Kajian Pustaka
A. Pemahaman Konsep
Pemahaman merupakan
(1993) pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu
tindakan. Dari pengertian ini terdapat tiga hal pokok dalam pemahaman, yaitu
kemampuan mengenal, kemampuan menjelaskan dan kemampuan menarik
kesimpulan. Pemahaman terhadap konsep merupakan kunci dari suatu pembelajaran.
Salah satu tujuan pembelajaran yang penting adalah membantu siswa memahami
konsep utama dalam suatu subjek, bukan sekedar fakta yang terpisah-pisah.
Kemampuan
memahami
konsep
menjadi
landasan
untuk
berpikir
dalam
tersebut. Pemahaman konsep dipandang sebagai salah satu macam taraf berpikir,
dimana jenis kerja yang dilakukan meliputi berpikir dalam konsep dan belajar
pengertian.
Beberapa indikator mengenai pemahaman menurut Sumarmo (2004)
diantaranya adalah:
mengerjakan
kegiatan
matematik
secara
sadar,
dan
pendapat James (dalam Gani, 2003) yang menyatakan bahwa masalah adalah sebagai
suatu pertanyaan yang diajukan untuk diselesaikan.
Menurut Hudoyo (1988), sebuah soal atau pertanyaan akan menjadi sebuah
masalah, jika tidak terdapat aturan atau hukum secara prosedural tertentu yang
digunakan dalam menyelesaikan soal tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh
Bell (1978) yang menyatakan bahwa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi
seseorang, bila ia menyadari keberadaan situasi itu, mengakui bahwa situasi itu
memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan atau
penyelesaian terhadap situasi tersebut. Lebih lanjut, Hudoyo (2001) menyatakan
bahwa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seorang siswa, apabila: (1)
pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa sebaiknya dapat dimengerti oleh
siswa tersebut, dan (2) pertanyaan tersebut tak dapat dijawab dengan prosedur rutin
yang telah diketahui siswa.
Masalah bagi seseorang juga ditentukan oleh adanya keinginan atau kemauan
orang tersebut untuk menyelesaikannya, meskipun ia mampu atau tidak mampu
dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Ruseffendi (1991) bahwa suatu persoalan merupakan masalah
bagi seseorang, (1) bila siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma tertentu
untuk menyelesaikannya; (2) siswa harus mampu menyelesaikannya, dan (3) bila ada
niat menyelesaikannya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gani (2003)
bahwa sebuah pertanyaan dapat merupakan masalah apabila pertanyaan itu
menantang untuk dijawab dan dalam menjawabnya tanpa menggunakan suatu
prosedur yang rutin. Hal ini menunjukkan sebuah pertanyaan dapat dikatakan
menjadi masalah bagi seseorang, jika orang tersebut ada keinginan dan merasa
tertantang untuk menyelesaikannya, meskipun ia sanggup atau tidak sanggup untuk
menyelesaikan soal tersebut. Artinya, jika seseorang tidak ada kemauan untuk
menyelesaikan soal yang diberikan kepadanya, maka soal itu bukanlah masalah
baginya.
Polya (dalam Hudoyo, 2001) membagi dua macam masalah dalam
matematika, yaitu: (1) masalah untuk menemukan dapat berupa teoritis atau praktis,
abstrak atau konkrit, termasuk teka-teki, dan (2) masalah untuk membuktikan adalah
untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar atau salah, ataupun tidak
kedua-duanya. Dalam penelitian ini, masalah dalam matematika yang dimaksud
menekankan pada masalah untuk menemukan. Karena selain penelitian ini ditujukan
pada siswa pendidikan dasar, juga masalah yang diberikan kepada siswa diharapkan
dapat melatih kemampuan berpikir mereka (terutama berpikir kreatif) tentang
bagaimana suatu konsep atau prinsip ditemukan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa masalah bagi
seorang siswa dalam belajar matematika adalah pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada mereka yang digunakan untuk melihat dan mengukur perubahan
tingkah laku siswa dalam matematika. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus
diupayakan sedemikian rupa, sehingga mudah dimengerti, belum familiar, mau dan
merasa tertantang untuk menyelesaikannya, serta proses jawabannya tidak dengan
prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
sehari-hari.
