Anda di halaman 1dari 26

PANCASILA

Latar Belakang, Dasar Pemikiran, dan Tujuan Perubahan UUD 1945


Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden
setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran yang dimotori oleh mahasiswa, pemuda dan
berbagai komponen bangsa lainnya di Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Era ini kemudian
menjadi awal mula lahirnya era reformasi di Indonesia yang kemudian memberikan harapan besar
bagi terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan,
dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan
berpendapat. Pada awal reformasi, berkembang dan populer di masyarakat banyakanya tuntutan
reformasi yang di desakkan oleh berbagai komponen bangsa, terutama mahasiswa dan pemuda.
Tuntutan itu antara lain:
1.
2.
3.
4.

Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Penghapusan doktrin dwifungsi-fungsi politik dan pertahanan-ABRI
Penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM serta pemberantasan KKN
Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah atau adanya otonomi
daerah.
5. Mewujudkan kebebasan pers
6. Mewujudkan kehidupan demokrasi.
Tuntutan perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang digulirkan dari berbagai kalangan
masyarakat dan kekuatan sosial politik didasarkan pada pandangan bahwa UUD NRI Tahun 1945
belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan masyarakat, dan
penghormatan HAM. Selin itu didalamnya juga terdapat pasal-pasal yang multi tafsir dan membuka
peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN yang
menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.
Tuntutan ini merupakan suatu langkah terobosan yang mendasar karena pada era
sebelumnya tidak dikehendaki adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945. Sikap politik pemerintah
pada waktu itu diperkukuh dengan dasar hukum Ketetapan MPR nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang berisi kehendak untuk tidak melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945.
Apabila muncul kehendak mengubah UUD NRI Tahun 1945, terlebih dahulu harus dilakukan
referendum dengan persyaratan yang sanfat ketat sehingga kecil kemungkinannya untuk berhasil
sebelum usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 diajukan ke sidang MPR untuk di bahas dan diputus.
Dalam perkembangannya, tuntutan itu diwujudkan secara komperhensif, bertahap, dan
sistematis dalam empat kali perubahan UUD NRI Tahun 1945 sejak tahun 1999 hingga tahun 2002.
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan oleh MPR sesuai dengan kewenangannya yang
diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa MPR
berwenang mengubah dan menetapkan UUD dan untuk mengubah UUD, sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota MPR harus hadir. Putusan diambil apabila dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR, selain merupakan perwujudan
tuntutan reformasi juga sejalan dengan pidato Ir. Soekarno, Ketua Panitia Penyusun UUD NRI
Tahun 1945 dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus
1945. Pada saat itu beliau mengutarakan , Bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar
Sementara, Undang-undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula revolutiegrondwet-revolution constitution. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih sempurna dan
lengkap.

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 merupakan upaya penyempurnaan aturan dasar guna
lebih memantapkan usaha pencapaian cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUR NRI Tahun 1945. Selain itu, perubahan UUD NRI
Tahun 1945 memenuhi sila keempat Pancasila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang penerapannya berlangsung didalam
sistem perwakilan atau permusyawaratan. Orang-orang yang duduk di dalam merupakan hasil
pemilihan umum yang selaras dengan perubahan UUD NRI Tahun 1945 mengenai pemilihan
presiden dan wakil presiden serta anggota lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat.
Perubahan UUD NRI dilakukan secara bertahap sebanyak emoat kali karena mendahulukan
pasal-pasala yang telah disepakati oleh semua fraksi MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan
terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan pertama dilakukan
pada Sidang Umum MPR tahun 1999, kemudian dilanjutkan dengan perubahan kedua pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2000, perubahan ketiga pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001, dan
perubahan keempat pada sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Dapat di poinkan bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh hal-hal
sebagai berikut:
1. UUD NRI Tahun 1945 memebentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada
kekuasaan tertinggi ditangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal
ini berakibat pada tidak terjadinya saling mengawasi dan mengimbangi (check and
balances) pada institusi-institusi ketatanegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada
MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan
tidak ada hubungannya dengan rakyat.
2. UUD NRI Tahun 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif/presiden, sebab sistem yang dulu dianut adalah dominan eksekutif
yakni kekuasaan berada di tangan presiden dan pada dirinya terpusat kekuasaan
menjalankan pemerintahan yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim
disebut hak prerogatif (memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi) dan kekuasaan
legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Dua cabang kekuasaan
negara yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda,
tetapi nyatanya berada di tangan presiden yang menyebabkan tidak bekerjanya sistem
check and balances dan berpotensi menyebabkan lahirnya pemerintahan otoriter.
3. Adanya pasal-pasal yang terlalu luwes sehingga dapat menimbulkan multi tafsir. Misalnya
pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diubah yang berbunyi Presiden dan wakil presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Rumusan pasal itu ditafsirkan lebih dari satu, yakni bahwa presiden dapat dipilih berkalikali dan tafsir kedua adalah bahwa presiden dan wakilnya hanya boleh memangku jabatan
sebanyak 2 kali masa periode pemerintahan dan sesudahnya tidak dapat dipilih kembali.
Contoh lain adalah pasal 6 ayat 1 yang berbunyi, Presiden ialah orang Indonesia asli
dalam undang-undang dasar tidak dijelaskan kriteria orang Indonesia asli. Akibatnya
menimbulkan tafsiran beragam tentang siapakah orang Indonesia asli yang dimaksudkan.
4. UUD NRI memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengatur hal-hal penting
dengan undang-undang. Sehingga menyebabkan pengaturan mengenai MPR, DPR, BPK, MA,
HAM, dan pemerintah daerah disusun oleh kekuasaan presiden dalam bentuk RUU ke DPR.
5. Rumusan UUD NRI Tahun 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup
didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang
demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM, dan otonomi

daerah. Hal ini membuka peluang bagi perkembangan praktik penyelenggaraan negara
yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara,
sehingga kekuasaan terpusat di tangan presiden.
b. Infrastruktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
c. Pemilu dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena
seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan pasal 33 UUD NRI tahun 1945 tidak tercapai,
justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli, dan monopsoni.
Tujuan Perubahan UUD NRI tahun 1945.
Tujuan perubahan tersebut dapat ditulis dalam 7 poin berikut,
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai ketatanegaraan dalam mencapai tujuan
nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan memperkokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat
serta memperluas partisispasi rakyat agar sesuai dengan paham demokrasi
3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan perlindungan HAM agar sesuai
paham HAM dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu
negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD NRI tahun 1945
4. Menyempurnakan aturan dasar mengenai penyelenggaraan negara secara demokratis
dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling
mengawasi dan mengimbangi yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan
lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan
bangsa dan tantangan zaman.
5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara
mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika,
moral, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perwujudan negara sejahtera
6. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi
eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan
wilayah negara dan pemilu.
7. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan berbangsan dan bernegara sesuai
dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara
Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu
yang akan datang.
Dalam proses perubahan ini, yang menjadi obyek perubahan adalah UUD NRI tahun 1945
yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh DPR
sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara nomor 75 Tahun 1959. Pada pelaksanaannya
maka, disusunlah kesepakatan dasar yang berkaitan dengan perubahan UUD NRI tahun 1945 yaitu:
1. Tidak mengubah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normatif yang
mendasari seluruh pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, serta mengandung staatsidee
berdirinya NKRI, tujuan/haluan negara serta dasr negara yang harus tetap
dipertahankan.
2. Tetap mempertahankan NKRI

