Anda di halaman 1dari 6

Jendela Mimpi

Langit senja mulai menguning dan perlahan menjadi gelap. Burung-burung


sibuk kembali ke sangkar menemui keluarganya tercinta, berkumpul bersama
menghabiskan malam dengan senda gurau dan nyanyian kecil pengiring kehangatan
malam mereka. Andai saja keluargaku sehangat kemesraan mereka, mungkin
parasku akan selalu dihiasi simpul yang mengembang di sudut bibirku. Tak ada
lagi yang bisa aku banggakan. Tak seperti dulu, aku merasa adalah orang yang
paling beruntung di dunia. Dengan segala yang kumiliki. Keluarga harmonis,
kekayaan, teman-teman. Andai saja waktu dapat terulang kembali, aku akan
meminta kepada Allah untuk memberhentikan waktu di kala itu. Dan berharap tak
akan melaju walau hanya sedetik saja.
Banyak yang mengatakan bahwa aku adalah gadis yang cantik. Tapi kini
setiap aku bertatapan dengan wajahku di cermin tak ada lagi keelokan wajahku
yang dulu. Ya Allah, mengapa waktu begitu cepat merenggut semua nya dariku?
Hanya bening mata yang dapat mewakili kepedihan hati bagi seorang remaja 17
tahun sepertiku. Sudah 5 tahun aku mengerti pedasnya hidup. Selama 5 tahun ini
juga aku tak sanggup menghitung air mata yang tertumpah di pelupuk mataku.
Aku bukan lagi bunga yang bersemi di jepang dan bukan bunga yang indah di
pandang mata, aku justru bagaikan Raflesia Arnoldi yang menyebarkan bau
hingga ke segala penjuru. Sakura yang dahulu selalu juara kelas, kini untuk 10
besar pun aku tak berani berharap. Diriku kini tak seindah namaku Sakura.
Ku tatap langit malam yang kini terlihat dongker dari balik jendela kecil
kamarku. Jendela kecil inilah yang selalu menjadi tempatku menghabiskan waktu.
Banyak imaginasi yang telah kurangkai selama berada di jendela kecil ini. Bahkan
selama 5 tahun ini dialah yang selalu menjadi pendengar setiaku. Tempat ini pula
yang menjadi luapan emosi dan air mataku dalam menghadapi cobaan hidup dari

Yang Maha Kuasa. Dari jendela ini juga aku melihat sosok yang berlalu-lalang
memamerkan kebahagiaan hidup lewat canda tawa mereka. Terkadang aku iri
melihat mereka. Kapankah aku bisa tertawa lepas seperti mereka lagi? Sungguh
aku merindukannya. Tapi sepertinya mata, bibir, terutama memori otakku sudah
lupa bagaimana cara untuk tertawa bahkan lupa seperti apa rasanya bahagia.
Sakura, makan dulu, mamaku memanggil ku untuk makan malam.
Iya Ma, Ma kenapa lauk kita hanya singkong sambal? Tanyaku
Sudah makan saja apa yang ada. Jawab Mama. Sambil menangis aku
memasukkan nasi sesuap demi sesuap. Rintihan air mata yang terus aku uraikan
menarik perhatian Mama untuk melihat kearah ku.
Kenapa menangis? masih untung kita bisa makan. Sudah jangan menangis
Mama berkata.
Setiap aku merenung seolah ku punya 1000 liter air mata yang tersimpan
di balik pelupuk mataku. Semua bermula dari 7 tahun yang lalu ketika aku dan
keluargaku pindah ke kota Medan. Dahulu Papaku adalah seorang pegawai di
kantor sebuah pabrik yang cukup besar di Palembang. Namun dengan alasan yang
tak dimengerti oleh anak berumur 10 tahun, kami pun pindah ke Medan. Papa
meninggalkan pekerjaannya di Palembang dan mencari pekerjaan di Medan.
Awalnya kami tinggal di rumah sanak saudara karena kami belum mendapatkan
rumah. Dengan modal dari gaji Papa dan Mama sewaktu bekerja di Palembang,
kami mencari rumah dan untuk makan sehari-hari. Papa yang sibuk mencari
kontrakan meninggalkan aku, Mama dan adikku yang berumur 2 tahun lebih muda
dariku di rumah sanak saudara. Papa membayar uang makan yang cukup untuk
biaya makan satu keluarga yang tinggal di rumah ini selama seminggu perharinya.
Karena Papa tak mau menyusahkan mereka yang kami tumpangi. Namun kebaikan
hanya sekedar dijadikan pemanfaatan bagi mereka. Di saat kami akan makan

