat jenuh tempat
ikatan insulin dipipa infus.

Tentukan laju infus dengan menggunakan rumus insulin ( U/jam ) = glukosa

plasma ( mg/dl ) / 150 ( dibagi 100 bila penderita mendapat terapi stesolid, obesitas
dan infeksi )

Cek ulang kadar glukosa plasma tiap 2 4 jam sesuai keperluan dan sesuaikan

kadar insulin sehingga didapatkan kadar glukosa darah antara 100 200 mg/dL.

Pada hari operasi cairan dan elektrolit selama operasi diberikan, namun jangan

memberikan dextrose, larutan yang mengandung laktat. Tentukan kadar glukosa darah
saat mulai operasi dan tiap 2 jam selama 24 jam, sesuaikan dosis insulin.

Walaupun tidak diperlukan untuk menangani hipoglikemi ( yaitu kadar glukosa darah
< 50 mg/dL ), tetap siapkan 15 ml dekstrosa 15 % dalam air ( 7,5 g dextrosa dalam
tubuh dengan berat badan 70 kg pasien menaikkan kadar glukosa darah kira-kira 30
mg/dL ). Pada pasien ini infus insulin dihentikan.

Regimen kontrol ketat 2


Tujuannya sama dengan regimen kontrol ketat :

Memperoleh mekanisme umpan balik pankreas ( feedback mechanical

pancreas ) dan mengatur kontrol untuk regimen glukosa darah yang diinginkan.

Memasang infus intravena 2 jalur

Karena penyulit pasca operasi terbanyak adalah infeksi ( dua pertiga kasus ),
maka penderita DM yang kurang baik persiapannya atau karena keadaan preoperasi
sebelumnya, akan cenderung mengalami sepsis.
Tetralogi terapi DM dengan sepsis yang perlu diingat adalah :

Regulasi cepat

Koreksi defisit ( cairan, albumin, elektrolit, trace elemen )

NPE ( Nutrisi Par-Enteral ) harus segera dimulai pada hari kedua ( paling

lambat hari ketiga ) dengan syarat kadar glukosa darah kurang dari 200 250 mg/dL (
bila belum laksanakan regulasi cepat terlebih dahulu )
Antibiotika ( selama 1 2 minggu )

Daftar Pustaka

Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes di


Indonesia. Denpasar : Perkeni,
Brenner WI, Lansky Z, Engleman RM, Stahl WM: Hyperosmolar coma in surgical
patients: an latrogenic disease of increasing incidence. Ann Surg 1973,
178:651-654
Morgan EG. Mikhail MS. Anesthesi for Patient with Endrocrine Diseases. In Clinical
Anesthesiology, 4th Ed. Appleton and Lange, Los Angeles, USA, 2006. p. 802816
Reno Gustaviani. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; Jakarta; Juni ; 2006; hal : 1879 - 1881

Anda mungkin juga menyukai