Didasari bentuk pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang sejak awal
sudah ditetapkan dan dipandang sebagi yang paling tepat untuk mewadahi ide
persatuan bangsa ditinjau dari latar belakang berdirinya.
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
Hal ini untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis.
4. Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif dimasukkan kedalam
pasal-pasal.
Dimaksudkan untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status Penjelasan
dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan
5. Melakukan perubahan dengan cara adendum.
Artinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan dengan tetap mempertahankan
naskah asli, sedangkan naskah perubahan dilekatkan pada naskah asli.
Ketentuan umum dalam proses perubahan UUD NRI Tahun 1945:
1. Secara resmi kata yang dipakai adalah perubahan. Istilah amandemen merupakan
istilah yang hanya digunakan oleh LSM, kalangan akdemis, serta orang asing.
2. Penyebutan UUD 1945 secara resmi adalah Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Penyebutan resmi ini diputuskan pada sidang paripurna majelis
pada sidang tahunan MPR tahun 2000
3. Dalam melakukan perubahan, menggunakan cara adendum. Yaitu naskah asli UUD NRI
Tahun 1945 dibiarkan utuh sementara perubahan dilekatkan pada naskah asli.
4. Penyebutan nama UUD NRI Tahun 1945 telah termasuk perubahannya.
5. Kata Pembukaan merupakan penyebutan resmi untuk menyebut pembukaan UUD NRI
Tahun 1945
6. UUD NRI Tahun 1945 ini terdiri dari 2 bagian, yaitu Pembukaan dan Pasal-pasal. Istilah
Batang Tubuh sudah tidak digunakan lagi
Hasil Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
No
Bab
Pasal
Ayat
Aturan
Peralihan
1
Sebelum
16
37
49
4 pasal
Perubahan
2
Setelah
21
73
170
3 pasal
Perubahan

Aturan
Tambahan
2 ayat
2 pasal

Namun, berdasarkan pemikiran beberapa ahli tentang adanya perubahan UUD NRI Tahun
1945, maka diperkiraan terdapat 2 kesalahan mendasar prinsip dalam proses perubahan UUD NRI
Tahun 1945, yaitu:
1. KESALAHAN SUBSTANTIF, adalah kesalahan yang terdapat dalam hasil-hasil perubahan, yang
merupakan kesalahan pokok substantif. Hilangnya semangat kebangsaan. Bahwa hasil hasil
perubahan/ Amandemen sampai tahap ketiga telah mendistorsi semangat kebangsaan menjadi
semangat kedaerahan. Bahwa kepentingan daerah harus diakomodasi oleh kepentingan nasional,
itu jelas; tetapi yang dimunculkan oleh perubahan sampai tahap ke III adalah sebuah kemunduran.
Semangat kebangsaan telah direduksi sedemikian jauh. Jauh meninggalkan cita-cita Nasional.
Kentalnya muatan kepentingan sesaat. Bahwa UUD haruslah dipersiapkan untuk mampu
mengantisipasi perubahan dan tantangan jaman kedepan, sambil menjelaskan arah kemana bangsa
ini akan bergerak. Sampai perubahan ke III, warna kepentingan sesaan sangat nampak. Muncul

akibat ketakutan yang berlebihan terhadap isu sentralisme. Bahwa akar dari nasionalisme adalah
persatuan nasional, dijawab oleh perubahan I-II-III UUD 45 sebagai kecurigaan nasional.
Kecurigaan yang berlebihan muncul dan diwujudkan dengan mengamankan kepentingan masingmasing. Ketidakjelasan atas ide bentuk pemerintahan, dijawab dengan munculnya pasal-pasal
dominasi legislatif misalnya. Ketidak jelasan arah terhadap bentuk negara dan bentuk
pemerintahan. Bahwa tiap negara mempunyai ke-khas-an dalam sistem kenegaraannya haruslah
diakui. The Founding Fathers Indonesia telah menetapkan pondasi yang cukup kokoh dalam
pembacaan ke-khas-an sosiologi politik masyarakat Indonesia. Yang nampak dalam Perubahan I-III
UUD 45 adalah adopsi sepotong-sepotong terhadap berbagai sistem pemerintahan negara lain, dan
melupakan origin sosio-kultural-politik bangsa Indonesia. Yang terjadi akhirnya bukan penguatan
konsep Negara Kesatuan berbentuk Republik dengan sistem Pemerintahan Presidensiil , tetapi
yang muncul kemudian adalah Negara Federal berbentuk Republik dengan sistem Pemerintahan
Tidak Jelas Arah. Bentuk negara apapun akan cocok JIKA cocok (match) dengan kharakteristik geopolitik dan sosio-kultural-politik negara yang bersangkutan. Dan Indonesia, satu satunya negara
kepulauan terbesar dengan penduduk terbesar sudah harus sadar untuk menemukan ciri diri
sendiri, bukan dengan semangat inferior meniru konsep negara lain yang jelas berbeda geo-politiknya.
2. KESALAHAN PROSES, adalah kesalahan yang terjadi dalam proses dirubahnya UUD 1945, yang
akan bisa jadi berpengaruh terhadap output yang dihasilkan. Semangat Amandemen UUD 1945
direduksi hanya menjadi urusan MPR semata, bahkan telah direduksi hanya menjadi urusan
PAH I semata. Amandemen UUD, secara prinsip, jelas akan mempengaruhi seluruh sendi-sendi
kehidupan bernegara, sehingga seharusnya seluruh warga negara berhak turut dalam proses
usulan, penolakan, maupun tuntutan atas perubahan-perubahan yang dilakukan. Tidak fokus.
Perubahan I-III UUD 45 dari proses berjalannya tidak fokus. Terlalu banyak yang disoroti sehingga
akhirnya memunculkan bias, memunculkan ketidak jelasan. Di semua negara-negara demokratik,
hubungan penataan pembahasan, baik dari bab ke bab, maupun dari pasal ke pasal, termasuk
bagian penjelasannya merupakan suatu susunan yang utuh dan terintegrasi. Ini tidak terjadi di
perubahan I-III UUD 45, justru yang terjadi adalah perloncatan pembahasan, tidak runtut,
ketiadaan penjelasan, dan jelas kemudian akan nampak: Tidak Fokus. Terlalu cepat. Pembahasan
perubahan I-III memakan waktu yang sangat cepat, terkesan memaksakan kehendak bahwa
perubahan ini kemudian harus dipakai pada pemerintahan hasil pemilu 2004. Sehingga
melupakan proses bahwa TIDAK PERNAH di negara manapun ada perubahan UUD yang begitu
drastis seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini.
GARIS BESAR AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945
Salah satu agenda reformasi 1998 adalah reformasi hukum yang mana mencakup perubahan
terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Dalam sidang MPR 1999 seluruh anggota dan pimpinan
MPR sepakat mengamandemen UUD 1945 dengan catatan:
1.
2.
3.
4.
5.

Amandemen tidak mengubah bentuk negara Kesatuan RI.


Tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
Tetap mempertahankan sistem presidensial.
Amandemen dilakukan secara adidum.
Penjelasan UUS 1945 yang bernilai positif ditarik ke dalam batang tubuh.