siang, lauk yang tadinya masih ada ketika Papa makan, seketika lenyap dari
peredaran. Padahal lauk itu banyak dan cukup untuk semua yang tinggal di rumah
ini. Namun kenapa seketika hilang? Hal ini terjadi tiap kali Papa pergi. Bahkan
entah bagaimana caranya mereka mengadudomba Papa dan Mama hingga mereka
bertengkar.
Cukup lama kami tinggal di sana dan persediaan keuangan kami pun menipis,
Papa tak juga mendapatkan pekerjaan di sini. Akhirnya setelah mandapatkan
rumah, kami pun menempati rumah baru. Kehidupan kami semakin parah ketika
keadaan ekonomi kami semakin tak bisa dijelaskan lewat kata-kata. Papa semakin
sering marah-marah, sedangkan Mama juga pusing menghadapi kami anak-anak
nya yang belum mengerti keadaan dan selalu merengek ketika sajian di rumah
semakin berbeda dari dulu ketika kami di Palembang. Orangtuaku yang dulu
sangat harmonis kini sudah sangat jauh, mereka hampir setiap hari bertengkar,
hingga membuat aku dan adikku terpojok di sudut dinding kamar ketakutan
sambil menangis.
Papa sekarang sering mabuk-mabukan. Hamba sudah tidak sanggup lagi
jika harus setiap hari melihat pemandangan yang seperti ini.. Doa yang selalu
kupanjatkan setiap kali aku shalat. Sambil menangis terisak aku menyelesaikan
doaku. Dengan harapan doaku akan segera terkabul. Namun adakalanya kita
diminta untuk bersabar agar diberikan jalan yang lebih indah. Meski masih harus
ada lagi air mata yang terbuang untuk menunggunya. Tapi aku harus menjadi
gadis kecil yang kuat dan juga menguatkan adikku.
Indeks prestasiku yang kini sudah urutan yang tak terhitung lagi, kini aku
bertekat untuk kembali merebutnya. Meski banyak ketertinggalan yang kualami
selama konsentrasiku terpecah kepada rusaknya keutuhan keluarga kami, kini aku
akan memperbaiki semuanya. Meski tak langsung mendapatkan peringkat 1 di

semester ini, setidaknya angka 10 besar sudah ku raih. Meski orangtuaku sudah
tak terlalu perduli lagi dengan prestasiku di sekolah, tapi aku selalu bercita-cita
membuat mereka bangga. Aku pun selalu memberikan semangat kepada adikku
untuk selalu giat belajar, karena aku sangat mengerti perasaannya yang juga haus
akan perhatian orangtua kami.
Hingga akhirnya kini aku sudah duduk di bangku SMA kelas 3 dan sebentar
lagi akan Ujian nasional. Awalnya aku bingung apakah aku harus melanjutkan
pendidikan ke universitas atau memilih untuk bekerja setelah lulus SMA. Melihat
adikku yang juga masih sekolah dan membutuhkan biaya, belum lagi biaya kuliah
yang sangat mahal saat ini. Darimana aku harus mengambil uang untuk biaya
kuliahku? Orangtuaku juga mengatakan bahwa mereka ingin agar aku bekerja
saja dan ikut membantu mereka untuk membiayai adikku sekolah. Sesungguhnya
aku sangat ingin kuliah dan mendapat gelar sarjana lalu bekerja di tempat yang
sesuai dengan pendidikanku. Tapi harapanku putus mendengar permintaan
orangtuaku.
Seperti biasanya aku pun duduk di jendela kamarku, menatap langit yang
begitu biru dan sedikit tertutup awan putih. Langit setiap harinya selalu berubah.
Kadang sangat terik dan bersinar, namun terkadang tertutup awan gelap.
Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan kehidupanku yang sama sekali tak
menunjukkan perubahan. Aku mulai letih dengan semua ini. Khayalku pun
melambung jauh hingga ke angkasa. Tiba-tiba saja aku sudah berada di suatu
Universitas yang aku impikan. Menjadi bagian dari mereka mengikuti kegiatan
belajar mengajar dan menjadi seorang mahasiswa baru. Tiba-tiba saja aku
dikagetkan oleh adikku yang melihatku sejak tadi tersenyum ke arah luar
jendela.

