Anda di halaman 1dari 12

1

Analisa paska pembangunan sistem pelindung pantai Kuta : penyebab terjadinya


scouring beachfill berlebih
Wira Herucakra
Jurusan Teknik Kelautan
Faktultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Kata Kunci
Sistem pelindung pantai
Scouring
Beachfill

Abstrak
Monitoring paska pembangunan sistem perlindugan Pantai Kuta, Denpasar Bali
menunjukkan adanya sebagian material pengisi pantai (beach fill) mengalami
scouring berlebih. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa sistem pelindung
Pantai Kuta paska paska pembangunan, untuk mengetahui penyebab terjadinya
Penggerusan (scouring) beachfill yang berlebih pada sebagian section dari sistem
pelinding Pantai Kuta tersebut. Analisa menunjukkan bahwa terjadinya
penggerusan secara signifikan disebabkan oleh deformasi gelombang yang
menyebabkan arah transport sedimen sejajar dengan garis pantai, selain itu pula
jarak gelombang pecah yang relatif dekat ke garis pantai dibanding dengan section
yang lainnya yang menyebabkan energi gelombang masih cukup besar untuk
menggerus beachfill

1. Pendahuluan
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah daratan yang
berbatasan dengan laut, dengan batas di daratan meliputi
daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak
tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut
seperti pasang surut, deformasi gelombang, transport sedimen,
dll. Wilayah pesisir bersifat dinamis dan rentan terhadap
perubahan lingkungan baik karena proses alami maupun
akibat aktivitas manusia. Wilayah pesisir merupakan wilayah
yang sangat padat jumlah penduduknya dan populasi dunia
yang hidup di wilayah pesisir berkisar antara 50-70 % dari
total penduduk dunia. Di Indonesia sendiri 60 % penduduknya
hidup di wilayah pesisir, peningkatan jumlah penduduk yang
hidup di wilayah pesisir memberikan dampak tekanan
terhadap sumberdaya alam pesisir seperti degradasi pesisir,
pembuangan limbah ke laut, erosi pantai (abrasi), akresi pantai
(penambahan pantai) dan sebagainya. Dalam melakukan
berbagai aktivitas untuk meningkatkan taraf hidupnya,
manusia melakukan perubahan-perubahan terhadap ekosistem
dan sumberdaya alam sehingga berpengaruh terhadap
lingkungan di wilayah pesisir khususnya garis pantai.

Gambar 1. Erosi pantai Kuta sebelum konstruksi pengaman pantai


(Sumber : Balai Wilayah Sungai Bali Penida. Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air. Kementrian Pekerjaan Umum (2010))

Garis pantai adalah batas air laut pada waktu pasang


tertinggi telah sampai kedarat. Perubahan garis pantai ini
banyak dilakukan oleh aktivitas manusia seperti pembukaan
lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat
merubah keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan
sedimen yang berlebihan. Dengan curah hujan intensitas tinggi
juga dapat mempengaruhi peruhan garis pantai. Di sepanjang
kawasan pantai terdapat segmen-segmen pantai yang
mengalami erosi, disamping ada bagian-bagian yang
mengalami akresi/sedimentasi dan segmen yang stabil (Dahuri
dkk, 2001).

Gambar 2. Kondisi existing revetment sebelum konstruksi


(Sumber : Reviewed Technical Study Report for Kuta Beach. Bali Beach
Conservation Project JBIC (LOAN IP 475) (2005))

Yang menjadi fokus studi penelitian adalah analisa paska


pembangunan sistem perlindungan pantai di pantai Kuta untk
mengetahui penyebab terjadinya scouring yang berlebih.
Dimana pada lokasi tersebut pada tahun 2006 dilakukan
proyek pengamanan garis pantai karena erosi akibat gerusan
energi gelombang yang cukup besar serta kerusakan kestabilan
pelindung pantai alami berupa terumbu karang akibat
penambangan liar.

Penanganan pelindungan pantai yang diaplikasikan untuk


menangani permasalahan yang terjadi dengan rencana dasar
sebagi berikut:
1. Perbaikan Revertment
2. Konstruksi Offshore Breakwaters
3. Pekerjaan pengisian pasir (Beach Fill)
Dimana tujuan utama Revetment adalah menjaga kondisi
garis pantai dari gerusan gelombang serta mengamankan
konstruksi sipil yang ada disekitarnya seperti perhotelan,
rumah warga sipil, restoran. Lokasi pekerjaan perbaikan
Revertment ini dilakukan pada lokasi existing revertment area
yang telah ada yakni di depan Hotel Bali (Revetment Tipe 1)
sepanjang 405 meter dan di depan Hotel Kartika Plaza Beach
(Revetment Tipe 2) sepanjang 823 meter. Dengan desain
puncak struktur setinggi 4.5 m dengan slope 1:2 dengan
material armor stone adalah batu kapur.