A. PENGERTIAN AMANDEMEN

Arti amandemen secara umum adalah perubahan resmi dokumen resmi atau catatan
tertentu, untuk memperbaikinya. Perubahan ini dapat berupa penambahan atau juga
penghapusan catatan yang salah dan tidak sesuai lagi.
Amandemen UUD adalah perubahan konstitusi yang mana perubahannya tidak banyak,
bersifat teknis, prosedural yang tidak mempengaruhi paradigma pemikiran UUD.
B. TUJUAN AMANDEMEN
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia.
3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara
terhadap warga negara.
4. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara yang
demokratis.
5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai
dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara.
C. GARIS BESAR AMANDEMEN UUD 1945
Amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 kali. Keempat tahap amandemen tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Amandemen pertama, dalam sidang umum MPR Oktober 1999
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 terjadi pada tanggal 19 Oktober 1999 dalam
sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober 1999. Secara garis besar
amandemen ini ditujukan untuk mengurangi kewenangan presiden dan lebih
memberdayakan peran DPR sebagai lembaga legislatif. Yang diamanademen pada kali ini
adalah pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17, pasal 20 dan pasal 21.
Amandemen pertama menyakut 5 persoalan pokok. Kelima persoalan itu meliputi:
a.

perubahan tentang lembaga pemegang kekuasaan membuat undang-undang,

b.

perubahan tentang masa jabatan presiden,

c.

perubahan tentang hak prerogatif presiden,

d.

perubahan tentang fungsi menteri,

e.

perubahan redaksional.

2. Amandemen kedua, dalam sidang tahunan MPR tahun 2000


Perubahan kedua ini dilakukan pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Secara garis besar
perubahan mengenai pemerintah daerah, wilayah negara, DPR, warga negara dan
penduduk, hak azasi manusia, pertahanan dan keamanan negara, dan lambang negara serta
lagu kebangsaan.
Yang diamanademen antara lain pasal 18 A-B, pasal 19, pasal 20, pasal 22, pasal 25,
pasal 26, pasal 27, pasal 28 A-J, pasal 30 dan pasal 36 A-C.

3. Amandemen ketiga, dalam sidang tahunan MPR Oktober 2001


Ditetapkan pada 9 november 2001. Secara garis besar amandemen meliputi:
a.

Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan menurut UUD (pasal 1 ayat 2)

b.

Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal1 ayat 3)

c.

Tugas MPR mengubah dan menetapkan undang-undang (pasal 2 ayat 1)

d.

MPR melantik presiden dan wakil presiden (pasal 3 ayat 2)

4. Amandemen keempat, dalam sidang tahunan MPR Agustus 2002


Dilakukan dalam sidang umum MPR bulan agustus 2002, meliputi hal-hal berikut:
a.

Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung (pasal 6; pasal 8)

b.

Pengangkatan DPD (pasal 22)

c.

Pendidikan nasional (pasal 31)

d.

Kebudayaan nasional (pasal 32)

e.

Perekonomian nasioanl (pasal 33)

f.

Kesejahteraan sosial (pasal 34)

Secara garis besar, UUD 1945 yang telah mengalami amandemen mulai dari yang pertama
hingga keempat yaitu:
1. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan diatur menurut undang-undang (pasal 1)
2. MPR merupakan lembaga bikameral yang terdiri atas DPR dan DPD (pasal 2)
3. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat (pasal 6A)
4. Presiden memegang jabatan selama 5tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya
untuk satu kali masa jabatan (pasal 7)
5. Pencantuman Hak Asazi Manusia (pasal 28 A-J)
6. Penghapusan DPA sebagai lembaga tinggi negara, sebagai gantinya presiden dapat
membentuk dewan pertimbangan (pasal 16)
7. Presiden bukan mandataris MPR, dengan demikian MPR tidak lagi menyusun GBHN
8. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) (Pasal 24B dan 24C)
9. Anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN (pasal 31)
10. Negara kesatuan tidak boleh diubah (pasal 37)

11. Penegasan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan,


berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (pasal 33)
Pertanyaan pertanyaan
1. Apa
yang
dimaksud
dengan
hak
prerogatif
presiden?
Mengapa dilakukan amandemen? Jelaskan! (Sutan)
2. Mengapa GBHN diamandemen dan apa yang terjadi ketika GBHN dirubah atau ditiadakan?
(Tubagus Singgih)
3. Apa yang mendasari perubahan pasal 16? Mengapa DPA dihapuskan? (Tyastiti Soraya)
Jawaban
1. Prerogatif berasal dari bahasa latin praerogativa (dipilih sebagai yang paling dahulu
memberi suara), praerogativus (diminta sebagai yang pertama memberi suara), praerogare
( diminta sebelum meminta yang lain).
Dalam prakteknya kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan
istilah hak prerogatif Presiden dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang
tidak dapat diganggu oleh pihak lain.
Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh
lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat
oleh lembaga negara yang lain.
Mengapa dilakukan amandemen ?
Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara
baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang
dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan
oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya
seperti membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi.

Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model


kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak
dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat.
Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi
bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan.
UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur
tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden. Namun dalam
prakteknya, selama orde baru, hak ini dilakukan secara nyata, misalnya dalam hal pengangkatan
menteri-menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah Presiden sebagai
kepala negara yang sering dinyatakan dalam pengangkatan pejabat negara. Dalam hal ini Padmo
Wahjono menyatakan pendapatnya yang akhirnya memberikan kesimpulan bahwa hak prerogatif
yang selama ini disalahpahami adalah hak administratif Presiden yang merupakan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol lembaga negara lain.
2. Mengapa GBHN dirubah?
Karena GBHN tidak memberikan kebebasan suatu daerah untuk membangun
daerahnya, sehingga GBHN pada waktu itu dihapuskan dan digantikan dengan otonomi daerah

yang membolehkan suatu daerah untuk membangun daerahnya agar menjadi lebih baik. Namun
yang terjadi akibat GBHN dihapuskan adalah pembangunan menjadi tidak merata
3.
Dari Rancangan Perubahan Keempat UUD 1945 yang dibacakan oleh Ketua PAH I diketahui
bahwa Bab IV tentang DPA dihapus, sehingga Pasal 16 yang semula mengatur tentang keberadaan
DPA menjadi Bab III dan bunyi Pasal 16 pun diubah. Adapun bunyi Pasal 16 adalah: Presiden
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. Dengan demikian keberadaan
DPA sebagai lembaga tinggi negara dihapus dan akan digantikan oleh suatu dewan pertimbangan
yang dibentuk oleh Presiden. Di samping itu, dalam Rancangan Perubahan Keempat UUD 1945
khususnya dalam Aturan Peralihan ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi harus dibentuk
selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003. Dan selama belum dibentuk, fungsi Mahkamah
Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Agung.

PERBANDINGAN LEMBAGA KEHAKIMAN SEBELUM DAN SETELAH AMANDEMEN DAN


URGENSINYA
I.

Latar Belakang amandemen lembaga kehakiman


Kekuasan kehakiman menurut UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman (Pasal 24 (1)). Kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas
badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamah agung. Lembaga ini dalam tugasnya
diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang
kekuasaan lainnya, terutama eksekutif. Namun didalam perjalanannya, mahkamah agung ternyata
banyak dipengaruhi oleh pemerintah. Mahkamah agung tidak dapat bergerak dengan bebas dan
independent. Intervensi itu berjalan ketika ada kepentingan nyata pemerintah terhadap objek
putusan yang nantinya akan mempengaruhi dinamika dan kestabilan politik dalam negeri. Misalnya
kasus oknum yang dipenjara karena pidato politiknya yang mengkritik pemerintah, dalam kasus itu
putusan pengadilan sudah diketahui, sehingga prosedur pengadilan tinggal-lah sandiwara belaka.
Perlawanan yang dilakukan untuk mengatasi keterpurukan sistem hukum itu, tidak-lah
terlalu berarti sebab saluran-saluran perlawanan itu telah disumbat dengan berbagai cara dan
pendekatan pemerintah orde baru. Peran mahasiswa dan pers sebagai salah satu pilar demokrasi
disumbat independensinya, yang apabila ada kekritisan dari mereka, maka harus berhadapan
dengan penguasa dalam hal ini pengadilan yang didesain menghancurkan perlawanan musuhmusuh politik orde baru. Keterpurukan keadaan itu, akhirnya mencapai puncaknya dengan
kemarahan rakyat yang memaksa Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya pada tahun 1998.
Selanjutnya pada tahun 1999 dimulai amandemen pertama UUD yang terus berlanjut sampai
amandemen keempat tahun 2002. Setelah amandemen, kekuasaan kehakiman ini selain dilakukan
oleh Mahkamah Agung juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Dengan diamandemennya UUD 1945, maka posisi hakim agung menjadi kuat karena
mekanisme pengangkatan hakim agung diatur sedemikian rupa dengan melibatkan tiga lembaga,
yaitu DPR,, Presiden dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini memang merupakan lembaga baru
yang sengaja dibentuk untuk menangani urusan terkait pengangkatan hakim agung serta
penegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1) perubahan
ketiga UUD 1945). Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR (Pasal 24B ayat (3) perubahan ketiga UUD 1945).

