Anda di halaman 1dari 29

BAB II.

Kajian Pustaka
A. Pemahaman Konsep
Pemahaman merupakan

terjemahan dari comprehension. Menurut Driver

(1993) pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu
tindakan. Dari pengertian ini terdapat tiga hal pokok dalam pemahaman, yaitu
kemampuan mengenal, kemampuan menjelaskan dan kemampuan menarik
kesimpulan. Pemahaman terhadap konsep merupakan kunci dari suatu pembelajaran.
Salah satu tujuan pembelajaran yang penting adalah membantu siswa memahami
konsep utama dalam suatu subjek, bukan sekedar fakta yang terpisah-pisah.
Kemampuan

memahami

konsep

menjadi

landasan

untuk

berpikir

dalam

menyelesaikan persoalan. Dahar (1996) menyatakan bahwa belajar konsep


merupakan hasil utama pendidikan. Konsep merupakan pilar-pilar pembangun
berpikir.
Pemahaman konsep akan berkembang apabila guru dapat membantu siswa
mengeksplorasi topik secara mendalam dan memberi mereka contoh yang tepat dan
menarik dari suatu konsep. Satu dari beberapa ide yang diterima dikomunitas
pendidikan matematika adalah ide bahwa siswa harus memahami matematika.
Hampir semua teori belajar menjadikan pemahaman sebagai tujuan pembelajaran
(Dahlan, 2004). Pemahaman konsep adalah kemampuan seseorang dalam
mengungkapkan suatu obyek tertentu berdasarkan cirri-ciri yang dimiliki oleh obyek

tersebut. Pemahaman konsep dipandang sebagai salah satu macam taraf berpikir,
dimana jenis kerja yang dilakukan meliputi berpikir dalam konsep dan belajar
pengertian.
Beberapa indikator mengenai pemahaman menurut Sumarmo (2004)
diantaranya adalah:

Pemahaman mekanikal, instrumental, komputasional, dan knowing how to:


melaksanakan perhitungan rutin, algoritmik dan menerapkan rumus pada
kasus serupa.

Pemahaman rasional, relasional, fungsional, dan knowing how to:


membuktikan kebenaran, mengaitkan suatu konsep dengan konsep
lainnya,

mengerjakan

kegiatan

matematik

secara

sadar,

dan

memperkirakan suatu kebenaran tanpa ragu.


B. Kemampuan Pemecahan Masalah
1. Masalah Matematika
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan dengan adanya
kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Kejadian seperti ini diartikan bahwa kita
menemui suatu masalah. Hayes (dalam Gani, 2003) mendefinisikan masalah sebagai
suatu kesenjangan antara seseorang berada dengan tujuan yang harus dicapai,
sedangkan orang tersebut belum bahkan tidak mengetahui apa yang harus
dikerjakannya. Sedangkan Hudoyo (1988) menyatakan bahwa sesuatu disebut
masalah bila hal itu mengandung pertanyaan yang harus dijawab. Hal ini sesuai

pendapat James (dalam Gani, 2003) yang menyatakan bahwa masalah adalah sebagai
suatu pertanyaan yang diajukan untuk diselesaikan.
Menurut Hudoyo (1988), sebuah soal atau pertanyaan akan menjadi sebuah
masalah, jika tidak terdapat aturan atau hukum secara prosedural tertentu yang
digunakan dalam menyelesaikan soal tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh
Bell (1978) yang menyatakan bahwa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi
seseorang, bila ia menyadari keberadaan situasi itu, mengakui bahwa situasi itu
memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan atau
penyelesaian terhadap situasi tersebut. Lebih lanjut, Hudoyo (2001) menyatakan
bahwa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seorang siswa, apabila: (1)
pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa sebaiknya dapat dimengerti oleh
siswa tersebut, dan (2) pertanyaan tersebut tak dapat dijawab dengan prosedur rutin
yang telah diketahui siswa.
Masalah bagi seseorang juga ditentukan oleh adanya keinginan atau kemauan
orang tersebut untuk menyelesaikannya, meskipun ia mampu atau tidak mampu
dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Ruseffendi (1991) bahwa suatu persoalan merupakan masalah
bagi seseorang, (1) bila siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma tertentu
untuk menyelesaikannya; (2) siswa harus mampu menyelesaikannya, dan (3) bila ada
niat menyelesaikannya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gani (2003)
bahwa sebuah pertanyaan dapat merupakan masalah apabila pertanyaan itu
menantang untuk dijawab dan dalam menjawabnya tanpa menggunakan suatu
prosedur yang rutin. Hal ini menunjukkan sebuah pertanyaan dapat dikatakan

menjadi masalah bagi seseorang, jika orang tersebut ada keinginan dan merasa
tertantang untuk menyelesaikannya, meskipun ia sanggup atau tidak sanggup untuk
menyelesaikan soal tersebut. Artinya, jika seseorang tidak ada kemauan untuk
menyelesaikan soal yang diberikan kepadanya, maka soal itu bukanlah masalah
baginya.
Polya (dalam Hudoyo, 2001) membagi dua macam masalah dalam
matematika, yaitu: (1) masalah untuk menemukan dapat berupa teoritis atau praktis,
abstrak atau konkrit, termasuk teka-teki, dan (2) masalah untuk membuktikan adalah
untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar atau salah, ataupun tidak
kedua-duanya. Dalam penelitian ini, masalah dalam matematika yang dimaksud
menekankan pada masalah untuk menemukan. Karena selain penelitian ini ditujukan
pada siswa pendidikan dasar, juga masalah yang diberikan kepada siswa diharapkan
dapat melatih kemampuan berpikir mereka (terutama berpikir kreatif) tentang
bagaimana suatu konsep atau prinsip ditemukan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa masalah bagi
seorang siswa dalam belajar matematika adalah pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada mereka yang digunakan untuk melihat dan mengukur perubahan
tingkah laku siswa dalam matematika. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus
diupayakan sedemikian rupa, sehingga mudah dimengerti, belum familiar, mau dan
merasa tertantang untuk menyelesaikannya, serta proses jawabannya tidak dengan
prosedur rutin yang telah diketahui siswa.