Pentingnya
kemampuan
pemecahan
masalah
juga
dikemukakan oleh Branca (dalam Krulik dan Rays, 1980), yaitu: (1) kemampuan
pemecahan masalah merupakan tujuan umum pembelajaran matematika, bahkan
sebagai jantungnya matematika, (2) pemecahan masalah dapat meliputi metode,
prosedur dan strategi atau cara yang digunakan merupakan proses inti dan utama
dalam kurikulum matematika, dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan
dasar dalam belajar matematika. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan
kemampuan pemecahan masalah dalam matematika merupakan hal yang sangat
penting untuk dimiliki oleh seorang siswa dan juga merupakan salah satu faktor yang
menentukan hasil belajar matematika siswa.
Pemahaman atau penyadaran tiba-tiba untuk solusi dilibatkan dalam
pemecahan masalah. Walas (1921) meneliti orang yang mampu memecahkan
masalah yang hebat dan memformulasikan model yang memiliki empat tahap
sebagai berikut :
yang
diperlukan
untuk
memecahkan
masalah.
Mereka
menampilkan masalah dan informasi yang diberikan. Dalam membuat rencana, kita
mencoba menemukan hubungan atara data yang tidak diketahui. Memecah masalah
menjadi sub-sub tujuan memiliki manfaat, Karena tetap memikirkan masalah yang
sama dan bagaimana menyelesaikannya ( misalnya menggunakan analogi). Masalah
mungkin harus diutarakan kembali. Ketika menjalankan rencana, memeriksa setiap
tahapan untuk memastikan ketepatan pelaksanaan merupakan hal yang penting.
Melihat kembali berarti memeriksa solusi: apa sudah benar? Apakah ada cara lain
untu meraihnya?.
Pergeseran dalam fokus riset pada akhir 1980-an dan 1990-an ke konstruksi
interprestasi dan adaptasi pengetahuan oleh pemelajar ke situasi baru, telah
menempatkan sangat pentingnya strategi pemikiran oleh siswa. Lebih lanjut,
keahlian mensyaratkan pengetahuan prinsip dalam satu ranah ketimbang strategi
heuristik umum (Chi,Glaser, & Rarr, 1991). Yang penting dalam aktifitas ini adalah
ketrampilan metakognitif dalam perencanaan dan monitoring serta evaluasi keputusn
seseorang.
langkah, aturan, dan konsep. Berkaitan dengan matematika sebagai salah satu ilmu
dasar yang lebih mementingkan proses daripada hasil akhir, artinya jawaban yang
diberikan seseorang dalam memecahkan masalah matematika, perlu diperhatikan dari
mana jawaban itu diperoleh, termasuk ketepatan penggunaan langkah-langkah,
aturan dan konsep. Dahar (1996) mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah
suatu kegiatan yang menerapkan atau menggabungkan konsep-konsep dan aturan
yang telah ada sebelumnya, sehingga menghasilkan suatu aturan dengan tingkat lebih
tinggi. Pentingnya penggunaan langkah-langkah dalam memecahkan suatu masalah,
menunjukkan bahwa jawaban dalam memecahkan masalah tersebut tidak mudah
diperoleh, tapi harus melalui berbagai langkah-langkah secara prosedural dan mampu
mengaitkan konsep-konsep yang telah ada sebelumnya.
Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa, nampaknya
akan lebih menarik bila diawali dengan mengajukan masalah-masalah yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, dikenal dan dialami siswa. Karena dengan memberi
masalah yang tidak asing baginya, siswa akan tertantang. Dengan menggunakan
pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya, ia akan berusaha mencari
solusi/jalan keluar dari masalah tersebut. Polya (dalam Hudoyo, 2001) menyatakan
bahwa dalam matematika terdapat dua masalah, yaitu masalah untuk menemukan
dan masalah untuk membuktikan. Bagian terpenting untuk menyelesaikan masalah
menemukan adalah: Apakah yang dicari? Bagaimana data diketahui? Dan bagaimana
syaratnya? Bagian penting untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah
hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang akan dibuktikan. Lebih lanjut Polya
menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan
masalah dalam matematika meliputi penyelesaian soal-soal cerita dalam buku teks,
penyelesaian soal-soal non rutin atau memecahkan soal teka-teki, penerapan
matematika pada masalah dalam dunia nyata, menciptakan dan menguji konjektur.
