Anda di halaman 1dari 25

UPAYA KEMERDEKAAN PADA MASA ORDE BARU

A. Lahirnya Orde Baru


1.

Latar belakang
Setelah terbukti PKI berada di belakang peristiwa G 30 S, Presiden

Soekarno tidak segera mengambil tindakan tegas. Presiden hanya memberi


tanggapan bahwa hal tersebut biasa terjadi dalam setiap revolusi. Peristiwa
tersebut hanyalah riak kecil dalam gelombang yang besar. Presiden memang
menyalahkan pihak-pihak yang terlibat perbuatan kriminil yang berakibat
gugurnya pahlawan revolusi dan korban lain yang tak berdosa. Namun Presiden
tidak pernah mengutuk PKI selaku dalang G 30 S. Presiden Soekarno hanya
berjanji akan memberi penyelesaian politis (political solution), tetapi janjijanji itu selalu ditunda-tunda pelaksanaannya. Sementara itu Presiden
Soekarno masih terus-menerus mempropagandakan Nasakom. Oleh rakyat
dan ABRI hal itu diartikan membela PKI, karena itu popularitas Presiden
Soekarno dari hari ke hari semakin menurun.

2.

Aksi-aksi Tritura
Merasakan tanggapan Presiden Soekarno yang tidak memuaskan,

ditambah banyaknya permasalahan dalam negeri akhirnya muncul gelombang


aksi yang dipelopori oleh para mahasiswa/pelajar.
Permasalahan-permasalahan berat yang dihadapi bangsa Indonesia
diantaranya keadaan ekonomi yang kacau balau, yang disebabkan politik
mercusuar dan konfrontasi dengan Malaysia. Laju inflasi sangat tinggi lebih
dari 60% setiap tahun. Sementara usaha pemerintah menahan inflasi dengan
devaluasi atau pengguntingan nilai mata uang dengan perbandingan 1:1.000

(Rp1.000,00 menjadi Rp1,00) tidak mampu menolong kondisi ekonomi yang


sudah terlanjur parah. Rakyat semakin tidak puas setelah pemerintah
mengeluarkan kebijaksanaan menaikkan harga bahan bakar minyak sebesar 4
kali lipat. Kenaikan bahan bakar minyak ini sangat mempengaruhi segala jenis
harga barang dan jasa.
Inefisiensi pemerintah menjadi permasalahan lain yang menambah
kacau kehidupan politik di Indonesia. Jumlah anggota kabinet sebanyak 102
menteri (Kabinet Seratus Menteri) justru menambah keruwetan apalagi jika
diamati dalam susunan kabinet tersebut justru tokoh-tokoh yang gigih
menentang G 30 S/PKI, disingkirkan.

Gambar. Sumber: 30 tahun Indonesia merdeka gambar kedatuan


aksi pembubaran PKI di lap. Benteng. 26 okt65

Tidak dapat dibendung lagi permasalahan-permasalahan di atas memicu


terjadinya

gelombang

aksi

demonstrasi

memprotes

kebijaksanaan

pemerintah. Pada tanngal 26 Oktober 1965 para mahasiswa Indonesia


membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Mereka turun ke
jalan memperjuangkan aspirasi rakyat. Kegiatan mereka juga diikuti oleh
kesatuan aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia
(KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh
Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi
Guru Indonesia (KAGI). Berbagai kesatuan aksi ini kemudian bergabung dalam
Front Pancasila untuk berjuang menyampaikan tuntutan rakyat yang dikenal
dengan nama Tritura ( Tri Tuntutan Rakyat), isinya sebagai berikut.
a. Bubarkan PKI

b. Retool Kabinet Dwikora


c. Turunkan harga

Aksi demonstrasi memperjuangkan Tritura ini dimulai sejak 10 Januari


1966 dan berlangsung selama 60 hari sampai dikeluarkannya Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar), pada tanggal 11 Maret 1966. Kekuasaan masa
yang antikomunis ini mendapat dukungan dari Angkatan Darat (AD), terutama
RPKAD.
Menanggapi aksi-aksi di Jakarta tersebut, Presiden mengundang para
wakil mahasiswa untuk mengikuti sidang Paripurna Kabinet pada tanggal 15
Januari 1966 dalam sidang itu Presiden justru mengutuk aksi-aksi para
mahasiswa dan memberi komando untuk membentuk Barisan Soekarno.
Komando Presiden tersebut membuat konflik semakin tajam.
Ketika Presiden akan melantik Kabinet Dwikora hasil reshuffle yang
diberi nama Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, timbul reaksi keras dari
para mahasiswa. Pada tanggal 24 Februari 1966, hari yang dijadwalkan untuk
pelantikan, puncak aksi demonstrasi terjadi. Para demonstran mengempeskan
ban-ban di jalan raya di seluruh ibu kota praktis lalu lintas mengalami
kemacetan

total.

Aksi

ini

dimaksudkan

untuk

menggagalkan

upacara

pelantikan, terpaksa para menteri dibawa ke Istana Merdeka dengan


menggunakan helikopter-helikopter. Dalam demonstrasi ini jatuh korban
seorang mahasiswa Universitas Indonesia Arif Rachman Hakim yang
tertembak oleh pasukan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden). Untuk
mengenang jasanya ia diangkat sebagai Pahlawan Ampera. Keesokan harinya,
Presiden

Soekarno

sebagai

mengumumkan pembubaran KAMI.