2. Pemecahan Masalah Matematik


Matematika merupakan ilmu dasar yang berguna dalam membantu seseorang
untuk memecahkan berbagai masalah baik dalam matematika itu sendiri, ilmu lain,
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dalam pembelajaran
matematika, kemampuan memecahkan masalah sangat penting. Hal ini sesuai dengan
pendapat

Soedjadi (1999) bahwa dalam matematika kemampuan pemecahan

masalah bagi seseorang akan membantu keberhasilan orang tersebut dalam


kehidupan

sehari-hari.

Pentingnya

kemampuan

pemecahan

masalah

juga

dikemukakan oleh Branca (dalam Krulik dan Rays, 1980), yaitu: (1) kemampuan
pemecahan masalah merupakan tujuan umum pembelajaran matematika, bahkan
sebagai jantungnya matematika, (2) pemecahan masalah dapat meliputi metode,
prosedur dan strategi atau cara yang digunakan merupakan proses inti dan utama
dalam kurikulum matematika, dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan
dasar dalam belajar matematika. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan
kemampuan pemecahan masalah dalam matematika merupakan hal yang sangat
penting untuk dimiliki oleh seorang siswa dan juga merupakan salah satu faktor yang
menentukan hasil belajar matematika siswa.
Pemahaman atau penyadaran tiba-tiba untuk solusi dilibatkan dalam
pemecahan masalah. Walas (1921) meneliti orang yang mampu memecahkan
masalah yang hebat dan memformulasikan model yang memiliki empat tahap
sebagai berikut :

1. Persiapan: waktu untuk mempelajari masalah dan mengumpulkan informasi,


yang mungkin sesuai dengan solusi.
2. Inkubasi: periode memikirkan masalah, yang juga berupa pengabaian
masalah untuk sejenak.
3. Iluminasi: periode perenungan ketika solusi yang mungkin bisa digunakan
muncul tiba-tiba dalam kesadaran.
4. Verifikasi: waktu untuk menguji solusi yang ada untuk memastikan
kebenarannya.
Tahapan Wallas bersifat deskriptif dan tidak diperlukan untuk verifikasi empiris.
Para psikologi gestalt juga mengendalikan bahwa kebanyakan pebelajran manusia
berupa pemahaman dan mencakup perubahan presepsi. Siswa awalnya memikirkan
bahan-bahan

yang

diperlukan

untuk

memecahkan

masalah.

Mereka

mengintegrasikannya dalam berbagai cara hingga masalah itu terselesaikan. Ketika


siswa mendapatkan solusi, mereka langsung melakukan dan merenunginya.
Banyak orang yang mampu memecahkan masalah menyatakan bahwa mereka
memiliki momen untuk memahami. Watson dan Crick merasakan momen
pemahaman dalam menentukan struktur DNA (Lemonick,2003). Penerapan
pendidikan teori Gestalt yang penting adalah pada area pemecahan masalah, atau
pemikiran produktif ( Duncker,1945; Luchins1942; Wertheimer, 1945). Pandangan
Gestalt menekankan pada peran pemahaman memahami makna beberapa kejadian
atau meraih prinsip aturan yang mendasari kinerja. Sebaliknya, hafalan- meski sering
digunakn para siswa tidaklah efisien dan jarang digunakan dalam kehidupan diluar
sekolah.

Cara lain untuk memecahkan masalah ialah dengan menggunakan heuristika,


yang merupakan metode umum untuk memecahkan masalah yang menggunakan
prinsip-prinsip (aturan jempol) yang biasanya menghasilkan solusi (Anderson, 1990)
. Daftar operasi mental polya (1945/1957) mencakup pemecahan masalah sebagai
berikut : memahami masalah; merancang rencana; menjalankan rencana; melihat
kembali.
Memahami masalah dengan bertanya seperti Apa yang tidak diketahui? dan
Apa datanya?, sering kali

membantu dalam membuat sebuah diagram yang

menampilkan masalah dan informasi yang diberikan. Dalam membuat rencana, kita
mencoba menemukan hubungan atara data yang tidak diketahui. Memecah masalah
menjadi sub-sub tujuan memiliki manfaat, Karena tetap memikirkan masalah yang
sama dan bagaimana menyelesaikannya ( misalnya menggunakan analogi). Masalah
mungkin harus diutarakan kembali. Ketika menjalankan rencana, memeriksa setiap
tahapan untuk memastikan ketepatan pelaksanaan merupakan hal yang penting.
Melihat kembali berarti memeriksa solusi: apa sudah benar? Apakah ada cara lain
untu meraihnya?.
Pergeseran dalam fokus riset pada akhir 1980-an dan 1990-an ke konstruksi
interprestasi dan adaptasi pengetahuan oleh pemelajar ke situasi baru, telah
menempatkan sangat pentingnya strategi pemikiran oleh siswa. Lebih lanjut,
keahlian mensyaratkan pengetahuan prinsip dalam satu ranah ketimbang strategi
heuristik umum (Chi,Glaser, & Rarr, 1991). Yang penting dalam aktifitas ini adalah
ketrampilan metakognitif dalam perencanaan dan monitoring serta evaluasi keputusn
seseorang.