Berdasarkan hal tersebut diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 dan
perubahan-perubahannya itu telah mengatur mekanisme penyelenggaraan ketatanegaraan, yang
terkait dengan hubungan kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif secara seimbang. Atau
dengan kata lain, terdapat hubungan atau keterikatan antara ketiga lembaga tersebut.
II.

Tujuan Amandemen UUD 1945 tentang Lembaga Kehakiman


Tujuan utama dari amandemen pasal UUD 1945 yang berhubungan dengan lembaga
kekuasaan lembaga kehakiman yaitu untuk mempertegas posisi kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan yang merdeka dan pengaturan yang lebih lengkap tentang wewenang dari masingmasing lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman serta mekanisme pengisian anggota dari
badan-badan kekuasaan kehakiman itu. Hal ini penting karena kekuasaan kehakiman yang bebas
harus dijamin dan diatur secara tegas dalam undang-undang dasar agar tidak disalahgunakan.

III.

Hasil Amandemen UUD 1945 tentang Lembaga Kehakiman


Sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat mendasar
terutama sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR pasca Orde Baru. Sejak
lengsernya Orde Baru, telah terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Sebelum perubahan UUD
1945, alat-alat kelengkapan negara dalam UUD 1945 adalah Lembaga Kepresidenan, MPR, DPA,
DPR, BPK, dan Kekuasaan Kehakiman. Setelah amandemen keseluruhan terhadap UUD 1945, alat
kelengkapan negara yang disebut dengan lembaga tinggi negara menjadi delapan lembaga, yakni
MPR, DPR, DPD, dan Presiden, MA, MK, KY, dan BPK. Kekuasaan kehakiman dalam konteks negara
Republik Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan kehidupan
ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.
Kekuasaan lembaga kehakiman sebelum amandemen tercantum dalam pasal 24 ayat 1 dan
ayat 2 UUD 1945 yang kemudian diamandemen menjadi pasal 24 ayat 1, 2 dan 3, pasal 24A ayat
1,2,3,4, dan 5, pasal 24B ayat 1,2,3, dan 4, pasal 24C ayat 1,2,3,4,5, dan 6 UUD 1945. Berikut pasal
24 UUD 1945 tentang kekuasaan lembaga kehakiman sebelum amandemen.
Pasal 24
(1) Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Rumusan perubahan / amandemen.
Pasal 24
(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.*** )
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang.** **)
Pasal 24A

(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang.*** )
(2) Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional,
dan berpengalaman di bidang hukum.***)
(3) Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.*** )
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.***)
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan
di bawahnya diatur dengan undang-undang.***)
Pasal 24 B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.***)
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum
serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.*** )
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.*** )
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.*** )
Pasal 24C***
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.*** )
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar.*** )
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ***)
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.***
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan
yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
negara.*** )
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.***)
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu dimaksudkan
untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun,
guna menegakkan hukum dan keadilan. Pada Pasal 24 ayat (2) dibentuk satu lembaga peradilan
baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), selain badan kekuasaan kehakiman yang telah ada, yaitu
Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Wewenang dan hal lain yang
terkait dengan MK diatur dalam Pasal 24C. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar hukum
keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga
penyidik dan lembaga penuntut. Pencantuman Pasal 24 ayat (3) di atas juga untuk mengantisipasi
perkembangan yang terjadi pada masa yang akan datang, misalnya, kalau ada perkembangan

badan-badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan
yang sudah ada itu diatur dalam undang-undang.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan
kewenangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Perubahan ketentuan mengenai MA dilakukan atas pertimbangan
untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja MA.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan
kewenangan Komisi Yudisial (KY) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24B ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4). Ketentuan ini didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di MA dan para
hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan
keadilan. Hakim Agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan di
Indonesia sehingga ia menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan. Sebagai negara hukum,
masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan hal yang sangat
strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham
Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga di bidang kekuasaan
kehakiman bernama Komisi Yudisial (KY).
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan
kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan
dengan dianutnya paham negara hukum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak boleh ada
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membutuhkan sebuah
mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. MK-lah yang bertugas
menjaga konstitusionalitas hukum tersebut.
IV. Perbandingan lembaga kehakiman sebelum dan sesudah amandemen
Dalam sistem Trias Politika dikenal istilah pembagian kekuasaan yaitu Eksekutif, Legislatif
dan Yudikatif dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan tugas dan wewenang di masing
masing lembaga. Dalam perkembangannya, ketiga lembaga tersebut memiliki catatan tersendiri.
Hal ini juga dikarenakan adanya perubahan sistem pemerintahan yang terjadi dalam kurun waktu
64 tahun sejak Indonesia merdeka. Masing masing lembaga tersebut pernah mengalami
perubahan, baik dalam hal kedudukan maupun tugas dan kewenangan.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut adalah adanya perubahan
dalam konstitusi atau UUD yang digunakan. Perubahan tersebut sangat mempengaruhi sistem
pemerintahan. Perubahan yang sangat signifikan terjadi setelah lengsernya era orde baru dan
dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Perubahan tersebut dapat dilihat dari sistem
ketatanegaraan kita, terutama yang menyangkut kedudukan dan kewenangan lembaga tinggi
negara. Lembaga yudikatif menjadi lembaga yang mengalami perubahan cukup signifikan dari segi
kelembagaan, terutama karena dibentuknya lembaga lembaga baru yang memiliki kewenangan
tersendiri.
a. Sebelum Amandemen
Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi dan lembaga
tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut. Undang-Undang Dasar
merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR
(Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5
Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).

Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan


kehakiman. Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman dan bebas dari pengaruh cabangcabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai lembaga tinggi
negara, tugas dan kewenangan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif sebelum
amandemen UUD 1945 diatur dalam Pasal 24 UUD 1945. Mahkamah Agung berwenang dalam
kekuasaan kehakiman secara utuh karena lembaga ini merupakan lembaga kehakiman satusatunya di Indonesia pada saat itu.
b. Setelah Amandemen
Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan kehidupan ketatanegaraan dalam
pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman dilaksanakan pertama oleh mahkamah agung dan badan peradilan yang
ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara.
Kedua oleh mahakamah konstitusi.
Disamping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945
juga mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, yaitu Komisi Yudisial (KY), lembaga ini bersifat mandiri, dan mempunyai wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan juga mempunyai wewenang lain dalam rangka
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.

Mahkamah Agung (MA)


MA merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman disamping
itu sebuah mahkamah konstitusi diindonesia (pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen ).
Dalam melaksanakan kekusaan kehakiman, MA membawahi beberapa macam lingkungan
peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata
usaha negara( Pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen). Tugas Mahkamah Agung adalah
mengawasi jalannya undang-undang dan member sanksi terhadap segala pelanggaran
terhadap undang-undang. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung.