(Setelah konstruksi)
Gambar 5. Tampak prespektif sebelum dan sesudah konstruksi
(Sumber : Reviewed Technical Study Report for Kuta Beach. Bali Beach
Conservation Project JBIC (LOAN IP 475) (2005))

Gambar 6. Kondisi paska konstruksi. Salah satu area dimana ditemukan


hilangnya beachfill didepan Revertment
(Sumber : Dokumentasi mahasiswa monitoring lapangan, Rabu 30 Juni
2010)
Gambar 3. Kondisi revertment setalah perbaikan
(Sumber : Reviewed Technical Study Report for Kuta Beach. Bali Beach
Conservation Project JBIC (LOAN IP 475) (2005))

Tujuan utama pembangunan Offshore Breakwater adalah


untuk mengurangi energi gelombang serta untuk membentuk
tombolo. Sebuah Offshore Breakwater ditempatkan di depan
Petra Bali Hotel, dan dua ditempatkan di depan Hotel kartika
Plaza yang masing-masing diberi nama BWN1, BWN2 dan
BWN3 dari selatan ke utara. Material Armour Stone yang
digunakan adalah batu kapur dengan desain kemiringan
Offshore Breakwater 1:3.

Pekerjaan pengisian pasir (Beach Fill) bertujuan untuk


memperbaiki kembali aktifitas di pantai seperti sun bathing,
volley pantai, upacara adat maupun kegiatan turis yang
lain.pekerjaan pengisian pasir (Beach Fill) ini dilakukan
seluas 420.000 m3 sejauh kurang lebih 50 meter tegak lurus
garis pantai.

Gambar 4. Desain Offshore Breakwater


(Sumber : Reviewed Technical Study Report for Kuta Beach. Bali Beach
Conservation Project JBIC (LOAN IP 475) (2005))

Gambar 7. Tampak citra satelit menunjukkan area depan Hotel Kartika


Plaza antara BWN2 dan BWN3 dimana terjadi scouring beachfill
berlebih sehingga Revetment tampak jelas
(Sumber : Google Earth, image 2010 GeoEye)

(Sebelum konstruksi)

Pada masa monitoring paska konstruksi ditemukan


ketidaksesuian dan ketidakstabilan dari desain yang
diinginkan. Pada lokasi di depan Hotel Kartika Plaza

ditemukan scouring berlebih yang menyebabkan berpindahnya


pasir isian dari tempatnya yang semula, selain itu ditemukan
pula settlement yang menyebabkan ketidakstabilitas struktur
Revertment.
2. Hidro Oseanografi

dengan ketinggian standar referensi 10 m maka harus di


konversi kedalam ketinggian referensi 10 m dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :
U(10) = U (y)

. (2)

Angin
Angin adalah udara yang bergerak akibat adanya
perbedaan tekanan, yaitu dari daerah dengan tekanan udara
tinggi ke daerah dengan tekanan udara rendah. Perbedaan
tekanan ini terjadi akibat adanya perbedaan temperatur.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan anemometer
yang dipasang 10 meter diatas permukaan perairan dan
recodernya di pasang di darat yang kemudian dikonversi
menjadi data angin di laut. Biasanya dinyatakan dalam satuan
knot, satu knot adalah panjang satu menit garis bujur melalui
katulistiwa yang ditempuh dalam satu jam, atau 1 knot = 1,852
km/jam = 0,5 m/detik

Gambar 8. Profil Angin pada Atmosperic ondary Layer


(Sumber :CEM Part II Chapter 2 Meteorology and Wave Climate)

Fetch
Dalam tinjauan pembangkitan gelombang dilaut, fetch
dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Didaerah
pembentukan
gelombang,
gelombang
tidak
hanya
dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi
juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin.
Dengan Fetch efektif adalah :
Feff =

(1)

Dengan
Feff : panjang fetch efektif (km)
X : Panjang fetch yang dikukur dari titik obeservasi
gelombang ke ujung akir oetch (km)
: Deviasi pada kedua sisi arah angina dominan dengan
menggunakan pertambahan 5 sampai 20 pada kedua sisi
arah angin