Pemecahan masalah dalam matematika pada hakekatnya merupakan proses


berpikir tingkat tinggi. Branca (dalam Krulik dan Rays, 1980) menyatakan bahwa
pemecahan masalah dapat dipandang sebagai kemampuan dasar , sebagai proses, dan
sebagai tujuan. Selanjutnya menurut Sumarmo (1994) pemecahan masalah sebagai
kemampuan dasar, merupakam jawaban pertanyaan yang sangat kompleks, bahkan
lebih kompleks dari pengertian pemecahan masalah itu sendiri. Pemecahan masalah
sebagai proses, merupakan suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya
prosedur langkah-langkah, strategi dan karakteristik yang ditempuh siswa dalam
menyelesaikan masalah sehingga dapat menemukan jawaban soal dan bukan hanya
pada jawaban itu sendiri. Pemecahan masalah sebagai tujuan, merupakan
kemampuan yang harus dicapai siswa. Kemampuan itu meliputi: mengidentifikasi
unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan;
merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika; menerapkan strategi
untuk menyelesaikan berbagai masalah sejenis atau masalah baru di dalam atau di
luar matematika; menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan
asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan
menggunakan matematika secara bermakna.
Menurut Polya (1985) pemecahan masalah adalah sebagai usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat
dicapai. Dari pengertian tersebut tampak bahwa dalam memecahkan masalah
terhadap suatu masalah, sangat dibutuhkan usaha mencari jalan keluar. Pengertian
mencari jalan keluar adalah suatu usaha dalam memecahkan masalah dengan
menggunakan kombinasi pengetahuan sebelumnya, seperti: penggunaan langkah-

langkah, aturan, dan konsep. Berkaitan dengan matematika sebagai salah satu ilmu
dasar yang lebih mementingkan proses daripada hasil akhir, artinya jawaban yang
diberikan seseorang dalam memecahkan masalah matematika, perlu diperhatikan dari
mana jawaban itu diperoleh, termasuk ketepatan penggunaan langkah-langkah,
aturan dan konsep. Dahar (1996) mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah
suatu kegiatan yang menerapkan atau menggabungkan konsep-konsep dan aturan
yang telah ada sebelumnya, sehingga menghasilkan suatu aturan dengan tingkat lebih
tinggi. Pentingnya penggunaan langkah-langkah dalam memecahkan suatu masalah,
menunjukkan bahwa jawaban dalam memecahkan masalah tersebut tidak mudah
diperoleh, tapi harus melalui berbagai langkah-langkah secara prosedural dan mampu
mengaitkan konsep-konsep yang telah ada sebelumnya.
Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa, nampaknya
akan lebih menarik bila diawali dengan mengajukan masalah-masalah yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, dikenal dan dialami siswa. Karena dengan memberi
masalah yang tidak asing baginya, siswa akan tertantang. Dengan menggunakan
pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya, ia akan berusaha mencari
solusi/jalan keluar dari masalah tersebut. Polya (dalam Hudoyo, 2001) menyatakan
bahwa dalam matematika terdapat dua masalah, yaitu masalah untuk menemukan
dan masalah untuk membuktikan. Bagian terpenting untuk menyelesaikan masalah
menemukan adalah: Apakah yang dicari? Bagaimana data diketahui? Dan bagaimana
syaratnya? Bagian penting untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah
hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang akan dibuktikan. Lebih lanjut Polya
menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan

masalah dalam matematika meliputi penyelesaian soal-soal cerita dalam buku teks,
penyelesaian soal-soal non rutin atau memecahkan soal teka-teki, penerapan
matematika pada masalah dalam dunia nyata, menciptakan dan menguji konjektur.
Mengenai kriteria apa yang harus dimiliki oleh seorang siswa, sehingga ia
dapat dikategorikan sebagai pemecah masalah yang baik, Suydam (dalam Hamzah,
2003) mengajukan sepuluh kriteria, yaitu: (1) mampu memahami konsep dan
terminology; (2) mampu menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi; (3) mampu
menyeleksi

prosedur

dan

variabel

yang

benar;

(4)

mampu

memahami

ketidakkonsistenan konsep; (5) mampu membuat estimasi dan analisis; (6) mampu
memvisualisasikan data; (7) mampu membuat generalisasi; (8) mampu menggunakan
berbagai strategi; (9) mempunyai skor yang tinggi dan baik hubungannya dengan
siswa lain; dan (10) mempunyai skor yang rendah terhadap tes kecemasan.
Pemecahan masalah dalam matematika memerlukan langkah-langkah dan
prosedur yang benar, untuk itu Dewey (dalam Wahyudin, 2003) membahas
secara ringkas lima langkah pemecahan masalah dalam urutan berikut:
1. Mengenali adanya masalah. Dapat berupa kesadaran atas suatu kesukaran,
perasaan frustrasi, keingintahuan, atau keraguan.
2. Mengidentifikasi masalah. Dapat berupa klarifikasi dan definisi, termasuk
perumusan sasaran yang hendak dicapai sebagaimana ditentukan oleh situasi
yang mengedepankan masalah itu.
3. Memanfaatkan pengalaman-pengalaman

sebelumnya. Dapat berupa

informasi yang relevan, penyelesaian-penyelesaian, atau gagasan-gagasan

terdahulu untuk merumuskan hipotesis-hipotesis

dan proposisi-proposisi

pemecahan masalah.
4.

Menguji hipotesis-hipotesis atau kemungkinan-kemungkinan penyelesaian


secara berurutan. Jika perlu, masalah itu boleh dirumuskan ulang.

5. Mengevaluasi

penyelesaian-penyelesaian

dan

menarik

kesimpulan

berdasarkan bukti. Ini melibatkan pemasukan penyelesaian yang berhasil itu


kedalam

pemahaman yang dimiliki orang itu dan menerapkannya pada

bentuk-bentuk lain dari masalah yang sama.