Menurut UUD 1945 kewajiban dan wewenang Mahkamah Agung (MA) adalah sebagai
berikut :
o Fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang
seperti Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
o Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
Undang-Undang
o Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
o Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
Mahkamah Konstutusi (MK)
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga baru yang diperkenalkan oleh
perubahan ketiga UUD 1945 atau setelah amandemen. Salah satu yang menyebabkan
lahirnya lembaga ini adalah, karena tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Maka apabila
terjadi persengketaan antar lembaga tinggi negara, diperlukan sebuah lembaga khusus yang
menangani sengketa tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi
berkedudukan di ibu kota negara.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjaga kemurnian
konstitusi (the guardian of the constitution). Inilah salah satu ciri dari sistem
penyelenggaraan kekuasaan negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembagalembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan
konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan diluruskan oleh
Mahkamah konstitusi melalui proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim kontitusi yang
ditetapkan dengan keputusan presiden. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang
ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh orang
anggota hakim konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi
untuk masa jabatan selama tiga tahun. Hakim konstitusi adalah pejabat negara. Sesuai
dengan Pasal 24 C UUD 1945 maka wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi, antara
lain sebagai berikut:

Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap UUD;
o Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD;
o Memutuskan pembubaran partai politik;
o Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
o Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menurut UUD.
Komisi Yudisial (KY)
Pembentukan Komisi Yudisial oleh UUD 1945 dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa
kekuasan kehakiman yang merdeka tidak bisa dibiarkan menjadi sangat bebas tanpa dapat
dikontrol dan diawasi, walaupun pengawasan itu sendiri dalam batas-batas tertentu. Itulah
sebabnya dibentuk Komisi Yudisial dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran, martabat serta perilaku hakim serta mengusulkan pengangkatan hakim agung. Komisi
Yudisial (KY) adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya
bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnnya. Dibentuknya komisi yudisial dalam
struktur kehakiman di Indonesia, adalah agar warga masyarakat diluar lembaga struktur resmi
lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan
o

kemungkinan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan , keluhuran martabat, serta prilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi
Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Anggota
Komisi Yudisial terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota, dan tujuh orang anggota. Masa jabatan anggota Komisi Yudisial lima
tahun. Wewenang dari Komisi Yudisial ( KY ):
o Mengusulkan pengangkatan hakim agung;
o Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
o Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama
dengan Mahkamah Agung;
o Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
(KEPPH).
Dalam menjalankan tugasnya komisi yudisial melakukan pengawasan terhadap :

Hakim Agung dan Mahkamah Agung.


Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah
mahkamah agung, seperti peradilan umum,agama, militer, dan badan peradilan lainnya.
Hakim Mahkamah Konstitusi.

Tabel Perbandingan Lembaga Kehakiman Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945.
Sebelum Amandemen UUD 1945

Kekuasan kehakiman dilakukan


oleh sebuah Mahkamah Agung
dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang.

Susunan dan kekuasaan badanbadan kehakiman itu diatur


dengan undang-undang.

Sesudah Amandemen UUD 1945


Kekuasaan
Kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi
Lahir dua Lembaga baru dalam rangka
mempertegas posisi kekuasaan kehakiman
sebagai kekuasaan yang merdeka yaitu
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
yang Penjelasan,Tugas dan kewenangannya
termaktub dalam pasal 24 B dan pasal 24 C

Warga Negara
Rakyat didefinisikan sebagai segenap penduduk suatu negara (KBBI, 1988: 722). Sementara
itu, yang dimaksud dengan bukan penduduk ialah orang yang tinggal sementara di wilayah
tersebut. Selanjutnya penduduk dibedakan antara warga negara dan bukan warga negara atau

warga negara asing. Warga Negara (citizens, citoyen, staatsburger) adalah peserta dari otoritas
Negara. Istilah ini bermula dari keinginan manusia mempersatukan diri dalam kebersamaan, semua
daya kekuatan ditempatkan dibawah kehendak umum sebagai satu kekuatan kelompok. Jadi
bermula dari pribadi umum (public person) membentuk persatuan semua orang yang disebut
kota (city), dan sekarang disebut republik atau negara hukum (body politic), yakni kumpulan
manusia dalam suatu negara. Unit ini oleh warganya disebut negara (state), apabila bersifat pasif,
sedangkan bila bersifat aktif disebut penguasa (souvereign).
Kaula Negara (subject, sujet, onderdaan) adalah mereka yang ditundukkan oleh Negara
(dalam hal ini adalah raja/dinasti).
Pada masa lampau Negara diidentikkan dengan
penguasa/hukum negara. Istilah itusekarang dipakai untuk warga negara kerajaan. Namun, tidak
berarti bahwa kebesannya tidak lebih jelek dari suatu Negara bukan kerajaan.
Untuk menentukan kewarganegaraan dikenal ada 2 (dua) pendekatan, ditinjau dari segi
kelahiran dan segi perkawinan.
1. Dari kelahiran ada dua pendekatan asas kewarganegaraan (Soetoprawiro, 1966: 10):
a. Ius Sanguinis (law of blood) Dalam asas ini kriteria kewarganegaraan ditentukan
berdasarkan garis orang tua si anak.
b. Ius Soli (law of soil). Dalam asas ini seseorang diakui kewarganegaraannya berdasarkan
tempat dilahirkan, meski orang tuanya adalah warga negara asing.
Kedua asas itu dapat digunakan bersama dengan mengutamakan salah satu, namun dengan
tidak menanggalkan kewarganegaraan yang lainnya.
Sebagai akibatnya terjadi dwi
kewarganegaraan (bipatride) dan sebaliknya dapat saja seseorang tidak memiliki
kewarganegaraan (apatride). Hal itu biasanya diselesaikan dengan menggunakan hak opsi
yaitu hak memilih kewarganegaraan dan dan hak repudansi (hak menolak kewarganegaraan).
Cara lain untuk memperoleh kewarganegaraan melalui cara naturalisasi yaitu melalui proses
hukum dengan syarat-syarat tertentu.
2. Dari segi perkawinan dengan dasar:
a. Kesatuan hukum, dalam kaitan ini isteri mengikuti kewarganegaraan suami, apabila terjadi
perkawinan antar bangsa (campuran).
b. Persamaan derajat, dalam kaitan ini kewarganegaraan isteri tidak hilang setelah
perkawinan campuran.
II. II.

Warga Negara Indonesia


Pascaperang Dunia II, banyak berdiri negara nasional baru. Negara-negara tersebut
umumnya adalah negara merdeka, setelah sekian tahun dijajah oleh dinasti-dinasti Eropa. Masa
pemerintahan kolonial, penduduk asli kawasan itu pada umumnya diposisikan pada strata
terendah kaula negara oleh para penguasa asing. Setelah merdeka penduduk asli/pribumi menjadi
penguasa baru. Demikian pula yang terjadi di negara kita, dimana kaum pribumi pada posisi strata
ketiga setelah keturunan Eropa dan Timur Asing. Hal itu perlu penentuan yang tepat agar negara
yang baru dibentuk tidak timbul persoalan.
Persoalan yang timbul pada tiap negara yang baru merdeka adalah kemungkinan
disintegrasi rakyat/bangsa. Hal itu disebabkan penduduk negeri yang baru merdeka terdiri dari
beberapa strata sosial yang diciptakan berbeda oleh Pemerintah Jajahan. Mereka kini diberikan
status yang sederajat di Negara Republik Indonesia. Dengan demikian mereka akan merasa
memiliki dan sekaligus mencintai negaranya. Apabila mereka dalam status yang sama
kemungkinan disintegrasi akan menjadi kenyataan. Pada kenyataannya ketiga strata kaula negara
bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Untuk menentukan status kewarganegaraan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia
menjabarkan pasal 26 UUD-1945 dengan UU no. 3/1946 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Melalui UU tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menggunakan pendekatan ius soli