Dimana
U(10) = Kecepatan Angin Ketinggian refernsi (m/s)
U(y) = Kecepatan Angin pada pengukuran y meter diatas tanah
(m/s)
y = ketinggian pengukuran kecepatan angina (m)
Konversi Kecepatan Angin
Dikarenakan pengukuran angina yang dilakukan adalah di
darat padahal rumus-rumus pembangkitan gelombang
menggunakan data angin pengukuran diatas laut.Oleh karena
itu perlu dilakukan transformasi dari data angina pengukuran
di darat menjadi data angina di atas permukaan laut.
Hubungan antara angin diatas laut dan darat diberikan oleh RL
= UW/UL. Seperti pada gambar 3.2 dibawah ini

Koreksi Elevasi Kecepatan Angin


Distribusi kecepatan angin di atas permukaan laut
diberikan dalam gambar 3.1 dibawah ini yang terbagi dalam
tiga daerah sesuai dengan elevasi di aatas permukaan.Di
daerah geostropik yang berada di atas 1000 m kecepatan
angina adalah konnstan. Dibawah elevasi tersebut terdapat dua
daerah yaitu daerah Ekman yang berada pada elevasi 100 m
sampai 1000 m dan daerah di mana tegangan konstan berada
pada elevasi 10 sampai 100 m. di kedua daerah tersebut
kecepatan angina dan arah angina berhembus sesuai dengan
elevasi, karena adanya gesekan dengan permukaan laut dan
perbedaan temperatur antara air dan udara.
Dikarenakan
pengukuran
angina
pada
Stasiun
Meteorologi Bandara Ngurah Rai Denpasar tidak sesuai

Gambar 9. Rasio RL kecepatan angin di atas permukaan air UW dan


kecepatan angin di darat UL (after Resio dan Vincent (1997))
(Sumber : CEM Part II Chapter 2 Meteorology and Wave Climate)

Peramalan gelombang Laut Dalam


Pada Coastal Engineering Manual Part II Chapter 2
Meteorology and Wave Climate, persamaan persamaan yang

digunakan untuk mementukan peramalan gelombang dalam


pada kondisi limited fetch antara lain:

(for 1000 wave cycles in the record)


(11)
Dimana
X
= Panjang fetch (m)
= Tinggi gelombang laut dalam (m)
= Koefisien drag
= Kecepatan angina pada elevasi 10 m (m/s)
= friction velocity (m/s)
= Periode gelombang (sec)
g
Hj
N
HRMS
H1/3
H 1/10
H 1/100
HMAX

= Percepatan gravitasi (9.81 m/s2)


= Wave record ranked highest to lowest (m)
= Junlah gelombang individu Hj
= Ketinggian gelombang root mean square (m)
= Keginggian gelombang signifikan (m)
= Ketinggian gelombang 1/10 (m)
= Ketinggian gelombang 1/100 (m)
= Ketinggian gelombang maksimum (m)

Dimana
P (Hs< Hsm) : Probabilitas tinggi gelombang representative ke
m yang tidak dilampaui
Hsm : Tinggi gelombang urutan ke m
m : nomor urut tinggi gelombang signifikan (1,2,3 . m)
NT : Jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
A : Parameter skala
B : Parameter lokasi
: Paramater bentuk
Hnr : tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang Tr
Tr : Periode ulang (tahun)
K : Panjang data
L : Rerata jumlah kejadian pertahun
nr : standar deviasi yang dinormalkan dari tinggi gelombang
signifikan dengan periode ulang Tr
N : jumlah data tinggi gelombang signifikan
r : kesalahan standar dari tinggi gelombang signifikan dengan
periode ulang Tr
Hs : Deviasi standar dari data tinggi gelombang signifikan
Deformasi Gelombang
Apabila suatu deretan gelombang bergerak dari laut dalam
menuju pantai akan mengalami deformasi gelombang
diantaranya adalah refraksi, shoaling, difraksi, breaking wave
dan lain sebagainya
Refraksi

Perhitungan Periode Ulang Gelombang


Persamaan cepat rambat gelombang adalah :
Beberapa persamaan-persamaan yang digunakan untuk
menghitung periode ulang gelombang untuk distribusi Weibull
antara lain:
Persamaan cepat rambat gelombang laut dalam :

Persamaan cepat rambat gelombang di laut dangkal :

Hubungan cepat rambat gelombang di laut dangkal dan laut


dalam :

Untuk estimasi kedalaman dari gelombang pecah maksimum


diperoleh dari persamaan berikut :

Dua orthogonal yang melintas dari laut dalam menuju pantai


dan dianggap tidak ada energi gelombang yang keluar dari
lintasan tersebut.Tenaga yang terkandung di antara dua garis
orthogonal dapat dianggap konstan.

