Anda di halaman 1dari 12

STRATEGI PENDEKATAN KINERJA POLMAS

DALAM MENANGGULANGI POTENSI KONFLIK SOSIAL


DENGAN MEMBERDAYAKAN POTENSI KEARIFAN LOKAL DI MASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang telah menggugah kesadaran
seluruh komponen bangsa untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan atas
berbagai ketimpangan, kinerja dan hal-hal yang dianggap tidak profesional serta
proporsional menuju masyarakat sipil yang demokratis. Polri pun tak lepas dari
wacana besar perubahan ini. Sebab, kepolisian merupakan cerminan dari tuntutan
dan harapan masyarakat akan adanya rasa aman, keamanan, ketertiban dan
ketentraman,

yang

mendukung

produktifitas

yang

mensejahterakan

warga

masyarakat.
Dalam upaya Kepolisian Negara Republik Indonesia membangun kepercayaan
(trust building) masyarakat maka perlu diterapkan suatu perpolisian yang
memasyarakat, membumi, demokratis, dan sarat dengan nilai-nilai budaya bangsa,
sehingga baik sebutan/pemahaman sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan
masyarakat. Polri dalam upaya untuk menciptakan stabilitas keamanan negara
tersebut, sesuai dengan Grand Strategi Polri 2005-2025 salah satu program Polri
adalah

dengan

melaksanakan

program

pemolisian

masyarakat

(Polmas)

berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober


2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Polmas; Peraturan Kapolri No. 7
bulan September 2008, tentang Pedoman Dasar Strategi Dan Implementasi
Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelengaraan Tugas Polri ; dan Surat Keputusan
Kapolri No.Pol.: Skep/433/VII/2006, tentang Panduan Petugas Polmas di FKPM.
Untuk itu secara konseptual dan operasional disebut sebagai Polmas. Yang
1

diartikan sebagai suatu pemahaman atau gagasan tentang perpolisian yang


memposisikan kedua unsur utama masyarakat (community), yakni polisi sebagai
fasilitator dan publik sebagai co-producer dalam suatu relasi kemitraan sejajar, untuk
kemudian

melalui

proses

demokrasi,

dengan

bertumpu

pada

partisipasi,

transparansi dan akuntabilitas publik; menjunjung tinggi HAM sesuai dengan


peraturan perundang-undangan dan kesepakatan yang berlaku serta secara
kontekstual dan sinergi mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi
masyarakat dalam mewujudkan tujuan kepolisian. Konsep Polmas yang diadopsi
oleh Polri sekarang ini bervariasi, ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari
Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing
dari Amerika Serikat. Konsep tersebut tidak bisa secara bulat-bulat diterapkan di
Indonesia, karena budaya masyarakat kita juga berbeda. Untuk itu perlu adanya
penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran dari konsep Polmas yang
disesuaikan dengan kebutuhan karakteristik masing-masing komuniti di masyarakat
kita.
Sebelum Polmas diluncurkan tugas-tugas kepolisian dalam pemeliharaan
keamanan dan ketertiban massyarakat maupun penegakan hukum dilakukan secara
konvensional. Polisi cenderung sebagai pemegang otoritas tunggal, sebagai alat
negara represif, birokratis, sentralistik, serba seragam, mengabaikan masyarakat
lokal, sosok yang formal/eksklusif. Akibatnya citra Polisi di masyarakat buruk dan
tugas kepolisian kurang didukung oleh masyarakat . Pada saat Polmas sudah
dijalankan / dilaksanakan, kenyataan berkata bahwa sampai saat ini belum semua
kesatuan kewilayahan menerapkan secara maksimal. Persoalannya disebabkan
karena ada beberapa anggota Polri baik Perwira maupun Bintara belum dapat
mencerna pengertian Perpolisian Masyarakat (Polmas) tersebut apalagi memahami
dan melaksanakannya. Banyak polisi yang beranggapan bahwa Polmas sama
dengan tugas dan kegiatan Babinkamtibmas atau sama dengan istilah Bin
Kamtibmas. Anggapan ini tidak salah, namun merupakan perbedaan penafsiran
manakala Polmas tersebut semata-mata hanya merupakan kegiatan bimbingan
masyarakat yang dilakukan oleh Bina mitra maupun para Babinkamtibmas saja.
Sebenarnya Polmas wajib dilakukan oleh seluruh polisi dari berbagai level
kepangkatan maupun fungsi yang dianutnya. Masing - masing fungsi seperti