Panglima

Ganyang

Malaysia

(KOGAM)

Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para pemuda dan mahasiswa


terjadi di berbagai daerah. Kalau di Jakarta dikenal Laskar Ampera Arif
Rakhman Hakim, di Yogyakarta dikenal Laskar Ampera Ari Margono. Nama ini
sebenarnya untuk mengabdikan nama kedua tokoh yang jadi korban akibat
keganasan orang-orang pro-PKI.

3.

Supersemar
Pada tanggal 11 Maret 1966 diadakan rapat sidang Paripurna Kabinet.

Sidang

dimaksudkan

untuk

mencari

jalan

keluar

dari

segala

krisis

permasalahan. Para mahasiswa kembali melakukan aksi dengan memboikot


sidang, mereka mengempeskan ban-ban mobil khususnya para menteri.
Sekitar Istana Merdeka dijaga ketat oleh pasukan Cakarabirawa. Diantara
pasukan yang berjaga di Istana Merdeka terdapat sepasukan RKPAD tanpa
tanda-tanda pengenal pada seragamnya. Menyaksikan hal itu komandan
Paswalpres menjadi panik dan melapor seolah-olah ada pasukan liar tak
dikenal di sekitar istana. Setelah menerima laporan itu Presiden Soekarno
menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam)
II, DR. J. Leimena dan bergegas meninggalkan Istana Merdeka diikuti
Waperdam I, Dr. Subandrio

dan Waperdam III, Chaerul Saleh menuju

Istana Bogor dengan menegendarai helikopter.


Melihat perkembangan situasi itu, tiga orang perwira AD yang sedang
mengikuti persidangan, yakni Mayor Jendral Basuki Rahmat, Brigadir
Jenderal Yusuf, dan Brugadir Jenderal Amir Machmud sepakat menyusul
Presiden Soekarno ke Istana Bogor untuk memberikan keyakinan dan
menawarkan jasa kepada Presiden bahwa ABRI khususnya TNI AD tetap

sanggup dan siap sedia mengatasi keadaan, dan usaha itu akan berhasil jika
Presiden memberi kepercayaan penuh.
Sebelum berangkat ketiga orang perwira tadi meminta izin atasannya
yaitu

Panglima

Komano

Operasi

Pemulihan

Keamana

dan

Ketertiban

(Pangkopkamtib) Letnan Jenderal Soeharto yang waktu itu sedang istirahat


dokter di rumah. Letjen Soeharto memberikan pesan kepada ketiga perwira
tersebut untuk disampaikan kepada presiden yang isinya kalau saya masih
dipercaya, saya sanggup untuk mengatasi keadaan.
Melalui proses pembicaraan anatara ketiga jenderal dengan Presiden
Soekarno, keluarlah keputusan Presiden yang berupa Surat Perintah Sebelas
Maret (1966), yang lebih dikenal sebagai Supersemar.
Isi pokok Supersemar, memberi wewenang kepada Letjen Soeharto
untuk

mengambil

tindakan-

tindakan

yang

dianggap

perlu

demi

terselenggaranya keamanan dan ketertiban di seluruh Indonesia serta


menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden.

Naskah supersemar.

Supersemar menandai awal orde baru. Keluarnya surat perintah


tersebut dapat diartikan Presiden Soekarno telah melepas sebagian besar
kekuasaannya untuk diberikan kepada Letjen Soeharto. Keadaan itu memang
tidak dapat dihindari lagi karena situasi masa itu yang sangat parah.
Orde baru dapat diberi pengertian suatu tatanan baru dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara yang ingin melaksanakan Pancasila dan


UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde baru lahir sebagai reaksi
praktek kehidupan berbangsa dan bernegara masa sebelumnya (5 Juli 1959-11

Maret 1966) yang sarat penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Masa itu dikenal sebagai masa Orde Lama.

B. Perkembangan Dalam Negeri

1.

Tindakan Pangkomtib/ Pengemban Supersemar


Tindakan pertama yang ditempuh Letjen Soeharto selaku pengemban

Supersemar adalah pembubaran dan pelarangan PKI beserta ormas-ormas


yang bernaung dibawahnya, seperti Pemuda Rakyat. Gerwani, Sobsi BTI,
Lekra, dan sebagainya. Pembubaran ini diumumkan pada tanggal 12 Maret
1966.

Ini

berarti

PKI

ataupun

paham-paham

lain

yang

berbau

komunisme/marxisme tidak dibenarkan tumbuh dan berkembang di seluruh


Indonesia. Dasar pertimbangannya karena PKI telah melakukan usaha coup
dan tindak kekejaman di luar batas perikemanusiaan, seperti penyiksaan dan
pembunuhan. Tindakan pengemban Supersemar tersebut disambut lega oleh
rakyat. Khususnya Front Pancasila. Karena tuntutan pertama dari Tritura,
yaitu pembubaran PKI telah tercapai.
Tindakan kedua, seminggu berikutnya diadakan penangkapan atas 15
menteri yang diduga secara langsung maupun tidak langsung terlibat G 30
S/PKI. Tindakan ini diambil berdasarkan Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18
Maret 1966. Mereka yang ditahan ialah Dr. Subandrio, Dr. Chaerul Saleh,
Yusuf Muda Dalam, Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo Oei Tjoe Tat, S.H.,Ir.