Dimana a dan b merupakan fungsi slope pantai m yang dapat


didekati dengan persamaan:

Tinggi dan energy gelombang monokromatik :

Tenaga gelombang

Apabila energi gelombang disubstitusikan makan persamaan


menjadi

Gambar 10. Grafik hubungan antara db/Hb dengan Hb/gT2


(Sumber : SPM Chapter 2 Mechanic of Wave Motion)

Prediksi Potensial Longshore Sedimen Transpor Rate


Energy Flux Method

Dimana

Berikut ini adalah pembahasan formula evolution of


energy-based longshore transport yang oleh Sayao (1982)
pada desertasinya. Pembahasan formula Sayao yang fokus
pada evolusi juga disebut CERC formula.
Potensial longshore sedimen transport rate tergantung
oleh jumlah material littoral yang terjadi, yang umumnya
dikorelasikan dengan longshore komponen dari wave energy
flux power,

Breaking Wave
Munk (1949) mendapatkan beberapa hubungan dari
modifikasi teori gelombang solitary yang menyangkut
ketinggian gelombang pecah (Hb), kedalaman gelombang
pecah (db), Ketinggian gelombang laut dalam yang tidak pecah
(H0) dan panjang gelombang laut dalam (L0) sebagai berikut:

Dimana Eb adalah energi gelombang pada kontur gelombang


pecah

Dan Cb adalah keceptan gelombang pada kontur gelombang


pecah

Dan volume rate longshore sediment adalah sebgaia berikut

Dengan n adalah in-place sediment porositi (n 0.4) dan


K adalah koefisien yang diperoleh berdasarkan Ketinggian
gelombang pecah rms (Hb rms). Shore Protection Manual
(1984) memperoleh koefisien dimensionless Kspm sig = 0.39
berdasarkan perhitungan tinggi gelombang signifikan. Dan
nilai koefisien SPM di gabungkan dengan rms gelombang
pecah (Hb rms) adalah K spm rms = 0.92. seperti terlihat pada
gambar 5.8.1 pada garis putus-putus.

Persamaan diatas adalah persamaan kontinuitas sedimen.; dan


untuk sel (elemen) yang kecil dapat ditulis menjadi:

Dengan:
y
: jarak antara garis pantai dan garis referensi
Q
: transport sedimen sepanjang pantai
t
: waktu
x
; axis searah panjang pantai
d
: kedalaman air yang tergantung pada pforil pantai.

Gambar 11. Data Lapangan Hubungan It dan Pt


( CEM Part II Chapter 2 : Longshore Sedimen Transport)

Sedangkan untuk nilai koefisien K yang di jelaskan oleh


Komar dan Inman (1970) K k&I rms = 0.77 dimana nilai ini
sering digunakan pada perhitungan longshore transport
sedimen.
Model Perubahan Garis Pantai
Model perubahan garis pantai didaarkan pada
persamaan kontinuitas sedimen. Untuk itu pantai dibagi
menjadi sejumlah sel (luas) . pada setiap sel ditinjau angkuat
sedimen yang masuk dan keluar. Sesuai dengan hukum
kekelan masa, jumlah laju aliran masa netto didalam sel
adalah sama dengan laju perubahan masa didalam sel tiap
satuan waktu. Laju aliran masa sedimen netto didalam sel
adalah:

Gambar 12. Kesetimbanagn Volume Profil pantai


( CEM Part II Chapter 2 : Longshore Sedimen Transport)

Dalam persamaan diatas nilai t, d, x adalah tetap,


sehingga nilai y tergantung pada Q. Apabila Q negatif
(transport sedimen yang masuk lebih kecil dari yang keluar
sel) maka y akan negatif, yang berarti pantai mengalami
erosi; dan sebaliknya pada pantai yang megalami akresi
(sedimentasi). Apabila Q sama dengan 0 maka y sama
dengan 0 yang berarti pantai stabil.

Laju perubahan massa dalam sel tiap satuan waktu adalah:

dimana s adalah rapat masa sedimen, Qm dan Qk masing


masing adalah debit sedimen masuk dan keluar sel. Dengan
meyamakan persamaan diatas maka:

Gambar 13. Definisi Sudut Lokal Datang Gelombang Pecah


( CEM Part II Chapter 2 : Longshore Sedimen Transport)

3. Metodologi
Secara garis besar lingkup penelitian ini, dapat perlihatkan
seperti pada flowchart di bawah ini :

4.