Reskrim, Lalu lintas, Intelkam, Samapta dan lainnya memiliki cara bertindak ( CB )
sendiri-sendiri sesuai bidangnya dan komuniti yang dihadapinya.
Model community policing dapat dianalogikan bahwa posisi polisi adalah dapat
berpindah secara fleksibel yaitu ; 1) Posisi setara antara polisi dengan warga
komuniti dalam membangun kemitraan dimana polisi bersama-sama dengan warga
dalam upaya untuk mencari solusi dalam menangani berbagai masalah sosial yang
terjadi dalam masyarakat. 2) Posisi di bawah adalah polisi berada di bawah
masyarakat yaitu polisi dapat memahami kebutuhan rasa aman warga komuniti yang
dilayaninya, dan 3) posisi polisi di atas yaitu polisi dapat bertindak sebagai aparat
penegak hukum yang dipercaya oleh warga masyarakat dan perilakunya dapat
dijadikan panutan oleh warga yang dilayaninya.
Konsep Polmas ini adalah untuk menumbuhkan adanya hubungan kerjasama
antara polisi dengan warganya sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan
kepercayaan warga dalam membantu polisi mengidentifikasi, menanggulangi dan
menyelesaikan sendiri masalahnya melalui keputusan dari warga itu sendiri. Polisi
hanya sebagai fasilitator saja, kegiatan polisi lebih banyak proaktif dalam
pendekatan-pendekatan secara sosial kepada warga. Ada gambaran bahwa gaya
pemolisian yang seharusnya dilakukan Polri adalah merubah gaya pemolisian yang
reaktif menjadi gaya pemolisian yang proaktif dan demokratis.

BAB II
PEMBAHASAN

Pelaksanaan Polmas sangat dibutuhkan, hal ini salah satunya Republik


Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, adat istiadat dan budaya,
amat sangat rawan terjadinya potensi konflik di masyarakat sehingga menimbulkan
kerawanan kamtibmas yang cukup tinggi. Kearifan lokal (local wisdom) tidak terlepas
dari agama, suku adat istiadat serta kebudayaan yang terbentuk dari hasil
kesepakatan masyarakat. Kesepakatan di mulai dari kebiasaan yang di reproduksi
sadar maupun tanpa sadar dari kehidupan keseharian. Hasil dari kesepakatan
menjalankan kearifan lokal melahirkan produk aturan maupun hukum yang berlaku
di masyarakat. Community Policing adalah bentuk polisi sipil untuk menciptakan dan
menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan
tindakan - tindakan : (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari
jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang
terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa
ketakutan masyarakan akan adanya gangguan kriminalitas, (3) Polisi lebih
mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) Polisi senantiasa
berupaya

meningkatkan

kualitas

hidup

masyarakat.

Penerapannya

dengan

mengedepankan untuk senantiasa memperbaiki dan menjaga hubungan antara


polisi dengan warga komuniti sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Hubungan polisi dengan warga komuniti dibangun melalui komunikasi dimana
polisi bisa menggunakan dengan kata hati dan pikirannya untuk memahami berbagai
masalah sosial yang terjadi maupun dalam membahas masalah yang bersifat lokal
dan adat istiadat masyarakat suku bangsa setempat.
Kearifan lokal yang terbentuk memiliki keragaman tersendiri. Faktor utama
terletak dari agama, kultur, bahasa, suku, dan identitas yang berbeda-beda.
Berbicara aturan atau hukum adat istiadat menjadi terobosan dari konsep
Perpolisian Masyarakat ( polmas ). Strategi ini di harapkan membangun
kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Secara Indonesia memiliki keragaman ada
istiadat yang bisa di jadikan landasan utama dalam mendukung program polmas.
Bentuk dukungan melalui pembentukan wadah kemitraan antar polisi dengan
4

masyarakat. Wadah di maksud yaitu sebuah Forum Komunikasi Polisi dan


Masyarakat (FKPM), dimana forum tersebut akan melibatkan pranata adat, tokoh
agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda serta perangkat desa dalam mencegah
tindakan kejahatan di lingkungan sekitar. Tetapi, ketika forum yang melibatkan
partisipasi seluruh perangkat masyarakat yang ada dalam menyelesaikan suatu
permasalahan, maka pihak polisi tidak melakukan mengintervensi penyelesaian
perkara.
Pelaksanaan polmas dalam rangka pemeliharaan Kamtibmas, hendaknya setiap
anggota