Surachman, Armunanto, Sutomo Martopradopo, Astrawinata, S. H. Mayjend


Achmadi, Drs. Achadi, Letkol Syafii, J.Tumakaka, dan Mayjen dr. Sumarno.
Penahanan ke -15 menteri ini mendapat sambutan dan dukungan rakyat,
karena dinilai tindakan yang tepat. Ini berarti tuntutan kedua pun telah
tercapai.
Untuk mengisi kekosongan jabatan, pada hari yang sama diangkatlah 5
orang Waperdam ad interim yang secara bersama-sama menjabat Presidium
Kabinet, mereka itu ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Dr. Roeslan
Abdulgani, Dr. Idham Chalid, Dr. J. Leimena, dan Adam Malik. Ditunjuk pula
beberapa orang menteri sebelum terbentuknya kabinet baru.
Pasa tanggal 27 Maret 1966 terbentuk cabinet baru yang susunannya
terdiri dari:
a) Kabinet inti atau presidium
b) Kementrian-kementrian, dan
c) Departemen-departemen.
Kabinet inti terdiri atas enam orang Waperdam, dengan ketua
presidiumnya Dr. J. Leimena. Waperdam bertugas untuk memimpin suatu
bidang. Susunan Waperdam sebagai berikut.
a. Waperdam Umum, Dr. J. Leimena
b. Waperdam

a.i.

Bidang

Hubungan-Hubungan

Lembaga

Negara

Tertinggi, Dr.K.H. Idham Chalid


c. Waperdam Lembaga-Lembaga Politik, Dr. Roeslan Abdulgani
d. Waperdam Bidang Ekonom, Keuangan, dan Pembangunan, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX
e. Waperdam a.i. Bidang Pertahanan Keamanan Letjen Soeharto
f. Waperdam Bidang Sosial Politik, Adam Malik

Kementerian berjumlah 24, dipimpin oleh seorang menteri sedangkan


departemen dipimpin oleh seorang Deputy Menteri.
Selain itu, juga diadakan tindakan pembersihan dikalangan aparatur
pemerintah dan lembaga-lembaga legislatif dari G 30 S/PKI dan orde lama,
termasuk DPRGR dan MPRS.
Orde baru bertekad meletakkan kembali landasan konstitusional
dengan menegakkan kewibawaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Karena itu pada tanggal 20 Juni 6 Juli 1966 MPRS mengadakan Sidang
Umum ke-IV di Jakarta. Pada siang itu dikukuhkan Surat Perintah 11 Maret
dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. dalam sidang itu juga dihasilkan
ketetapan yang

menjadi

landasan

struktural

orde baru,

diantaranya

Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, yang menugaskan Letjen Soeharto


untuk membentuk Kabinet Ampera selambat-lambatnya pada bulan Agustus
1966.
Pada tanggal 25 Juli 1966 Letjen Soeharto berhasil membentuk
Kabinet Ampera yang terdiri dari 5 Menteri Utama (Menutama) dan 24
menteri. Kabinet Ampera memiliki dua tugas pokok ( Dwi Dharma) yaitu
menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi.
Sedangkan programnya terdiri dari empat hal (Caturkarya), sebagai
berikut.
a. Memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang
pangan.
b. Melaksanakan pemilihan umum selambat-lambatnya tanggal 5 Juli
1968.
c. Melaksanakan politik yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.

d. Elanjutkan perjuangan antiimperealisme dan kolonialisme dalam


segala bentuk dan manifestasinya.

2.

Peralihan Kekuasaan
Dalam siding umum MPRS 1966, Presiden Soekarno diminta memberi

pertanggungjawaban atas terjadinya pemberontakan Gestapu, kemerosotan


ekonomi dan moral. Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam
pidatonya tanggal 22 Juni 1966 yang diberi judul Nawaksara karena tidak
jelas Presiden tetap tidak mau mengutuk Gestapu PKI serta memberi
keuntungan yang memuaskan tentang kemerosotan ekonomi dan kemerosotan
moral. Oleh karena, itu MPRS meminta Presiden untuk melengkapi Nawaksara.
Menaggapi permintaan MPRS, Presiden memberikan surat tertanggal
10 Januari 1967 yang dimaksudkan sebagai pelengkap Nawaksara. Iainya
ternyata juga tidak memuaskan karena lebih bersifat pengelakkan tanggung
jawab daripada suatu pertanggungjawaban. Banyak pihak menjadi tidak puas.
DPRGR memberkan tanggapan berupa resolusi pada tanggal 3 Februari 1967
yang isinya meminta MPRS mengadakan siding istimewa pada bulan Maret
1967 dan minta Pangkamtib (Pengemban Supersemar) untuk memberi
keterangan tentang hubungan Presiden Soekarno dengan G 30 S/PKI. Namun
sebelum hal itu terwujud, pada tanggal 20 Februari 1967 Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada

Jendral Soeharto selaku

pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966.


Rencana sidang MPRS tetap berlangsung. Jenderal Soeharto memenuhi
resolusi DPRGR dan permintaan pimpinan MPRS, pada intinya menjelaskan
bahwa Presiden Soekarno bukan komunis, namun karena keyakinannya akan
ajaran Nasakomnya ia telah menjadi pelindung dan pembela PKI.

Berdasarkan keterangan Jenderal Soeharto dan berbagai langkah


Presiden Soekarno yang dinilai kurang memuaskan maka MPRS mengeluarkan
Ketetapan No.XXXIII/MPRS/1967, yang isinya, sebagai berikut.
a. Mencabut kekuasaan dari Presiden Soekarno.
b. Mlarang Ir. Soekarno melakukan kegiatan politik sampai pemilu
yang akan datang.
c. Menetapkan Jenderal Soeharto menjadi pejabat presiden.