Mengenai kriteria apa yang harus dimiliki oleh seorang siswa, sehingga ia
dapat dikategorikan sebagai pemecah masalah yang baik, Suydam (dalam Hamzah,
2003) mengajukan sepuluh kriteria, yaitu: (1) mampu memahami konsep dan
terminology; (2) mampu menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi; (3) mampu
menyeleksi
prosedur
dan
variabel
yang
benar;
(4)
mampu
memahami
ketidakkonsistenan konsep; (5) mampu membuat estimasi dan analisis; (6) mampu
memvisualisasikan data; (7) mampu membuat generalisasi; (8) mampu menggunakan
berbagai strategi; (9) mempunyai skor yang tinggi dan baik hubungannya dengan
siswa lain; dan (10) mempunyai skor yang rendah terhadap tes kecemasan.
Pemecahan masalah dalam matematika memerlukan langkah-langkah dan
prosedur yang benar, untuk itu Dewey (dalam Wahyudin, 2003) membahas
secara ringkas lima langkah pemecahan masalah dalam urutan berikut:
1. Mengenali adanya masalah. Dapat berupa kesadaran atas suatu kesukaran,
perasaan frustrasi, keingintahuan, atau keraguan.
2. Mengidentifikasi masalah. Dapat berupa klarifikasi dan definisi, termasuk
perumusan sasaran yang hendak dicapai sebagaimana ditentukan oleh situasi
yang mengedepankan masalah itu.
3. Memanfaatkan pengalaman-pengalaman
dan proposisi-proposisi
pemecahan masalah.
4.
5. Mengevaluasi
penyelesaian-penyelesaian
dan
menarik
kesimpulan
memahami masalah,
kondisi
itu
cukup,
atau
berlebihan, atau selain bertentangan? (d) Membuat gambar atau tabel dan
menuliskan potensi yang sesuai.
2. Langkah perencanaan pemecahan masalah. Yang perlu diperhatikan dalam
Langkah ini yaitu: (a) Mempertanyakan kembali hubungan antara
yang
diketahui dan ditanyakan. (b) Pernahkah ada soal yang serupa? (c) Teori
mana yang dapat digunakan dalam masalah ini? (d) Perhatikan yang
dipertanyakan! Coba pikirkan soal yang pernah diketahui dengan pertanyaan
yang sama atau serupa. (e)Jika ada soal yang serupa, dapatkah pengalaman
yang lama digunakan dalam masalah sekarang? Dapatkah hasil dan metode
yang lalu digunakan? Apakah harus dicari unsur lain agar memanfaatkan soal
semula? Dapatkah menyatakannya dalam bentuk lain? (f) Andaikan soal baru
belum dapat menyelesaikan, cobalah pikirkan berbagai kemungkinan cara
penyelesaian yang mungkin dilakukan.
3. Melakukan perhitungan. Yang dilakukan
dalam
adalah
memeriksa
kebenaran
hasil
yang
diperoleh,
kemudian
pada
memahami
masalah,
membuat
rencana
mengikuti
penyelesaian,
untuk
dalam
proses
pengorganisasian
atau
pengelolaan
pengetahuan
yang
masalah
(mengidentifikasi ciri
atas komponen-
komponennya)
3. Mengatasi halangan
4. Melaksanakan rencana
(dan mengatasi
halangan).
Mempresentasikan masalah. Fase ini sering diabaikan oleh siswa, fase ini
merupakan hal penting untuk keberhasilan pemecahan masalah baik untuk situasi
mendefinisikan cirri utama dari masalah dan membuat peta mental atas relasirelasinya, menggunakan informasi yang relevan dalam memori jangka panjangnya.
