ANJLOKNYA KA MALABAR
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA -
Peneliti
Puslit
Geoteknologi
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adrin Tohari, mengatakan sistem drainase yang buruk diduga
menjadi penyebab kecelakaan kereta api Malabar di Tasikmalaya, Jawa Barat, beberapa
waktu lalu.
Adrin mengatakan, sistem drainase permukaan dan bawah permukaan yang memadai
akan mengurangi derajat kejenuhan tanah saat musim hujan. Dalam kasus KA Malabar,
sistem drainase diyakini tidak berfungsi dengan baik.
Oleh karena itu, untuk mencegah kejadian ini berulang, maka diperlukan pemetaan ulang
daerah yang berpotensi longsor dengan menghitung kemiringan dan kadar air.
Salah satu teknologi yang dikembangkan LIPI yaitu teknologi gravitasi ekstraksi air tanah
untuk kestabilan lereng. Teknologi menguras kelebihan air yang berada dalam tanah,
sehingga tanah lebih padat dan berumur panjang.
"Logika sistemnya sama dengan kita menyedot bensin dari dalam tangki yang sekali
sedot maka bensin akan terus mengalir," ujar Adrin.
Sumber :
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/04/10/peneliti-lipi-sistem-drainase-yang-burukpemicu-anjloknya-ka-malabar
Kondisi jalan di Yogyakarta beberapa hari ini masih ditemukannya beberapa titik
genangan air paling tidak telah menggambarkan kepada kita bahwa kualitas drainase Kota
Jogja masih kurang baik, atau mungkin bisa dibilang buruk. Pada dasarnya awal paradigma
drainase adalah mengalirkan air secepat-cepatnya ke sungai sehingga tidak ada lagi air yang
tergenang. Lebih mudahnya, air tersebut harus sesegera mungkin terserap masuk ke dalam
tanah. Fungsi drainase ini sangat berperan sebagai tempat resapan air dan juga goronggorong selokan
yang
seharusnya
banyak
dibuat,
entah
bagaimana
kondisinya.
Keberadaannya sering beralih fungsi. Tidak sekadar menjadi jalan pergerakan air, namun
juga menjadi tempat pembuangan limbah. Terutama hal ini terjadi pada kota-kota besar.
Limbah-limbah rumah tangga, bahkan limbah industri seenaknya dibuang ke jalur tersebut.
Akibatnya sampah menumpuk, saluran pun tertutup. Dampaknya kemudian baru terasa. Saat
hujan turun saluran-saluran tersebut tidak kuasa menampung laju air. Akibatnya banjir bisa
saja terjadi. Contoh yang tepat untuk merepresentasikan kasus tersebut ada di Jakarta. Silang
sengkurat pengelolaan drainase dan limbah terjadi sehingga banjir jadi masalah klasik yang
selalu berulang setiap tahunnya.
Kondisi ini mungkin terjadi akibat tata kelola kota yang tidak tepat. Pembangunan kota
selama ini seringkali tidak memperhatikan aspek lingkungan atau aturan-aturan
pembangunan yang telah ditetapkan. Rumah-rumah, gedung, sekolah, pusat-pusat
perbelanjaan dibangun tidak melalui perencanaan yang maksimal. Alias pembangunan yang
dilaksanakan hanya dilakukan serampangan.
Tentu genangan-genangan air tersebut tidak bisa disepelekan begitu saja. Kondisinya
yang berlarut-larut tidak hanya menghambat produktivitas masyarakat, namun juga
mengancam kelestarian lingkungan. Misalnya ada kasus, buruknya drainase mengakibatkan
aliran hujan di sekitar Jl. Tentara Pelajar, Sleman tak terkendali. Akibatnya rumah milik
Tatak, di perempatan Kamdenan, Desa Sariharjo, Ngaglik, Sleman hancur diterjang banjir.
Selain itu, genangan air yang mencapai 40 cm, bahkan selutut kaki orang dewasa selalu
merepotkan para pengguna jalan. Seringkali saya temukan orang menuntun motor di tengah
hujan lebat karena mesinnya macet terendam air. Serangkaian kecelakaan lalu lintas pun
tidak sedikit yang kemudian terjadi.
Maka dari itu, pembangunan berdasarkan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek) harus benar-benar dilakukan. Tidak sekadar karena menyesuaikan zaman, akan tetapi
pembangunan dengan memanfaatkan Iptek dapat memecah kebuntuan dan silang sengkarut
tata kelola kota yang telah menjadi rumit. Karena dengan ilmu, perencanaan secara tepat
guna dilakukan. Perencanaan-perencanaan itu pun sudah melalui serangkaian uji coba
sehingga kelayakannya dapat dipertanggung jawabkan.
Untuk menanggulangi permasalahan ini, menurut saya, setidaknya ada dua poin yang
harus dilaksanakan, yaitu tanggung jawab pemerintah dan keikutsertaan masyarakat.
Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pekerjaan Umum (PU) memiliki tugas untuk turut
memperbaiki sarana prasarana penanggulangan banjir dan genangan air. Mereka harus
bertanggung jawab atas kelayakan fungsi drainase kota sehingga masalah genangan air ini
tidak berlarut-larut dan menjadi akut. Tetapi saya juga tidak sepenuhnya menyalahkan dan
menuntut pemerintah begitu saja. Peran aktif masyarakat juga dibutuhkan untuk menjaga,
bahkan menciptakan solusi tepat guna lain. Sehingga kolaborasi antara dua pihak tersebut
dapat menjadi solusi cerdas dalam mengatasi permasalahan drainase kota yang buruk.
Dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum sendiri sudah
ada teknologi penanggulangan banjir kota yang layak diterapkan. Teknologi yang digunakan
menggunakan sistem Polder, yaitu suatu subsitem-subsistem pengelolaan tata air yang sangat
demokratis dan mandiri yang dikembangkan dan dioperasikan oleh dan untuk masyarakat
dalam hal pengendalian banjir kawasan permukiman mereka. Sistem polder sendiri adalah
suatu cara penanganan banjir dengan bangunan fisik yang meliputi sistem drainase, kolam
retensi, tanggul yang mengelilingi kawasan, serta pompa dan atau pintu air sebagai satu
kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan (sumber: Balitbang PU). Sistem Polder tersebut
diadaptasi dari Negara Belanda dan Singapura yang sudah menerapkan teknologi tersebut.
Adapun skemanya sebagai berikut:
Keunggulan dari sistem polder ini terletak pada sistem pengelolaan yang terpadu.
Maksudnya tidak hanya tertumpu pada satu bagian, akan tetapi sistem tersebut terbangun dari
sistem-sistem yang lebih kecil, yaitu saluran air/kanal/waduk, tanggul, dan pompa.
Saluran air atau tampungan memanjang dan waduk dibangun sebagai sarana pengatur
penyaluran air ketika elevasi air di titik pembuangan lebih tinggi dari elevasi saluran di dalam
kawasan. Saluran air ini dimaksudkan untuk menampung dan mengalirkan air agar tidak
menggenang. Di Yogyakarta sendiri, sepengetahuan saya, saluran-saluran air ini masih
sedikit. Jika pun ada, kondisinya seperti yang sudah saya sebutkan di atas, menjadi saluran
pembuangan.
Selain meremajakan saluran air, pembangunan tanggul kemudian dibuat di sekeliling
kawasan guna mencegah masuknya air ke dalam kawasan. Bagi kota Yogyakarta, tanggul ini
sebaiknya dibuat di pinggiran sungai agar ketika volume meningkat, air tersebut tidak masuk
ke lingkungan perkampungan atau jalan mengingat Kota Yogyakarta saat ini semakin padat.
Menurut kajian Balitbang PU, sebaiknya tanggul tersebut dibuat dengan ukuran yang lebar,
besar, dan tinggi sehingga dapat difungsikan sebagai jalan. Tanggul ini juga dapat dijadikan
sebagai kawasan ruang publik untuk aktivitas masyarakat.
Setelah membangun saluran air dan tanggul, proses selanjutnya yaitu pemasangan pompa
air. Pompa ini berfungsi untuk mengeringkan air pada badan air, yang bekerja secara
otomatis apabila volume/elevasi air melebihi perencanaan. Pompa ini digunakan untuk
mempercepat saluran air agar genangan lebih cepat mengering.
Penggunaan sistem polder tersebut tentu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk
membangunnya. Adapun masyarakat juga dapat turut aktif mengelola lingkungan agar dapat
lebih bersahabat dengan air dengan cara yang sangat sederhana: membuat sumur resapan!
Kenapa sumur resapan? Karena permasalahan kota selama ini tidak terlepas dari kurangnya
titil-titik resapan air. Tanah yang seharusnya menjadi jalan resapan air telah tertutup dengan
beton-beton dan aspal yang sangat tebal. Hal inilah yang kemudian juga menjadi faktor
penyebab banyaknya genangan air karena tertahan untuk masuk ke dalam tanah.
Pada dasarnya pembuatan resapan air ini sangat mudah. Masyarakat tidak akan sulit
mengaplikasikannya karena tidak memerlukan barang-barang yang rumit. Kementrian
Pekerjaan Umum juga sudah merilis proses pembuatan sarana resapan air tersebut (bisa
dilihat disini). Namanya SaRASS (Sarana Resapan Air Sangat Sederhana). Memang sangat
sederhana sih.. Silahkan dengan melihat gambar-gambarnya saja sudah jelas:
Selain menjadi jalur resapan air secara tidak langsung
penerapan teknologi SaRASS ini juga dapat sekaligus
mengurangi resiko terjadinya akumulasi pencemaran air
tanah akibat limpasan air hujan.
Kedua hal di atas - peran pemerintah dengan penerapan
sistem polder dan pembuatan resapan air bagi masyarakat
jika diaplikasikan secara nyata dapat menjadi solusi banjir di
daerah perkotaan. Tentu sinergisitas antara pemerintah dan
masyarakat harus dibangun sehingga perencanaan besar ini
tidak sekadar menjadi rancangan dalam angan-angan.
Sumber : http://pinsalabim.wordpress.com/2013/11/17/genangan-air-dan-sistem-drainase/
"Masyarakat umumnya tidak mau tahu apakah itu jalan negara atau provinsi, ketika badan
jalan rusak langsung bereaksi dan mengeluh ke pemda," katanya. Apalagi, katanya, sebagai
kota tujuan wisata, Bogor sering disinggahi petinggi negara, baik yang mempunyai rumah di
Bogor maupun karena sering berlangsung peristiwa tertentu di Istana Bogor.
Kurang Kesadaran
Selain akibat drainase yang buruk, kerusakan badan jalan di Kota Bogor juga karena
kurangnya kesadaran masyarakat, yang kerap membuang sampah sembarangan. Sampahsampah akan memenuhi saluran drainase dan ketika hujan turun langsung menggenangi
badan jalan. Kiky mencontohkan kerusakan badan jalan di Jalan Suryakencana di depan
Bogor Plaza, akibat banyaknya pedagang kaki lima yang berjualan dengan menyita
sebagian badan jalan, dan Membuang sampah sembarangan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kerusakan jalan dijumpai di Jalan Suryakencana
dan Jalan Siliwangi depan Sukasari Plaza, Jalan Pahlawan, Jalan Juanda, Jalan Soleh
Iskandar (Jalan Baru-Kemang), Jalan Raya Cilebut, dan Jalan Pemuda.
Sumber : http://www.ampl.or.id/digilib/read/drainase-buruk-jalan-jalan-di-bogor-rusak/42890