Dengan adanya ketetapan MPRS di atas situasi konflik yang berakibat


ketidakstabilan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berdegara telah
teratasi secara konstitusional.
C. Menegakkan stabilitas nasional
1.

Stabilitas Politik
Penataan kembali kehidupan politik dimulai pada awal tahun 1968

dengan penyegaran DPRGR. Penyegaran dimaksudkan untuk membuahkan hakhak demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat.
Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil politik dari golongan karya.
Karena disadari dari Indonesia tidak bisa terus-menerus dipimpin oleh
seorang pejabat presiden jika ingin segera melaksanakan pembangunan yang
berencana, walaupun kehidupan sosial politik sudah kembali tenang. Karena itu
pemerintah perlu disusun kembali. Barulah dapat direncanakan pembangunan
yang sesuai amanat penderitaan rakyat.
Menanggapi hal itu pada bulan Maret 1968 MPRS mengadakan sidang
lagi yang merupakan sidang kelima. Diantara keputusan sidang yang penting
sebagai berikut.

a) Tap XLIV/MPRS/1968 yang mentapkan Jenderal Soeharto


menjadi Presiden RI untuk masa lima tahun (1968-1973).
b) Tap XLI/MPRS/1968 yang menetapkan diperlukannya dibentuk
Kabinet Pembangunan dengan tugas pokok pelaksanaan program
yang dikenal sebagai Panca Krida:
1. menciptakan stabilitas politik dan ekonomi;
2. menyusun dan melaksanakan Repelita;
3. melaksanakan Pemilu;
4. mengembalikan keamanan dan ketertiban masyarakat dengan
mengikis habis sisa-sisa G 30 S/PKI serta menindas setiap
penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945; serta
5. melanjutkan

penyempurnaan

dan

pembersihan

secara

menyeluruh aparatur negara.


c) Tap XLII/MPRS/1968 yang menetapkan penyelenggaraan pemilu
selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1971.

Pengambilan sumpah dan pelantikan jenderal soeharo 27 Maret


1968.

Tahap berikutnya diadakan penyederhanan kehidupan kepartaian,


keormasan, dan kekaryaan dengan cara pengelompokan partai-partai politik
dan gogongan karya. Pada awal tahun 1970 mulai diadakan serangkaian
konsultasi dengan pemimpin partai-partai politik. Hasilnya lahir tiga kelompok
di dalam DPR, sebagai berikut.
1) Kelompok demokrasi pembanginan.

Terdiri dari partai-partai: PNI, Parkindo, Katolik, IPKI serta


Murba.
2) Kelompok Persatuan Pembangunan
Terdiri dari partai-partai:NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII,
dan Perti.
3) Kelompok

organisasi

profesi,

seperti

organisasi

pemuda,

organisasi tani dan nelayan, organisasi buruh, organisasi seniman,


dan lain-lainnya bergabung diberbagai kelompok golongan karya.
2.

Stabilitas Politik
Selama Demokrasi Terpimpin, kehidupan ekonomi di Indonesia pun

mengikuti asas serupa Ekonomi Terpimpin. Sebagaiman dengan masalah politik


yang sarat permasalahan bidang ekonomi pun banyak mengalami problem yang
parah. Kondisi ekonomi yang sakit dapat dicermati sbagai berikut.
a) Bidang keuangan, terjadi defisit Anggaran Belanja Negara untuk
mengatasi defisit justru diambil tindakan yang salah seperti
mencetak uang baru yang semakin memperparah kedaan sehingga
terjadi hiperinflasi, kapasitas produksi masyarakat lumpuh,
kedenjangan ekonomi antarkelompok masyarakat. Biaya hidup
semakin berat, tidak diimbangi penghasilan yang memadai
khususnya

golongan berpenghasilan

tetap seperti pegawai

negeri, ABRI, pensiunan serta golongan lain yang berpenghasilan


rendah. Semua permasalahan ekonomi ini bersumber dari
pengambilan kebijakan ekonomi yang salah urus.
b) Bidang produksi sarana dan prasarana yang terkait dengan
kebutuhan rakyat banyak macet. Sebaliknya yang bersifat
mercusuar dibangun berlebih-lebihan.

Gambaran kondisi ekonomi yang bobrok itulah yang diwarisi ole horde
baru dan harus dicarikan jalan keluar.
Untuik menebus permasalahan tersebut, dalam sidang umum MPRS IV
diadakan pembahasan yang intensif sehingga menghasilkan ketetapan No.
XXIII/MPRS/1966 yang berjudul Pembaharuan Kebijaksanann Ekonomi
Keuangan dan Pembangunan. Ketetatapan ini pada dasarnya menggariskan
landasan idiil dan operasional bagi perekonomian Indonesia.
MPRS menyadari bahwa kemerosotan ekonomi yang berlarut-larut
harus ditanggulangi secepat mungkin. Oleh karenanya ditetapkan tiga
program yang harus dijalankan pemerintah secara bertahap, yaitu:
a. Program penyelamatan
b. Program stabilitas dan rehabilitasi, dan
c. Program pembangunan.
Selain dengan ketetapan MPRS tersebut, Kabinet Ampera mengambil
langkah-langkah penyelamatan sebagai berkut.
a. Mendobrak kemacetan ekonomi dan secara simultan menyerang
sector penyebab kemacetan.
b. Debirokratisasi dan dekontrol sebagai ikhtiar untuk mengurangi
gejala ekonomi anarkhi.
c. Sejauh mungkin berorientasi kepada kepentingan produsen kecil.
Untuk tercapainya usaha-usaha tersebut Ketua Presidium Kabinet
Ampera

secara

berturut-turut

mengeluarkan

serangkaian

petunjuk

pelaksanaan yang meliputi, sebagai berikut


a. Mengadakan opersi pajak, dimaksudkan untuk meneliti sejauh
mana ketaatan wajib pajak, terutama perusahaan besar milik
negara dan swasta.