Polri

memberdayakan

mampu
potensi

menguasai
lokal

karakteristik

maupun

pranata

kerawanan
sosial

daerah,

untuk

serta

mendukung

pelaksanaan tugas Polri. Selain itu anggota polri harus mampu menggali dan
mengembangkan kearifan lokal, kemudian memformulasikan menjadi strategi guna
mewujudkan masyarakat yang taat hukum. Polmas sebaiknya diimplementasikan
dengan menyesuaikan pada budaya setempat, sehingga Polri dapat lebih membumi
dan diterima oleh masyarakat.

A. Konflik Sosial, Polmas dan Kearifan Lokal


Dalam upaya Kepolisian Negara Republik Indonesia membangun kepercayaan
(trust building) masyarakat maka perlu diterapkan suatu perpolisian yang
memasyarakat, membumi, demokratis, dan sarat dengan nilai-nilai budaya bangsa.
Namun pelaksanaan polmas ini hendaknya dapat melihat pada karakteristik
suatu daerah, budaya, agama dan pranata sosial setempat dalam menyelesaiakn
sebuah konflik sosial. Menurut Endang Poerwanti (2005), nilai-nilai budaya sebagai
manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara

mulus.

Permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak


(pluralistis) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat
pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala.
Karena itu, pelaksanaan polmas dengan kearifan lokal mutlak diperlukan karena
akan menjadi formulasi yang baik. Formulasi yang dihasilkan akan memberi
gambaran dan pemahaman kepada kepolisian tentang kondisi daerah setempat

sehingga Kamdagri yang telah dicanangkan kepolisian dapat terealisasi dengan


baik.
Kepercayaan masyarakat lokal terhadap polmas dalam menyelesaikan sebuah
konflik sangatlah penting. Parsudi Suparlan (2004), menyatakan bahwa polisi untuk
dapat memperoleh kepercayaan dari anggota-anggota komuniti harus dapat
memahami corak kehidupan dalam komuniti tersebut. Beliau mengatakan bahwa
dengan memperhatikan corak kehidupan warga dalam kelompok-kelompok sosial
dan dalam komuniti-komuniti. Sebagaimana sasaran dan tujuan Polmas, yaitu
membangun dan meningkatkan pemahaman masyarakat dan polisi, mengenai
keanekaragaman budaya, suku, maupun ras yang ada di masyarakat setempat.
Dengan melakukan pendekatan secara lokal, personel polmas akan lebih cepat
menerima isu dari masyarakat lokal terhadap segala permasalah yang mereka
alami. Sebelum konflik terjadi dan meluas, pemahaman dan penguasaan personel
polmas akan kearifan lokal akan memudahkan untuk menemukan titik masalah dan
segera bertindak menyelesaikannya. Bagaimana mungkin sebagai isu konflik
diperoleh seandainya personel polmas tidak memahami kondisi masyarakat lokal.
Beberapa pendekatan melalui kearifan lokal yang dapat dilakukan polmas dalam
menyelesaikan sebuah konflik, guna mewujudkan keamanan dalam negeri
diantaranya adalah :
1. Pendekatan Agama
Implementasi Polmas melalui pendekatan agama merupakan salah satu kunci
keberhasilan polmas. Sebagaimana dinyatakan KH Hasyim Muzadi (2009),
beragama yang benar akan membuahkan sikap toleransi serta inklusif dengan
berbagai perbedaan. Pendekatan subtansi ini akan mendekatkan antara agama
dan Indonesia.
Lalu bagaimana jika satu daerah memiliki multi agama, maka dapat dilakukan
dengan mempertemukan tokoh-tokoh agama setempat. Berdialog dan berdiskusi
bagaimana perapan polmas. Dari hasil musyawarah tersebutlah maka polmas
akan mudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang multi
agama. Melibatkan tokoh agama akan meminimalisir perbedaan-perbedaan yang
mungkin akan timbul dalam penyelesaian sebuah konflik.
6