Tetapi beberapa pemecah masalah mengandalkan pengetahuan metakognitif yang
tidak akurat dalam melaksanakan langka ini. Misalnya, beberapa anak sekolah
menganggap mereka perlu membaca semua soal matematika karena informasi
penting selalu ada dikalimat terakhir (Briars & Larkin, 1984).
Tujuan
dari
peta
mental
adalah
membantu
pemelajar
untuk
mengerjakan pemecahan soal. Meski mereka memiliki lebih banyak fakta dan
prosedur yang siap diakses, hanya sedikit masalah yang terselesaikan. Anggota
fakultas memunculkan sejumlah cara yang berpotensi sia-sia, namun mereka tidak
melakukan cara yang tidak membuahkan hasil yang tidak memecahkan masalah.
Mengatasi Rintangan dan Pelaksanaan rencana. Salah satu halangan utama yang
mungkin muncul selama perencanaan adalah keadaan yang disebut streotip
(Davidson & Sternberg, 1998), yang terdiri dari pola masalah dan kekakuan
fungsional
adalah
turut. (Vye et al.,1997). Dalam situasi lain, siswa kelas menengah yang dimintah
memonitor strateginya dalam memecahkan masalah berbasis computer bisa
mereduksi kesalah dan memperpendek waktu pemecahan masalah (Declos &
Harrington, 1991).
D. Pembelajaran dengan Pendekatan Keterampilan Metakognitif
Pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif merupakan
pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta
mengontrol tentang apa yang mereka ketahui, apa yang diperlukan untuk
mengerjakan dan bagaimana melakukannya; menitikberatkan pada aktivitas belajar
siswa; membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan, dan membantu siswa
untuk mengembangkan konsep diri apa yang dilakukan pada saat belajar matematika.
Jika mengacu kepada pendapat Schoenfeld (1987), Blakey & Spence (1990),
Huit (1990) dan Meyer (2002), ketika metakognitif terlibat dalam proses
pembelajaran, secara otomatis siswa akan aktif dalm berpikir. Proses yang aktif ini
memberikan efek bagi siswa untuk berinteraksi baik secara internar maupun secara
eksternal.
Keterampilan metakognitif berperan untuk membimbing siswa dalam
menyadari dan mengontrol proses interaksi dalam berpikir tersebut. Secara internal
siswa akan membangun pengetahuan dengan menginterksikan ide-ide dalam
pikirannya berdasarkan pengetahuan awal (prior knowledge) yang telah dimiliki dan
secara eksternal siswa membangun pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungannya termasuk dengan teman-temannya untuk mencapai pemahaman yang
lebih sempurna. Dengan demikian proses pembelajaran akan lebih efektif dalam
menghadapi
ujian,
memperkuat
efikasi-diri,
menghargai
nilai
pembelajaran dan mengembangkan hasil positif pada harapan dan sikap (Weinstein
& mayer, 1986). Pengunaan strategi merupakan bagian integral daam pembelajaran
pengaturan-diri karena strategi memberikan kendali yang lebih baik pada
pengelolahan informasi (Winne,2001).
Strategi pembelajran membantu pengkodean dalam tiap fase. Dengan
demikian, siswa pada awalnya menghadirkan informasi yang berhubungan dengan
tugas dan mengirimnya dari sensorik ke WM. Siswa juga mengaktifkan pengetahuan
yang terkait dalam LTM. Didalam WM, siswa membangun koneksi ( hubungan)
antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya dan mengintegrasikan kaitan ini
kedalam jaringan LTM.
Tabel. 2
Langkah-langkah dalam Menyusun dan Menerapkan Strategi Pembelajaran
Langkah
Menganalisa
Tugas Pembelajar
Mengidentifikasi
Menerapkan
Mengawasi
Memodifikasi
Pengetahuan
Metakognitif
Sumber: diadaptasi dan dicetak kembali dari Learning Tactics dan Strategies, oleh
J.Snowman, dalam G.D. Phye & T. Andre (Ed.), Cognitive classroom learning
Understanding, thinking, and problem solving (hlm. 234-275). Orlando, FL:
Academic Press. 1986. Dicetak kembali dengan izin dari Elsevier dan
penulis.