b. Penghematan pengeluaran pemerintah, khususnya yang bersifat


konsumtif dan rutin. Subsidi untuk perusahaan-perusahaan
cegara dihapuskan.
c. Kredit bank dibatasi, kredit impor dihapus.

Dengan demikian Kabinet

Ampera mulai

melaksanakan

program

stabilisasi dan rehabilitasi. Stabilisasi ini berarti membendung laju inflasi,


sedang rehabilitasi memulihkan kemampuan berproduksi.
Stabilisasi diantaranya ditempuh dengan menghapuskan peraturanperaturan yang berbelit-belit rumit dan dapat menimbulkan kekaburan,
kemacetan dan penyelewengan (deregulasi). Setelah tahun 1968 melalui usaha
yang gigih inflasi dapat dibendung. Berdasarkan ketetapan MPRS No.
XLI/MPRS/1968

kebijaksanaan

ekonomi

pemerintah

diarahkan

pada

pengendalian yang lebih kuat terhadap gerak harga barang, terutama tiga
macam barang yaitu pangan, sandang, dan kurs valuta asing.
Program rehabilitasi dititikberatkan pada prasarana ekonomi dan sosial
yang selama sepuluh tahun mengalami kelumpuhan dan kerusakan. Baik
menyangkut prasarana fisik: jalan, jembatan, irigasi, tenaga listrik; prasarana
administrative; maupun prasarana institusional; lembaga-lembaga perkreditan
desa, gerakan koperasi, maupun perbankan.
Pada awal tahun 1970 -an kestabilan ekonomi maupun pemuliah
kemampuan bereproduksi relative telah tercapai.

3.

Pembangunan Nasional

a. Pola Dasar Pembangunan Nasional

Pola dasar pembangunan nasional meletakkan dasar bagi perjuangan


pembangunan bangsa dalam mewujudkan tujuan nasional, yang memuat nilainilai dasar yang tetap dan tidak dibatasi oleh suatu kurun waktu. Dalam pola
dasar ini dinyatakan bahwa pembangunan nasional pada hakikatnya adalah
pembangunan

manusia Indonesia seutuhnya

dan pembangunan

seluruh

masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

b. Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang


Pola umum pembangunan jangka panjang merupakan arah dan strategi
jangka panjang, dengan jangka waktu 25-30 tahun dan disusun berdasarkan
Pola Dasar Pembangunan Nasional. Pembangunan nasional jangka panjang
dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan yang setiap tahapnya
berjangka waktu lima tahun. Dengan demikian pola umum ini menjadi landasan
bagi Pola Umum Pembangunan Lima Tahun. Pelaksanaannya dimulai sejak tahun
1969 dengan pelaksanaan Repelita I, disusul Repelita II, III,IV,V dan VI.
Oleh karena Orde Baru telah melampui jangka waktu 25-30 tahun
pembangunan jangka panjang, maka capat dikatakan telah menyelesaikan
PJPT I (Pembangunan Jangka Panjang Tahap I ) dan akan dilanjutkan PJPT
II. Dari tahun 1969- 1999 dapat disimpulkan Pola Umum Pembangunan Jangka
Panjang adalah meletakkan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk
tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Titik berat pada ekonomi dan sejajar
dengan itu bidang- bidang lain dikembangkan pula.
c. Pola Umum Pembangunan Lima Tahun

Pola Umum Pembangunan Lima Tahun menggariskan arah kebijaksanaan


pembangunan dalam lima tahun. Titik berat pembangunan masing-masing
tahap Repelita sebagai berikut.
1) 1969-1974 Repelita I

pertanian

dengan

industri

yang

mendukungnya
2) 1974-1979 Repelita II : pertanian dan industri pengolahan dahan
mentah

menjadi bahan baku

3) 1979-1984

Repelita III : pertanian yang menuju swasembada

pangan dan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi


4) 1984- 1989 Repelita IV: pertanian dan industri yang menghasilakan
mesin-mesin industri ( industri berat maupun ringan)
5) 1989-1994 Repelita V : kekuatan industri yang didukung oleh
sector prtanian yang kuat
6) 1994- 1999 Repelita VI: memasuki proses tinggal landas menuju
masayarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yaitu penciptaan
struktur ekonomi yang seimbang (industri kuat pertanian tangguh)
dan pembangunan bidang-bidang lain untuk meningkatkan sumber
daya manusia.
Demikianlah arah gerak Pembangunan Nasional pada masa Orde Baru.
D. Politik Luar Negeri
Sesuai yang digariskan oleh UUD 1945, asas politik luar negeri yang
dianut Republik Indonesia adalah politik luar negeri

bebas aktif. Bebas

bearrti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh politik negara asing atau
blok negara-negara tertentu. Aktif artinya dengan sumbangan nyaata giat

mengembangkan kebebasan persahabatan, dan kerja internasional dengan


menghormati kedaulatan negara-negara lain.
Selama masa Demokrasi Terpimpin RI begitu terikat pada blok
komunis, sedangkan negara-negara Barat dimusuhi dan dicap Nekolin. Bahkan
RI berani keluar dari keanggotaan PBB dan membentuk poros Jakarta
Peking.
Pasca Orde Lama, asas politik luar negeri bebas aktif kembali
dihidupkan oleh Orde Baru. Seperti tertuang dalam Ketetapan MPRS No.
XII/MPRS/1966

tujuan

politik

luar

negeri

bebas

aktif

adalah

memperthankan kebebasan Indonesia terhadap imperialisme dan kolonialisme.


Pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ditempuh dengan cara
sebagai berikut.
1.

Normalisasi Hubungan dengan Malaysia


Konfrontasi dengan Malaysia berakhir setelah tercapainya

persetujuan Bangkok pada tanggal 29 Mei 1 Juni 1966. Dalam persetujuan


Malaysia diwakli oleh Wakil Perdana Menteri/ Menteri Luar Negeri Tun
Abdulrazak. Sedangkan Indonesia diwakili oleh Menteri Utama/ Menteri Luar
Negeri Adam Malik. Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani
tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta. Sejak 31 Agustus 1967 kedua
pemerintah kembali membuka hubungan diplomatik pada tingkat kedutaan
besar.
2.

Pengakuan Terhadap Singapura

Sejalan dengan upaya normalisasi hubungan dengan Malaysia. Indonesia


memberikan pengakuan secara resmi terhadap republik Singapura pada
tanggal 22 Juni 1966. Pengakuan ini ditindaklanjuti dengan pelaksanaan

hubungan diplomatic yang ditandatangani pada tanggal 7 September oleh


kedua Menteri Luar Negeri.
3.

Aktif Kembali sebagai Anggota PBB


Menyadari kepentingan nasional yang semakin mendesak, Indonesia

perlu secara aktif mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan internasional.


Oleh karena itu, muncul usulan dari anggota DPRGR supaya Indonesia kembali
menjadi anggota PBB.
Pertimbangan yang mendasari Indonesia ingin kembali menjadi anggota
PBB karena disadari telah banyak manfaaat yang dipetik Indonesia selama
menjadi anggota PBB kurun waktu 1950-1964. Akhirnya, pada tanggal 28
September 1966 Indonesia kembali aktif di PBB setelah sempat keluar pada
tanggal 1 Januari 1965.
4.

Menyehatkan Hubungan dengan Negara dan Organisasi-Organisasi


Internasional Lain
Sebagai dampak dari politik luar negeri zaman Orde Lama, hubungan

bilateral Indonesia diberbagai negara sempat renggang. Misalnya dengan


India, Filipina, Muangthai, Australia, Afrika, dan Eropa. Karena Orde Baru
berkewajiban memulihkan kembali hubungan tersebut. Demikian Indonesia
berusaha membersihkan oknum-oknum G 30 S/PKI yang masih bercokol
ditubuh organisasi-organisasi intenasional yang bersifat nongovernmental
yang diikuti Indonesia dalam rangka solidaritas Asia Afrika.
5.

Memperkuat Kerjasama Regional Dan Inetrnasional


Berdasarkan asas bebas aktif, maka Indonesia perlu meningkatkan

perannya dalam kerja sama regional maupun internasional. Karena itu maka
ditempuh kebijaksanaan:
a. ikut srta dalam ASEAN

b. mengirimkan kontingen Garuda Indonesia


c. berperan dalam KTT Nonblok
d. berperan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI)
e. aktif dalam PBB misal Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik menjadi
Ketua Sidang Umum PBB (1974)

E. Gangguan Keamanan Dalam Negeri


Stabilitas politik dan ekonomi selama orde baru kian mantap, namun
beberapa kali terjadi peristiwa-peristiwa gangguan dalam negeri antara lain
sebagai berikut.
1.

Peristiwa Malari 14-17 Januari 1974


Peristiwa Malari merupakan aksi para mahasiswa Indonesia yang tidak

senang adanya gejala dominasi ekonomi Jepang di Indonesia. Ketidaksenangan


diletupkan pada kunjungan PM Jepang, Kakuci Tanaka. Para mahasiswa
merusak barang-barang buatan Jepang. Oleh pemerintah aksi ini disinyalir
ditunggangi oleh unsur-unsur kriminal lain yang memanfaatkan kesempatan.
Dampak dari peristiwa itu anataralain, pemerintah orde baru terpaksa
mencabut SIUPP beberapa mass media, menangkap dan mengadili tokohtokoh mahasiswa yang terlibat dalam mengadakan NKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus).
2.

Kerusuhan Berlatar Belakang Sara


Masalah Sara (suku, agama, ras dan antargolongan) di Indonesia

merupakan sesuatu yang sangat peka. Masalah Sara dapat menimbulkan


keresahan pada golongan-golongan tertentu. Seperti peristiwa 5 Agustus
1973 di Bandung. Peristiwa Solo 17 September 1980, dan peristiwa angket
Arswendo Atmowiloto di Tabloid Monitor 1992. Oleh karena itu, pemerintah

Orde Baru selalu menghimbau agar bangsa Indonesia memiliki kepekaan yang
tinggi pada masalah-masalah yang menyangkut Sara. Perbedaan Sara di
Indonesia di satu pihak menunjukkan kekayaan khasanah budaya, namun di
pihak lain jika kurang peka bahkan mempertentangkan mendiskriminasikan,
ataupun mengorbankan sentiment Sara, maka akan terjadi keteganganketegangan bahkan pemberontakan fisik yang mengancam stablitas nasional.
3.