untuk menentukan kewarganegaraan bagi rakyatnya. Hal itu untuk menampung kaula negara
(onderdaan) yang ada di Indonesia sebelum kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945
Selanjutnya setelah tahun 1950 (setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda) timbul
masalah baru yaitu: Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Rakyat
Cina yang tetap mengakui warganya yang tinggal di Indonesia tetap menjadi warganegaranya.
Akibatnya terdapat keadaan dwi kewarganegaraan (bipatride) bagi orang keturunan Belanda dan
Cina perantauan. Ini dapat menimbulkan loyalitas ganda bagi warganegara keturunan Belanda dan
Cina.
Untuk mengatasi hal ini Pemerntah Indonesia menerbitkan UU no. 62/1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang berasaskan ius sanguinis. Sebagai akibatnya mereka
menjadi warganegara asing yang tidak mengenal tanah leluhurnya, bahkan banyak diantara mereka
yang tidak mampu berbahasa ibu. Mereka bersatus sebagai warga negara asing dan harus
mengajukan permohonan izin tinggal di Indonesia.
Seiring dengan kemajuan zaman, perkawinan campuran makin sering terjadi di Indonesia.
Pria warganegara asing sering menikahi putri-putri Indonesia, yang tidak jarang perkawinan itu
hanya bersifat politis, agar dia dapat izin tinggal. Kasus yang sama sering terjadi juga di negara lain.
Sebagai akibatnya banyak anak-anak hasil pernikahan perempuan Indonesia dengan orang asing
dan lahir di Indonesia berstatus warganegara asing. Problema ini tidak begitu menjadi masalah
selama orangtuanya masih akur (tidak bercerai). Namun, apabila terjadi perceraian, status anakanak tersebut tetap orang asing dan yang paling menderita ialah ibunya (setelah perceraian
biasanya si anak menjadi beban ibunya), yaitu ia memelihara serta membesarkan warga negara
asing dengan segala macam konsekuensinya.
Sejak Juli 2006 telah diundangkan UU no 12/2006 dengan pendekatan asas ius sanguinis
dan ius soli terbatas. Mereka memiliki kewarganegaraan ganda hingga usia dewasa. Namun UU
Kewarganegaraan yang baru agak menyulitkan buruh migran karena dapat kehilangan
kewarganegaraanya apabila mereka tidak aktif berhubungan dengan perwakilan Pemerintah
Indonesia di luar negeri.
Padahal, hak untuk memiliki, memperoleh, mengganti atau
mempertahankan kewarganegaraannya telah dijamin melalui pasal 26 UU no 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
II. III. Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia
Pelaksanaan hak warga negara dalam UUD 1945 dikaitkan langsung dengan kewajiban
karena memang mempunyai keterkaitan. Karenanya perumusan hak dan kewajiban itu
dicantumkan dalam satu pasal seperti pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dalam kaitan ini dapat diketengahkan masalah
hak-hak warga negara misalnya masalah pendidikan, kesejahteraan sosial dan pertahanan.
Sebelum amandemen, tidak ada Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945. Hal itu disebabkan
Hak Asasi Manusia tidak sesuai dengan paham negara integralistik yang dianut UUD 1945. Paham
negara integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller dan Hegel bukanlah untuk menjamin
perseorangan atau golongan, namun untuk menjamin masyarakat secara persatuan (Kaelan, H., MS.
2002: 39). Menurut Dr. A. S. S. Tambunan, SH kini kita menganut paham individualisme dan
liberalisme seperti waktu UUDS 1950, terbukti dengan rumusan pasal-pasal dalam Bab XA
(Tambunan, 2002: 11). Hal ini berarti bahwa Bab XA (Hak Asasi Manusia) beserta pasal-pasalnya
itu bertentangan dengan Pembukaan UUD NKRI 1945.
UUD-1945 secara tegas menyatakan tentang:
1. Hak, antara lain melalui pasal 27ayat (2) hak untuk mendapatkan pekerjaan, pasal 30 ayat (1)
hak ikut serta dalam usaha pembelaan negara, dan pasal 31ayat (1) hak mendapatkan
pengajaran.

2. Kewajiban, antara lain melalui: pasal 27ayat (1) kewajiban untuk menjujung hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecuali, pasal 30 ayat (1) kewajiban ikut serta dalam usaha
pembelaan negara dan pasal 31 ayat (2) mengikuti pendidikan dasar.
3. Kemerdekaan warga negara, antara lain melalui: pasal 27 ayat (1) yaitu persamaan di dalam
hukum dan pemerintahan, pasal 29 ayat (2) kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya, serta pasal 28 kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran.
II. IV. Hak dan Kewajiban Warga Negara Asing di Indonesia
Bagi warga negara asing yang medapat izin tinggal juga menerima hak dan memiliki
kewajiban selama berada di Indonesia:
1. Kewajiban untuk tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan.
2. Hak untuk menerima perlindungan atas diri dan hartanya.
3. Tidak memiliki hak untuk dipilih dan memilih.
4. Tidak mempunyai hak dan kewajiban untuk bela negara.
II. V.

Pembatasan Gerak
Sifat manusia selalu ingin berkelana, lebih-lebih pada era globalisasi, karena itu gerak
keluar masuk penduduk pada suatu negara perlu diawasi terutama orang-orang asing. Instansiinstansi: Pencatatan Sipil, Imigrasi, dan Kependudukan merupakan salah satu perwujudan
kedaulatan negara. Aspek yang diatur:
1. Perubahan status warganegara/penduduk.
2. Paspor yaitu surat jati diri perjalanan,
3. Visa: bukti persetujuan masuk dan tinggal dalam suatu negara,
4. Migrasi/mutasi penduduk antar wilayah,
5. Pencegahan dan penangkalan, yaitu upaya Pemerintah mengawasi baik warganegara sendiri
maupun warganegara asing,
6. Deportasiorang asingyaitu upaya Pemerintah menangkal bahaya kejahatan dan penyakit
menular,
Namun, upaya pengendalian penduduk sering kurang dihayati oleh masyarakat, dan aparat
Pemerintah sehingga sering diabaikan. Akibatnya banyak terdapat tanda pengenalkartu
identitasganda, maupun sebaliknya. Akibat lanjutannya upaya pemerintah untuk menyiapkan
single number identity terkendala. Dan pada gilirannya akan menyebabkan perselisihan pada
saat pemilihan umum, yaitu banyaknya orang yang tidak masuk dalam daftar pemilih. Pada saat
inilah banyak orang kehilangan hak konstitusionalnya.
II. VI. Hak dan Kewajiban Bela Negara
Upaya pembelaan negara merupakan tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur,
menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran
berbangsa dan bernegara Indonesia serta keyakinan pada Pancasila dan UUD-1945 (Basrie,
1992:14). Untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban membela Negara diperlukan pengetahuan
tentang bela negara dalam arti luas. Bela Negara dalam arti luas tidak hanya menyangkut
menghadapi bencana perang tetapi juga bencana lain. Untuk itu setiap warganegara harus
disiapkan dengan baik dan sekaligus perlu diberi penjelasan secara meluas tentang hak dan
kewajiban dalam upaya bela negara dan upaya pertahanan keamanan (pasal 27 dan pasal 30).
Untuk melaksanakan amanat UUD NKRI 1945 diperlukan:
1. Pengetahuan tentang bela negara dan pertahanan keamanan agar setiap WNI dapat: (a)
menunaikan hak dan kewajibannya dengan tepat; (b) ikut serta menyumbangkan pemikiran
terhadap perumusan dan penyelenggaraan konsepsi pertahanan keamanan negara;
kewaspadaan dan kesiapan menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan.