Analisa

Mulai

Angin
Observasilokasistudi

Kriteriateknisperancangan,konseptata
letakdandetailstruktur

Analisapermasalahan

Pengumpulandatateknis:
Dataangin,datagelombang,datapasang
surut,tophografidanbathymetri,layout
danmaterialexistingstructure

Kondisi
perairan?

Terbuka

Terutup

AnalisaTeknis
Angin,fetch,
peramalan
gelombangdalam,
statistikdan
periodeulang
gelombang,
deformasi
gelombang
(shoaling,refraksi,
breakingwave),
karakteristik
gelombangpantai,
transportsedimen
danperibahan
garispantai

AnalisaTeknis
Pasangsurut,
transportsedimen
danperubahan
garispantai

Data angin yang digunakan pada reassessment struktur


pelindung pelindung pantai Kuta ini adalah data angin
pencatatan perhari selama sepuluh tahun terakhir (2000
2010) yang diperoleh dari stasiun pengukuran terdekat yakni
Stasiun Meteorolgi Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali yang
terletak pada :
Garis Lintang
: 0845 Selatan
Garis Bujur
: 11510 Timur
Dengan ketinggian pengukuran 10 feet diatas permukaan laut.
Pada analisa arah hembus angina diketahui untuk sepuluh
tahun terakhir urutan arah hembus angin dominan adalah
sebagai berikut :
=======================================================
Frequency Distributions (Count)
=======================================================
Speed (knots)
Wind Direction
0 3 3 6 6 9 9 12 12 15 >= 15 Total
=======================================================
112.50 - 157.50 (SE) 212 619 438 21
2
0
1292
247.50 - 292.50 (E) 335 402 238 84
53
10
1122
67.50 - 112.50 (W) 298 460 350 11
0
0
1119
=======================================================

Urutan arah hembus angin dominan adalah arah tenggara


dengan total kejadian sebesar 1292, timur dengan total
kejadian sebesar 1122 dan barat dengan total kejadian sebesar
1119. Dengan diagram wind rose sebagai berikut :

Kriteriakondisilingkungan

Penyebabpermasalahan

Sarsandanrekomendasi

Selesai
Garmab 14. Diagram alir garis besar penelitian

Gambar 15. Diagram mawar angin (blow to)

Fetch
Peta yang digunakan untuk menentukan fetch (area
pembentukan gelombang) untuk analisa gelombang pada
perhitungan selanjutnya adalah menggunakan peta dari
Google Earth, dengan dilakukan penyesuaian skala dibantu
AutoCAD. Dimana lokasi titik tangkap Fetch adalah pada :
Lintang : 8445 Selatan
Bujur : 115945 Timur

Longtermstatistic

ShortTermstatistic

Extremestorm

Kondisi
lingkung

FishertipperIdanII

Tropicalstorm

Weibull

Gambar 16. Fetch lokasi studi

Dari analisa yang telah dilakukan, diperoleh panjang fetch


untuk daerah lokasi studi adalah sepanjang 138,547592 Km.
Peramalan gelombang, statistik dan periode ulang gelombang
laut dalam
Peramalan gelombang laut dalam mengacu pada Coastal
Engineering Manual Part II Chapter 2 Meteorology and Wave
Climate beserta asumsi-asumsi yang digunakan. Berikut ini
adalah diagram alir peramalan gelombang laut dalam:

Estimasiparameterinisialfungsidistribusi

Penyesuainparameterstandardarimanual

Kalkulasiperiodeulanggelombang

Pemilihanperiodeulanggelombangsesuai
kriteriadesain

Mulai
Selesai

Dataanginobservasi10tahun

Gambar 17. Diagram alir peramalan gelombang, statistik dan periode


ulang gelombang laut dalam

Arahdominaangin

Dari data angin yang telah di ekuivalenkan ke tinggi


gelombang selanjutnya dicatat jumlah kejadian tiap kelasnya
sehingga dapat digunakan untuk mengetahui parameter
inisaial distribusi gelombang, salam hal ini perairan Indonesia
termasuk dalam kriteria laut tenang dengan tipikal distribusi
gelombang adalah distribusi weibul.