Demikian pula Polya (1985) mengemukakan empat langkah pemecahan
masalah, yaitu:

memahami masalah,

membuat atau menyusun rencana

penyelesaian, melakukan perhitungan, dan memeriksa kembali hasil perhitungan


yang telah diperoleh sebelumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses yang dapat
dilakukan pada tiap langkah pemecahan masalah melalui beberapa pertanyaan
berikut:
1. Langkah memahami masalah. Untuk memahami masalah yang dihadapi,
siswa harus membaca/memahami secara verbal. Lebih lanjut perlu dilihat
lebih rinci lagi tentang: (a) Apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan?
(b) Data apa yang dimiliki? (c) Mencari hubungan tentang apa yang
diketahui, data yang dimiliki dan yang ditanyakan dengan memperhatikan
kondisi soal. Mungkinkah kondisi dapat dinyatakan dalam bentuk
persamaan atau

yang lainnya? Apakah kondisi yang dinyatakan cukup

untuk mencari yang ditanyakan? Apakah

kondisi

itu

cukup,

atau

berlebihan, atau selain bertentangan? (d) Membuat gambar atau tabel dan
menuliskan potensi yang sesuai.
2. Langkah perencanaan pemecahan masalah. Yang perlu diperhatikan dalam
Langkah ini yaitu: (a) Mempertanyakan kembali hubungan antara

yang

diketahui dan ditanyakan. (b) Pernahkah ada soal yang serupa? (c) Teori
mana yang dapat digunakan dalam masalah ini? (d) Perhatikan yang
dipertanyakan! Coba pikirkan soal yang pernah diketahui dengan pertanyaan
yang sama atau serupa. (e)Jika ada soal yang serupa, dapatkah pengalaman
yang lama digunakan dalam masalah sekarang? Dapatkah hasil dan metode
yang lalu digunakan? Apakah harus dicari unsur lain agar memanfaatkan soal
semula? Dapatkah menyatakannya dalam bentuk lain? (f) Andaikan soal baru
belum dapat menyelesaikan, cobalah pikirkan berbagai kemungkinan cara
penyelesaian yang mungkin dilakukan.
3. Melakukan perhitungan. Yang dilakukan

dalam

langkah ini adalah

melaksanakan rencana pemecahan dengan melakukan perhitungan yang


diperlukan untuk mendukung jawaban suatu masalah. Priksalah tiap langkah
perhitungan dengan benar, dan tunjukkan bahwa langkah yang dipilih
sudah benar.
4. Memeriksa kembali hasil dan menyimpulkan jawaban. Langkah yang terakhir
ini

adalah

memeriksa

kebenaran

hasil

menyimpulkan jawaban dari permasalahan.

yang

diperoleh,

kemudian

Kemampuan pemecahan masalah yang dikemukakan di atas, baik yang


dikemukakan oleh Dewey maupun Polya

pada

prinsipnya sama. Keduanya

menekankan bahwa pemecahan masalah dilakukan secara teratur, logis, analitis,


kritis, kreatif, sistematis atau prosedural, dan menggunakan serta menghubungkan
pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya.
Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah matematik yang
dimaksud mengacu pada kemampuan pemecahan masalah seperti yang dikemukakan
oleh Polya, yaitu: kemampuan memecahkankan soal-soal atau masalah matematik
rutin atau tidak rutin yang tidak dapat segera dipecahkan dengan
langlah-langkah

memahami

masalah,

membuat

rencana

mengikuti

penyelesaian,

melaksanakan penyelesaian (melakukan perhitungan), dan memeriksa kembali


langkah-langkah dan hasil yang diperoleh.
C. Keterampilan Metakognitif
Metekognitif merupakan kata sifat dari metakognisi. Istilah metakognisi
berasal dari kata metacognition dengan prefik meta dan kata kognisi. Meta
berasal dari bahasa yunani yang berarti setelah atau melebihi dan kognisi
mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses berpikir (Costa,1985).
Hacker (2003) menyatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran yang
dialami sendiri sebagai suatu kegiatan dalam lingkungannya, sehingga memunculkan
ketinggian rasa dari ego yang muncul ketika melakukan aktivitas diskusi, debat,
mendengar, melihat dan lain-lain, sehingga tersimpan dengan sengaja dn dapat
dimunculkan kembali diwaktu yang akan datang. Metakognisi mengacu kepada

kesadaran siswa terhadap kemampuan yang dimilikinya seta kemampuan untuk


memahami, mengontrol dan memanipulasi proses-proses kognitif yang mereka
miliki.
Weinert dan kluwe (1987) menyatakan bahwa metakognisi adalah second
order cognition yang memiliki arti berpikir tentang berpikir, pengetahuan tentang
pengetahuan , atau refleksi tentang tindakan-tindakan. Metakognisi mempunyai
kelebihan dimana seseorang mencoba merenungkan cara berpikir atau merenungkan
proses kognitif yang dilakukannya. Dengan demikian aktivitas seperti merencanakan
bagaimanapendekatan yang akan diberikan dalam tugas-tugas pembelajaran,
memonitoring kemampuan dan mengevaluasi rencana dalam rangka melaksanakan
tugas merupakan sifat-sifat dasar metakognisi.
Salah satu upaya untuk menimbulkan kesadaran kognisi siswa adalah dengan
memberikan arahan agar siswa bertanya pada diri sendiri. Hal ini dilakukan agar
siswa dapat memonitor pemahman mereka mengenai apa yang sedang dipelajari.
Siswa bertanya pada dirinya sendiri apa mereka memahami apa yang sedang mereka
pelajari atau pikirkan . Siswa juga bertanya pada proses dirinya sendiri apakah
mereka mengenali atau mengetahui apa yang mereka pikirkan.
Dalam proses metakognisi siswa diharapkan dapat memonitor pemahaman
mereka mengenai sesuatu yang sedang dipelajari, kemudian siswa bertanya pada diri
sendiri apakah mereka memahami sesuatu yang sedang dipelajari atau sedang
mereka pikirkan sehingga mereka menyadari kelebihan dan keterbatasannya dalam

belajar. Artinya saat siswa mengetahui kekurangannya , mereka sadar

untuk

mengakui bahwa mereka kurang, dan berusaha untuk memperbaikinya.