Kak, kok senyum-senyum sendiri sih? Awas ntar jadi gila loh... Tersadar aku
dari khayalan yang sudah terbang jauh dibawa angin sepoi yang melintasi jendela
kamarku.
Eh, Bila sudah pulang sekolah.
Kakak kenapa tersenyum melihat ke luar jendela? Padahal kan tidak ada apa-apa
di luar sana?
Tadi kakak berkhayal dik, lulus ke Universitas idaman kakak, senang sekali
rasanya kalau kakak bisa melanjutkan kuliah di sana.
Semoga kita bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi ya kak.
Amin, kita berdoa saja ya dik. Semoga Allah mendengar harapan kita.
Amin ya allah
Keesokan harinya, tiba-tiba aku mendapat informasi dari kepala sekolah
bahwa ada jalur beasiswa calon mahasiswa untuk siswa yang berprestasi namun
tidak mampu. Aku harus mencobanya benakku berkata. Dan secepat kilat aku
sampai di kantor guru dan mendaftarkan diri sebagai calon untuk mengikuti
beasiswa tersebut. Setelah pengumuman kelulusan sekolah, aku pun menunggu
pengumuman penerimaan jalur beasiswa. Dan ALHAMDULILLAH aku diterima di
fakultas keperawatan. Dan aku pun selalu memotivasi adikku untuk selalu giat
belajar agar dia bisa mendapatkan beasiswa sepertiku. Karena aku ingin sekali
nanti adikku kuliah di fakultas kedokteran. Waktu pun berlalu dan tiba giliran
adikku di posisi yang sama seperti diriku yang dulu. Dan dia lebih beruntung
dariku, adikku salsabila berhasil lulus di fakultas kedokteran sesuai dengan
keinginan kami. ALHAMDULILLAH..
Kami berdua kuliah di universitas yang sama, dan kini kami tak perlu takut
lagi dengan biaya pendidikan karena kini sudah ditanggung pemerintah. Beberapa

tahun kemudian aku lulus menjadi Nurse. Kini nama ku Sakura Schone, S.kep,
Ns dan 2 tahun kemudian disusul adikku dr. Salsabila khairah dan setelah lulus
kuliah aku mencari pengalaman bekerja sebagai perawat pelayanan di suatu
rumah sakit umum selama setahun. Kemudian aku mengikuti sebuah penyaringan
scholership dari Australia dan aku diterima untuk melanjutkan S2 di sana.
Sementara Adikku bekerja di rumah sakit umum di Medan. Setelah mendapat
gelar master aku pun kembali ke Medan dan menjadi dosen di beberapa
universitas dan akademik kesehatan. Keluarga kami kini harmonis. Tak ada hentihentinya aku bersyukur kepada Allah yang selalu memberikan aku dan keluargaku
kesabaran. Dan benar kata orang buah dari kesabaran itu manis rasanya. Aku
dan adikku membelikan Mama dan Papa sebuah rumah bertingkat yang cukup
layak untuk dihuni. Kami mengisi hari dengan senda gurau dan nyanyian-nyanyian
bahagia layaknya burung di petang hari.

Adakalanya Sakura tidak tumbuh di musim semi. Adakalanya Sakura tidak


tumbuh di Jepang. Dan adakalanya Sakura tidak tumbuh di tempat yang indah.
Karena Aku adalah Sakura yang menjelma menjadi TERATAI.

sekian....
karya : Yuli Anita Tarigan

Anda mungkin juga menyukai