Koreksielevasikecepatanangin

Konversikecepatanangin

Fetch

Limitedfetch

Fullydeveloped

Peramalangelombanglautdalam
(a)
DataPencatatan1
tahun

Metode
statistik

DataPencatatan10
tahun

Dengan bilangan Formzal (F) sebesar 0.36, maka tipe


pasang surut tergolong dalam tipe Semidurnal.
Berdasarkan pengolahan data pasang surut dari konstantakonstanta pasang surut diatas diperoleh tinggi muka air
sebagai berikut :

(b)
Gambar 18. Penentuan parameter inisial distribusi (a) fungsi densitas
probabilitas pdf (b) fungsi komulatif - cdf

Dari sini kita dapat mengetahui parameter inisal fungsi


distribusi dari data mentah. Dimana didapatkan parameter
shape factor () = 2.3068, scale factor () = 0.85416 dan
location factor sebesar () = 0. Selanjutnya parameter inisial
ini disesuaikan dengan parameter distribusi yang diberikan
pada Coastal Engineering Manual (tabel 4.3) dengan selisih
terkecil atau mendekati sehingga kita dapatkan parameter
fungsi distribusi yang baru beserta koefisien untuk
menghitung standar deviasinya.
Tabel 1. Koefisien Standar deviasi
2
Distribusi
1
Weibull (k = 2.0)
2.24
11.4

1.34

c
0.5

0.54

Muka Surutan
Zo
= 130 cm
= 1.30 m
Tinggi Muka Air Laut Rata-rata (MSL)
MSL
= 130 cm
= 1.30 m
Datum Level
DL
= MSL Zo
= 0.00 m
LAT (Rendah Pasang Surut)
LAT
= MSL - K1 - O1 - S2 - M2
= -140 cm
= -1.40 m
HAT (Tinggi Pasang Surut)
HAT
= LAT + 2(K1+O1+S2+M2)
= 281 cm
= 2.81 m
MHHWS

Setelah dilakukan perhitungan peramalan gelombang,


statistik gelombang dan periode ulang berdasar prosedur dari
manual, didapat tinggi dan periode ulang gelombang desain
yakni 3.7 meter dan 100 tahun.

= LAT + 2(S2+M2) + K1+O1


= 2.44 m

MHHWN

= LAT + 2M2 +K1 + O1


= 1.78 m

Pasang surut

MLLWN

= LAT + 2S2 + K1 + O1
= 1.02 m

MLLWS

= LAT + K1 + O1
= 0.36 m

Data teknis
Stasiun Pengukuran

Benoa (Bali)
Lintang (Lat) 08.7 S (S)

Posisi

Serta grafik pasang surut sampel pada bulan januari 2006


adalah sebagai berikut

Bujur (Long) 115.2 T (E)


Waktu
Tidal
Constant
M2
Amplitude
(cm)
71

S2

N2

K2

K1

O1

P1

M4

MS4

Z0

33

10

25

12

130

360 - g

59

84

59

73

GMT + 08.00

Tipe Pasang surut dapat ditentukan dengan menghitung


besarnya bilangan Formzal (F):
F

=
= 0.36

Tabel 2. Bilangan Formzal

K
0 < K < 0.25
0.25 < K < 1.5
1.5 < K < 3.0
K > 3.0

Tidal Type
Semidiurnal
Mixed, Mainly Semidiurnal
Mixed, Mainly Diyrnal
Diurnal

Gambar 19. Grafik pasang surut Januari 2006

Refraksi dan Shoaling


Analisa deformasi gelombang (refraksi dan shoaling)
dilakukan sesuai dengan diagram alir berikut ini

10

Tabel 3. Relative Depth


(Sumber : CEM Part II Chapter I Water Wave Mechanic)

Mulai

Existingdata
Bathymetri,Tinggigelombanglautdalam
(H1),Periodegelombang(T1),sudutdating
gelombanglautdatakm(1)

Relativedepth

<1/20

D/L0?

>1/2

1/20<d/L0<1/2

Shallowwater

Deepwater

Transitionalwater
Wavedeformedby
depth

Wavenot
deformedbydepth

Sudutdankecepatan
gelombangdatang(0,C0)

Selanjutnya untuk mendapatkan kontur refraksi yang


selanjutnya digunakan pada analisa perubahan garis pantai,
orthogonal gelombang datang dibaut perpias dengan selisih
250m seperti pada garis merah pada gambar 21. Pada perairan
dalam (d>10) orthogonal gelombang tidak mengalami
deformasi akibat pengaruh perubahan kedalaman. Selanjutnya
ketika mendekati perairan dangkal maka gelombang akan
mengalami deformasi arah dan ketinggian gelombang. Hasil
perhitungan refraksi dan shoaling gelombang adalah sebagai
berikut dengan data gelombang datang perairan dalam H1 =
3,68 meter, periode gelombang Tp = 7.73 detik dan sudut
datang gelombang 1 = 0 tegak lurus terhadap garus pantai
(koordinat lokal) atau = 270 (global koordinat). Sehingga
didapatkan kontur refraksi gelombang dari perairan dalam
menuju perairan dangkal adalah sebagai berikut:

Stop

Konturbathymetrikedalamanshallowwater
BWN1
BWN2

Refraksigelombang

ShoalingGelombang

BWN3

Gambar 21. Kontur refraksi gelombang

Breaking Wave

Output:
Deformsigelombang:refraksidanshoaling

Selesai
Gambar 20. Diagram alir prosedur analisa deformasi gelombang :
refraksi dan shoaling

Diketahui data kedalaman perairan ; garis pantai (0m), 5m, -10m, -15m, -20m, -25m. Dikarenakan deformasi
gelombang (refraksi dan shoaling) adalah sebuah proses pantai
yang dipengaruhi oleh kedalaman perairan sehingga pada
analisa refraksi dan shoaling kedalaman yang dianalisa adalah
kedalaman pada perairan yang memiliki kategori kedalaman
relative Shallow Water (d/L < 0,05).

Analisa breaking wave dilakukan sesuai seperti prosedur


dibawah ini
Mulai

Datagelombanglautdalam
Tinggigelombangsignifikan(H0)dan
periodegelombang(T0)

Kemiringandasarlaut(tan)

11

Transpor sedimen dan perubahan garis pantai

Ketinggiangelombangpecah

0?

Analisa transport sedimen dan perubahan garis pantai


dilakukan sesuai dengan prosedur yang diuraikan pada
diagram alir berikut ini :
Mulai

Analisarefraksidanbreakingwave
Kedalamangelombangpecah
Sudutdatinggelombangmenujugaris
pantai(),kedalaman(db)danketinggian
gelombagpecah(Hb)

Tipegelombangpecah
Surging/collapsing
Plunging
Spilling

0 > 3.3
0.5 < 0 < 3.3
0 < 0.5

Output:
Tipe,kedalamandanketinggian
gelombangpecah

Bathymetridanlayoutbreakwater

Sudutdatingterhadapgarispantai(),
difraksiakibatbreakwater

Potentiallongshoresedimentransport

Volumetransportrate
Selesai

Gambar 22. Diagram alir prosedur kalkulasi breaking wave

Dari hasil perhitungan dbreaking wave diperoleh bahwa


gelombang pecah bertipe spilling dengan ketinggian dan
kedalaman gelombang pecah adalah 3.28 meter dan 4 meter
serta dapat kita peroleh kontur gelombang pecah seperti pada
gambar 23 ditunjukkan dengan tanda silang merah.

Modelperubahangarispantai

Selesai
Gambar 24. Diagram alir prosedur analisa transport sedimen dan
perubahan garis pantai.

Dan hasil kalkulasi transport sedimen didapat perubahan garis


pantai seperti terlihat pada gambar 25 berikut ini. garis merah
pada gambar 25 merupakan daerah lokalisir dimana terjadi
scouring berlebih yakni antara offshore breakwater 2 (BWN
2) dan offshore breakwater 3 (BWN 3).
BWN1
BWN1
BWN2
BWN3

BWN2

BWN3
Gambar 23. Kontur gelombang pecah

Gambar 25. Grafik perbandingan garis pantai tahun 2006 dan 2010.

12

BWN2

BWN3

Gambar 26. Lokalisir daerah antara BWN 2 dan BWN 3 dimana terjadi
scouring berlebih.

Adapun jumlah besarnya volume beachfill yang


mengalami scouring selama 4 tahun dari 2006 hingga tahun
2010 pada lokasi yang tererosi antara BWN 2 dan BWN 3
(depan Hotel Kartika Plaza) adalah sebesar -82974.39 m3
sedangkan sepanjang area tersebut garis pantai mengalami
kemunduran sebesar -112.57 m. angka yang diperoleh tersebut
merupakan keluaran dari perhitungan transport sedimen
selama 4 tahun pada kondisi ideal, dimana tingkat validitasnya
belum dibandingkan dengan data monitoring lapangan
sebenarnya dikareanakn berbagai faktor lain yang mungkin
terjadi nilai tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan
sebenarnya, namun analisa yang telah dilakukan sudah cukup
mewakili dan menjelaskan penyebab fenomena yang terjadi
dari scouring beachfill yang berlebih.
5.