Gerakan Pengacau Keamanan


Beberapa peristiwa gangguan keamanan dalam negeri dimotori oleh

kelompok GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) . Latar belakang GPK pada


umunya adalah kelompok ekstremis tertentu yang berhaluan fanatis dan
separatis. Keinginan mereka adalah memisahkan diri dan mendirikan
pemerintahan sendiri, seperti kelompok Imran, GPK Fretilin di Timor Timur
maupun GPK di Irian Jaya ( yang merupakan kelompok separatis).

F. Integrasi Timor Timur Dan Pelaksanaan Pembangunan


1.

Latar Belakang
Sesuai amanat proklamasi kemerdekaan Indonesia, disebutkan yang

menjadi wilayah Indonesia adalah bekas Hindia Belanda, dan sampai tahun
1976 wilayah Indonesia terbagi menjadi 26 provinsi. Akan tetapi sejak 17 Juli
1976

wilayah

Indonesia

bertamabah

satu

provinsi

yaitu

dengan

berintegrasinya Timor Timur ke dalam lingkungan RI. Sebelumnya Timor


Timur berstatus sebagai koloni Portugis.
Penduduk Timor Timur memiliki banyak persamaan dengan penduduk
Indonesia lainnya, khususnya penduduk provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Persamaan itu diantaranya menyangkut ciri fisiknya, bahasa, dan adat
istiadat.

Gambar peta
Portugis mulai berkuasa di Timor Timur sejak tahun 1605, setelah
mereka didepak keluar dari Ambon oleh Belanda. Antara Portugis dan Belanda
berbagi daerah kekuasaan di pulau Timor. Portugis berkuasa di bagian timur
yang dikenal sebagai daerah Timor (setelah berintegrasi dengan Indonesia
menjadi timor timur). Sedangkan bagian barat dimiliki belanda dan dikenal
dengan Timor Barat.
Penjajahan Portugis menggunakan pola imperialisme kuno yang sangat
ketat. Dalam Perang Dunia II Jepang juga menyerang Dili dan menyebabkan
Portugis terpaksa meninggalkan kedudukannya di Timor Timur. Namun setelah
Jepang kalah dalam PD II, Portugis kembali lagi ke Timor Timur.
Kehidupan politik di Timor Timur selama penjajahan Portugis, sering
terjadi perlawanan fisik oleh rakyat yang merasa tertindas penjajahan
Portugis. Perlawanan rakyat Timor Timur dipimpin oleh tokoh-tokoh, seperti
Bonaventura dan Dominigues (1910), Arnoldo Dos Reis Araujo (1945-1974),
Jose Duarte dan Luis (1959). Sebagian pejuang melarikan diri ke Timor
Kupang untuk menghindar dari penangkapan oleh pemerintah kolonial Portugis.
2.

Proses Integrasi
Proses integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI berawal dari

jatuhnya rezim Selazar di Portugis yang digantikan oleh Spinola. Sebagai


penguasa baru, Presiden Spinola pada tanggal 14 April 1974 menjanjikan
pemerintahan yang demokratis. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut,
munculah partai-partai baik yang berhaluan keras, seperti MRPP ( Movement

Of Revolution Of Party Of The Ploretariat ) maupun yang berhaluan lunak,


seperti PCP (Partindo Communiste Portuguese).

Kehidupan politik di Portugis ternyata mengimbas juga ke koloninya


Timor Timur. Munculah partai-partai di Timor Timur, sebagai berikut.
a. UDT (Unido Democratica Timorense), dibawah pimpinan Ir. Mario
Vigeas Carascallao. Semula partai ini mengehendaki menjadi
provinsi Portugis di seberang lautan karena menyadari ekonominya
masih lemah dan tidak memiliki tenaga terdidik.
b. Fretilin (Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente ),
dipimpin Fransisco Xapier de Amara dan Jose Ramos Horta.
Semula berhaluan sosialis dan menghendaki kemerdekaan penuh
bagi Timor Timur. Partai ini kemudian berubah menjadi komunis
yang sangat ekstrim.
c. Apodeti (Assosiacao Popular Demodcratica Timorense), dipimpin
oleh Arnoldo Dos Reis Araujo. Apodeti berjuang meyakinkan
partai-partai lain dan rakyat Timor Timur untuk bergabung
dengan Indonesia atas dasar kesamaan dan hubungan yang erat,
baik

secara

histories,

etnis,

maupun

geografis.

Integrasi

dipandang menjamin stabilitas di seluruh kawasan Timor Timur.


d. Partai-partai kecil, seperti Kota dan Trabalista.
UDT semula bekerja sama dengan Fretilin untung menentang Apodeti
yang

berpendirian

ingin

berintegrasi

dengan

Indonesia.

Dalam

perkembangannya UDT bentrok dengan Fretilin, karena Fretilin cenderung


menginginkan dominasi. Apalagi setelah Fretilin berubah menjadi berhaluan
komunis, UDT merubah diri menjadi MAC ( Movimento Anti Communiste). UDT
bersatu dengan Apodeti, Kota, Trabalista melawan Fretilin.
Kedaan Timor Timur memburuk dengan pengangkatan Kolonel Lemos
Pires sebagai Gubernur Timor Timur pada tanggal 4 November 1974.