Brown (Weinert & Kluwe, 1987) mengemukakan bahwa proses metakognisi
memerlukan operasi mental khusus sehingga seseorang dapat memeriksa,
memecahkan, mengatur, memantau, memprediksi dan mengevaluasi proses berpikir
mereka sendiri.
Berdasarkan karakteristik bahwa proses yang dilakukan berupa tindakan
untuk menyadarkan kemampuan kognitif siswa, maka proses ini merupakan
keterampilan metakognitif. Siswa dipandu untuk dapat menyadari apa yang mereka
ketahui srta bagaimana mereka memikirkan hal tersebut agar dapat diselesaikan.
Secara khusus Schoenfeld (1987) menandai tiga kategori

dalam

pembelajaran matematika, yaitu :


1. Keyakinan dan intuisi.
Ide-ide matematika apa yang dapat digunakan dalam mengerjakan
matematika dan bagaimana ide-ide tersebut dapat menentukan cara dalam
proses matematika. Kelihatannya, Schoenfeld memberikan keyakinan dan
intuisi ini sebagai proses metakognisi dimana sebelum seseorang dapat
mengerjakan, ia memiliki keyakinan bahwa masalah dapat diselesaikan, ia
juga memiliki intuisi bahwa masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan
ide-ide dan proses tertentu. Dengan memiliki kategori keyakinan dan intuisi
ini berarti siswa berusaha untuk memiliki kepercayaan diri bahwa ia dapat
menyelesaikan permasalahan itu.

2. Pengetahuan mengenai proses berpikir seseorang.


Ini berkaitan dengan seberapa akurat seseorang dapat menggambarkan
mengenai pemikirannya. Pemecahan masalah yang baik menggunakan apa
yang diketahui secara efisien. Pada bagian ini Schoenfeld lebih menekankan
pada

proses

pengorganisasian

atau

pengelolaan

pengetahuan

yang

berhubungan dengan proses berpikir dalam memecakan masalah.


3. Kesadaran diri atau pengaturan diri
Schoenfeld menyarankan bahwa kesadaran atau pengaturan diri ini dapat
dipikirkan menggunakan pendekatan pengelolaan yang meliputi aspek-aspek:
a. Mengakses pemahaman terhadap masalah secara keseluruhan
b. Merencanakan strategi penyelesaian
c. Memonitor dan mengontrol cara-cara penyelesaian berjalan
d. Mengalokasikan hasil, memutuskan apa yang harus dilakukan dan berapa
lama masalah tersebut diselesaikan.
Beberapa strategi untuk mengenbangkan prilaku metakognitif dinyatakan
oleh Blakey & Spence (1990). Merekan menyusunnya dalam enam strategi sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui
2. Menceritakan tentang pemikirannya
3. Menjaga catatan pemikiran
4. Merencanakan dan melakukan pengaturan diri
5. Menanyakan proses berpikir
6. Evaluasi diri

Huitt (1997) menyatakan bahwa metakognisi meliputi kemampuan untuk


bertanya dan menjawab pertanyaaan-pertanyaan seperti, apa yang saya ketahui
tentang topik ini?, apakah saya tahu apa yang perlu saya ketahui?, apakah saya tahu
dimana saya mendapatkan informasi yangdibutuhkan? Apa strategi dan taktik yang
dapat digunakan?, dan lain sebagainya.
Aspek

metakognitif sebagai bagian terkait dari pembelajaran dengan

menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif sangat penting untuk dapat


dikembangkan agar sisiwa mampu memahami dan mengontrol pengetahuan yang
telah diperolehnya dalam kegiatan pembelajaran. Adapun aspek aktivitas
metakognitif yang dikemukakan oleh Flavell (dalam Suzana, 2004) adalah: (1)
kesadaran mengenai informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan
bagaimana mengerjakannya dengan mempertanyakan diri sendiri dan menguraikan
dengan kata-kata sendiri untuk simulasi mengerti, (3) regulasi, membandingkan dan
membedakan solusi yang lebih memungkinkan.
Secara keseluruhan berdasarkan pendapat-pendapat yang diuraikan di atas,
dapat dikatakan bahwa dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
keterampilan metakognitif lebih dominan pada memonitor kesadaran pengetahuan,
strategi, dan proses berpikir diri sendiri melalui pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan ini pada hakikatnya adalah pertanyaan yang memandu proses berpikir
seacara mandiri dan pertanyaan ini dapat muncul dari diri sendiri.

Peran Ketrampilan Metakognisi dalam Subproses Pemecahan Masalah


Pergeseran dalam fokus riset pada akhir 1980-an dan 1990-an kekontruksi,
interprestasi dan adaptasi pengetahuan oleh pemelajar kesituasi baru, telah
menempatkan sangat pentingnya strategi pemikiran oleh siswa. Lebih lanjut keahlian
mensyaratkan pengetahuan prinsip dalam satu rana ketimbang strategi heuristic
umum (Chi,Glaser, & Farr, 1991). Yang penting dalam aktifitas ini adalah
keterampilan metakognitif dalam perencanaan dan monitoring serta evaluasi
keputusan seseorang.
Empat subproses utama dari pemecahan masalah yang membutuhkan semua
metakognisi yaitu mempresentasikan masalah, merencanakan strategi, mengatasi
halangan, dan melaksanakan rencana (Davidson & Sternberg, 1998; Mayer &
Wittrock, 1996).
Tabel. 1
Subproses
1. Mempresentasikan

Peran Keterampilan Metakognitif


1a. Membantu dalam mengakses informasi yang

masalah

relevan dari memori jangka panjang yang

(mengidentifikasi ciri

member kontribusi pada identifikasi

paling relevan dan

komponen masalah utama.

menciptakan peta mental

b. Membantu mencipkatan peta mental dari

atas komponen-

ketentuan, relasi antar-unsur, tujuan, dan

komponennya)

batasan (Davidson & Sternberg, 1998).

c. Membantu perekaman selektif, kombinasi


selektif, dan perbandingan selektif, ketika
diperlukan (Davidson & Sternberg,1998).
2. Perencanaan

2a. Me-review dan memilih rencana dan strategi,


mungkin menggunakan eksplorasi yang
terstruktur (Schoenfeld,1992)
b. Mulai melakukan 1a di atas, jika perlu.

3. Mengatasi halangan

3a. Membantu dalam pencarian ingatan jangka


panjang untuk informasi baru.
b. Mulai melakukan 1c di atas.