2. Pendekatan Bahasa
Harus dipahami, pendekatan bahasa merupakan faktor penting dalam
keberhasilan polmas. Bahasa, secara tidak langsung akan memudahkan jalinan
komunikasi antara personel kepolisian dengan masyarakat setempat.
Dalam penjelasan Poerwadaminta, WJS. (1976), pendekatan bahasa
merupakan salah satu cara untuk mengetahui kondisi dari masyarakat setempat.
Bahasa merupakan sarana pendekatan paling efektif. Untuk itu, setiap personil
kepolisian yang terlibat dalam polmas, diharapkan faham dan mampu berbahasa
daerah dimana dia bertugas agar memudahkan komunikasi. Karena, harus
diakui, masih banyak masyarakat Indonesia di pedalaman yang belum faham
dan tidak mengerti dengan bahasa Indonesia.

Memahami bahasa daerah

setempat secara tidak langsung akan mendekatkan kepolisian dengan


masyarakat. Interaksi sosial akan lebih mudah tercapai dengan bahasa daerah.
Sebagaimana salah satu sasaran dan tujuan forum kemitraan polisi dan
masyarakat

(FKPM)

adalah

mempererat

hubungan

dan

meningkatkan

komunikasi antara polisi dan masyarakat. Apabila bahasa setempat tidak mampu
dimengerti oleh personil kepolisian, bagaimana sebuah permasalahan ataupun
konflik yang terjadi dapat dipahami. Tentu tujuan ini akan sulit tercapai.
3. Pendekatan Adat Istiadat
Pendekatan khusus ini menjadi penting dalam implementasi polmas. Karena,
hingga kini masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang tetap menggunakan
hukum adat dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.
Selama ini, institusi adat di berbagai daerah telah banyak terbentuk namun
banyak

juga

yang

tidak

berjalan.

Untuk

itu,

kehadiran

polmas

akan

memaksimalkan tugas dan peran adat yang sudah terbentuk tersebut.


Implementasi polmas dengan pendekatan adat mutlak diperlukan. Posisi adat di
berbagai masih sangat kuat. Pemahaman akan sebuah kebiasaan dalam
masyarakat lokal, akan memudahkan penyelesaian sebuah konflik dengan
menggunakan hukum adat. Jika lembaga atau istitusi adat dapat berjalan, maka
secara tidak langsung akan mendukung keamanan dalam negeri yang
diharapkan oleh Polri.

4. Memahami Karakteristik Masyarakat Lokal


Multikultural Indonesia memang harus difahami secara mendalam oleh setiap
personil

kepolisian

yang

bertugas

dalam

polmas.

Perbedaan

karakter

masyarakat antara satu provinsi dengan provinsi lainnya sangat penting difahami
dan dipelajari.
Perbedaan karakteristik secara tidak langsung juga berimplikasi pada
perbedaan tingkat keseriusan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Setiap
daerah, konflik terjadi sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Personel kepolisian
yang bertugas di daerah hendaknya melihat dan memahami karakteristik
masyarakat setempat. Karakteristik masyarakat yang keras tentu berbeda
menghadapinya saat bertemu dengan karakteristik masyarakat yang santun.
Dengan memahami karakteristik lokal, personel polmas akan lebih mudah
berinteraksi dengan masyarakat, sehingga konflik yang belum terjadi dapat
diredakan dengan memperhatikan karakteristik atau tabiat masyarakat lokal.
5. Psikologi Sosial Masyarakat
Selain masalah agama, adapt istiadat, bahasa dan karakteristik masyarakat,
implementasi polmas hendaknya juga melihat psikologis sosial masyarakat.
Kondisi psikologi masyarakat yang belum stabil akan mempengaruhi
implementasi dilapangan. Apalagi jika psikologis social tersebut masih berkaitan
dengan unsusr kepolisian atau aparat keamanan, tentu perlu penanganan
khusus agar masyarakata mampu menjalin kerjasama dan dapat membuka diri.

B. Faktor Yang Mempengaruhi


Implementasi Polmas melalui kearifan lokal diakui memiliki berbagai keuntungan
bagi keberlangsungan Polmas. Namun, untuk mencapai semua tujuan ini, selain
melihat multikultural bangsa Indonesia, terdapat beberapa faktor pendukung yang
sangat mempengaruhi.
Faktor-faktor pendukung ini sudah seharusnya disiapkan oleh Polri guna
mencapai sasaran dan tujuan implementasi polmas. Diantara faktor-faktor
pendukung tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan faktor dari kepolisian sedangkan faktor internal adalah
faktor dari masyarakat yang multikultural.