2. Motivasi perlu ditumbuhkan melalui pemahaman: (a) sejarah pembelaan negara secara
universal maupun nasional; (b) kondisi geografi, sumber daya manusia dan sumber daya alam
kita; (c) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; (d) strategi pembangunan nasional dan (e)
yuridis formal.
Memahami, menghayati arti bela Negara dan pertahanan keamanan negara merupakan
salah satu upaya memupuk semangat nasionalisme dan jati diri bangsa Indonesia.
III.1. Konsepsi HAM dalam UUD 1945
Jaminan Hak Asasi Manusia di Indonesia secara tertulis ternyata sudah ada sebelum
lahirnya DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang diikuti oleh sejumlah kovenan
maupun konvensi internasional tentang HAM. UUD 1945 memiliki prespektif HAM cukup progresif,
sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 alenia 1:
Bahwa, sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
panjejahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan
perikeadilan.
Konsepsi HAM tersebut tidak hanya ditujukan oleh bangsa Indonesia saja, melainkan seluruh
bangsa di dunia. Konsep yang demikian merupakan penanda corak konstitusionalisme Indonesia
yang menjadi dasar tanggungjawab Negara dalam hak asasi manusia.
DUHAM 1948 kemudian banyak diadopsi dalam konstituri RIS maupun UUD sementara
1950. Dimana konstitusi-konstitusi tersebut merupakan konstitusi yang paling berhasil
memasukkan hamper keseluruhan pasal-pasal HAM yang diatur dalam DUHAM.
Pada tahun 1959, Soekarno melalui dekrit presiden mengembalikan konstitusi pada
UUD 1945. Kembali lahir pengaturan terbatas mengenai HAM. Disinilah lahir
demokrasi ala Soekarno (demokrasi terpimpin atau guided democracy). Disini banyak
pintu masuk otoritarianisme, sehingga banyak kalangan yang menganggap demokrasi
menjadi kurang sehat.
Pada rezim Soeharto justru konsepsi jaminan hak asasi manusia sama sekali tidak di
implementasikan. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dikebiri atas nama stabilisasi politik dan ekonomi. Seperti
nampak pada kasus pemberangus ansimpatisan PKI (1965-1967), peristiwa priok,dan
penambahan serta penculikan aktivis partai pasca kudatuli. Sementara penyingkiran
hak-hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan terlihat dalam
kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pengusiran warga Kedunggombo, dan
pembunuhan 4 petani di waduk NipahSimpang.
Pasca Soeharto jaminan hak asasi manusia justru dia komodasi oleh UU no. 39 tahun
1999 tentang hak asasi manusia. Pasal-pasal di dalamnya cukup memberikan pengaruh
terhadap konstruksi pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945. Terutama pada
perubahan kedua (18 agustus 2000) yang memasukkan jauh lebih banyak dan leih
lengkap pasal-pasal tentang HAM.
III. II. Paradigma Negara dalamPerlindunganHAM : Inkohern ?
Konstitusi merupakan persepakatan secara sadar oleh para pembuat maupun pengambil
kebijakan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebab itu,
konstitusi meski dipercaya dalam idenya memiliki nilai-nilai dan makna yang maha penting dalam
menata kehidupan ketatanegaraan, social, ekonomi, politik, ia tetaplah sebagai hasil pergesekan

dan tarik menarik representasi politik ekonomi dominan yang memiliki kekuasaan tertentu dalam
mempengaruhinya. Itupun belum menjamin konsistensi berlakunya kebijakan-kebijakan Negara.
Di Indonesia, masa soeharto menunjukkan adanya negasi konstitusi oleh penguasa.
Sakralisasi UUD 1945, peradilan beserta intuisi hokum lainnya menjadi alat kekerasan, hukum
diproduksi untuk memenuhi kepentingan penguasa dan sekaligus menyingkirkan rakyat,
kebebasan berekspresi ditekan dan sangat dibatasi.
Pasca amandemen, keadaan berbalik. Desakralisasi UUD 1945 dengan 4 kali amandemen,
program reformasi peradilan didukung banyak pihak, termasuk secara politik dan didanai sejumlah
lembaga donor asing. Hukum-hukum represif telah banyak yang dicabut dan digantikan dengan
sejumlah perundang-undangan yang lebih terbuka proses pembentukannya. Celah berekspresi kini
relative terbuka cukup lebar, apalagi dengan ditopang adanya pasal-pasal HAM. Kekerasan Negara
seakan berkurang walaupun sebenarnya masih saja kerap terjadi. Termasuk pelanggen
ganimpunitas.

Negara telah mengubah animasi politik HAM dengan memperkenalkan diskursus dominan
HAM yang dilekatkan dengan kepentingan liberalisasi pasar. Hukum beserta produk perundangundangannya direproduksi justru untuk melegalisasikan kebijakan represif. Oleh sebab itu tidak
heran jika politik pembaharuan hukum di Indonesia diarahkan pada desain neo-liberal.
III. III. MekanismePerlindungan HAM
Dalam pasal 28I ayat 4 UUD 1945 pasca amandemen jelas menunjukan tanggungjawab
Negara dalam HAM. Sedangkan pasal 28I ayat 5 menegaskan penegakan dan perlindungan HAM
yang sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Sejak amandemen konstitusi, dalam konteks kebijakan dan legislasi, salah satu mekanisme
tambahan selain gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung, yang
bias memberikan perlindungan hak-hak konstitusional adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang
memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap UUD (Pasal 24C ayat 1). Dalam konteks ini antara
kekuasaan legislasi dan kekuasaan yudisial. (Wewenang MK). Tetapi wewenang MK tersebut
memiliki dampak antara lain: 1. Hilangnya narasi hukum bagi narasi korban: terbukanya kembali
ruang pengingkaran tanggungjawab Negara atas kekerasan masa lalu; 2. Hilangnya roh
pengungkapan kebenaran dan keberlangsungan praktek impunitas. Meski demikian MK harus
diperkuat sebagai lembaga yang bias menyeimbangkan kekuasaan Negara, baik legislaif maupun
eksekutif.
MK berhak memutuskan hak gugat konstitusional dalam rangka membangun mekanisme
yang melindungi secara lebih kuat hak-hak konstitusional warga Negara.
Contoh: Eksistensi MK misalnya dalam putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003, Judicial Review UU
no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam putusan ini mayoritas
hakim MK mengabulkan gugatan pemohon dengan substansi pemulihan hak-hak kewarganegaraan
(hak-hak sipil dan politik ) para anggota/simpatisan PKI.
III. IV. Argumen
Menguatnya hak asasi manusia secara tekstual konstitutif, tidak sertamerta kerangkan
ormatifnnya akan memberikan jawaban tuntas atas kerangka implementatifnya. Justru sebaliknya,
dituangkan oleh Baxi dalam bukunya The Future Of Human Right, Jumlah rakyat yang kehilangan
hak-hak juga meningkat justru ketika standart dan norma HAM kian lengkap. Semakin banyak
orang yang berdiri memberkati kerangka normative HAM melalui instrument konstitusional dan
internasional, semakin meluas dan menajam lahirnya penderitaan rakyat yang secara eksistensi
tersingkirkan perwujudan dan penikmatan hak-hak asasi manusianya. Oleh sebab itu, bangunan

politik HAM menjadi penting untuk terus menerus dikoreksi tidak saja secara konsepsional dan
pengaturannya, tetapi tantangannya justru bagaimana Negara mampu dan berdaya untuk
mengimplementasikannya ditengah kekuatan besar liberalisasi pasar, yang menyuguhkan animasi
politik HAM yang mistifikatif. Konstitusionalisme Indonesia perlu terus menerus didorong untuk
secara berani dan tegas menjamin serta melindungi hak-hak asasi manusia yang telah memiliki
landasan hokum tertinggi sebagai hak-hak konstitusional. Dengan begitu pembatasan kekuasaan
secara sewenang-wenang akan terkelola dengan seraya terus menerus menghidupkan semangat
konstitusionalisme, yang sekarang ini terus menerus tergerus oleh konglomerasi diskursus
dominasi dalam bingkai Human Right Market Friendly Paradigm.
Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap
individu mempunyai keinginan agar HAMnya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa
jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur
dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu negara akan diadili dalam
pelaksanaan peradilan HAM, peradilan HAM menembus proses pengadilan melalui hokum acara
peradilan HAM.
Perbandingan sistem pemerintah Negara sebelum dan sesudah amandemen
Sistem Pemerintahan : suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi,
suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian yang membentuk suatu kebulatan atau
keseluruhan yang kompleks. Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembagalembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan
penyelenggaraan.

Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang 7 kunci pokok
sistem pemerintahan. Yaitu :
1. Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).
2. Sistem Konstitusional.
3. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD
1945 menganut sistem pemerintahan presidensial.

Pada saat sistem pemerintahan ini, kekuasaan presiden berdasar UUD 1945 adalah sebagai
berikut ; Pemegang kekuasaan legislative, Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan,
Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara, Panglima tertinggi dalam kemiliteran, Berhak
mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan, Berhak mengangkat
para menteri dan pejabat Negara, Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan
perjanjian dengan negara lain, Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain,
Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya, Berhak memberi grasi,
amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.
Dampak negative yang terjadi dari sistem pemerintahan ini adalah :
Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden. Peran pengawasan
dan perwakilan DPR semakin lemah. Pejabat - pejabat negara yang diangkat cenderung dimanfaat
untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden. Kebijakan yang dibuat cenderung
menguntungkan orang - orang yang dekat presiden. Menciptakan perilaku KKN. Rakyat dibuat
makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.
Dampak positif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang ini adalah :
Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan
pemerintahan.
Presiden
mampu
menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah
jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.
Memasuki masa reformasi, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem
pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau
pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa
konstitusi negara itu berisi :

Pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif.

Jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.

Berdasarkan hal itu, reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau
amandemen atas UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah
menjadi
pedoman
bagi
sistem
pemerintahan
Indonesia
sekarang
ini.
Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 setelah Diamandemen
Sistem pemerintahan ini pada dasarnya masih menganut sitem presidensial. Karena presiden
tetap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan
langsung DPR dan tidak bertanggung jawab terhadap parlemen.
Pokok sistem pemerintahan ini adalah :
Bentuk Negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi menjadi
beberapa provinsi. Bentuk pemerintahan adalah Republik. Sistem pemerintahan adalah
presidensial. Presiden adalah kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Kabinet atau menteri
diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Parlemen terdiri atas dua
(bikameral), yaitu DPR dan DPD. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh mahkamah agung dan badan
peradilan di bawahnya.
Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Presiden sewaktu waktu dapat diberhentikan MPR atas usul dan pertimbangan dari DPR.
2. Presiden dalam mengangkat pejabat Negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan
DPR.
3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau
persetujuan DPR.
4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang - undang dan
hak budget (anggaran).
Sehingga, ada perubahan - perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu
diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara
lain adanya pemilihan presiden secara langsung, sistem bicameral, mekanisme check and balance,
dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan
fungsi anggaran. Seiring dengan adanya amandemen atau perubahan UUD 1945, maka tujuh kunci
pokok sistem pemerintahan negara juga mengalami perubahan. Berikut ini adalah tujuh kunci
pokok sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 hasil dari amandemen :
1. Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).
2. Sistem Konvensional.
3. Kekuasaan Negara tertinggi di tangan rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara Negara yang tertinggi di samping MPR dan DPR.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab
terhadap DPR.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
(MPR)
Sebelum dilakukan amandemen, MPR merupakan
sebagaipemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

lembaga

tertinggi

negara

Wewenang MPR sebelum amandemen : Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang


melanggar sumpah/janji anggota. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh
anggota.
Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
Mengubah undang-Undang Dasar.
Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden. Mencabut mandat
dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila
Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar
Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut. Memberikan penjelasan yang bersifat
penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat
dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara
yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan
lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.

Wewenang MPR sesudah amandemen : Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan
Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya secara bersamaan. Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh
Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya . Melantik presiden dan/atau wakil presiden. Tetap berwenang
menetapkan dan mengubah UUD. Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena
presiden dipilih secara langsung melalui pemilu) . Menghilangkan kewenangannya menetapkan
GBHN. Menghilangkan supremasi kewenangannya.
(DPR)
Sebelum amandemen : Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian,
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
WEWENANG : Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden. Memberikan
persetujuan atas PERPU. Memberikan persetujuan atas Anggaran. Meminta MPR untuk
mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
Tidak disebutkan
bahwa DPR berwenang memilih anggota- anggota BPK dan tiga hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Setelah Amandemen : Kedudukan DPR diperkuat sebagai lembaga legislatif dan fungsi serta
wewenangnya lebih diperjelas.
WEWENANG : Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan
pemerintah. Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu
dan mengikutsertakannya dalam pembahasan . Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang . Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
PRESIDEN
Sebelum Amandemen : Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power),
juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative
power). Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden
serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, sehingga presiden bisa
menjabatseumur hidup.
WEWENANG : Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri . Menetapkan Peraturan
Pemerintah. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan
yang memaksa). Mengangkat dan memberhentikan anggota BPK. PEMILIHAN Presiden dan Wakil
Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
Setelah Amandemen : Kedudukan presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan
berwenang membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Masa jabatan presiden adalah
lima tahun dan dapat dipilih kembali selama satu periode.
WEWENANG : Menyatakan keadaan bahaya. Membuat perjanjian internasional lainnya
dengan persetujuan DPR. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara

lain dengan persetujuan DPR. Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri. Menetapkan


Peraturan Pemerintah. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam
kegentingan yang memaksa). Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama
DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Presiden tidak lagi mengangkat BPK, tetapi diangkat
oleh DPR dengan memperhatikan DPD lalu diresmikan oleh presiden. Memegang kekuasaan
pemerintahan menurut UUD
PEMILIHAN
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun
2004. Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di
setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan
sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam
Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
(MK)
Setelah Amandemen : Mahkamah konstitusi berdiri setelah amandemen.
WEWENANG : Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Wajib memberi putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presidendan atau Wakil
Presiden menurut UUD 1945.
HAKIM KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim
Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih
kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.

(MA)
Sebelum amandemen
KEDUDUKAN : Kekuasan kehakiman menurut UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan
oleh Mahkamah Agung dan lain- lain badan kehakiman (Pasal 24 (1)). Kekuasaan kehakiman hanya
terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga ini dalam
tugasnya diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabangcabang kekuasaan lainnya, terutama eksekutif.
WEWENANG : Mahkamah Agung berwenang dalam kekuasaan kehakiman secara utuh karena
lembaga ini merupakan lembaga kehakiman satu-satunya di Indonesia pada saat itu.

Setelah Amandemen
KEDUDUKAN : MA merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman
disamping mahkamah konstitusi di Indonesia (pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen). Dalam
melaksanakan kekusaan kehakiman, MA membawahi Beberapa macam lingkungan peradilan, yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara (Pasal 24 (2)
UUD 1945 hasil amandemen).
WEWENANG : Fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang
seperti Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain: Memberikan pertimbangan dalam
hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi. Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.
(BPK)
Sebelum Amandemen : Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil
Pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat PASAL 23 .

Anda mungkin juga menyukai