4. Melaksanakan rencana
(dan mengatasi
halangan).

4a. Memonitor kemajuan dan memodifikasi


rencana ketika perlu.
b. Kembali ke-3, jika perlu.

Mempresentasikan masalah. Fase ini sering diabaikan oleh siswa, fase ini
merupakan hal penting untuk keberhasilan pemecahan masalah baik untuk situasi
mendefinisikan cirri utama dari masalah dan membuat peta mental atas relasirelasinya, menggunakan informasi yang relevan dalam memori jangka panjangnya.
Tetapi beberapa pemecah masalah mengandalkan pengetahuan metakognitif yang
tidak akurat dalam melaksanakan langka ini. Misalnya, beberapa anak sekolah
menganggap mereka perlu membaca semua soal matematika karena informasi
penting selalu ada dikalimat terakhir (Briars & Larkin, 1984).

Tujuan

dari

peta

mental

adalah

membantu

pemelajar

untuk

mengorganisasikan kondisi, menentukan langka yang tepat, dan juga menjagajejak


kemajuannya (Davidson & Sternberg, 1998). Kesulitan dalam mengkontruksi peta
mental atas masalah akan menyebabkan prengkodean ulang (recoding) selektif,
pengkobinasian dan perbandingan. Pengkodean ulang selektif adalah melihat pada
elemen-elemen yang sebelum terlewatkan, diikuti dengan menempatkan elemen
masalah secara bersama-sama dengan cara yang baru. Perbandingan selektif adalah
penemuan relasi yang kurang jelas antara elemen masalah dan informasi yang sudah
dimiliki pemelajar. Proses ini merefleksikan komponen pemecahan masalah yang
didefinisikan oleh Gestalt. Mereka mencakup restrukturisasi material tertentu
(Kohler, 1969); secara mental mendefinisikan ulang dan mengklarifikasi masalah,
seperti mendefinisikan tujuan (Duncker, 1945); atau merumuskan ulang fungsi dari
ketentuan (Maier, 1930).
Perencanaan. Pemecah masalah yang efektif me-review strategi dan taktik sebelum
implementasi (eksplorasi terstruktur yang didefinisikan oleh Schoenfed, 1992). Fase
ini membantuh

pemecah masalah mengantisipasi konsekuensi dari pendekatan

tertentuh, dan membantuh menghindari kekeliruan yang parah (Holyoak, 1995).


Kegagalan untuk mendefinisikan strategi yang tepat mungkin menyebabkan perlu
mereview dan mereorganisasi peta mental atas masalah yang dibuat oleh pemelajar.
Perbedaan perilaku pemecahan masalah dari anggota fakultas dengan sekelompok
siswa yang menghadapi dua masalah sulit mengilustrasikan arti penting
mempresentasikan masalah dan perencanaan sebelum mulai mengiplementasikan
suatu strategi. Anggota fakultas mencurahkan lebih dari setengah kali lipat dari

waktu dalam menganalisis dan melakukan eksplorasi terstruktur sebelum


mengiplementasikan solusi (Schoenfeld, 1992).

Namun, siswa segera mulai

mengerjakan pemecahan soal. Meski mereka memiliki lebih banyak fakta dan
prosedur yang siap diakses, hanya sedikit masalah yang terselesaikan. Anggota
fakultas memunculkan sejumlah cara yang berpotensi sia-sia, namun mereka tidak
melakukan cara yang tidak membuahkan hasil yang tidak memecahkan masalah.
Mengatasi Rintangan dan Pelaksanaan rencana. Salah satu halangan utama yang
mungkin muncul selama perencanaan adalah keadaan yang disebut streotip
(Davidson & Sternberg, 1998), yang terdiri dari pola masalah dan kekakuan
fungsional

yang didefinisikan oleh periset gestalt. Yang lainnya

adalah

ketidakmampuan untuk menghasilkan rencana atau prosedur; kesulitan ini paling


sering muncul dalam problem pemahaman. Salah satu cara adalah mencari model,
analogi dan metafora dimemori jangka panjang yang mungkin memberikan
perspektif baru tentang masalah tersebut. Cara lainnya adalah menjauhi maslah
sejenak untuk member kesempatan pada pikiran untuk beringkubasi (Davidson &
Sternberg, 1998).
Siswa sering gagal memecahkan masalah dengan tepat karena mereka tidak
memonitor pelaksanaan strategi yang dipilih. Monitoring merupakan hal penting
untuk mengatasi langkah-langkah yang dilaksanakan dan tindakan yang belum
diselesaikan . Monitoring juga dapat mencegah kekeliruan aplikasi dari langkahlangkah rutin dalam sebuah strategi. Misalnya, dalam memecahkan masalah
multitahap yang kompleks, siswa kelas enam menggunakan data yang tidak tepat dan
kekeliruan kalkulasi yang menyebabkan kekeliruan 13% dan 2% secara berturut-

turut. (Vye et al.,1997). Dalam situasi lain, siswa kelas menengah yang dimintah
memonitor strateginya dalam memecahkan masalah berbasis computer bisa
mereduksi kesalah dan memperpendek waktu pemecahan masalah (Declos &
Harrington, 1991).
D. Pembelajaran dengan Pendekatan Keterampilan Metakognitif
Pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif merupakan
pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta
mengontrol tentang apa yang mereka ketahui, apa yang diperlukan untuk
mengerjakan dan bagaimana melakukannya; menitikberatkan pada aktivitas belajar
siswa; membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan, dan membantu siswa
untuk mengembangkan konsep diri apa yang dilakukan pada saat belajar matematika.
Jika mengacu kepada pendapat Schoenfeld (1987), Blakey & Spence (1990),
Huit (1990) dan Meyer (2002), ketika metakognitif terlibat dalam proses
pembelajaran, secara otomatis siswa akan aktif dalm berpikir. Proses yang aktif ini
memberikan efek bagi siswa untuk berinteraksi baik secara internar maupun secara
eksternal.
Keterampilan metakognitif berperan untuk membimbing siswa dalam
menyadari dan mengontrol proses interaksi dalam berpikir tersebut. Secara internal
siswa akan membangun pengetahuan dengan menginterksikan ide-ide dalam
pikirannya berdasarkan pengetahuan awal (prior knowledge) yang telah dimiliki dan
secara eksternal siswa membangun pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungannya termasuk dengan teman-temannya untuk mencapai pemahaman yang
lebih sempurna. Dengan demikian proses pembelajaran akan lebih efektif dalam