Gubernur cenderung pro-UDT, sementara stafnya dari MRPP dan PCP


cenderung pro-Fertilin dan berusaha menjadikan Timor Timur sebagai
pangkalan gerakan komunisme.
Mengingat letak Timor Timur di tengah kepulauan Indonesia, maka
Portugis melibatkan Indonesia dalam persoalan dekolonialisasi Timor Timur.
Untuk mewujudkan rencana dekolonialisasi, pemerintah Portugis mengundang
utusan UDT, Fretilin, dan Apodeti mengikuti petemuan di Macao pada tanggal
26-28 Juni 1975. Fretilin memboikot pertemuan tersebut, sehingga masa
depan Timor Timur belum dapat ditentukan.
Staf Pires mulai membantu persenjataan Fretilin dan membiarkan
Fretilin menguasai Tropas (polisi koloniam portugis) dalam upaya mengalahkan
lawan-lawan Fretilin. Kekerasan tidak terelakkan lagi karena Fretilin meneror
orang-orang UDT, dan Apodeti. Banyak dari korban teror yang melarikan diri
ke Timor Barat (Indonesia). Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan dana
untuk membantu kurang lebih 50.000 pengungsi.
Cara-cara yang ditempuh Fretilin berupa kekerasan, menyebabkan
partai-partai lain tidak dapat tinggal diam. Untuk mempertahankan diri dari
serangan Fretilin, UDT, Kota dan Trabalista juga mengguanakan kekerasan
senjata. Mereka juga menerima sukarelawan Indonesia turut mengawal
kembalinya para pengungsi ke kampung halaman. Dalam situasi gawat tersebut
gubernur Timor Timur Lemos Pires justru melarikan diri ke Dili, karena
menyadari kedudukannya terdesak. Tanggal 28 November 1975 tiba-tiba
Fretilin memproklamirkan berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur di Dili
San Xavier de Amaral diangkat sebagai presiden.
3.

Proklamasi Balibo

Tindakan sepihak Fretilin memproklamirkan kemerdekaan, mendapat


reaksi-reaksi dari partai UDT, Apodeti, Kota, dan Trabalista yang pada
tanggal 30 November 1975 juga memproklamirkan penggabungan Timor Timur
dengan Indonesia di Balibo. Proklamasi tersebut ditindaklanjuti dengan
menegakkan kekuatan di seluruh Timor Timur. Kekuatan gabungan tersebut
kemudian mampu merebut Dili, pertengahan Desember 1975 seluruh Timor
Timur dapat dikausai. Kemudian kekuatan gabungan mendirikan PSTT
(Pemerintahan Sementara Timor Timur) berjedudukan di Dili. Pemangku
kepala eksekutif PSTT adalah Arnoldo do Reis Araujo dan Fransisco Xavier
Lopoez dan Cruz sebagai wakil kepala. Dibentuk juga DPR sebagai wakil
rakyat dengan ketuanya Guilherme Maria Goncoves. PSTT dan DPR
mengemban tugas menentukan masa depan Timor Timur.
Setelah PSTT dan DPR mentap kedudukannya, diadakan siding khusus
pada tanggal 30 Mei 1976 dengan acara tunggal membahas integrasi Timor
Timur dengan Indonesia. Hasil sidang memutuskan:
a. menyampaikan petisi integrasi kepada pemerintah RI di Jakarta.
b. Menyerahkan kepada komisi khusus rumusan petisi integrasi, dan
c. Mempercayakan kepada ketua sidang untuk menentukan delegasi.
Setelah petisi integrasi tersusun, maka pada tanggal 7 Juni 1976
disampaikan kepada pemerintah RI. Petisi tersebutdisambut baik oleh
pemerintah RI, dan diadakan tindak lanjut berupa kunjungan delegasi RI yang
disertai perwakilan negara asing dan wartawan dalam negeri dan luar negeri.
Delegasi dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud.
Hasil

kunjungan

di

Timor

Timur

kemudian

dilaporkan

kepada

pemerintah RI, dan pada tanggal 19 Juni 1976 pemerintah RI menerima petisi
delegasi. Selanjutnya disusun RUU Integrasi, yang kemudian disahakan oleh

DPR pada tanggal 17 Juli 1976 menjadi UU No. 7 Tahun 1976. Resmilah Timor
Timur menjadi bagian RI pada tanggal 17 Juli 1976 sebagai provinsi ke-27.
Kedudukan Timor Timur menjadi lebih mantap setelah MPR mengukuhkan
melalui Tap No. VI/MPR/1978.
Pada awal integrasi muncul pro dan kontra, negara-negara yang pro
integrasi misalnya ASEAN, Amerika, India, Arab Saudi. Sedang negaranegara yang kontra/menolak diantaranya Portugis dan bekas jajahan Portugis,
sperti Mozambique, Sierra Lione, Tabago. Mereka yang kontar membawa
permasalahan ini ke forum PBB, namun lama-kelamaan jumlah negara yang
kontra semakin menurun. Dan sejak tahun 1982 masalah integrasi Timor
Timur tidak diagendakan lagi oleh PBB.
Walaupun sisa-sisa Fretilin masih sering mengungkit-ungkit masalah
integrasi, namun perjalanan sejarah telah menentukan kedudukann secara
defacto Timor Timur sebagai wilayah RI.

Anda mungkin juga menyukai