1. Faktor Internal

Kurangnya SDM personil, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Belum adanya sebuah lembaga pendidikan di tingkat provinsi untuk


meningkatkan pemahaman tentang suatu daerah. Seperti adat istiadat,
bahasa dan lain sebagainya.

Anggaran yang masih terbatas dalam pelaksanaan kegiatan yang


mendukung kegiatan Polmas.

Banyaknya personil kepolisian yang tidak memahami kultur masyarakat


setempat.

System informasi yang minim. Pihak kepolisian di tingkat Polda belum


membuat sebuah buku khusus tentang kultur kebudayaan masyarakat
setempat. Buku ini menjadi pegangan yang sangat baik bagi personil
kepolisian dalam pelaksanaan tugas.

Secara kultur anggota masih bersikap militeristik, arogan, diskriminatif,


tidak tepat waktu dan lain-lain.

2. Faktor Eksternal
Beberapa faktor eksternal yang harus dilihat oleh setiap personil kepolisian
yang terlibat polmas adalah :

Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah di beberapa daerah di


Indonesia.

Pemahaman akan hukum masih rendah.

Tingkat ekonomi masyarakat setempat.

Strata sosial masyarakat yang kuat.

Faktor psikologis masyarakat karena berbagai hal, seperti konflik dan


bencana.

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Polmas harus mampu melihat peluang multikultural Negara Indonesia
sebagai kunci penyelesaian konflik sosial dalam masyarakat. Keragaman
bahasa, budaya dan adat-istiadat menjadi agenda utama bagi bagi setiap
anggota Polri dalam pelaksanaan polmas.

2. Perlunya pendekatan khusus di berbagai daerah dengan karakteristik masing


- masing, melalui :

Pendekatan Agama

Pendekatan Bahasa

Pendekatan Budaya dan Adat Istiadat

Memahami Karakteristik Lokal

Psikologi Sosial Masyarakat

3. Indikator pendukung dalam optimalisasi polmas untuk penyelesaian sebuah


konflik yang mengacu pada kearifan lokal ada dua. Yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Kedua faktor ini sangat menentukan keberhasilan polmas,
serta dapat menjadi rujukan bagi setiap personil kepolisian yang terlibat.

B. Saran
Guna

memaksimalkan

Polmas

untuk menyelesaikan

konflik sosial

di

masyarakat, diperlukan sebuah kerja sama yang berkesinambungan. Untuk itu,


kepolisian diharapkan :

1. Meningkatkan kinerja polmas dengan melihat kearifan lokal sebagai solusi


penyelesaian konflik.

10

2. Dapat meningkatan kapasitas personil kepolisian guna memahami permasalah


dan kondisi lokal.

3. Member pelatihan khusus kepada masyarakat tentang pendidikan hukum untuk


meminimalisir konflik sosial.

4. Memberi pelatihan khusus bagi personil kepolisian yang terlibat polmas guna
mempermudah komunikasi dengan masyarakat setempat. khususnya dalam
hal kearifan lokal daerah setempat.

11

DAFTAR PUSTAKA

Hanjar dan Slide. Pemolisian Masyarakat. STIK - PTIK. Jakarta 2014

Hasyim Muzadi, K.H. 2009. Seminar Nasional Perpolisian Masyarakat.


Peranan Tokoh Agama dalam
Mensukseskan Program Polmas.
http://www.isiindonesia.com/content/view/783/29/.

Lederach, John, P. 1996. Preparing For Peace: Conflict transformation Across


Culture. Syracus, NY : Syracus University Press.

Poerwadaminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Poerwanti Endang. 2006. Pemahaman Psikologi Maysrakat Indonesia


Sebagai Upaya Menjembatani Permasalahan Silang Budaya. Makalah
Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang.

Suadi, Asyari., dkk. 2003. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta :
INIS Universitas Leiden dan Pusat Bahasa dan Budaya UIN SYarif
Hidayatullah.

Suparlan, Parsudi. 2004. Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Jakarta,


YPKIK.

12

Anda mungkin juga menyukai