mencapai tujuan. Pembelajaran dalam upaya penyadaran kognisi dan menumbuhkan


keyakinan melalui pertanyaan-pertanyaan serta pengontrolan terhadap proses
berpikir dalam membangun pengetahuan yang utuh merupakan pembelajaran
pendekatan keterampilan metakognitif.
Konsep metakognitif yang dikemukakan Biryukov (2004) mengacu kepada
dugaan pemikiran tentang apa yang seseorang tahu yang disebut pengetahuan
metakognitif, apa yang dapat seseorang kerjakan yang disebut keterampilan
metakognitif, dan apa yang seseorang tahu tentang kemampuan metakognitifnya
yang disebut pengalaman metakognitif.
Siswa memerlukan proses yang cukup lama untuk dapat menguasai
keterampilan metakognisi secara bertahap. Namun demikian, guru dapat memulai
lebih awal disekolah dengan secara spesifik melatih siswa dalm keterampilan dan
strategi khusus (seperti perancang, evaluasi menganalisis masalah) dan dengan
struktur mengajar guru sedemikian rupa sehingga siswa terfokus pada bagaimana
mereka belajar dan juga pada apa yang mereka pelajari (Jacob, 2000).
Oleh sebab itu peran guru sebagai pendidik untuk merancang, memonitor dan
merevisi kerja dari siswa tidak hanya membuat siswa sadar tentang apa yang mereka
ketahui, tetapi juga apa yang mereka perlukan untuk mengerjakan apabila gagal
untuk memahami (Borkowski; Burkowski, Johnson & Reed;Presseley et al; Wong
dalam Jacob, 2000)
Belajar merupakan keterampilan metakognisi melalui aktivitas yang
digunakan yaitu mengatur dan memantau proses belajar. Adapun kegiatannya
mencakup perencanaan, monitoring dan memeriksa hasil. Kegiatan perencanaan

yang dimaksud adalah memprediksi hasil-hasil, menjadwalkan strategi-strategi yang


digunakan, dan berbagai bentuk trial and error. Kegiatan monitoring yaitu
memantau, memeriksa, menguji, merevisi. Misalkan sebelum menyelesaikan
masalah siswa memeriksa apakah pekerjaannya sudah benar. Ini dilakukan denan
cara mengujinya, jika masih salah, siswa dapat menyebutkan dan menunjukkan
bagian mana yang salah dan memperbaiki kesalahannya. Kegiatan memeriksa hasil
yaitu mengevaluasi hasil serta menghubungkan dengan efesiensi dan kefektifannya.
Penerapan pendekatan keterampilan metakognitif dalam pembelajaran
matematika merupakan salah satu upaya konkret untuk menjawab tantangan
kurikulum tingkat satuan pendidikan. Pendekatan keterampilan metakognitif dapat
digunakan sebagai salah satu upaya alternatif dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika disekolah.
Untuk mengantisispasi keadaan ini perlu suatu bentuk pembelajaran yang
menanamkan metakognisi. Costa (1985) menyusulkan pendekatan keterampilan
metakognisi sebagai atribut kunci dan berpikir formal atau pengajaran keterampilan
proses tingkat tinggi dan menekankan bahwa metodologi pengajaran guru di kelas
harus menanamkan metakognisi secara konstruktif.
Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif mengarahkan perhatian siswa
pada apa yang relevan dan membimbing mereka untuk memilih strategi yang sesuai
untuk menyelesaikan soal-soal melalui pertanyaan-pertanyaan (Cardelle, 1995).
Pertanyaan ini menuntun siswa untuk memusatkan diri pada langkah khusus
penyelesaian soal matematika dan untuk meningkatkan kesadaran terahadap
kesulitan yang mungkin dialami siswa selama proses berlangsung.

Prosedur pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognisi


mengadopsi model Mayer (Cardelle, 1995) dengan menyajikan pembelajaran dalam
tiga tahap dengan rincian sebagai berikut:
1. Tahap pertama diskusi awal
Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan mengenai topik yang sedang dipelajari,
penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyyan yang
mendasar. Guru membimbing siswa menanamkan keyakinan dan kesadaran
dengan bertanya pada diri siswa sendiri saat menjawab setiap pertanyaan alam
bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan guru, sehingga siswa memiliki
keyakinan bahwa permasalahan dapat diselesaikan, dan memiliki intuisi bahwa
permasalah dapat diselesaikan dengan cara-cara tertentu.
2. Tahap kedua siswa bekerja secara mandiri
Pada tahap kedua, siswa bekerja secara mandiri untuk menyelesaikan soal-soal
latihan yang diberikan. Guru memberikan pengaruh timbale balik (feedback)
secara individual, berkeliling memandu siswa dalam menyelesaikan soal dengan
memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metakognitif
misalnya pertanyaan untuk mengontrol dan memonitor proses berpikir siswa.
Pengaruh timbal balik metakognitif menuntun siswa untuk memusatkan pada
kesalahan dan memberikan petunjuk kepada siswa agar siswa dapat mengoreksi
sendiri, dapat mengontrol dan memonitor proses berpikir mereka, serta dapat
menyimpan dan menggunakannya kembali ide-ide yang telah ditemukan untuk
dapat menyelesaikan soal-soal yang diberikan.