Kesimpulan

Dari serangkaian analisa yang dilakukan dalam penelitian ini


yang bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya
scouring berlebih pada sistem pengaman pantai Kuta paska
pembangunan tahun 2006 ini kini telah dapat dijelaskan
penyebab fenomena tersebut. Diketahui scouring berlebih
tersebut dipengaruhi beberapa faktor, antara lain :
1. Deformasi gelombang laut dalam menuju pantai
sedemikian hingga menebabkan pola transport sedimen
menjadi searah dengan garis pantai (longsshore transport)
2. Difraksi yang terjadi disebabkan oleh struktur pelindung
yang menghalangi orthogonal gelombang, yakni pada
offshore breakwater 2 (BWN 2) dan offshore breakwater
3 (BWN 3)
3. Pada area di depan BWN 2 dan BWN 3 memiliki kontur
kedalaman (bathymetri) yang cukup curam, disertai
kedalaman gelombang pecah yang relatif dekat dengan
garis pantai disbanding section yang lainnya.
Faktor yang pertama adalah deformasi gelombang laut
dalam ke pantai yang sedemikian dipengaruhi oleh kontur
kedalaman perairan yang menyebabkan terjadinya pola
transport sedimen yang sejajar dengan garis pantai (longshore
transport) (gambar 21), dimana longshore transport lebih
signifikan membawa transport sedimen dibandingkan dengan
cross shore sedimen yang terjadi pada section lainnya.

Gambar 21 menunjukkan bahwa section antara BWN 2 dan


BWN 3 mengalami deformasi gelombang yang mengarah
sejajar garis pantai dibandingkan section lainnya.
Faktor kedua yang mempengaruhi adalah difraksi, dari
pengamatan lapangan menunjukkan bawha struktur pelindung
yang berada di depan beachfill, yakin offshore breakwater
menyebabkan difraksi yang dapat membelokkan arah
gelombang sehingga menyebabkan terjadinya arah gelombang
setelah mengenai offshore breakwater tersebut makin sejajar
dengan garis pantai, fenomena ini seperti dijelaskan pada
faktor pertama diatas.
Faktor ketiga adalah kontur gelombang pecah pada area
diantara BWN2 dan BWN3 dan sekitar BWN3 (gambar 23)
memiliki kontur gelombang pecah yang relatif dekat dengan
garis pantai dibangingkan dengan section lainnya. Hal ini
menyebabkan energi gelombang yang menghempas pantai
masih relatif besar daripada section lain yang menyebabkan
pada daerah ini mengalami erosi yang lebih besar. Pengamatan
lapangan juga didapati bahwa pada area tersebut, terjadi
refleksi pada dinding refertmnet, hal tersebut menunjukkan
bahwa energi yang mengenai pantai masih terlalu besar dan
tidak sanggup ditahan oleh pelinding pantai lunak (soft
structure) berupa beachfill tersebut.
6.

Saran dan rekomendasi


Saran yang dapat saya berikan terutama kepada pihak
Balai Wilayah Sungai Penida selaku penanggung jawab
kawasan konstruksi pelindung pantai tersebut setelah
melakukan penelitian ini adalah bahwa perlu adanya perhatian
yang lebih untuk section antara BWN2 dan BWN3 tersebut
sehingga diperoleh desain sistem yang dapat menangani
permasalahan tersebut tidak hanya memperhatikan kekuatan
struktur dalam pandangan teknik sipil saja, namum juga
memperhatikan aspek fenomena pantai dimana terjadi
dinamika seperti deformasi gelombang.
Sedikit rekomendasi yang mungkin untuk menangani
permasalahan sesuai dengan kriteria lingkungan yang telah
dianalisa dalam penelitian ini adalah dengan cara:
1. Meredam energi gelombang yang besar pada section
antara BWN2 dan BWN3 dengan struktur pelindung.
2. Memperjauh kedalaman gelombang pecah pada section
antara BWN2 dan BWN3 dengan cara menguruk slope
pantai agar tidak curam.
Referensi
1. U.S. Army Corps of Engineer. 2006. Coastal Engineering
Manual (CEM).
2. U.S Army Corps of Engineers. 1984. Shore Protection
Manual.
3. Stewart, Robert H. 2006. Introduction To Physical
Oceanography. Texas : Department Of Oceanography Texas
A & M University.
4. Reviewed Technical Study Report for Kuta Beach. Bali
Beach Conservation Project JBIC (LOAN IP 475) (2005)
5. Balai Wilayah Sungai Bali Penida. Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air. Kementrian Pekerjaan Umum (2010)

Anda mungkin juga menyukai