3. Tahap ketiga adalah refleksi dan rangkuman.


Pada tahap ini, refleksi dilakukan oleh guru dan siswa. Refleksi guru lebih
mengarah kepada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas agar siswa
mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful). Reaksi siswa
lebih mengarah kepada apa yang telah ia pahami dari pembelajaran serta
kemungkinan aplikasi masalah yang lebih luas. Selanjutnya membuat rangkuman
yang dilakukan oleh siswa sendiri yang merupakan rekapitulasi dari apa yang
telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.
Dengan demikian pembelajaran matematika melalui pendekatan keterampilan
metakognitif mendesain model pembelajaran yang mengintegrasiakn pertanyaanpertanyaan yang bersifat metakognitif berkaitan dengan topik yang dipelajari serta
pengontrolan terhadap proses berpikir di dalam pembelajaran. Pertanyaan-pertanyaan
metakognitif diintegrasikan ke dalam bahan ajar secara tertulis dan atau secara
langsung melalui lisan untuk menumbuhakn keyakian dan kesadaran terhadap
konsep dan prinsip matematika yang dipelajari serta melakukan pengontrolan
terhadap proses berpikir yang dilakukan. Secara lisan pertanyaan guru meransang
siswa untuk dapat bertanya pada diri sendiri berkaitan dengan topik yang dipelajari.
Untuk memantapkan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif maka
perlu strategi pembelajaran yang merupakan rencana kognitif yang diorientasikan
pada keberhasilan pengerjaan tugas ( Pressley et al,1990; Weinstein & mayer, 1986).
Strategi mencakup aktifitas seperti pemilihan dan penyusunan informasi, melatih
materi yang akan dipelajari, menghubungkan materi baru dengan informasi dalam
ingatan, dan memperkuat makna materi.

Strategi juga mencakup tehnik yang

menciptakan dan mempertahankan iklim belajar positif misalnya, cara mengatasi


kecemasan

menghadapi

ujian,

memperkuat

efikasi-diri,

menghargai

nilai

pembelajaran dan mengembangkan hasil positif pada harapan dan sikap (Weinstein
& mayer, 1986). Pengunaan strategi merupakan bagian integral daam pembelajaran
pengaturan-diri karena strategi memberikan kendali yang lebih baik pada
pengelolahan informasi (Winne,2001).
Strategi pembelajran membantu pengkodean dalam tiap fase. Dengan
demikian, siswa pada awalnya menghadirkan informasi yang berhubungan dengan
tugas dan mengirimnya dari sensorik ke WM. Siswa juga mengaktifkan pengetahuan
yang terkait dalam LTM. Didalam WM, siswa membangun koneksi ( hubungan)
antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya dan mengintegrasikan kaitan ini
kedalam jaringan LTM.
Tabel. 2
Langkah-langkah dalam Menyusun dan Menerapkan Strategi Pembelajaran

Langkah
Menganalisa

Tugas Pembelajar
Mengidentifikasi

tujuan pembelajaran, aspek tugas penting,

Karakteristik pribadi yang berhubungan, dan tehnik pembelajran


yang bermanfaat.
Merencanakan

Menyusun rencana :Tugas ini ____ diselesaikan ____menurut


criteria___ dan dengan memberikan karakteristik pribadi ____
saya harus mengunakan tehnik ini ___.

Menerapkan

Menggunakan taktik untuk memperkuat pembelajaran dan


memori.

Mengawasi

Mengukur kemajuan tujuan untuk menentukan seberapa baik


taktik itu berfungsi.

Memodifikasi

Melanjutkan penggunaan strategi jika penilaiannya positif ,


memodifikasi rencana jika kemajuan terlihat tidak memadai.

Pengetahuan

Membimbing pelaksanaan tiap langkah.

Metakognitif
Sumber: diadaptasi dan dicetak kembali dari Learning Tactics dan Strategies, oleh
J.Snowman, dalam G.D. Phye & T. Andre (Ed.), Cognitive classroom learning
Understanding, thinking, and problem solving (hlm. 234-275). Orlando, FL:
Academic Press. 1986. Dicetak kembali dengan izin dari Elsevier dan
penulis.

Tabel 3 menampilkan langkah-langkah dalam memformulasikan dan


menerapkan strategi pembelajaran. Awalnya siswa menganalisis aktivitas atau situasi
dalam tujuan aktivitas, aspek situasi yang terkait dengan tujuan, karakterisstik
pribadi yang terlihat penting, dan metode pembelajaran pengaturan-diri yang
bermanfaat. Siswa kemudian bisa mengembangkan sebuah strategi atau rencana
bersamaan dengan kalimat berikut: Dengan menyelesaikan tugas saat ini dan
menempatkannya sesuai dengan kriteria dan memberikan karakteristik pribadi, saya
harus menggunakan prosedur ini untuk mencapai tujuan (parafrasa dari Snowman,
1986). Penerapan metode selanjutnya ialah mengawasi kemajuan tujuan dan
memodifikasi strategi ketika metode tersebut tidak menghasilkan kemajuan dalam
tujuan. Penerapan metode ini diiringi pula oleh pengetahuan metakognitif yang
melibatkan pengetahuan bahwa kita harus menjalankan metode, mengapa hal itu
penting, dan kapan dan bagaimana cara melaksanakannya.

E. Penelitian yang Relevan


Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan
adalah studi dari Cardelle (1995) yang menyatakan bahwa pelatihan keterampiklan
metakognitif pada model mengajar Mayer cukup efektif dalam memfasilitasi proses
pemecahan soal bagi siswa yang mendapat hasil yang rendah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nindiasari (2004) melaporkan hasil
penelitiannya mengenai pembelajaran metakognitif untuk meningkatkan pemahman
dan koneksi matematik siswa SMU ditinjau dri perkembangan kognitif siswa,
menunjukkan bahwa pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika
berhasil meningkatkan pemahaman dan kemampuan koneksi matematik siswa SMU
ditinjau dari perkembangan kognitif siswa.
Penelitian Maulana (2007) diperoleh informasi bahwa kemampuan berpikir
kritis mahasiswa pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) relatif rendah. Namun
setelah diberikan perlakuan berupa pembelajaran matematika dengan pendekatan
metakognitif, ditemukan hasil berupa peningkatan kemampuan berpikir kritis pada
mahasiswa PGSD yang menjadi subyek penelitian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai